Pelatihan Knowledge Management

IJRS mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan Knowledge Management (KM) selama dua hari bersama Borobudur Training & Consulting. Borobudur Training & Consulting adalah salah satu lembaga penyedia pelatihan-pelatihan yang amat dibutuhkan oleh perusahaan dalam meningkatkan kualitas human capital-nya.

Pelatihan ini diadakan tanggal 16-17 Desember 2021 lalu secara online/daring. Dari IJRS, peserta yang hadir ada Bestha selaku Deputi KM, serta Tim KM lainnya yaitu Shofana, Dian, Neka, dan Arsa. Pada pelatihan KM ini, kami dibimbing oleh DR. Dwi Suryanto, MM, Ph.D, direktur Borobudur Training & Consulting.

Dalam pelatihan KM, kami diajarkan tentang apa tujuan membuat KM, bagaimana mengatur strategi KM, dan bagaimana menjadikan KM sebagai suatu budaya di dalam organisasi. Terima kasih atas kesempatan dan ilmunya Borobudur Training & Consulting.

[Rilis Pers] ICJR, IJRS, dan PUSKAPA Catat Janji DPR: Langsung Bahas RUU TPKS di Masa Sidang Berikutnya

ICJR IJRS dan PUSKAPA sangat menyayangkan tidak ditetapkannya RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR pada rapat paripurna 16 Desember 2021. Kami menyerukan bahwa pembahasan RUU TPKS harus dimulai seketika ketika masa sidang selanjutnya dilakukan.

Setelah itu, Badan Musyawarah DPR harus segera menentukan apakah RUU TPKS akan dibahas dalam Rapat Komisi/ Rapat Gabungan Komisi/ Rapat Baleg atau Panitia khusus lintas komisi, untuk kemudian dibahas bersama Pemerintah.

Melihat kasus kekerasan seksual yang belakangan diberitakan, dengan berbagai permasalahannya, mulai dari sulitnya korban mendapat ruang aman, adanya ancaman kriminalisasi bagi korban, hingga korban dan keluarga korban sulit mendapatkan perlindungan dan pemulihan yang komprehensif, maka RUU TPKS semakin dibutuhkan.

ICJR, IJRS, dan PUSKAPA juga mendorong agar pembahasan RUU TPKS antara DPR dan Pemerintah dilakukan dengan komprehensif sehingga menghasilkan peraturan yang melindungi korban. Pembahasan harus dilakukan dengan semangat mengedepankan kepentingan korban kekerasan seksual dan menekankan perlindungan setiap orang menjadi korban kekerasan seksual.

Berdasarkan draf RUU TPKS versi Baleg pada 8 Desember 2021, ICJR, IJRS, dan PUSKAPA memberikan apresiasi adanya perkembangan substansi draf yang mengarah pada kemajuan, mulai dari: pengaturan ketentuan tindak pidana yang mengarah pada penghindaran duplikasi pengaturan yang sudah ada; masuknya ketentuan tindak pidana berkaitan dengan pelecehan seksual dalam ranah elektronik; hingga mengakomodir substansi yang sempat hilang mengenai sikap aparat penegak hukum dalam berinteraksi dengan korban kekerasan seksual.

Dari draf 8 Desember 2021, terdapat tiga catatan yang perlu direspons untuk menjamin penguatan perlindungan korban kekerasan seksual di Indonesia, yaitu: (1) pengaturan tindak pidana; (2) pengaturan perlindungan hak korban; dan (3) pengaturan hukum acara.

Pertama, terkait pengaturan tindak pidana kekerasan seksual. Pasal 1 angka 2 draf 8 Desember 2021, memberikan definisi kekerasan seksual mencakup definisi dari berbagai UU yang juga mengatur tentang kekerasan seksual. Hal ini memberikan jaminan korban untuk memperoleh hak yang sama dengan hak yang diatur dalam RUU TPKS terlepas dari ketentuan UU yang digunakan dalam kasus yang sedang berjalan.

Draft 8 Desember 2021 belum memuat rumusan yang menentukan rentang perbuatan kekerasan seksual yang telah diatur dalam UU lain tersebut. Oleh karena itu, RUU TPKS perlu membuat daftar perbuatan dalam UU lain tersebut yang dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Ketentuan ini perlu dirumuskan dalam pasal tindak pidana atau dalam ketentuan penutup. Selain itu, hal yang perlu mendapat catatan berkaitan dengan pengaturan pelecehan seksual dengan sarana elektronik. RUU TPKS perlu mencegah korban pelecehan seksual elektronik dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE tentang larangan distribusi/transmisi/membuat dapat diakses muatan melanggar kesusilaan dan Pasal 4, 8, 9, 10 UU Pornografi. Ketentuan Peralihan RUU TPKS perlu mencegah korban dilaporkan kembali atas dugaan tindak pidana kesusilaan atau pornografi, termasuk kemungkinan untuk menghapus pasal yang berpotensi mengkriminalisasi korban.

Kedua, terkait dengan ketentuan perlindungan korban kekerasan seksual. ICJR, IJRS dan PUSKAPA mengenali empat tantangan dalam memenuhi hak korban , yaitu pada aspek: regulasi, struktur/fasilitas/layanan, penganggaran, dan sumber daya manusia. Dalam tataran normatif/regulasi, RUU TPKS perlu mengatur jenis-jenis hak secara komprehensif. Pengaturan tersebut harus menjangkau hak prosedural, hak layanan yang terdiri dari layanan kesehatan darurat (kontrasepsi, aborsi, visum gratis), pencegahan penyakit, rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi psikososial, rumah aman, dan hak pemulihan yang terdiri dari pendampingan komprehensif, pemulangan/reintegrasi, jaminan sosial, restitusi dan kompensasi.

ICJR, IJRS dan PUSKAPA mencermati dalam draf 8 Desember 2021, ketentuan mengenai pemulihan komprehensif korban masih minim. Pemulihan berkaitan dengan tempat tinggal sementara, mendapat identitas baru, tempat kediaman baru dan pemulihan sosial dan budaya sama sekali tidak dimuat dalam RUU TPKS.

Terkait dengan hak pemulihan, RUU TPKS juga harus membuka peluang pengaturan kompensasi. Negara sudah menganggarkan biaya untuk kastrasi kimia dan rehabilitasi dalam UU Perlindungan Anak. Namun, negara belum memberikan kompensasi khusus kepada korban kekerasan seksual. Pengaturan yang ada hanya mengatur kewajiban restitusi oleh pelaku dapat membuat pemulihan korban tidak berjalan dengan baik karena tidak mengikutsertakan upaya pemulihan yang berasal dari negara. . Peran negara dalam menyediakan kompensasi menjadi momentum tepat untuk membahas RUU Bantuan Korban yang dapat mengatur mekanisme penganggaran dan pengelolaan anggaran untuk pemulihan korban tindak pidana.

Ketiga, RUU TPKS harus memberikan terobosan hukum mengenai hukum acara. Upaya telah dilakukan dalam draft 8 Desember 2021, dengan mengakomodir banyak pembaruan mulai dari kemudahan pelaporan, sikap tindak aparat penegak hukum, hingga adanya pemeriksaan dengan mekanisme elektronik. Yang perlu dikuatkan dalam ketentuan hukum acara RUU TPKS adalah (i) jaminan penggunaan alat bukti hasil pemeriksaan forensik, baik DNA maupun non-DNA yang harus ditekankan dalam RUU, (ii) pengaturan tentang akomodasi yang layak terhadap saksi dan korban dengan disabilitas harus diatur secara jelas siapa yang menentukan, (iii) pengaturan mekanisme pemeriksaan dengan perekaman elektronik dan pertemuan pendahuluan yang tidak hanya dibatasi pada tahap penyidikan, dan harus menjamin ketentuan teknis acara untuk hak yang butuh implementasi khusus, misalnya hukum acara untuk hadirnya penetapan perintah perlindungan sementara.

Kami menyambut baik masuknya RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR yang kemudian akan dibahas bersama Pemerintah. Untuk itu ICJR, IJRS, dan PUSKAPA, merekomendasikan:

  1. DPR segera tetapkan RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR
  2. Badan Musyawarah (Bamus) segera menentukan penanggung jawab untuk membahas RUU TPKS di DPR untuk masa sidang berikutnya
  3. Presiden segera menunjuk penanggung jawab untuk membahas RUU TPKS mewakili pemerintah. Pemerintah pun perlu mengambil sikap dan mempublikasikannya terhadap RUU TPKS.
  4. Pembahasan RUU TPKS antara DPR dan Pemerintah harus selalu terbuka, substansial, dan mengakomodasi perbaikan yang diusulkan
    Hormat Kami,

Jakarta, 16 Desember 2021

ICJR, IJRS dan Puskapa

Peluncuran Hasil Kajian Penerapan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum di 5 Mitra Wilayah SPPT-PKKTP

Komnas Perempuan bersama dengan mitra, baru saja mengadakan Peluncuran Hasil Kajian Penerapan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum di 5 Mitra Wilayah SPPT-PKKTP, pada 15 Desember 2021 lalu.

Pada peluncuran ini, dibahas mengenai kajian sejauh mana Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum—sebagai bagian yang integral dari upaya percepatan pengintegrasian SPPT-PKKTP dalam hukum acara peradilan pidana dan memastikan tidak adanya diskriminasi berdasarkan gender dalam praktik peradilan di Indonesia. Secara spesifik, kajian ini bertujuan untuk menggambarkan dan menjelaskan tentang bagaimana sosialisasi PERMA Nomor 3 Tahun 2017 dilakukan dan bagaimana penerapan isi PERMA dari perspektif hakim dan pendamping di lima wilayah implementasi SPPT-PKKTP, yaitu Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Maluku.

Arsa sebagai peneliti IJRS menyampaikan hasil penelitian di wilayah Kepulauan Riau dan DKI Jakarta.

Simak rilis pers dari hasil peluncuran ini pada link : https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-peluncuran-hasil-kajian-penerapan-peraturan-mahkamah-agung-ri-nomor-3-tahun-2017-tentang-pedoman-mengadili-perkara-perempuan-berhadapan-dengan-hukum-di-5-mitra-wilayah-sppt-pkktp-15-desember-2021

[Rilis Pers] Refleksi Masyarakat Sipil untuk Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Indonesia

Pada Jumat, 10 Desember 2021 IJRS dengan dukungan dari Pemerintah Australia bersama dengan Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) mengadakan diskusi publik bertajuk “Refleksi Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Indonesia”. Dengan menghadirkan narasumber dari Asosiasi LBH Apik Indonesia dan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PeKKA) dalam acara ini dibagikan berbagai cerita mengenai praktik pendampingan dan penanganan kekerasan seksual terhadap perempuan. Dihadirkan pula penanggap dari Kantor Staf Presiden RI dan Komnas Perempuan yang turut menyampaikan sejauh mana peran pemerintah dalam penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di Indonesia.

Kasus-kasus kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es, dengan angka riil kasus-kasus kekerasan seksual sesungguhnya bisa lebih tinggi dibanding yang tercatat saat ini. Serta tidak menutup kemungkinan akan adanya dark number dimana terjadi kasus namun tidak diadukan ke pihak berwajib. Arsa Ilmi, Peneliti dari IJRS yang juga menjadi pembicara dalam diskusi publik ini juga menjelaskan: “Maka, penting untuk melihat sedikit representasi data-data kasus kekerasan seksual, khususnya kasus-kasus yang dilaporkan dan diselesaikan melalui jalur pengadilan untuk mengetahui pola fenomena kekerasan seksual serta bagaimana penanganan terhadap korban terjadi dalam proses hukum.”

Dalam acara ini, dipaparkan juga mengenai hasil penelitian yang dilakukan oleh IJRS dengan metode analisis data sekunder atau indeksasi terhadap 735 putusan pengadilan di perkara kekerasan seksual dari tahun 2018-2020 dan berbagai literatur lainnya untuk melihat gambaran kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan serta diselesaikan melalui jalur pengadilan.

Dari temuan yang diperoleh, IJRS mengidentifikasi beberapa temuan, seperti (1) kekerasan seksual dilakukan oleh orang yang dikenal korban. Beberapa temuannya menunjukan bahwa 87,9% kekerasan seksual dialami oleh orang yang dikenal korban dan bahkan 59,9% kekerasan seksual terjadi di rumah korban sendiri. (2) Disebutkan juga pentingnya agenda pencegahan kekerasan seksual difokuskan pada lingkungan pendidikan dan rumah tangga, mengingat mayoritas korban yakni 72,1% masih dalam rentang usia anak (6-18 tahun) dan mayoritas pelaku dalam rentang usia remaja akhir (18-25 tahun). (3) Mayoritas perkara kekerasan seksual yang sudah masuk ke proses hukum merupakan perkara repetisi atau kekerasan seksual sudah terjadi lebih dari satu kali terhadap korban, hal ini mengacu pada data yang ditemukan, yaitu 76,9% merupakan perkara repetisi serta hanya 8,7% korban yang menjalani proses persidangan dengan pendamping. (4) Pentingnya orientasi pemidanaan bertujuan terhadap pemulihan korban. Hal tersebut, dapat dilihat pada hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa banyak dari korban kekerasan seksual mengalami dampak dari kekerasan seksual yang dialaminya, dengan 78% korban mengalami dampak psikis dan 42,8% korban mengalami dampak fisik. Namun sayangnya hanya 0,1% korban yang memperoleh restitusi, sehingga pemulihan korban harus menjadi orientasi pemidanaan.

Paparan dari Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH Apik Indonesia, Khotimun Sutanti juga mengonfirmasi temuan yang diberikan oleh IJRS bahwa kasus-kasus kekerasan seksual, khususnya terhadap anak oleh orang dekat kerap terjadi di rumah. Selama masa pandemi Covid-19 ini laporan kasus-kasus kekerasan seksual juga naik, dengan tingginya pelaporan di kantor-kantor LBH Apik di seluruh Indonesia. Selain itu, bahkan sebelum perempuan mengadukan kekerasan seksual yang dialaminya mereka kerap mengalami hambatan misalnya oleh perspektif aparat penegak hukum dan budaya masyarakat yang tidak adil gender sangat berpengaruh terhadap situasi perempuan korban, serta proses hukum yang tidak ramah korban dengan melanggengkan reviktimisasi dan stigma negatif terhadap korban juga menghambat proses pelaporan kasus-kasus kekerasan seksual.

Ada juga penambahan perspektif oleh Koordinator Program PeKKA oleh Nunik Hariani, bahwa dengan tingginya kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, PeKKA mengembangkan berbagai strategi pemberdayaan hukum. PeKKA telah menyelenggarakan penyadaran kritis masyarakat dan penghormatan terhadap hak asasi perempuan dan anak, penguatan kepemimpinan dan kapasitas PeKKA untuk menyuarakan perubahan kebijakan dan sistem sosial yang berkeadilan gender, penguatan jaringan kerjasama dan aliansi untuk menguatkan agenda pemberdayaan serta akses hukum dan keadilan dan advokasi kebijakan dan perubahan sosial untuk pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Hal ini kemudian ditanggapi oleh Nuraini Hilir, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden RI bahwa saat ini pemerintah sangat menaruh perhatian yang besar terhadap penanganan kasus-kasus kekerasan seksual dengan membentuk tim yang terkait dengan pembentukan RUU TPKS, yang terdiri atas beberapa kementerian dan lembaga antara lain ada KPPPA, Kemenkumham dan Kejaksaan dengan juga menerima aspirasi dari masyarakat.

Penemuan IJRS turut didukung oleh Veryanto Sitohang, Komisioner Komnas Perempuan, bahwa tren pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat korban seperti pacar, anggota keluarga inti seperti ayah kandung maupun ayah tiri hingga anggota keluarga non-inti seperti paman atau sepupu. Sejalan dengan data CATAHU 2021, dalam masa pandemi Covid-19 ini kasus kekerasan seksual juga tetap dapat ditemukan dalam pengaduan-pengaduan yang diterima setiap harinya hal ini sejalan juga dengan tingginya kasus-kasus kekerasan seksual yang diterima oleh LBH Apik sebagaimana dipaparkan dalam diskusi ini. Korban juga kerap mengalami hambatan dalam mencari keadilan, seperti dilarang melaporkan kasus yang menimpanya karena dianggap aib, kriminalisasi korban karena mereka angkat bicara hingga proses hukum yang tidak ramah korban.

Melalui diskusi ini didorong adanya penanganan dan pencegahan kekerasan seksual yang lebih berpihak, tepat sasaran dan bertujuan untuk pemulihan kepada korban yang dapat dicerminkan dalam kebijakan dan juga implementasinya. Oleh karenanya, acara diskusi kali ini, memberikan beberapa rekomendasi, seperti:

  1. Pentingnya pendefinisian kekerasan seksual, khususnya frasa “persetujuan” atau “consent” melalui penyusunan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan penyusunan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi penting. Hal ini mengacu dari hasil temuan, dimana kasus kekerasan seksual kerap melibatkan pelaku sebagai orang yang memiliki relasi personal/privat dengan korban, misalnya pacar, suami bahkan anggota keluarga seperti ayah kandung, ayah tiri dan paman.
  2. Pentingnya penguatan mekanisme perlindungan korban untuk dimasukan ke dalam kebijakan legislasi melalui pembahasan RUU TPKS dan Rancangan KUHAP (RKUHAP).
  3. Perlunya kurikulum dan materi pendidikan seksual sebagai upaya pencegahan kekerasan seksual agar disosialisasikan sejak usia dini dengan kurikulum yang sesuai dengan usia dan penalaran pelajar sesuai jenjang pendidikan masing-masing.
  4. Sebagai masukan juga, perlunya aparat penegak hukum untuk memastikan baik secara kebijakan, pengawasan maupun peningkatan kapasitas untuk memastikan agar proses penuntutan dan penegakan hukum untuk dapat mengidentifikasi dampak kerugian korban kekerasan seksual baik secara ekonomi, fisik dan psikis.
  5. Perihal pendampingan bagi korban kekerasan seksual dalam proses persidangan juga perlu dipastikan dan diupayakan sesuai amanat Perma 3/2017 dan Pedoman 1/2021.

Silahkan unduh ringkasan eksekutif penelitian IJRS ini di https://bit.ly/Indeksasi-IJRS-KS.

Contact Person:
Arsa Ilmi Budiarti / arsa@ijrs.or.id
Marsha Maharani / marsha@ijrs.or.id

[Rilis Pers] Damai yang Dipaksakan kepada Korban: Suatu Kesalahan!

oleh : ICJR, LeIP, dan IJRS

Desember 2021, seorang Ibu korban pemerkosaan berinisial ZU (19) dan suaminya berinisial S (28) mengalami tekanan, ancaman, dan paksaan dari anggota kepolisian Polsek Tambusai Utara untuk menyetujui perdamaian dengan pelaku perkosaan. Sejumlah anggota Polsek diduga terlibat mulai Kanit Reskrim, hingga Penyidik.

Peristiwa ini berawal dari ZU, korban perkosaan 4 (empat) orang pria, melaporkan kasus ini ke polisi pada tanggal 2 Oktober 2021. Dalam proses pengusutan perkara perkosaan ini, ZU dan suaminya, S, justru didatangi 2 (dua) orang anggota Polsek Tambusai Utara yang meminta korban ZU untuk berdamai dengan para pelaku perkosaan. ZU dan S yang menolak perdamaian, justru mendapatkan tekanan, ancaman, paksaan, disertai dengan kata-kata kasar dari anggota Polsek tersebut. Anggota Polsek terkait juga mengancam akan menjadikan ZU dan S tersangka apabila mereka tetap menolak untuk berdamai dan tidak mau datang ke Polsek Tambusai Utara. Kini, Polres Rokan Hulu, Riau, akan memeriksa 3 (tiga) orang terduga, yaitu Kapolsek Tambusai Utara Iptu RN, Kanit Reskrim Bripka JLG, dan Penyidik Bripda RS.

Terhadap peristiwa ini, ICJR, IJRS, dan LeIP menyatakan demikian:

Pertama, bahwa konsep perdamaian antara korban dan pelaku harus selalu dilaksanakan secara sukarela (voluntary), konsensual (consent), dan tanpa tekanan, paksaan, serta intimidasi. Segala bentuk perdamaian yang dilaksanakan tanpa mengindahkan prinsip-prinsip ini, justru akan bertentangan / kontradiksi dengan konsep perdamaian itu sendiri. Perdamaian harus dititikberatkan untuk memulihkan korban, peran sentral ada pada korban, korban tidak menyepakati, maka perdamaian tidak dapat dipaksakan.

Dalam kasus kekerasan seksual, dengan tingkat trauma yang spesifik, baik dalam kondisi fisik maupun mental, maka seharusnya peran aparat penegak hukum adalah memastikan ruang aman bagi korban, menyediakan bantuan yang efektif bagi korban kekerasan seksual, sesuai dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban, antara lain, memberikan ruang aman, bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya, termasuk memastikan adanya bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. Dengan jaminan ini, maka fokus harus diberikan kepada pemulihan korban, bukan pada pemaksaan perdamaian.

Kami menaruh kekhawatiran bahwa penyidik memaksakan perdamaian ini dengan dalih menerapkan keadilan restoratif. Kami tekankan bahwa apa yang dilakukan oleh penyidik dalam kasus ini bukan keadilan restoratif. Keadilan restoratif tidak dapat dimaknai semata-mata pada proses perdamaian untuk menghentikan/menyelesaikan perkara pidana.

Bahwa tujuan primer dari keadilan restoratif adalah untuk penguatan hak-hak korban, menempatkan peran sentral korban dalam sistem peradilan, serta mewujudkan reparasi dan pemulihan korban. Hal-hal seperti penyelesaian/penghentian perkara, bukan tujuan keadilan restorative, namun harus dipandang hanya sebagai tujuan sekunder atau ‘efek samping’ dari keberhasilan pendekatan keadilan restoratif.

Sejalan dengan penelitian kami yang berjudul “Peluang dan Tantangan Penerapan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”, maka dalam rangka meminimalisir dan menghindari sesat pikir dan miskonsepsi keadilan restoratif, pendekatan keadilan restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia harus berdasarkan beberapa prinsip, antara lain:

  1. Penerapan keadilan restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana tidak semata-mata bertujuan untuk menghentikan perkara;
  2. Keadilan restoratif dapat diterapkan dalam setiap tahapan proses peradilan pidana;
  3. Pelaksanaan keadilan restoratif harus menghormati prinsip kesetaraan gender dan non-diskriminasi, mempertimbangkan ketimpangan relasi kuasa dan faktor kerentanan berbasis umur, latar belakang sosial, pendidikan, dan ekonomi;
  4. Pelaksanaan keadilan restoratif harus memastikan adanya pemberdayaan dan partisipasi aktif dari para pihak, mulai dari pelaku, korban, maupun pihak terkait lainnya;
  5. Keadilan restoratif berprinsip pada kesukarelaan, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
  6. Khusus pada kasus yang melibatkan anak, penerapan keadilan restoratif harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak.

Jakarta, 10 Desember 2021

Hormat Kami,
ICJR, IJRS dan LeIP

CP: Matheus N. Siagian (Peneliti IJRS/office@ijrs.or.id)

Launching dan Bimtek Pedoman Kejaksaan No 11/2021 dan Pedoman Kejaksaan No 18/2021

Kejaksaan Agung Republik Indonesia bersama dengan Tim Peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS) sebagai anggota dari Pokja Akses Keadilan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dengan dukungan dari Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) melalui The Asia Foundation (TAF) untuk mengadakan Peluncuran (Launching) Pedoman Nomor 11 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika dan/atau Tindak Pidana Prekursor Narkotika dan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa pada 1 Desember 2021 lalu.

Tujuan dari kegiatan ini adalah sebagai peluncuran (Launching) dan diseminasi Pedoman 11/2021 dan Pedoman 18/2021, serta memperoleh tanggapan dari para pemangku kepentingan sebagai bentuk akuntabilitas publik.

Sementara di tanggal 2 Desember 2021, diadakan Bimbingan Teknis (Bimtek) Pedoman 11/2021 dan Pedoman 18/2021 untuk Kejaksaan RI dengan menggunakan metode presentasi dan tanya jawab secara daring (online).

Tujuannya adalah meningkatkan pemahaman terhadap Pedoman 11/2021 dan Pedoman 18/2021, serta pelatihan tata cara penggunaan Lampiran Pedoman dan Aplikasi Tuntutan Narkotika.

Perubahan Pengaturan Usia Minimum Perkawinan, Dispensasi Perkawinan dan Praktiknya di Indonesia

Pada tanggal 8 Desember 2021 Bestha Inatsan Ashila Deputi Knowledge Management IJRS menjadi penanggap dalam pemaparan hasil penelitian ”Perubahan Pengaturan Usia Minimum Perkawinan, Dispensasi Perkawinan dan Praktiknya di Indonesia”. Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan PEKKA dalam rangka Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP).

Yayasan PEKKA tahun 2021 mengembangkan pemantauan berbasis komunitas yang melibatkan tokoh agama, tokoh adat, pemerintah desa, pendidik, hakim di 42 desa di 13 kabupaten untuk menilai persepsi masyarakat, pemerintah, desa dan penegak hukum terhadap amandemen UU Perkawinan dan PERMA 5/2019 tentang Perkawinan Anak.

Understanding the Concept of Sexual Violence from a Psychological Perspective and The Urgency of Legal Protection

Pada tanggal 4 Desember 2021 kemarin, Bestha Inatsan Ashila Deputi Knowledge Management IJRS menjadi pembicara dalam Webinar Festival 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan ”Understanding the Concept of Sexual Violence from a Psychological Perspective and The Urgency of Legal protection” yang diselenggarakan Girl Up Universitas Diponegoro.

Bestha menyampaikan mengenai hasil riset IJRS mengenai kasus kekerasan seksual, hambatan dan tantangan korban kekerasan dalam mengakses keadilan, PERMA No. 3 Tahun 2017 dan Pedoman Kejaksaan tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana serta apa saja yang bisa dilakukan mahasiswa dalam mendukung korban kekerasan seksual.

Sharing Session ‘Perlindungan Hak Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia”

IJRS kembali mengadakan sharing session internal pada 3 Desember 2021. Kali ini dengan tema Sharing Session dengan materi tentang ”Perlindungan Hak Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia” dengan Narasumber Julio Castor Ahmadi (Chair of South East Asia Working Group Asia Pacific Refugee Rights Network (APRRN) dan Legal Empowerment Coordinator SUAKA).

Dalam sharing session tersebut Kak Julio menyampaikan soal kerja-kerja teman SUAKA, definisi pengungsi itu apa, serta bagaimana perlindungan pengungsi di Indonesia. Semoga informasi ini dapat berguna bagi teman-teman IJRS. Terima kasih kak Julio dan SUAKA team.