Search

Opinion

It’s Hard to Believe Men Can Be Victims: The Phenomenon of Sexual Violence against Men and its Impact and Community Response

Author: Luki & Arsa Ilmi Budiarti

Trigger Warning [TW] Sexual Assault/Kekerasan Seksual: Tulisan ini membahas tentang isu kekerasan seksual terhadap laki-laki. Isi dalam tulisan berisi pengalaman kolektif dan merupakan kisah nyata yang dialami para informan yang sudah disetujui untuk diceritakan ulang dengan identitas yang disamarkan. Tulisan ini mungkin dapat menimbulkan dan memicu rasa tidak nyaman atau trauma bagi pembaca. Apabila Anda membutuhkan bantuan dan mengalami dampak dari tulisan ini dapat menghubungi kami.

Kasus kekerasan seksual memang bukanlah isu baru dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan data dari Simfoni PPA Tahun 2022, Kekerasan seksual menjadi jenis kekerasan tertinggi dibanding dengan jenis kekerasan lainnya yang dialami oleh korban dengan jumlah sebanyak 11.016 kasus. Namun, apakah kita pernah membayangkan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi kepada laki-laki? Hasil penelitian IJRS menunjukkan bahwa 1 dari 3 laki-laki setidaknya pernah mengalami satu kali kekerasan seksual semasa hidupnya. Peneliti magang kami, Luki Rudianto, mencoba menangkap fenomena kekerasan terhadap laki-laki yang betul adanya terjadi di sekitar kita.

Bayu, 22 tahun (nama & usia samaran) menceritakan pengalamannya tumbuh sebagai anak tertutup akibat peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya pada saat usia sekolah. Bayu yang merupakan seorang anak laki-laki yang semasa di Sekolah Dasar mendapatkan kekerasan seksual berupa perkosaan. Kejadian ini dilakukan oleh teman laki-laki Bayu yang yang pada saat itu sudah memasuki usia pubertas dan memaksa Bayu untuk melakukan hubungan seksual demi melampiaskan nafsu. Kejadian tersebut terjadi secara berulang hingga 3-4 kali, melalui cara yang berbeda dan bahkan disertai dengan ancaman dari pelaku. Tidak hanya itu, Bayu juga mendapatkan kekerasan serupa dari sesama laki-laki yang dulunya pernah menjadi korban kekerasan seksual dari pelaku yang sama. Setelah mendapati peristiwa tersebut, Bayu tidak melaporkan kejadian yang dialami dikarenakan ketika ia menceritakan kejadiannya kepada orang tuanya, mereka menganggap cerita Bayu hanya omong kosong.

Tidak jauh berbeda, kejadian kekerasan seksual serupa juga dialami oleh Anton, 20 tahun (nama & usia samaran). Pada saat Anton berusia 7 tahun, ia mendapatkan pelecehan seksual dari teman dan juga orang yang tidak dikenalnya. Pelaku melakukan pelecehan dengan menyentuh bagian-bagian tubuh Anton di mana hal ini tidak terjadi hanya sekali. Selain itu, beberapa kali Anton juga menerima kekerasan seksual secara verbal, yaitu candaan yang menghina tentang seksualitas Anton dan menggoda Anton ketika ia sedang berjalan. Hal tersebut dilakukan oleh segerombolan teman pelaku kepada Andre. Kejadian tersebut memberikan trauma yang cukup mendalam sehingga menyebabkan tumbuh menjadi sosok yang penakut dan cenderung menghindar apabila berpapasan dengan segerombolan laki-laki. Sama halnya dengan Bayu, Anton juga tidak melaporkan kejadian tersebut dikarenakan dirinya pada saat itu masih kecil dan kurang paham terkait tindakan kekerasan seksual. Setelah dirinya menyadari bahwa itu merupakan bentuk kekerasan seksual, ia juga takut melaporkannya dikarenakan takut tidak dipercaya.

Kedua cerita tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengalaman kekerasan seksual yang dialami oleh laki-laki dan pada dasarnya sering juga kita dengar terjadi pada korban-korban berjenis kelamin perempuan. Kisah-kisah ini membuktikan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi kepada siapa saja terlepas dari jenis kelamin maupun gender yang dimilikinya. Pengalaman kekerasan seksual kepada laki-laki menjadi fenomena yang kerap dianggap tidak mungkin terjadi karena laki-laki merupakan sosok yang maskulin sehingga akan menjadi sulit dipercaya bahwa kejadian berupa kekerasan seksual dapat terjadi kepadanya.

Toxic masculinity pada laki-laki

Berbagai kecenderungan yang serupa pada perkara kekerasan seksual terhadap perempuan, juga muncul kepada laki-laki yang menjadi korban dari kekerasan seksual. Beberapa di antaranya yaitu jarang dilaporkannya kasus ke pihak Kepolisian maupun orang terdekat, sulit ditemukannya tempat perlindungan, hingga ketidakmampuan korban dalam melawan ketika kekerasan seksual terjadi kepadanya. Bahkan ditemukan bahwa hal-hal tersebut lebih sulit untuk dilakukan oleh laki-laki sebagai korban karena adanya faktor stereotipe maskulinitas yang masih diberikan masyarakat kepada laki-laki. Hal ini kerap dipahami sebagai istilah toxic masculinity yaitu tekanan budaya bagi laki-laki untuk berperilaku sesuai dengan standar yang berlebihan dengan cara tertentu.

Maksud dari istilah ini adalah, laki-laki dalam berkehidupan harus mengikuti aturan masyarakat yang menciptakan konstruksi sosial di mana laki-laki harus bersikap gagah, tidak penakut, kuat, tidak boleh menangis, bisa berkelahi, dsb. Hal tersebut menjadi toxic apabila bersifat kaku di mana terdapat harapan atau ekspektasi dari masyarakat untuk laki-laki tidak bersikap di luar yang dikonstruksikan–meskipun ini dapat merugikan bagi laki-laki tersebut di kondisi tertentu.

Contoh stereotipe maskulinitas

Seringkali masyarakat berpikir bahwa, “Kenapa kamu sebagai laki-laki nggak melawan? Kan laki-laki kuat dan punya power, seharusnya bisa dong melawan ketika mendapatkan kekerasan seksual?”.

Perlu kita pahami bahwa, ketika mendapatkan kekerasan seksual, korban kekerasan seksual baik itu laki-laki maupun perempuan hanya dapat terdiam dan tidak tahu harus melakukan apa. Kondisi tersebut diartikan sebagai sikap kekakuan atau tiba-tiba lumpuh (freeze) yang muncul ketika merespon ancaman yang datang. Jadi, pada saat korban menghadapi ancaman atau ketakutan, yang kemungkinan muncul adalah sikap freeze, flight, dan fight. Kondisi tersebut juga dialami oleh korban kekerasan seksual laki-laki lainnya yaitu Musa, 20 tahun dan Roy, 23 tahun (nama & usia samaran) yang menyatakan bahwa:

“Saat itu saya nggak bisa ngelawan, saya nggak sadar itu udah masuk ke bentuk kekerasan seksual. Jadi saya cuma diam ngefreeze, nggak tahu mau ngapain saya juga nggak bisa ngomong ke teman saya karena dia adalah yang dituakan, jadi saya juga takut”

“Semakin hal tersebut (re: tindak kekerasan seksual) dilakukan, semakin aku risih terus akhirnya pelan-pelan tak (re: aku) tolak dan lawan begitu: sudah pak jangan pak, sungkan aku, gitu….”

Hal lain yang ditemukan dapat mempengaruhi hal ini adalah bahwa para korban mengalami kejadian kekerasan seksual yang dialami ketika berusia dini. Sehingga, mereka belum memahami konteks kekerasan seksual secara mendalam.

Contoh stereotipe maskulinitas lainnya ialah male grooming, di mana masyarakat menganggap bahwa laki laki maskulin tidak perlu untuk melakukan perawatan karena hal tersebut identik dengan perempuan. Hal ini menimbulkan sebuah stereotipe bahwa hanya perempuan yang bisa melakukan perawatan dikarenakan mereka memiliki sifat feminim, sedangkan laki laki yang memiliki sifat maskulin tidak terlalu membutuhkan jenis perawatan.

Selain itu, anggapan laki-laki sebagai makhluk agresif secara seksual menjadikan hal tersebut alasan bahwa laki-laki tidak dapat menjadi korban kekerasan seksual dan dituding menjadi menikmati keuntungannya. Berbagai tuntutan tersebut membuat laki-laki enggan untuk membicarakan apa yang terjadi pada dirinya secara terbuka.

Dampak kekerasan seksual kepada laki-laki

Apakah ketika kekerasan seksual terjadi kepada laki-laki maka dampak yang sama dengan perempuan? Jawabannya ialah iya. Dampak yang dialami juga berupa dampak psikis maupun fisik. Dampak psikis yang ditemukan dialami mulai dari depresi, kecemasan, suasana perasaan yang berubah, bahkan sampai ada keinginan untuk bunuh diri. Laki-laki yang mendapatkan kekerasan seksual sedari kecil akan tumbuh menjadi sosok yang pendiam dan tertutup. Hal ini dikarenakan adanya rasa trauma dan ketakutan yang dirasakan oleh penyintas sehingga mereka cenderung menghindar dari kehidupan sosial. Hal ini seperti disampaikan oleh korban bahwa:

“Saya cenderung takut untuk berteman membangun relasi dengan anak laki-laki karena yang saya rasakan pelaku itu adalah laki-laki juga dan itu membuat saya tidak nyaman ketika berteman dan berinteraksi dengan laki-laki.”

Dampak psikis lainnya yang dirasakan oleh korban adalah takut untuk membangun relasi dengan laki-laki. Hal ini dikarenakan dirinya takut kejadian tersebut terulang kembali dan lebih baik menghindar daripada harus merasakan hal yang sama. Secara emosional, kondisi psikologis diri menjadi berubah-ubah di mana emosi sulit untuk dikendalikan dan bahkan tak jarang menjadi depresi, hingga menyalahkan dirinya sendiri atas peristiwa yang dialami karena malu dan merasa tidak cukup kuat untuk melawannya. Bahkan, akibat peristiwa tersebut korban perlu beberapa kali ke psikolog untuk dapat berdamai dengan dirinya sendiri

“(Untuk) nafas itu jadi sempit, tangan tremor gitu, dan kadang juga sakit kepala yang cukup sakit banget gitu. Ditambah keluarga juga banyak yang nolak terus tekanan depresi segala macem, ya almost 2 tahun lah aku struggle dan nenangin diri untuk berdamai gitu.”

Terlebih lagi apabila laki-laki mengalami kekerasan seksual dari laki-laki, stigma bahwa korban adalah homoseksual atau penyuka sesama jenis dapat menimbulkan dampak negatif tersendiri bagi korban.

Selain itu, dampak lainnya ialah mereka sebagai laki-laki yang dinilai merupakan seseorang yang dapat diandalkan dan digambarkan menjadi sosok kepala keluarga, ketika mereka mendapatkan kekerasan seksual dirinya dicap sebagai seorang yang tidak dapat diandalkan karena tidak bisa melawan peristiwa yang dialaminya. Kalimat seperti “halah, lu aja kemarin dilecehin ga bisa ngelawan, apalagi harus ngurus masalah ini, yang ada malah gabecus” juga beberapa kali terdengar oleh korban dari lingkungan sekitarnya, sehingga ia menjadi pribadi yang terus menerus menyalahkan dirinya sendiri.

Respon masyarakat dan keluarga atas kekerasan seksual terhadap laki-laki

Kekerasan seksual terhadap laki-laki masih dianggap hal yang belum awam terjadi sehingga tidak jarang, pengakuan para korban justru direspon oleh masyarakat sebagai bahan candaan, ditertawakan, disepelekan, tidak dianggap, bahkan sampai pada tahap mereka dinilai mengambil keuntungan dalam kesempitan. Fakta tersebut dapat terlihat dari komentar masyarakat di media sosial ketika ada peristiwa kekerasan seksual terhadap laki-laki.

Alih-alih mendapatkan dukungan dari masyarakat, korban malah mendapatkan respon sebaliknya yang membuat mereka takut untuk melaporkan kejadian tersebut. Padahal seharusnya secara bersama-sama kita dapat membantu mereka dalam mendapatkan keadilan dan mendukung korban agar bisa melewati masa traumanya. Tak jarang, dari pihak berwajib yang seharusnya membantu proses laporan tersebut malah kembali mempertanyakan maskulinitas korban.

Tidak jauh berbeda dari respon masyarakat, respon dari keluarga sebagai orang terdekat korban juga kerap negatif di mana mereka seringkali tidak mempercayai korban. Padahal ketika seseorang mendapatkan kejadian yang tidak diinginkan, keluarga menjadi salah satu support system yang seharusnya dapat diandalkan. Akan tetapi hal tersebut tidak dirasakan oleh kebanyakan korban laki-laki, dikarenakan keluarga mereka tidak mempercayainya bahwa kejadian kekerasan seksual dapat dialami oleh laki-laki.

Seperti yang dialami oleh Bayu yang ketika bercerita kepada anggota keluarganya, mereka menggap bahwa hal tersebut hanya omong kosong dan tidak mungkin terjadi. Hal tersebut berdampak kepada Bayu yang menjadi tidak berani untuk melaporkan peristiwa yang dialaminya sehingga ia masih sering mendapatkan kekerasan seksual. Selain itu, keluarga juga seringkali terlambat menyadari dan mengetahui bahwa anak laki-laki mereka menjadi korban dari adanya kekerasan seksual akibat kurang terbukanya komunikasi antar masing-masing anggota keluarga.

Kebutuhan perlindungan dan pemulihan kepada korban laki-laki

Sama halnya dengan perempuan, laki-laki korban kekerasan seksual juga memiliki kebutuhan terkait dengan perlindungan atau pemulihan. Dikarenakan kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki jarang terungkap, kebutuhan yang dirasa paling penting ialah dukungan kepercayaan dan empati dari lingkungan sekitar peristiwa yang dialami oleh korban.

“Pertama yang penting adalah empati, empati dan percaya dulu kepada korban gitu. Bahwa banyak orang yang bahkan orang yang terdekat sendiri mungkin enggak percaya dan juga enggak punya empati gitu. Jadi menurut saya penting kenapa kita untuk berempati terhadap apa yang korban katakan karena ketika korban menceritakan ke orang terdekat, ke teman atau orang tua, itu tandanya korban mempercayai kalau mereka itu adalah pihak-pihak yang aman untuk diberitahukan soal peristiwa itu.” (Anton, 20 Tahun)

Kebutuhan lainnya ialah pendampingan kepada korban agar peristiwa tersebut ketika dilaporkan kepada lembaga tertentu, korban tidak merasa dirugikan. Maksudnya ialah ketakutan-ketakutan yang dialami oleh korban ketika melapor adalah takut identitas mereka sebagai korban terungkap ke publik dan pihak yang dilaporkan tidak menindaklanjuti kasus yang dilaporkan. Maka dari itu diperlukan pendampingan untuk membantu dalam proses penanganan kasus tersebut. Terlebih ketika korban merupakan laki-laki, demi memperoleh perlindungan yang semestinya, juga diperlukan adanya upaya dan dukungan dari lingkungan sekitarnya karena masih kentalnya stereotip maskulinitas yang ada.

Implementasi UU TPKS perlu lebih sensitif terhadap korban laki-laki

Salah satu alasan mengapa laki-laki tidak melapor peristiwa yang dialaminya ialah karena adanya keraguan terkait dengan hukum yang berlaku. Kebingungan yang timbul terkait harus melaporkan kepada siapa, proses seperti apa yang dijalani, bentuk perlindungan seperti apa yang dapat dimintakan, dan sebagainya. Kabar baiknya, saat ini perlindungan hukum tersebut telah dibuat dan disahkan melalui UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 12 April 2022 lalu.

Sebelum adanya UU TPKS, pengaturan di Indonesia mengenai tindak pidana pemerkosaan telah tertera dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, di dalam pasal 285 KUHP hanya memberikan interpretasi yang sempit mengenai korban sebab hanya menyebutkan wanita sebagai objek dari hukum kasus pemerkosaan. Oleh sebab itu, perlindungan yang diberikan terhadap laki-laki sebagai korban pemerkosaan hanya ditegaskan dalam pasal 289 KUHP hingga Pasal 296 KUHP yang lebih menafsirkan korban secara umum tanpa membeda-bedakan gender mereka. Namun saat ini, kebingungan tersebut sudah terjawab dalam UU TPKS yang tidak membatasi korban dengan gender apa yang dapat diberi perlindungan dan jaminan penanganan yang berperspektif korban.

Meskipun, pada penerapannya saat ini prinsip no viral no justice masih kerap dijadikan prinsip penanganan kejahatan di Indonesia. Kondisi ini masih akan cukup menyulitkan bagi korban kekerasan seksual laki-laki yang dengan adanya stereotip maskulinitas seperti yang dijelaskan di atas, akan semakin enggan untuk melapor dan menyuarakan kejadian kekerasan seksual yang dialaminya ke publik–dalam hal ini media sosial. Oleh karenanya, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah sejauh mana jaminan perlindungan (dalam UU TPKS) terhadap korban laki-laki ini dapat diterapkan ketika mereka melapor? Sudahkan kapasitas aparat kita memadai untuk merespon kekerasan seksual terhadap laki-laki? Serta lembaga apa yang bertanggungjawab memastikan hal tersebut?

(2023)

Apabila Anda mengalami atau melihat terjadinya kekerasan seksual dapat melapor ke:

  • KemenPPA melalui Hotline SAPA 129 atau WhatsApp ke 08211-129-129
  • Komnas Perempuan melalui email dan media sosial @komnasperempuan atau melalui mitra penyedia layanan yang dapat dilihat dan dicatat kontaknya https://komnasperempuan.go.id/mitra-komnas-perempuan/pengada-layanan
  • Komnas HAM melalui WhatsApp ke 0811-1129-129
  • LPSK melalui call center di nomor 148 atau WhatsApp 0857-7001-0048
  • LBH APIK Jakarta melalui Hotline 0813-8882-2669

Share:

Other Opinion :

Narkotika
Revisiting Indonesia’s new Criminal Code: A missed opportunity to end legal uncertainty in drug policy
Korupsi
Modus ‘mark up’ laporan kegiatan mahasiswa: bibit dan peluang korupsi di lingkungan kampus
KBGO
Sextortion: A form of online sexual violence that has many victims, but weak legal protections
Pemaksaan Perkawinan
Marrying the victim to the perpetrator is not a solution: How restorative justice approaches hurt victims of sexual violence