Search

Opinion

Witness Testimony: How Reliable Is It?

Author: Gita Nadia Pramesa

Gita Nadia Pramesa, S.Psi

Dua bulan terakhir, publik tak lepas dari sorotan media terhadap sidang kasus yang menewaskan Brigadir J. Jalannya sidang mengundang berbagai reaksi di masyarakat, terutama saat pemeriksaan salah satu saksi, yaitu S, yang merupakan ART dari terpidana FS. Dalam beberapa pertanyaan yang digulirkan oleh majelis Hakim, Saksi S sulit untuk mengingat detail waktu, antara lain bulan dan tahun terkait kepindahan rumah dinas FS, tampak bingung menjelaskan runutan detil kejadian di Magelang yang disebut sebagai hari terjadinya pelecehan seksual, juga mengubah keterangan yang sebelumnya ada dalam Berita Acara Pemeriksaan Perkara (BAP). Di persidangan yang lain, Saksi D, ART lainnya,juga tidak ingat siapa saja yang hadir di Tempat Kejadian Perkara (TKP) setelah terjadinya tembakan, tidak ingat siapa yang memberi instruksi agar ia membersihkan darah korban, serta keliru dalam mengurutkan jam demi jam di hari terjadinya peristiwa tembakan yang menewaskan korban.

Respon-respon saksi dalam kasus di atas sebenarnya menjadi salah satu contoh dari banyaknya fenomena serupa dari saksi tindak pidana ketika diminta mengingat detil peristiwa yang diketahuinya. Aparat Penegak Hukum (APH) seringkali meminta saksi mengingat secara detil peristiwa yang terjadi, mulai dari tanggal, jam, lokasi, siapa yang terlibat, urutan kejadian, gerak-gerik pelaku, pakaian pelaku, pakaian korban, dan informasi detil lainnya (khususnya pada saksi yang berada langsungdi TKP). Hal ini dapat dipahami, mengingat pentingnya kedudukan keterangan saksi sebagai alat bukti dalam hukum acara pidana. Keterangan yang diberikan Saksi kerap diharapkan dapat membantu Hakim guna mendapatkan keyakinan tentang tindak pidana yang terjadi. Namun, proses penggalian informasi ini selalu menjadi momok tersendiri bagi APH maupun saksi itu sendiri. Kebingungan atau kesulitan saksi dalam mengingat atau menjawab pertanyaan terkait detil peristiwa, sering memunculkan anggapan bahwa keterangan saksi tidak dapat diandalkan. Lebih jauh, saksi dianggap berbohong karena kesulitan menjawab pertanyaan, mengubah keterangan, bahkan memunculkan keterangan baru dalam persidangan.

Selama empat puluh tahun terakhir, ilmu psikologi melakukan berbagai penelitian terkait ingatan saksi. Hal ini kemudian memunculkan berbagai temuan mengenai cara kerja ingatan manusia dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Perlu kita sadari, saksi yang memberikan keterangan baik di tahap penyidikan dan pemeriksaan di persidangan (terutama yang berkaitan langsung dengan kejadian pidana) adalah individu yang telah melalui banyak hal sejak terjadinya peristiwa tindak pidana. Jika APH berharap bahwa saksi akan datang memberikan keterangan dengan lengkap, runut, dan detil, maka ini adalah anggapan yang keliru. Sebab, umumnya ingatan manusia hanya menangkap sebagian kecil informasi dari seluruh peristiwa yang sebenarnya terjadi. Apa yang diingat bergantung dari apa yang menjadi fokus atau perhatian saksi saat peristiwa tersebut. Sehingga, sangat perlu disadari bahwa sistem ingatan manusia bukanlah sistem yang bekerja seperti alat perekam yang dapat merekam kejadian dengan jelas, lalu diputar kembali dengan urutan yang detil dan akurat.

Ingatan manusia terkait suatu peristiwa terbentuk melalui proses yang kompleks mulai dari informasi tersebut masuk ke dalam ingatan, disimpan, hingga informasi itu dipanggil kembali saat dibutuhkan. Selama proses tersebut, ada begitu banyak faktor baik fisik maupun psikologis yang dapat mempengaruhi ingatan saksi terhadap peristiwa yang terjadi. Contohnya, seberapa jauh jarak saksi dari pelaku, apakah saksi memiliki waktu yang cukup untuk memperhatikan pelaku (ciri-ciri fisik, pakaian yang digunakan, gerak gerik), faktor penerangan di TKP, apakah pelaku melakukan penyamaran (seperti mengunakan penutup kepala atau wajah, menggunakan kacamata, mengganti gaya rambut). Hal-hal bersifat fisik seperti ini sangat besar pengaruhnya dalam menyulitkan saksi mengingat wajah pelaku.

Dari sisi psikologis, apakah saksi mengalami stres, kecemasan, dan rasa takut akibat peristiwa tersebut? Penelitian eksperimental psikologi oleh Valentine & Mesout pada tahun 2008 mengungkapkankemampuan saksi dalam mengenali pelaku penyerangan saat saksi mengalami stress. Penelitian tersebut menemukan bahwa, saksi dengan tingkat kecemasan tinggi erat kaitannya dengan kesalahan dalam menggambarkan ciri-ciri pelaku, menjelaskan detil peristiwa, dan berujung pada kesalahan menunjuk pelaku (memilih siapa pelaku penyerangan saat beberapa orang dibariskan). Hal ini diperdalam jika sebuah peristiwa pidana melibatkan senjata. Peristiwa yang melibatkan senjata dapat menimbulkan fenomena weapon focus effect, yaitu saat saksi mengalami stress yang tinggi akibat kehadiran senjata. Sehingga, ia hanya fokus pada senjata yang menyerang, yang berdampak pada terabaikannya detil kejadian penting lainnya (seperti karakteristik wajah, ciri-ciri pakaian pelaku, dsb).

Informasi yang diterima seseorang kemudian akan disimpan dalam sistem ingatannya hingga nanti dipanggil kembali jika diperlukan. Semakin lama masa simpan informasi dalam sistem ingatan, maka semakin memudar pula ingatan tersebut dipengaruhi waktu dan kontaminasi informasi. Dalam hal waktu simpan, Valentine,dkk melakukan penelitian pada tahun 2003 di London menemukan bahwa saksi mengalami penurunan peforma yang besar dalam mengenali pelaku apabila pemeriksaan dilakukan melebihi satu minggu sejak peristiwa terjadi. Jika kita lihat dari contoh kasus kesaksian ART di atas di atas, terdapat jeda selama kurang lebih empat bulan sejak terjadinya peristiwa hingga saksi diperiksa di persidangan (dua bulan dari peristiwa sampai penyidikan dan dua bulan juga dari penyidikan ke persidangan). Selama masa tersebut secara alami saksi akan mengalami penurunan ingatan terkait peristiwa. Selama masa itu juga sangat besar kemungkinan saksi mengalami kontaminasi informasi pasca kejadian. Kontaminasi informasi ini terjadi melalui interaksi sesama saksi dan apabila saksi membaca pemberitaan peristiwa tersebut di media. Informasi-informasi baru tersebut dapat mempengaruhi ingatan saksi yang tidak jarang menyebabkan saksi malah menghasilkan ingatan baru sebab tanpa sadar ia melebur ingatan aslinya dengan informasi baru yang diterima. Tidak heran jika saksi kerap kali bingung saat ditanya oleh APH mengenai peristiwa empat bulan sebelum persidangan tersebut.

Proses menggali kembali ingatan saksi melalui wawancara yang dilakukan APH menjadi proses yang krusial. Sebab, bagaimana proses wawancara berjalan akan berpengaruh pada keterangan saksi yang dihasilkan. Penelitian eksperimental psikologi yang dilakukan oleh Pansky,dkk pada tahun 2005 memuat temuan bahwa semakin lama masa simpan informasi, semakin menurun jumlah detil informasi yang dapat saksi berikan mengenai pelaku dan peristiwa tersebut, namun tidak mengurangi akurasi informasi selama diwawancara dengan metode yang efektif. Oleh sebab itu, diperlukan serangkaian prosedur yang dilakukan untuk memaksimalkan kualitas dan kuantitas keterangan saksi. Apakah prosedur wawancara sudah dilakukan dengan tepat, dalam arti bukan hanya sekedar sesuai prosedur yang berlaku namun apakah prosedur itu sendiri merupakan prosedur yang dapat secara efektif menggali informasi dari saksi. Apakah pemilihan kalimat dalam wawancara, teknik pendekatan, dan kemampuan komunikasi APH baik di tingkat penyidikan dan pemeriksaan di persidangan itu sendiri sudah mendukung untuk menggali informasi secara efektif. Jika melakukan pendekatan yang disertai tekanan, apakah langkah itu akan menghasilkan informasi yang lebih banyak atau justru mengurangi jumlah dan ketepatan informasi yang diberikan saksi disebabkan faktor stress yang dialami.

Keterangan yang saksi berikan dalam persidangan sesungguhnya tidak lepas dari keseluruhan prosedur yang berjalan sejak awal penyidikan. Tak jarang pula saksi memberikan keterangan yang kontradiktif dengan keterangan sebelumnya atau bahkan kemudian melaporkan hal yang belum pernah disebutkan dalam wawancara sebelumnya.  Kontradiksi dan kemunculan suatu informasi baru seringkali dianggap sebagai informasi yang tidak dapat diandalkan kebenarannya. Penelitian eksperimental psikologi yang dilakukan oleh Fisher,dkk pada tahun 2009 menemukan bahwa kontradiksi informasi merupakan tanda ketidakakuratan saksi sebatas topik yang dibahas secara spesifik. Ketidakakuratan itu tidak serta merta menjadikan keterangan saksi salah secara keseluruhan. Adapun saksi yang secara tiba-tiba memunculkan informasi baru, hal ini berhubungan dengan metode wawancara yang dilakukan. Faktor ragam teknik pendekatan APH, bahkan kalimat yang ditanyakan dimungkinkan memicu ingatan saksi yang belum muncul sebelumnya. Sebagaimana kontradiksi, kemunculan informasi baru ini bukan menjadi tanda tidak dapat diandalkannya keseluruhan keterangan saksi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terbatasnya keterangan saksi mengenai peristiwa tindak pidana yang terjadi sangat dipengaruhi faktor fisik dan psikologis yang ada saat peristiwa tersebut. Sehingga, saksi tidak dapat memperhatikan dan mengingat banyak hal mengenai peristiwa yang terjadi. Keterbatasan jumlah informasi masih dapat dimaksimalkan selama APH melakukan wawancara saksi dengan metode yang efektif untuk memunculkan ingatan saksi mengenai peristiwa tersebut. Adapun permasalahan detil peristiwa merupakan hal yang secara alami sulit diingat saksi, sehingga APH membutuhkan berbagai metode pendekatan untuk memancing ingatan saksi mengenai hal tersebut. Ketika saksi keliru dalam memberikan keterangan (salah menyebutkan detil waktu, ciri fisik pelaku, dll), mengubah keterangannya, memberikan keterangan yang kontradiktif, atau memunculkan informasi baru yang belum pernah disebutkan sebelumnya, tidak serta merta saksi bisa dianggap melakukan kebohongan. Perilaku ini dapat muncul akibat ingatan yang sudah memudar, kontaminasi informasi baik melalui interaksi dengan saksi lainnya dan membaca pemberitaan media, serta metode wawancara yang digunakan oleh APH.

Sifat ingatan manusia yang mudah dibentuk atau terpengaruh merupakan hal yang berjalan di luar kendali APH. Sehingga yang perlu difokuskan adalah bagaimana memaksimalkan jalannya prosedur yang ada di bawah kendali APH.

Ke depannya, perlu didorong akan adanya berbagai terobosan bagi APH ketika melakukan pemeriksaan terhadap saksi, khususnya untuk mendorong pemeriksaan saksi yang didukung dengan pendekatan multi-disiplin dan mempertimbangkan faktor non-legal. Karena, pemeriksaan saksi merupakan proses yang krusial dalam menggali kebenaran materiil. Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan untuk dilakukan oleh para pemangku kepentingan, di antaranya:

  1. Melakukan evaluasi terhadap prosedur pemeriksaan saksi yang dilakukan selama ini apakah sudah sesuai dengan prosedur dan keilmuan terbaru, evaluasi ini juga dilakukan untuk menilai apakah proses penggalian informasi sudah dilakukan dengan efektif;
  2. Mengoptimalkan prosedur dan metode pemeriksaan untuk memaksimalkan kualitas dan kuantitas keterangan saksi, dengan pertimbangan terhadap masa simpan informasi pada saksi yang akan berpengaruh terhadap detail informasi yang disimpan , termasuk juga untuk mempersiapkan alternatif alat bukti, dalam hal terdapat potensi hilang atau kaburnya informasi yang dimiliki saksi;
  3. Melakukan peningkatan kapasitas bagi APH yang dapat mempertajam kompetensi APH dalam melakukan pemeriksaan yang efektif dan efisien terhadap saksi dalam perkara, serta agar APH memahami faktor – faktor khusus mengenai kondisi psikologis saksi dan dampaknya terhadap terjadinya tindak pidana. Misalnya, mengenai kemungkinan terjadinya kontaminasi pasca informasi, memperdalam bagaimana teknik dalam penggalian seperti cara pemilihan kalimat, teknik pendekatan dan kemampuan komunikasi; dan
  4. Mendorong kerjasama – kerjasama dengan ahli-ahli psikologi forensik, psikiatri dan kriminologi dalam memaksimalkan metode penggalian keterangan saksi demi terciptanya keadilan, baik kerjasama dalam proses pemeriksaan sebagai ahli maupun dalam menyusun kurikulum peningkatan kapasitas bagi APH.

this is only available in Bahasa Indonesia

Share:

Other Opinion :

COVER_Peradilan (1)
Jokowi's red report card on criminal justice reform, homework for Prabowo
KS Laki-laki
It's Hard to Believe Men Can Be Victims: The Phenomenon of Sexual Violence against Men and its Impact and Community Response
Narkotika
Revisiting Indonesia’s new Criminal Code: A missed opportunity to end legal uncertainty in drug policy
Korupsi
Modus ‘mark up’ laporan kegiatan mahasiswa: bibit dan peluang korupsi di lingkungan kampus