Siaran Pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keterbukaan Pemerintah Indonesia

Pemerintah Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang signifikan pada aspek partisipasi dan keterbukaan pemerintah, seperti pelibatan masyarakat sipil dalam pengambilan kebijakan serta pengawasan penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini dilatarbelakangi oleh inisiatif global Open Government Partnership (OGP), dimana Indonesia merupakan 1 (satu) dari 8 (delapan) negara penggagasnya. Open government atau keterbukaan pemerintah merupakan upaya mendorong terwujudnya nilai-nilai keterbukaan pemerintah, yaitu pemerintah yang transparan, partisipatif, akuntabel, inklusif, dan inovatif, melalui semangat ko-kreasi (co-creation) antara pemerintah (government) dan masyarakat sipil (civil society).

Untuk mewujudkan komitmen tersebut, sejak 2011, Indonesia telah menyusun dan mengimplementasikan 7 (tujuh) Rencana Aksi Nasional (RAN) Keterbukaan Pemerintah Indonesia, yang antara lain mengangkat isu strategis anti-korupsi dan anggaran; ruang kewargaan dan demokrasi; pelayanan publik yang inklusif; akses terhadap keadilan; kesetaraan gender, disabilitas dan inklusi sosial; dan energi, lingkungan, dan sumber daya alam.

Hingga saat ini, sejumlah Organisasi Masyarakat Sipil telah menjalankan proses ko-kreasi dalam inisiatif keterbukaan pemerintah bersama Pemerintah Indonesia. Beberapa hasil dari proses ko-kreasi tersebut antara lain namun tidak terbatas pada; tersedianya layanan informasi bantuan hukum yang terbuka dan terintegrasi; tersedianya sistem informasi pengadaan barang dan jasa, termasuk dalam kondisi darurat; tersedianya keterbukaan data pada publikasi pengelolaan keuangan; terbukanya aduan masyarakat terkait pelanggaran dan disinformasi pemilu; terbukanya akses pelayanan publik bagi kelompok marginal; terbukanya akses partisipasi bagi perempuan, anak, kelompok disabilitas, kelompok rentan lain, serta warga pada umumnya dalam proses perencanaan pembangunan; dan sejumlah capaian lainnya.

Namun demikian, bukan berarti tidak ada kendala dalam pelaksanaan komitmen keterbukaan pemerintah Indonesia. Terhadap beberapa komitmen yang disepakati terkait keterbukaan informasi lingkungan dan sumber daya alam, masih stagnan dalam pelaksanaannya. Warga lokal dan masyarakat adat kerap tidak dilibatkan dalam dialog terkait pemanfaatan sumber daya alam di wilayah mereka. Demikian pula komitmen keterbukaan informasi belanja negara
belum dipenuhi, sehingga sulit mengukur belanja negara yang berkualitas.

Dalam bidang anti korupsi, keterbukaan dana kampanye belum menjadi isu prioritas. Sementara itu, partisipasi masyarakat sipil secara luas dan bermakna dalam kerangka akuntabilitas sosial kebijakan, masih menjadi tantangan dalam pelaksanaan ko-kreasi keterbukaan pemerintah Indonesia.

Pada 14 Februari 2024 yang akan datang, Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan umum, dimana salah satu agendanya adalah untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Namun demikian, selama masa kampanye, isu keterbukaan pemerintah Indonesia masih belum menjadi perhatian publik yang serius. Komitmen pelaksanaan keterbukaan pemerintah Indonesia seharusnya menjadi agenda penting untuk dilaksanakan pemerintahan pada masa sekarang dan ditindaklanjuti oleh pemerintahan pada masa yang akan datang. Terlebih lagi komitmen ini dibutuhkan dalam mengawal nilai-nilai keterbukaan pemerintah agar terus transparan, partisipatif, akuntabel, inklusif, dan inovatif.

Oleh karena itu, keterbukaan pemerintah harus menjadi perhatian serius pemerintah Indonesia, tidak hanya untuk kemanfaatan yang substansial bagi pemerintah, melainkan juga terhadap masyarakat luas.
Sehubungan dengan hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keterbukaan Pemerintah Indonesia yang terdiri dari 18 (delapan belas) Organisasi Masyarakat Sipil mendesak agar:

1. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Indonesia terpilih pada Pemilu 2024 memasukkan keterbukaan pemerintah Indonesia sebagai agenda prioritas dalam 100 hari kerja pertama, dan menjalankan pemerintahan dengan nilai-nilai keterbukaan pemerintah Indonesia (transparan, partisipatif, akuntabel, inklusif, dan inovatif).

2. Pemerintah Indonesia saat ini maupun yang akan datang, segera mengesahkan payung hukum keterbukaan pemerintah Indonesia yang menjamin keterlibatan masyarakat sipil dalam pengambilan kebijakan pemerintahan.

Daftar Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keterbukaan Pemerintah Indonesia:
1. Asosiasi LBH APIK Indonesia
2. Auriga Nusantara
3. Indonesia Budget Center (IBC)
4. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
5. Indonesia Corruption Watch (ICW)
6. Indonesia Judicial Research Society (IJRS)
7. Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif (KAPAL Perempuan)
8. International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)
9. Komite Pemantau Legislatif (KOPEL Indonesia)
10. Perkumpulan Media Lintas Komunitas (MediaLink)
11. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM)
12. Publish What You Pay (PWYP Indonesia)
13. Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA)
14. Suarise Indonesia
15. Transparency International Indonesia (TI-I)
16. Wahana Visi Indonesia (WVI)
17. Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia
(YAPPIKA)
18. Yayasan Tifa (Tifa Foundation)

Narahubung:
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Darwanto (darwanto@medialink.or.id ) atau
Gregorius (gregoriusyoseph@ijrs.or.id ).

52% Perempuan Masih Enggan Melaporkan Permasalahan Hukumnya, Pemberdayaan Hukum jadi Alternatif Solusi!

Indeks Akses terhadap Keadilan 2019 menemukan bahwa 46 persen masyarakat yang mengalami permasalahan diskriminasi dan kekerasan berbasis gender memutuskan untuk tidak melakukan apapun terhadap masalah yang dialaminya. Selain itu, dalam hal pilihan penyelesaian permasalahan, mayoritas perempuan atau sebanyak 52% responden cenderung enggan untuk melakukan tindakan apapun jika mengalami permasalahan hukum. Padahal, perempuan adalah pihak yang paling sering mengalami permasalahan yang berkaitan dengan keluarga dan anak (misalnya, perceraian), jaminan/bantuan sosial dan permasalahan administrasi/kependudukan.

Beberapa temuan permasalahan tersebut menjadi salah satu latar belakang pentingnya suatu pemberdayaan hukum (legal empowerment). Pemberdayaan Hukum adalah segala tindakan yang meningkatkan kapasitas individu maupun komunitas untuk mengetahui dan menggunakan hak-haknya, khususnya melalui pengetahuan akan hukum. Peran pemberdayaan hukum ini menjadi sentral bagi akses terhadap keadilan khususnya bagi kelompok rentan seperti perempuan. Perempuan diharapkan tidak hanya mampu untuk memahami layanan dan proses hukum yang tersedia, namun juga untuk mengidentifikasi dan mampu menyelesaikan permasalahan hukum yang mereka hadapi berdasarkan hukum yang berlaku.

Berdasarkan hal tersebut, Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dengan dukungan Alternative Law Groups (ALG), suatu lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Filipina, telah melakukan penelitian dan webinar penelitian terkait “Peran Pemberdayaan Hukum oleh Komunitas dalam Memperkuat Akses Keadilan untuk Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH) di Indonesia: Studi di Jakarta dan Yogyakarta”. Diseminasi hasil penelitian dilaksanakan pada Senin, 20 November 2023 pukul 13.00 – 16.30 WIB secara online melalui Zoom Webinar dan Siaran langsung via Youtube di bit.ly/LivestreamYoutube-WebinarPemberdayaanHukum.

Pada sesi talk show ini, berkaitan dengan upaya pemberdayaan hukum, Warida Syafie (Direktur Eksekutif ICJ Makassar) menyampaikan bahwa terdapat program yang cukup populer di ICJ Makassar, yaitu “Shelter Warga”, yang merupakan pemberdayaan atau organisasi di kelurahan yang berisi dari berbagai orang dari latar belakang berbeda yang mencoba untuk melakukan pemberdayaan hukum terhadap berbagai persoalan yang ada di masyarakat. Demikian pula Nur Aida (Direktur LBH APIK Jayapura) Nuwila juga menyampaikan bahwa LBH APIK Jayapura melakukan program pelibatan laki-laki dan anak laki-laki dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan, termasuk pelatihan terhadap guru sebagai pelopor anti kekerasan, sehingga harapannya anak korban kekerasan seksual juga bisa diterima kembali bersekolah.

Adapun dalam konteks reformasi kebijakan, Bernita Sinurat (Penyuluh Hukum Ahli Muda, BPHN Kemenkumham) menyampaikan bahwa BPHN tidak berfokus pada pemberdayaan dan bantuan hukum terhadap perempuan saja namun masyarakat secara umum, dan saat ini BPHN mengupayakan adanya revisi UU Bantuan Hukum. Demikian pula yang disampaikan Sriwija Yanti (Tokoh Perempuan Akar Rumput & Community Organizer Flower Aceh), bahwa rekan-rekan Flower Aceh juga tengah mengadvokasikan kebijakan pemerintah khususnya Qanun Jinayat yang kurang memberikan rasa keadilan terutama bagi korban kekerasan.

Berdasarkan hasil penelitian termasuk pelaksanaan webinar ini, dapat disimpulkan bahwa kegiatan pemberdayaan hukum berkontribusi dalam mendorong reformasi kebijakan salah satunya melalui penyusunan kebijakan berbasis bukti yang dilakukan organisasi masyarakat sipil melalui riset, pengolahan data, maupun pemantauan dan evaluasi atas kasus-kasus yang ditangani sehingga dapat mengidentifikasi celah hukum dan memberikan rekomendasi kebijakan. Dalam hal ini, OMS peran penting dalam menciptakan ekosistem yang inklusif dan suportif terhadap kebutuhan perempuan berhadapan dengan hukum dari mulai menyediakan informasi, layanan bantuan hukum dan non-hukum (penyediaan konseling, rumah aman, pemulihan, dan lain sebagainya).

Adapun dari hasil penelitian ini, IJRS memberikan poin rekomendasi yang ditujukan khususnya kepada BPHN, Komnas Perempuan, CSO, dan Pemerintah, yaitu sebagai berikut:

BPHN

  1. BPHN perlu melakukan revisi UU Bantuan Hukum untuk mengoptimalkan pemberian jaminan bantuan hukum bagi kelompok rentan serta mengoptimalkan alokasi anggaran bantuan hukum baik litigasi dan non-litigasi;
  2. BPHN perlu mengembangkan metode penentuan target dan materi pemberdayaan hukum melalui metode Legal Need Survey (LNS), sehingga pelaksanaan pemberdayaan hukum bisa lebih efektif, tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
  3. BPHN perlu memberikan tindakan afirmatif (affirmative action) kepada kelompok rentan dalam pemberian penyuluhan hukum karena kelompok rentan merupakan kelompok yang menghadapi hambatan, ketidaksetaraan dan keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak; dan
  4. BPHN perlu melakukan kolaborasi dengan berbagai aktor seperti organisasi bantuan hukum dan organisasi masyarakat sipil lainnya dalam menyelenggarakan pemberdayaan hukum.

Komnas Perempuan

  1. Komnas Perempuan terus konsisten dalam melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala (misalnya 3 tahun sekali) terhadap kebijakan yang terkait dengan isu perempuan dengan tetap melibatkan organisasi masyarakat sipil, universitas, akademisi dan/atau lembaga HAM lainnya; dan
  2. Komnas Perempuan terus konsisten dalam melakukan berbagai kolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil dan tetap membuka ruang advokasi bersama dalam advokasi kebijakan terkait isu-isu keadilan terhadap perempuan.

Pemerintah

  1. Pemerintah perlu melibatkan lebih melibatkan stakeholder terkait termasuk organisasi masyarakat sipil dalam melakukan pembentukan atau perubahan kebijakan agar kebijakan yang disusun tepat sasaran, sesuai tujuan dan sesuai kebutuhan masyarakat; dan
  2. Pemerintah perlu secara berkala melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap implementasi kebijakan yang sudah diterbitkan, sehingga pemerintah dapat mengetahui apakah suatu kebijakan sudah sesuai dengan tujuan dan kebutuhan serta dapat mengukur dampak dan pencapaian dari tujuan kebijakan.

CSO

  1. CSO dapat terus mendorong pemerintah dan institusi penegak hukum untuk terus melakukan peningkatan kapasitas terhadap aparat penegak hukum termasuk hakim, jaksa dan polisi khususnya terkait dengan isu-isu kelompok rentan. Karena kebijakan yang di advokasikan tidak akan berjalan jika tidak ada perubahan paradigma dan perspektif pada APH dan aparatur negara;
  2. CSO dapat terus melibatkan paralegal khususnya dari kelompok muda (misalnya kelompok disabilitas, pemuda adat, orang dengan HIV/AIDS), dalam rangka mendorong partisipasi kelompok muda yang bermakna misalnya dengan pemanfaatan teknologi dan digitalisasi dalam penyediaan informasi dan kegiatan pemberdayaan;
  3. CSO dapat secara konsisten dan kolaboratif dalam melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala (misalnya 3 tahun sekali) dengan melibatkan universitas, akademisi dan/atau lembaga HAM nasional; dan
  4. CSO dapat terus mendorong advokasi kebijakan berbasis bukti melalui peningkatan penelitian yang menerapkan kaidah-kaidah metodologi penelitian yang ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

Jakarta, 14 Desember 2023

Hormat kami,
Indonesia Judicial Research Society (IJRS)
office@ijrs.or.id

JKRN Menanggapi Ratas Presiden tentang Narkotika: Dengan Dekriminalisasi pada Revisi UU Narkotika Beban Lapas Akan Hilang 40%

Senin, 11 September 2023, Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas (ratas) terkait dengan pemberantasan dan penanganan kasus narkotika. Rapat ini membahas maraknya kasus narkotika di Indonesia, dimana berdasarkan laporan BNN mencatat jumlah penyalahgunaan narkotika sekitar 1,95 persen atau 3,6 juta jiwa. Sehingga Presiden juga menekankan kondisi overcrowding rutan dan lapas di Indonesia. Dalam ratas tersebut, Presiden Joko Widodo mengajak para jajarannya untuk mencari terobosan untuk menanggulangi hal tersebut.

Atas perhatian presiden mengenai jumlah penyalahguna narkotika di Indonesia, JRKN merespon hal-hal berikut:

Pertama, kita perlu hentikan narasi yang menakutkan tentang peningkatan jumlah pengguna narkotika yang mencapai 1,95% penduduk di Indonesia. Tren secala global juga menyatakan terdapat peningkatan jumlah pengguna narkotika. Dalam world drug report (WDR) UNODC 2023, dilaporkan per 2021 jumlah pengguna narkotika global mencapai 296 juta orang, meningkat 23% dalam kurun waktu 10 tahun, laporan ini menyebutkan bahwa peningkatan tersebut dikarenakan peningkatan jumlah penduduk. Dari jumlah tersebut, WDR 2023 juga melaporkan bahwa hanya 13% dari pengguna narkotika tersebut mengalami gangguan akibat penggunaan narkotikanya, sebelumnya dalam WDR 2019 dilaporkan hanya 1 dari 9 pengguna narkotika yang penggunaan narkotikanya berdampak pada masalah kesehatan dan sosialnya. Sehingga, kita perlu sama sama tekankan adalah jangan sampai peningkatan jumlah pengguna narkotika justru menjadi legitimasi untuk menghadirkan kebijakan yang salah, yang menghukum pengguna, malah meningkatkan resiko penggunaan narkotikanya menjadi berdampak pada kesehatan dan sosialnya. Dari data global tersebut kita bisa belajar, bahwa penggunaan narkotika bisa dilakukan secara aman, dan hal itu adalah terobosan yang harus dipikirkan oleh pemerintah.

Kedua, terobosan tersebut adalah dengan memperkenalkan dekriminalisasi (menghilangkan respon hukum pidana) terhadap pengguna narkotika. JIka presiden dan jajarannya masih menganggap solusi permasalahan ini dengan narasi penghukuman apalagi perang terhadap narkotika, maka sayang sekali itu berarti presiden dan pemerintah tidak belajar dari praktik baik negara-negara yang juga mengalami permasalahan penggunaan narkotika. Pada saat Portugal memperkenalkan dekriminalisasi pengguna narkotika, 0,7% populasi Portugal menggunakan heroin (kedua di Eropa), 60% infeksi HIV karena penggunaan Heroin, tingkat HIV Portugal di atas rata-rata Eropa. Portugal tidak mengambil langkah dengan perang terhadap narkotika, apalagi dengan menghadirkan penghukuman lebih besar. Pemerintahan Portugal pada 1998 justru menunjuk komite yang berisikan dokter, sosiologis, psikolog, pengacara dan aktivis sosial untuk menganalisis masalah kebijakan narkotika Portugal dan memberikan rekomendasi perbaikan, berupa dekriminalisasi penggunaan narkotika.

Perlu ditekankan bahwa dekriminalisasi bukan berarti sama sekali tidak ada respon bagi pengguna narkotika. Dekriminalisasi berarti menghilangkan respon yang berwatak menghukum dan memidana menjadi respon kesehatan. Menurut komite ahli di Portugal yang berisikan lintas disiplin, dekriminalisasi adalah jalan paling efektif untuk mengurangi konsumsi narkotika yang bermasalah dan mencegah orang menjadi ketergantungan. Dengan dekriminalisasi, pengguna narkotika tidak akan takut mengakses layanan kesehatan jika membutuhkan dan kita bisa memberikan pemahaman kepada publik bagaimana penggunaan narkotika yang aman dan mencegah dampak buruknya (harm reduction).

Sudahlah, kita harus mawas diri bahwa di Indonesia memang ada pengguna dan kebutuhan narkotika dan penghukuman tidak menurunkan angka pengguna, justru menjauhkan pengguna dari layanan kesehatan, yang membuatnya justru terus menerus “diporoti” pasar gelap, pun pasar gelapnya dikendalikan aparat korup, bahkan sekelas jenderal polisi. Kriminalisasi juga berdampak pada permasalahan beban sumber daya manusia untuk menangani pengguna narkotika, yang justru menjadikan aparat korup.

Apakah dekriminalisasi menjawab permasalahan overcrowding rutan lapas yang disebutkan Presiden? Jelas iya. Presiden menyebutkan terus menerus permasalahan overcrowding rutan dan lapas di Indonesia yang berisi 110 ribu pengguna narkotika, yang sedari awal tidak membutuhkan pemenjaraan. JRKN telah menyusun skema dekriminalisasi untuk revisi UU Narkotika, dengan proyeksi hasil akan ada paling tidak 66.420 orang pengguna narkotika (40%) yang bisa dikeluarkan dari sistem peradilan pidana. Negara akan menghemat paling sedikit Rp. 1.615.666.500 per hari atau sebayak Rp. 589.718.272.500 per tahun. Dalam jangka panjang, jika penghematan dilakukan setiap tahunnya, biaya yang bisa ditekan negara yang terseok-seok karena overcrowding tersebut dapat mencapai Rp 8 Triliun pada 2024, dan Rp 8,99 Triliun pada 2025. Skema dekriminalisasi yang diperkenalkan adalah dengan adanya skema rentang ambang batas penggunaan narkotika untuk kepentingan pribadi, dalam rentang gramasi tertentu respon yang diberikan bukan penyidikan dan peradilan pidana, namun dirujuk ke Panel Asesmen yang terdapat dalam layanan kesehatan, yang bisa ditempatkan di sistem kesehatan kita yang sudah cukup mumpuni sampai tingkat puskesmas di tingkat desa.

Rehabilitasi bukanlah satu-satunya alternatif solusi, apalagi rehabilitasi yang bersifat paksa. Dari jumlah 13% pengguna narkotika yang mengalami masalah dalam penggunaannya, tentunya membutuhkan pendekatan yang bervariasi dan tidak terbatas pada pendekatan rehabilitasi rawat inap/jalan. Upaya dekriminalisasi dengan pendekatan kesehatan, serta intervensi berbasis sosial bagi 87% pengguna narkotika tanpa gangguan, ketimbang mengirim mereka ke penjara dan/atau layanan rehabilitasi yang bersifat mandatory dimana justru peredaran narkotika bebas dilakukan serta membuka celah pemerasan bagi pengguna narkotika yang dilakukan oknum rehabilitasi.

Dekriminalisasi juga berdampak positif terhadap pendidikan tentang pencegahan penggunaan narkotika. Pelaksanaan dekriminalisasi narkotika di Portugal juga harus dibarengi dengan perubahan pendidikan tentang narkotika, yang sebelumnya dengan pendekatan abstinent atau memaksakan orang tidak lagi menggunakan narkotika menjadi pendidikan jujur tentang narkotika kepada generasi muda. Dengan upaya ini, pasca dekriminalisasi angka penggunaan narkotika usia sekolah di Portugal secara konsisten di bawah rata-rata Eropa. EMCDDA juga trend penggunaan narkotika terbilang rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di Eropa (peringkat 4 terbawah dari 29 negara).

Terobosan tersebut adalah dekriminalisasi penggunaan narkotika, mengatasi overcrowding, merangkul pengguna narkotika, jangka panjang, menghadirkan pendidikan jujur tentang narkotika dan mencegah penggunaan narkotika secara berbahaya.

Jakarta,12 September 2023

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN)

[Rilis Media] Pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil atas Penyelenggaraan OGP Summit 2023 di Talinn, Estonia

Tallin, Estonia (8/9/2023) – Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Open Government Partnership (OGP)  telah hadir dan berpartisipasi pada OGP Summit kedelapan pada 6-7 September 2023 di Talinn, Estonia. Perwakilan Koalisi yang hadir yaitu Medialink, Internasional NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Suarise, Publish What You Pay Indonesia, Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Wahana Visi Indonesia, dan Transparency International Indonesia (TI Indonesia). Indonesia sendiri merupakan salah satu dari delapan negara deklarator OGP pada tahun 2011.

Koalisi Masyarakat Sipil mengapresiasi bahwa Indonesia telah berhasil melewati pandemi, meskipun masih terdapat kekurangan dan penutupan informasi terkait pengadaan barang dan jasa dalam penanganan pandemi. Banyak negara mengalami kesulitan dalam penanganan pandemi, dan pemerintah Indonesia telah berhasil melakukan adaptasi, namun tidak dengan informasi publiknya. Pun demikian kejadian seperti kebocoran data warga pada penanganan pandemi, dan pelepasan tanggung jawab perlindungan data dari pemerintah masih terus terjadi. Minim transparansi melahirkan nir-akuntabilitas.

OGP diharapkan dapat menjadi jawaban atas permasalahan keterbukaan pemerintah dan penguatan layanan publik di Indonesia. Namun agenda ini tidak menjadi prioritas pemerintah dalam dua periode pemerintahan terakhir. Prioritas pemerintah terfokus penuh pada pembangunan ratusan Proyek Strategis Nasional (PSN) di seluruh Indonesia, termasuk pembangunan ibukota baru, bandara, dan sebagainya. Implementasi PSN didorong dengan pembentukan dan revisi regulasi yang terburu-buru serta memprioritaskan investasi dan bisnis ketimbang akuntabilitas dan ruang sipil, termasuk UU Cipta Kerja, UU Kesehatan, UU KPK, UU KUHP dan UU Minerba, yang tidak mengindahkan partisipasi publik dalam perumusannya.

Akibatnya, menurut data Economist Intelligence Unit, sejak 2017 hingga 2022, Index Demokrasi Indonesia terus merosot atau stagnan. Bahkan dalam indikator kebebasan sipil, Filipina (7.35) lebih demokratis ketimbang Indonesia (6.14). Berbagai serangan terhadap kebebasan sipil dan keterbukaan ruang publik terus terjadi baik secara digital (hacking, doxing, hoax, penyadapan), serangan fisik (penyerangan, pembubaran diskusi, gas air mata), maupun serangan hukum berupa kriminalisasi terhadap aktivis.

Meskipun Indonesia mendapatkan penghargaan OGP Award melalui kokreasi program Dana Bantuan Hukum yang didorong oleh Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari IJRS, PBHI, dan Asosiasi LBH APIK Indonesia, namun pembahasan kebijakan publik yang partisipatif masih menjadi tantangan. Dari 15 komitmen Rencana Aksi Nasional, masih banyak proses implementasi yang tidak dapat dijalankan atau diimplementasikan sepihak tanpa proses kokreasi yang menjadi nafas OGP. Dalam periode RAN VII 2023-2024, masyarakat sipil terus mendorong sejumlah isu sentral untuk mendukung keterbukaan pemerintah, termasuk dalam hal ekstraksi sumber daya alam sektor tambang mineral, keterbukaan pemilik manfaat (beneficial ownership), pengadaan barang dan jasa berkelanjutan, serta keterbukaan manajemen transisi energi berkelanjutan.

Untuk menjaga nilai-nilai utama OGP dalam mengimplementasikan agenda-agenda bersama yang dirumuskan dalam Rencana Aksi Nasional, beberapa langkah-langkah strategis yang dicatat oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keterbukaan Pemerintah, untuk ditindaklanjuti bersama yaitu sebagai berikut:

  1. Implementasi OGP perlu untuk dilanjutkan oleh kepemimpinan pemerintah selanjutnya tanpa kecuali. Seluruh calon kandidat presiden wajib untuk berkomitmen dan memasukkan keterbukaan pemerintah dalam visi misi pembangunan kedepan
  2. Pelibatan aktor non pemerintah perlu segera dilembagakan secara formal dengan kerangka regulasi yang jelas, dengan disertai akses sumber daya dan peran pemantauan evaluasi yang setara.
  3. Keterbukaan pembahasan kebijakan publik yang perlu menjadi prioritas segera yaitu proyek strategis nasional, proyek infrastruktur termasuk ibukota baru, program ekstraksi sumber daya alam dan mineral, transisi energi serta belanja sosial pemerintah
  4. Negara perlu mendorong ruang aman bagi aktivis HAM dan lingkungan serta jurnalis dalam hal merosotnya keterbukaan ruang publik dan berpendapat di Indonesia

Narahubung:

[Rilis Media] Pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil atas Penghargaan OGP Awards 2023 untuk Indonesia

Tallinn, Estonia (6/9/2023) – Indonesia sebagai salah satu penggagas Open Government Partnership (OGP) diundang ke dalam OGP Global Summit 2023 di Tallinn, Estonia untuk menerima penghargaan internasional pada isu Perluasan Bantuan Hukum untuk Kelompok Rentan. Inisiatif yang diusulkan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keterbukaan Pemerintah di Sektor Akses Keadilan (Indonesia Judicial Research Society (IJRS); Asosiasi LBH APIK Indonesia; Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)) dengan Kementerian Hukum dan HAM melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) ini memenangkan penghargaan nomor 1 dari hasil seleksi terhadap 47 negara anggota OGP se-Asia Pasifik. Penghargaan ini diterima langsung oleh Deputi bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bapak Bogat Widyatmoko; Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Kementerian Hukum dan HAM, Bapak Widodo Ekatjahjana; dan Perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil yaitu Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Bapak Dio Ashar Wicaksana.

Perluasan Bantuan Hukum Kelompok Rentan merupakan salah satu komitmen yang digagas Pemerintah dan Koalisi Masyarakat Sipil dalam Rencana Aksi Nasional Open Government Indonesia (RAN OGI) 2023-2024. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM, melalui UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dimandatkan untuk menyediakan bantuan hukum gratis bagi kelompok masyarakat miskin. Untuk memastikan hal ini, Pemerintah memiliki mekanisme anggaran bantuan hukum yang dapat digunakan oleh Organisasi Bantuan Hukum (OBH) untuk pelaksanaan dan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat yang membutuhkan keadilan, dalam hal ini kelompok masyarakat miskin. Mekanisme anggaran bantuan hukum ini juga direplikasi oleh beberapa pemerintah daerah kabupaten kota dengan memberikan anggaran bagi pemberian bantuan hukum gratis bagi kelompok masyarakat miskin melalui APBD dengan peraturan daerah.

Sebelumnya pada tahun 2021, diterbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) No. 4 Tahun 2021 mengenai Standar Layanan Bantuan Hukum. Dalam kebijakan ini, OBH perlu melakukan asesmen kebutuhan sebelum mendampingi kelompok rentan. Tidak hanya itu, Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari IJRS, PBHI, dan Asosiasi LBH APIK Indonesia juga telah menghasilkan berbagai riset terkait yaitu Survei Kebutuhan Hukum bagi Kelompok Rentan dan Kajian Anggaran Bantuan Hukum yang Berperspektif Kelompok Rentan yang menjadi acuan untuk perbaikan kebijakan bantuan hukum di Indonesia. Pemberian bantuan hukum, pendampingan kepada kelompok rentan, dan penguatan kapasitas pemberi bantuan hukum agar sensitif terhadap kebutuhan kelompok rentan, juga tanpa lelah terus dilaksanakan oleh PBHI serta Asosiasi LBH APIK Indonesia di berbagai wilayah di Indonesia.

Pemberian penghargaan ini diharapkan dapat  menjadi pengingat bagi Pemerintah Indonesia serta kelompok masyarakat sipil untuk menghadapi berbagai tantangan selanjutnya dalam memastikan pemenuhan akses keadilan tidak berhenti pada tahap seperti sekarang ini saja. Berdasarkan hasil Survei Kebutuhan Hukum Kelompok Rentan di tahun 2022 menemukan adanya 47.7% kelompok rentan masih enggan untuk menggunakan bantuan hukum dengan alasan khawatir prosesnya akan sulit dan proses dianggap lama atau bertele-tele. Selain itu, 50% kelompok rentan cenderung membutuhkan konsultasi ketika bermasalah hukum, namun anggaran konsultasi dalam pos non-litigasi bantuan hukum dari negara masih sangatlah minim yaitu hanya Rp 200.000,- per perkara, serta timpang dibandingkan anggaran litigasi di peradilan. Belum lagi, masih ditemukan adanya kemampuan hukum yang cenderung rendah di mana 42.8% kelompok rentan tidak mengetahui kemana harus mencari bantuan hukum gratis, dan 58.7% masih menganggap permasalahan hukum hanya dapat diselesaikan jika memiliki uang lebih.

Kondisi-kondisi ini menggambarkan bahwa masih diperlukannya upaya perbaikan secara menyeluruh agar bantuan hukum bagi kelompok rentan yang aksesibel perlu ada upaya-upaya strategis berbagai langkah-langkah strategis dan inovatif pada level kebijakan kedepannya. Seperti contohnya, perlu adanya perluasan target penerima bantuan hukum agar juga dapat benar-benar diakses serta membantu kelompok rentan baik itu perempuan, masyarakat adat, kelompok disabilitas, minoritas gender, dan sebagainya dalam memperoleh keadilan yang dibutuhkan. Hal ini juga menjadi salah satu rekomendasi dari Konferensi Nasional Bantuan Hukum yang diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia dan Kelompok Masyarakat Sipil pada tahun 2019 lalu.

Penghargaan yang diperoleh ini patut diapresiasi sebagai buah dari upaya-upaya yang selama ini telah dikolaborasikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil dan Pemerintah untuk memastikan bantuan hukum kelompok rentan yang aksesibel. Namun, hal ini tidak akan menjadi titik akhir dari langkah penguatan bantuan hukum secara umum di Indonesia. Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu untuk diselesaikan agar bantuan hukum dapat secara riil membantu masyarakat yang membutuhkan keadilan. Beberapa hal yang dicatat oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keterbukaan Pemerintah, untuk menjadi langkah-langkah strategis yang ditindaklanjuti bersama yaitu sebagai berikut:

  1. Pemerintah Indonesia perlu tetap melibatkan masyarakat sipil dalam setiap pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan Bantuan Hukum dengan memberikan ruang seluas-luasnya dalam setiap tahapan, untuk memastikan akuntabilitas dan pembuktian komitmen Pemerintah setelah mendapatkan OGP Award;
  2. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan HAM bersama Dewan Perwakilan Rakyat perlu memastikan kelompok rentan lainnya (selain masyarakat miskin) menjadi penerima bantuan hukum melalui revisi pada UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum;
  3. Kementerian Hukum dan HAM melalui BPHN dan Bappenas perlu untuk melakukan asesmen kebutuhan secara berkala kepada penerima manfaat dari layanan bantuan hukum khususnya kepada kelompok rentan–termasuk memastikan akomodasi yang layak dan pemenuhan berbagai kebutuhan berbagai kelompok rentan ketika berurusan dengan hukum. Hal ini sesuai dengan mandat dalam Permenkumham No. 4 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Bantuan Hukum. Sehingga, perencanaan, penganggaran dan pemberian bantuan hukum lebih akuntabel dan tepat sasaran;
  4. Kementerian Hukum dan HAM bersama Bappenas dan Kementerian Keuangan perlu memastikan anggaran bantuan hukum disusun dan diberikan sesuai kebutuhan yang ada di lapangan. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa layanan non-litigasi merupakan layanan yang paling banyak diakses dan dibutuhkan oleh masyarakat, terkhusus kelompok rentan. Oleh karenanya, anggaran non-litigasi perlu untuk ditingkatkan secara signifikan untuk dapat memenuhi kebutuhan yang muncul;
  5. Kementerian Hukum dan HAM bersama pemangku kepentingan lainnya yang relevan, perlu terus memastikan kesadaran dan kemampuan hukum masyarakat dengan melakukan berbagai sosialisasi yang disesuaikan dengan karakteristik kelompok rentan yang ada, pendalaman di level pendidikan dasar, pemberdayaan dan penyuluhan hukum melalui skema non-litigasi, hingga kolaborasi dengan, aparat penegak hukum, penyedia layanan serta OBH dan masyarakat sipil lainnya untuk mempromosikan dan mengupayakan bantuan hukum yang inklusif.

Narahubung:

arsa@ijrs.or.id / Arsa, IJRS

kanjeng.darwanto@gmail.com / Darwanto, Sekretariat CSO-OGP Indonesia

bona@infid.org / Bona, INFID

[RILIS Koalisi Anti Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Anak Perempuan (Koalisi AG-AP)] Koalisi Masyarakat Sipil Adukan Hakim PN dan PT dalam kasus AGH ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawas MA

Pada Kamis, 25 Mei 2023, Kami Koalisi Anti Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Anak Perempuan (Koalisi AG-AP), yang merupakan gabungan dari Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (Aliansi PKTA) dan Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS) menyampaikan pengaduan ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) terkait pelanggaran kode etik dan perilaku hakim yang dilakukan oleh Yang Mulia Hakim Tunggal pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Yang Mulia Hakim Tunggal pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dalam memeriksa dan mengadili perkara dengan putusan tingkat pertama No. 4/Pid.Sus-Anak/2023/PN.JKT.SEL dan putusan tingkat banding No. 2/Pid.Sus.Anak/2023/PT.DKI.

Laporan pengaduan ini kami maksudkan untuk menjaga visi Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga pengadilan kita. Menjaga marwah dan integritas hakim tentu harus didasari atas etik dan perilaku yang tinggi. Kami juga berharap aduan ini jadi bagian koreksi dan tidak untuk menghakimi hakim. Harapan kami terpenting agar aduan ini bisa menjadi titik penting perhatian hakim dalam memeriksa kasus-kasus yang melibatkan kelompok rentan seperti anak dan perempuan.

Adaupun catatan kami terkait pengaduan ini adalah sebagai berikut

1.Terhadap Hakim Tunggal PN Jakarta Selatan

Pertama, Hakim Tunggal tidak melakukan pemeriksaan secara berimbang, dimana hakim menolak untuk memutarkan video CCTV di ruang sidang, Video CCTV tersebut memuat bukti yang berlainan dengan klaim terkait fakta oleh Hakim dalam putusan.

Hakim Tunggal juga tidak memutus berdasarkan fakta di persidangan, hakim memilih dan berperilaku sudah berposisi melihat terdakwa bersalah dengan “pemilihan” fakta oleh hakim tanpa melihat fakta di persidangan.

Kedua, Hakim Tunggal Tidak melakukan pemeriksaan sesuai Perma 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum terkait latar belakang seksual Anak. Hakim Tunggal tidak mempertimbangkan fakta yang menunjukkan bahwa anak berhubungan seksual dengan orang dewasa sebanyak 5 (lima) kali, hal yang merupakan perbuatan pidana berdasarkan UU Perlindungan Anak dan UU TPKS. Bahwa Riwayat hubungan seksual yang harusnya merupakan perbuatan pidana malah digunakan hakim untuk menyatakan Anak tidak memiliki trauma tanpa melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Kami menilai Hakim Tunggal tidak mempertimbangkan kerentanan posisi Anak Pelaku AG, dimana hubungan seksual AG dengan orang Dewasa MDS (Pelaku Dewasa pada persidangan terpisah) harusnya menjadi bagian yang diperhatikan oleh Hakim untuk melihat kerentanan Anak dan melakukan pemeriksaan yang adil.

Ketiga, Hakim Tunggal tidak memperhatikan laporan penelitian kemasyarakatan (Litmas) yang merupakan hal wajib dalam UU SPPA. Bahwa putusan hakim kami duga berdasarkan pada keinginan untuk menghukum Anak, tidak untuk kepentingan terbaik Anak sebagaimana diatur dalam UU SPPA.

Dan Keempat yang merupakan salah satu pelanggaran paling berat, Hakim Tunggal tidak memberikan waktu yang cukup untuk pembelaan Anak sebagaimana merupakan prinsip dasar dalam KUHAP dan UU SPPA. Hakim tidak proporsional dan memberikan kesempatan pembuktian yang sama antara Anak dengan Jaksa. Berdasarkan data dari Kuasa Hukum AGH, Hakim hanya memberikan waktu kepada PH untuk menghadirkan saksi dan ahli selama 2 jam 30 menit (18:30 WIB s.d. 21:00 WIB), tetapi memberikan PU waktu selama hampir 2 (dua) hari kerja untuk menghadirkan saksi dan ahli.

2.Terhadap Hakim Tunggal PT DKI Jakarta

Pertama, Hakim Tunggal tidak melakukan pemeriksaan yang cermat dan adil terhadap perkara Anak, bahwa seluruh berkas persidangan Anak dari PN Jakarta Selatan dalam kasus aquo baru dikirimkan ke PT DKI Jakarta pada 26 April 2023, pada hari yang sama, Hakim Tunggal PT DKI Jakarta baru ditunjuk oleh PT DKI Jakarta. Kurang dari 24 jam yaitu pada 27 April 2023, Hakim Tunggal PT DKI Jakarta mengeluarkan putusan yang isinya memperkuat putusan tingkat pertama yang menghukum penjara Anak.

Kedua, Bahwa waktu putus yang kurang dari 24 jam tersebut terlah mengakibatkan putusan terburu-buru dan mengakibatkan putusan banding Anak tidak memeriksa seluruh bukti, termasuk CCTV yang menunjukkan fakta berbeda antara putusan dengan alat bukti CCTV.

Ketiga, Hakim Tunggal PT juga tidak melakukan koreksi terhadap beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh Hakim Tunggal PN Jakarta Selatan. Beberpa hal tersebut terkait pelanggaran Perma 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, pembuktian dan pemeriksaan alat bukti yang tidak berimbang, sampai dengan perbuatan pidana berhubungan seksual dengan Anak oleh orang dewasa yang seharusnya menjadi dasar kerentanan Anak.

Keempat, bahwa Hakim Tunggal PT juga tidak memeriksa perkara berdasarkan kepentingan terbaik untuk anak sebagaimana menjadi dasar dalam UU SPPA. Hakim Tunggal PT DKI Jakarta juga tidak mempertimbangkan secara cerma rekomendasi dari Litmas dalam kasus Anak.

Bahwa berdasarkan fakta di atas, kami menduga bahwa Yang Mulia Hakim Tunggal pada PN Jakarta Selatan dan PT DKI Jakarta dalam perkara aquo tidak mematuhi angka 1.1. ayat (1), angka 1.1. ayat (7), angka 1.1. ayat (8), angka 1.2. ayat (1), Angka 5.2.4, Angka 10.4 Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim, tertanggal 8 April 2009.

Kami meminta Komisi Yudisial (KY) dan Bawas MA untuk segera memeriksa kedua Hakim tersebut, kami berharap KY dan Bawas MA memberikan perhatian pada kasus ini untuk memastikan terciptanya peradilan pidana yang agung. Bahwa perbuatan kedua Hakim yang kami duga melanggar kode etik dan perilaku hakim ini dapat menjadi contoh buruk terhadap proses mengadili kasus-kasus yang melibatkan kelompok rentan seperti anak perempuan AGH dalam kasus ini.

Hormat kami,

Koalisi Anti Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Anak Perempuan (Koalisi AG-AP)

CP:

Erasmus A.T. Napitupulu (Koordinator Aliansi PKTA/Direktur Eksekutif ICJR)

Aisyah Assyifa (Peneliti IJRS)

Nur Ansar (Peneliti ICJR)

Feri Saputra (Peneliti PUSKAPA)

[Rilis Pers] Mengurai Benang Kusut Restorative Justice dalam Kasus Kekerasan Seksual

Pada 12 Desember 2022, sebagai bagian dari kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), didukung oleh Pemerintah Australia melalui Australia Indonesia Partnership for Justice 2,  menggelar talkshow bertajuk “Mengurai Benang Kusut Restorative Justice dalam Kasus Kekerasan Seksual.” Talkshow yang digelar secara daring ini dilaksanakan sebagai wadah sosialisasi dan edukasi bagi masyarakat dalam rangka meluruskan miskonsepsi yang tengah beredar mengenai Restorative Justice (keadilan restoratif) dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual.

Berbagai fenomena yang terjadi di lapangan membuktikan bahwa pemulihan korban tindak pidana, selaku tujuan dari Restorative Justice (RJ) dalam praktiknya kerap terabaikan. Padahal, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh IJRS terhadap 735 putusan pengadilan, menemukan bahwa korban sangat rentan mengalami berbagai dampak psikis, mulai dari trauma mendalam, rasa takut, rasa malu hingga perubahan perilaku akibat kekerasan seksual yang dialaminya. Sedangkan, dampak fisik yang dialami berkisar dari lebam, luka parah seperti patah tulang hingga kerusakan organ reproduksi. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual juga mengalami dampak finansial.

Kendati demikian, melalui penelitian yang sama, hanya ditemukan 0.1 persen perempuan korban yang dikabulkan untuk memperoleh restitusi dan 19.2 persen lainnya tidak mengajukan permohonan, terlepas dari berbagai dampak yang dialami korban. Sedangkan, mayoritas dari putusan tidak diperoleh informasi mengenai pemulihan yang diajukan dan dikabulkan. Hal ini sangat disayangkan, mengingat ketentuan mengenai pemulihan korban sebenarnya sudah banyak dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, di antaranya melalui Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.

Upaya pemulihan merupakan langkah krusial dalam mendukung korban untuk menghadapi proses hukum dan/atau mengupayakan kesejahteraan dan kehidupan yang bermartabat yang berlandaskan prinsip pemenuhan hak korban yang dapat mencakup pemulihan fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya serta ganti kerugian. Pada prinsipnya, pemulihan korban dapat diakses sedari awal proses penanganan kasus, dan telah diafirmasi oleh Pasal 66 UU 12/2022 (Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual), di mana korban berhak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan sejak terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Ratna Batara Munti, selaku Direktur LBH APIK Jawa Barat, juga mengafirmasi hal tersebut ketika dirinya harus mendampingi korban kasus perkosaan di Kementerian Koperasi dan UKM yang tengah menjadi sorotan publik. Menurutnya, sangat memprihatinkan ketika kasus tersebut dinilai sebagai delik aduan di mana ini bukanlah hal yang baru dan sering terjadi di kasus-kasus kekerasan seksual yang lalu diarahkan untuk perdamaian yang tidak sesuai dengan prinsip Restorative Justice. Seringkali pula, korban kekerasan seksual dipaksakan untuk dihadapkan dengan pelaku tanpa adanya standar atau aturan yang berprinsip kepada kepentingan terbaik bagi korban.

Hal ini turut ditanggapi oleh Dr. dr. Natalia Widiasih Raharjanti, Sp.KJ.(K)., M.Pd.Ked. yang memberikan gambaran bahwa secara psikologis perlu diperhatikan kondisi-kondisi yang kerap dialami korban kekerasan seksual seperti adanya tekanan dan manipulasi dari pelaku terhadap korban, adanya konflik loyalitas, hingga ketimpangan relasi kuasa antara korban dan pelaku. Maka, dibutuhkan jaminan dan mekanisme pemulihan yang benar-benar tujuannya adalah memulihkan kondisi korban dari dampak-dampak tersebut. Namun faktanya, kebanyakan pelaku justru lebih mementingkan pemulihan nama baik dirinya sendiri dibanding memperbaiki kerugian yang dialami korban.

Lebih lanjut ia menambahkan, “salah satu cara RJ misalnya dengan conferencing (mempertemukan korban dengan pelaku) yang diterapkan pada perkara kekerasan seksual dapat menimbulkan berbagai dampak seperti memicu trauma korban terlebih apabila belum ada asesmen kondisi psikologis korban dan sebagainya. Sehingga cara RJ ini perlu dipertimbangkan penerapannya di perkara kekerasan seksual terutama pada kasus yang melibatkan anak”.

Menanggapi hal tersebut, Dr. Sugeng Purnomo, S.H., M.H. selaku Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI menyampaikan, “saat ini dalam UU TPKS juga sudah secara jelas menyebutkan bahwa penyelesaian perkara kekerasan seksual yang melibatkan anak tidak dapat dilakukan di luar persidangan, termasuk memaksakan perkawinan dengan adat istiadat apapun bagi korban kekerasan seksual. Maka, penyeragaman pengetahuan tentang RJ di di APH perlu didorong melalui bimtek, penguatan anggaran, hingga memastikan turunan peraturan yang baik.”

Andreas Marbun, S.H., LL.M., dalam diskusi ini tidak henti-hentinya menekankan bahwa, “RJ itu prinsipnya bukan penghentian perkara tapi bertujuan untuk memulihkan korban. Caranya juga tidak hanya diversi, (caranya) bisa bermacam-macam yaitu bisa restitusi, victim trust fund, penggabungan perkara atau diversi, dll. Jadi, jangan mengkerdilkan RJ hanya sebagai mekanisme penghentian perkara saja.” Oleh karenanya, dalam perkara kekerasan seksual, penerapan RJ tetap harus dipastikan bahwa sifatnya bukan merupakan paksaan terhadap korban namun lebih kepada melihat kembali kebutuhan pemulihan seperti apa yang perlu diberikan kepada korban.

Dr. dr. Natalia Widiasih Raharjanti, Sp.KJ.(K)., M.Pd.Ked. menambahkan bahwa, “segala sesuatu yang dipaksakan di mana korban diminta bertemu dengan pelaku itu dapat menimbulkan luka kembali. Perlu dilihat sejauh mana kondisi emosional korban ketika meminta bertemu dengan korban tersebut, karena bisa jadi ketika bertemu malah pelaku dapat guilt-tripping korban atas kekerasan seksual yang dialami”. Dengan demikian, mempertemukan korban dengan pelaku merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan dalam menghadapi perkara kekerasan seksual namun perlu tetap memperhatikan kebutuhan dan kondisi korban yaitu jangan sampai keinginan mempertemukan korban bertujuan di luar dari pemulihan korban itu sendiri.

 

Narahubung:

  1. Andreas Marbun (andreas@ijrs.or.id)
  2. Naomi Rehulina (naomi@ijrs.or.id)

Laporan Penelitian IJRS tentang Keadilan Restoratif:

Peluang Penerapan RJ dalam SPP di Indonesia

RILIS MEDIA: Konferensi Nasional Keadilan Restoratif “Perlu ada Sinergi Kebijakan Keadilan Restoratif di Indonesia”

Jakarta, 01 November 2022—Saat ini, perdamaian antara pelaku dan korban tindak pidana adalah kabar dominan dari pelaksanaan keadilan restoratif oleh penegak hukum. Tidak salah, tetapi keadilan restoratif bukan hanya tentang perdamaian. Soal lainnya adalah, di konteks Indonesia saat ini, terdapat perbedaan pengaturan dari lembaga penegak hukum tentang keadilan restoratif, sehingga dalam penerapannya terdapat perbedaan standar maupun kasus-kasus yang dapat dilakukan pendekatan penanganan perkara dengan keadilan restoratif.

Keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan dalam penyelesaian perkara pidana yang bentuknya bisa bermacam-macam, baik upaya perdamaian sampai pada pemenuhan kerugian korban, yang titik tekannya adalah pada kepentingan pemulihan korban. Melalui konferensi ini, diharapkan penegak hukum tidak lagi terjebak dalam satu persepsi bahwa keadilan restoratif hanya terbatas pada perdamaian pelaku dan korban serta penghentian perkara, bahkan apalagi perdamaian yang dipaksakan. Ke depan, penegak hukum sudah seharusnya mulai meninggalkan kesalahpahaman dan perbedaan persepsi terkait keadilan restoratif ini.

Berdasarkan hal tersebut, Konsorsium Masyarakat Sipil untuk Keadilan Restoratif (ICJR, IJRS, LeIP) bersama Kemenko Polhukam, Kementerian Hukum dan HAM dan BAPPENAS dengan dukungan Pemerintah Australia melalui Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2) dan The Asia Foundation (TAF) menyelenggarakan Konferensi Nasional Keadilan Restoratif “Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia dengan Keadilan Restoratif” pada Selasa dan Rabu tanggal 1-2 November 2022 secara luring di Hotel Aryaduta Jakarta. Acara tersebut juga ditayangkan daring melalui Zoom Webinar dan Siaran Langsung via Youtube.

Konferensi ini bertujuan menjadi ruang bersama antarkementerian dan lembaga serta organisasi masyarakat sipil dalam membangun komitmen untuk menyepakati persepsi tentang keadilan restoratif. Dalam konferensi ini, paparan dan diskusi dari semua pihak juga mengangkat ide-ide progresif dalam penyelenggaraan keadilan restoratif serta memberi gambaran untuk tindak lanjut dan koordinasi dalam mengarusutamakan pendekatan tersebut dalam sistem peradilan pidana dengan tepat, yang tidak hanya mengenai perdamaian dan penghentian perkara.

Kegiatan konferensi ini dibuka oleh Keynote Speech dari Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Republik Indonesia. Dalam keynote speech tersebut disampaikan bahwa dalam konteks di Indonesia saat ini, kebijakan keadilan restoratif telah dimiliki oleh masing-masing institusi penegak hukum, yaitu Polri telah memiliki Perpol No. 8/2021, Kejaksaan Agung telah memiliki Perja No. 15/2020 dan Mahkamah Agung pernah memiliki SK Dirjen Badilum tahun 2020. Maka menjadi penting untuk mensinergikan kebijakan-kebijakan tersebut. Aturan tentang keadilan restoratif menurut Menkopolhukam harus dikompilasikan untuk tidak menimbulkan ekses terkait dengan perbedaan penerapan keadilan restoratif, agar akuntabilitas penerapan keadilan restoratif dapat dipertanggungjawabkan sehingga tidak membuka ruang “negosiasi” yang melanggar hukum. Menkopolhukam juga menekankan dalam rangka memperkuat arah kebijakan dan strategi penegakan hukum yang berbasis pada keadilan restoratif, perlu ada upaya koordinasi dan sinkronisasi di antara kementerian dan lembaga terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya, agar kebijakan keadilan restoratif dapat diimplementasikan secara optimal.

Konferensi ini juga diselenggarakan untuk meluncurkan penelitian “Peluang dan Tantangan Penerapan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia” yang dapat dibaca melalui https://icjr.or.id/penerapanRJ dan hasil studi berjudul “Sikap Publik terhadap Penerapan Keadilan Restoratif di Indonesia”. Dalam studi “Sikap Publik terhadap Penerapan Keadilan Restoratif di Indonesia” ditemukan bahwa masyarakat ternyata dapat menerima penerapan keadilan restoratif dengan kondisi yang mendorong pemulihan korban dan penyesalan pelaku sehingga pelaku mau memperbaiki diri. Sedangkan, penelitian Peluang dan Tantangan Penerapan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia” merekomendasikan definisi dan prinsip keadilan restoratif yang dapat menjadi acuan untuk pembentukan aturan bersama yang terkonsolidasi mengenai keadilan restoratif di Indonesia.

Rekomendasi definisi dan prinsip keadilan restoratif tersebut, sebagai berikut:
Definisi
Restorative Justice adalah pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, pelaku, atau pihak yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan.
Prinsip Dasar
1. Penerapan Restorative Justice dalam sistem peradilan pidana tidak semata-mata bertujuan untuk menghentikan perkara.
2. Restorative Justice dapat dilakukan dalam setiap tahapan proses peradilan pidana.
3. Pelaksanaan Restorative Justice harus menghormati prinsip kesetaraan gender dan non-diskriminasi, mempertimbangkan ketimpangan relasi kuasa dan faktor kerentanan berbasis umur, latar belakang sosial, pendidikan, ekonomi.
4. Pelaksanaan Restorative Justice harus memastikan adanya pemberdayaan dan partisipasi aktif dari para pihak, mulai dari pelaku, korban, maupun pihak lain yang terkait yang telibat.
5. Restorative Justice berpegang pada prinsip kesukarelaan tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
6. Pada kasus anak, penerapan Restorative Justice harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak.

Sesi Konferensi hari pertama 1 November 2022 meliputi pleno dari kementerian dan lembaga dengan topik “Komitmen Bersama untuk Mendukung Penerapan Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”. Sesi ini merupakan satu rangkaian dengan peluncuran Tim Keadilan Restoratif, yang terdiri dari 11 Kementerian dan Lembaga antara lain: Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI; POLRI; Kejaksaan RI; BNN RI; Kementerian Hukum dan HAM RI; Kementerian PPN/Bappenas; Kementerian Kesehatan RI; Kementerian Sosial RI; Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) RI; dan LPSK. Sesi ini juga dapat disaksikan melalui Youtube channel ICJR (ICJRid).

Pada hari kedua 2 November 2022, Konferensi akan diisi dengan dua sesi diskusi panel tentang keadilan restoratif, yaitu panel diskusi 1 “Keadilan Restoratif dalam Pembaruan Hukum Acara Pidana di Indonesia” yang akan disiarkan mulai Pukul 09:30 WIB yang disiarkan pada pada channel youtube: Layar Peradilan, pada tautan: https://www.youtube.com/watch?v=qtAZFR6DZdE, dan panel diskusi 2 “Keadilan Restoratif dalam Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia.” yang akan disiarkan mulai Pukul 13:30 WIB, melalui channel youtube: IJRS TV, pada tautan: https://www.youtube.com/watch?v=N-0xxOOSLbU

Jakarta, 1 November 2022
Hormat Kami,
Konsorsium Restorative Justice, Erasmus A.T. Napitupulu, erasmus@icjr.or.id

[MEDIA RILIS ICJR, IJRS, PUSKAPA, LEIP] “Salah-Kaprah” Penerapan RJ Tidak Akan Pernah Memberikan Keadilan Bagi Korban

Restorative Justice Yang Tidak Me-restore dan Tidak Justice

Pemberitaan tentang kesalahan fatal dalam penanganan kasus perkosaan kembali muncul ke publik. Kanal berita konde.co (24/10) memberitakan adanya kasus perkosaan seorang perempuan oleh 4 orang laki-laki pada tahun 2019, yang proses hukumnya dihentikan karena korban dikawinkan dengan salah satu pelaku. Perkara ini menjadi sorotan publik karena terjadi di dalam lingkup pekerjaan, di mana pelaku dan korban sama-sama bekerja di Kementerian Koperasi dan UKM RI dan pemerkosaan tersebut terjadi ketika korban dan pelaku sedang melaksanakan tugas pekerjaannya. Alih-alih mendapat penyelesaian yang memulihkan, penyidikan kasus ini justru dihentikan oleh kepolisian pada tahun 2020. Melalui laman Twitter, Polres Bogor menerangkan “sudah ada perkawinan dan kesepakatan kedua belah pihak”. Karena merasa tidak mendapat keadilan dan kondisi korban tak kunjung membaik, keluarga korban memutuskan membuka lagi kasus ini pada tahun 2022 agar bisa maju ke pengadilan.

Penghentian penyidikan kasus kekerasan seksual karena penyelesaian melalui perdamaian, kesepakatan, atau perkawinan, bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Pada awal tahun 2022, ramai pemberitaan perdamaian kasus perkosaan yang terjadi di Pekanbaru. Bahkan, di akhir tahun 2021, sempat beredar berita oknum Kepolisian di Polsek Tambusai Utara yang mengancam korban perkosaan karena menolak penyelesaian kasus secara damai dengan pelaku melalui perkawinan antara korban dengan pelaku. Oleh oknum Kepolisian, hal ini jamak disebut sebagai upaya untuk mencapai restorative justice (keadilan restoratif).

Berkaca pada hal-hal tersebut, ICJR, IJRS, Puskapa, dan LeIP mengecam keputusan Polres Bogor untuk menghentikan kasus ini karena penyelesaian melalui kesepakatan damai dengan cara menikahkan pelaku dan korban yang disebut sebagai usaha restorative justice dengan alasan-alasan sebagai berikut:

Pertama, perkawinan antara korban dengan pelaku perkosaan tidak pernah menjadi jalan keluar yang tepat bagi korban untuk memperoleh keadilan. Keputusan ini, justru akan membawa korban pada masalah-masalah baru. Salah satunya, korban rentan menjadi korban kembali untuk kedua kalinya (re-viktimisasi).

Kedua, pola perdamaian dalam kasus perkosaan seringkali diwarnai oleh intimidasi dari pihak pelaku maupun dari aparat penegak hukum (APH). Hal ini seringkali dilakukan pihak pelaku agar bebas dari jeratan hukum. Selain itu, penanganan RJ oleh APH seringkali berfokus pada kewenangan, efisiensi penegakan hukum, bahkan bertujuan untuk meminimalisir overcrowding rutan dan lapas, dengan mendorong penghentian perkara melalui kesepakatan damai atau mediasi. Pada akhirnya, korban tidak memperoleh keadilan dan menghambat korban memperoleh hak-hak yang seharusnya ia dapatkan. Hal ini juga yang terjadi pada dalam kasus ini. Setelah kesepakatan damai terjadi, korban justru mendapatkan pengabaian dan akhirnya mengalami re-viktimisasi, di mana ia menjadi korban untuk kedua kalinya.

Ketiga, restorative justicetidak boleh dimaknai secara sempit sebagai penghentian perkara. Perkapolri 8/2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif seharusnya mengecualikan mekanisme penghentian perkara dalam kasus-kasus kekerasan seksual. Dalam kasus kekerasan seksual, relasi kuasa menjadi komponen yang tidak terpisahkan dari perbuatan. Hal ini menyebabkan kerentanan penyalahgunaan mekanisme restorative justice. Oleh karena itu, mekanisme restorative justice dalam konteks penghentian perkara melalui perdamaian, menjadi tidak ideal dilakukan pada perkara kekerasan seksual karena keberadaan relasi kuasa yang tidak imbang di antara antara korban, pelaku, dan aparat penegak hukum. Hal ini telah disadari oleh pembentuk UU TPKS yang secara tegas melarang penyelesaian di luar proses peradilan dalam perkara-perkara kekerasan seksual. Saat ini, konsep restorative justice di Indonesia masih belum sesuai dengan prinsip dasarnya, yang bertujuan agar seluruh pihak yang terlibat dalam sebuah perkara dapat mencari jalan keluar dari ketidakseimbangan yang ditimbulkan dari perbuatan pidana yang terjadi. Konsep ini menempatkan kepentingan korban sebagai fokus utama untuk mencari jalan keluar, berbeda dengan sistem peradilan konvensional yang seringkali membatasi ruang korban untukdidengar dan diakomodasi kebutuhannya. Jalan keluar yang dicapai dalam restorative justice bukan merupakan penghentian perkara, melainkan penyelesaian dengan bentuk lain yang sesuai dengan kebutuhan korban, yang inisiatifnya juga muncul dari sudut pandang korban secara bebas. Pemahaman yang tidak utuh pada konsep restorative justice oleh aparat penegak hukum, menjadikan pelaksanaan restorative justice pada kasus-kasus kekerasan seksual sebagai sesuatu yang rentan disalahgunakan.

ICJR, IJRS, Puskapa, dan LeIP menegaskan dalam kasus-kasus perkosaan seperti ini, Kepolisian seharusnya hadir untuk mengakomodir kepentingan dan hak-hak korban, bukan malah mengintimidasi korban untuk menghentikan laporan. Kepolisian harus menghentikan segera praktik-praktik pelaksanaan restorative justice dalam kasus kekerasan seksual, karena saat ini restorative justice hanya dimaknai sebagai penyelesaian perkara, dan Pasal 23 UU TPKS sudah melarang mekanisme ini terjadi (kecuali terhadap pelaku anak) .

Berdasarkan hal ini, kami mendorong adanya upaya pra-peradilan atas penghentian perkara kasus ini, dan meminta Hakim untuk memeriksa perkara dengan substansial. Lebih lanjut, untuk mencegah berulangnya kesalahan implementasi restorative justice di tahap Kepolisian, kami mendorong kepada Kapolri untuk melakukan perubahan terhadap Perkapolri 8/2021 dan re-edukasi bagi jajaran POLRI tentang perspektif yang lebih tepat dalam penggunaan restorative justice dalam penanganan perkara yang sesuai dengan definisi dan prinsip dasar restorative justice, salah satunya adalah pertimbangan terhadap kepentingan korban.

Jakarta, 25 Oktober 2022
Hormat Kami,
ICJR, IJRS, PUSKAPA, dan LeIP

Narahubung:
Naomi (IJRS) : naomi@ijrs.or.id

Rilis Bersama atas Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak di Mall Bintaro Xchange

IJRS, ICJR, Puskapa: Urgensi Perbaikan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual pada Kepolisian

IJRS, ICJR, dan PUSKAPA menyesalkan atas terjadinya kasus kekerasan seksual yang dilakukan seorang pria terhadap beberapa anak di Mall Bintaro Xchange pada Minggu, 26 Juni 2022. Tindakan ini diketahui oleh seorang ibu yang menyaksikan pelaku tiba-tiba meraba bagian perut bawah anaknya. Atas laporan tersebut, pelaku kemudian menjalani penyelidikan dan pemeriksaan oleh Polres Tangerang Selatan.

Pelaku sedang menjalani pengobatan akibat menderita gangguan mental berdasarkan keterangan dari pihak keluarganya. Kapolres Tangerang Selatan menyatakan bahwa pihak keluarga membuktikan hal tersebut dengan menunjukkan bukti riwayat pengobatan ke psikiater dan bukti pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari Rumah Sakit Pondok Indah Bintaro. Keluarga pelaku juga menjelaskan bahwa pelaku mengalami gangguan mental sejak dipecat dari pekerjaannya.

Pelaporan atas dugaan pelecehan seksual yang menimpa anak ini berakhir ketika Satreskrim Tangerang Selatan melakukan mediasi antara keluarga pelaku dan keluarga pelapor. Kedua belah pihak sepakat bahwa pelaku akan dibawa ke Rumah Sakit Jiwa di Serpong untuk mendapatkan pengobatan.

Situasi di atas menunjukan bahwa kepolisian perlu melakukan perbaikan terhadap mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual yang dimiliki saat ini. Terkait hal ini, IJRS, ICJR, dan PUSKAPA memberikan beberapa catatan kritis yang perlu direspon oleh kepolisian, antara lain:

  1. Pemaknaan ‘Pelecehan Seksual’ yang Keliru

Kami sangat menyayangkan pernyataan Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) Polres Tangerang Selatan, Iptu Siswanto yang menyebutkan bahwa: Apa yang dilakukan pelaku sebenarnya bukanlah pelecehan seksual secara fisik karena korban anak hanya dipegang di luar saja, dan menjadi pelecehan seksual karena dilakukan di tempat umum.

Sejatinya, kasus tersebut sudah termasuk pelecehan seksual terlepas dari bagian tubuh mana yang disentuh oleh pelaku, baik terjadi dalam ruang tertutup/privat maupun ruang publik. Ini didasarkan pada definisi yang menyebutkan bahwa perbuatan pelecehan seksual secara fisik adalah kontak seksual yang tidak dikehendaki dengan pelaku. Hal ini termasuk, menyentuh dengan sengaja, baik secara langsung atau melalui pakaian, pada alat kelamin, anus, selangkangan, payudara, paha bagian dalam, atau pantat siapa pun tanpa kehendak, atau orang tersebut tidak dapat berkehendak atau menolak.

Tindak Pidana Kekerasan Seksual berupa pelecehan seksual secara fisik telah diatur dalam UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pasal 6 huruf a UU TPKS menyebutkan “Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya..” Rumusan tersebut secara jelas menyatakan bahwa perbuatan seksual “ditujukan terhadap tubuh, dan/atau organ reproduksi,” tidak ada pembedaan antara perabaan/persentuhan di dalam dan di luar pakaian.

  1. Memahami Kompetensi Anak dalam Memberikan Persetujuan.

Dalam konteks hubungan seksual, unsur persetujuan atau consent menjadi aspek penting. Oleh karenanya, suatu tindakan seksual yang dilakukan tanpa persetujuan adalah kekerasan seksual. Consent selalu dipengaruhi oleh keleluasaan seseorang untuk memberikan persetujuan dan kapasitasnya dalam memberikan persetujuan. Namun dalam beberapa kondisi, persetujuan yang diberikan dengan bebas oleh korban tidak lagi menjadi penting dalam menentukan apakah suatu tindakan termasuk ke dalam kekerasan seksual atau tidak. Kondisi yang dimaksud adalah ketika orang tersebut memang tidak memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuan (non competent consent), salah satunya Anak.

Konsep non competent consent berangkat dari pemahaman bahwa setiap tindakan dari individu harus dilakukan dengan kesadaran penuh, maka pihak yang menyetujui harus mempunyai kompetensi dirinya adalah pihak yang cakap di depan hukum. Untuk itu, anak merupakan salah satu subjek non competent consent yang belum cakap. Ketika dilakukan suatu tindakan seksual (seperti persetubuhan) terhadap anak, tindakan tersebut sudah termasuk sebagai kekerasan seksual, terlepas dari adanya persetujuan yang diberikan. Persetujuan tidak lagi relevan untuk dipertanyakan dalam kondisi ini.

  1. Kepolisian Tidak Serta Merta dapat Menentukan Pelaku yang Termasuk ke Dalam Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) Lepas dari Jeratan Hukum.

Kanit PPA Polres Tangerang Selatan menyatakan bahwa proses hukum tidak dilakukan kepada pelaku karena keluarga pelaku menunjukkan surat keterangan surat perawatan Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Selain itu, sudah ada kesepakatan yang terjadi antara keluarga korban dan keluarga pelaku. Hal ini perlu kami ingatkan, bahwa rangkaian perbuatan yang dilakukan oleh kepolisian telah masuk ke dalam ranah penyidikan. Kasus ini merupakan kasus perbuatan cabul kepada anak yang dapat menggunakan ketentuan UU TPKS juga dapat menggunakan ketentuan Pasal 82 UU Perlindungan Anak tentang pelarangan perbuatan cabul. Polisi bisa melanjutkan proses penyidikan dengan mengembangkan bukti yang sudah ada, yaitu  keterangan saksi ibu korban dan alat bukti elektronik. Penyidik tidak dapat menghentikan kasus atas dasar penilaian adanya surat perawatan dari RSJ. Pemeriksaan kondisi kesehatan mental pelaku tidak dapat dilakukan hanya oleh polisi, harus dengan ahli kejiwaan, ataupun dengan melakukan pemeriksaan Visum et Repertum Psikiatrikum (VeRP) kepada pelaku. Patut ditekankan juga bahwa spektrum gangguan mental bersifat luas sehingga tidak semua orang dengan gangguan kesehatan mental tidak mampu membedakan benar atau salah perbuatannya, tIdak semua tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga yang perlu dilakukan adalah penilaian oleh ahli, bukan penilaian mutlak polisi sebagai aparat penegak hukum.

  1. Proses Musyawarah (Mediasi Penal) yang Tidak Tepat dalam Kasus Kekerasan Seksual.

Kanit PPA Tangerang Selatan juga menyatakan bahwa proses hukum tidak dilakukan karena keluarga korban tidak melapor dan para pihak sudah menyelesaikan kasus ini  dengan musyawarah. Perlu diingat bahwa kasus ini adalah delik biasa, bukan delik aduan yang bergantung pada laporan korban. Harusnya penyidik mengedepankan proses hukum atas dasar perlindungan terhadap anak, bukan menyetujui penyelesaian lewat musyawarah. Pasal 23 UU TPKS  menyebutkan bahwa hukum acara terhadap semua bentuk kekerasan seksual harus mengacu pada UU ini. Maka, penyelesaian kasus kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan, dan upaya musyawarah tidak dibenarkan. Kondisi ini juga menandakan minimnya akuntabilitas peradilan pidana di Indonesia. Walaupun Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2021 tentang Penanganan Tindak berdasarkan Keadilan Restoratif menyatakan penyidik bisa melakukan penghentian perkara untuk kasus kekerasan seksual/berkaitan dengan kesusilaan, ketentuan ini tidak berlaku lagi karena UU TPKS yang kedudukannya lebih tinggi mengatur berbeda. Untuk itu, pihak kepolisian perlu melakukan penyesuaian kebijakan internal, terutama untuk mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual.

  1. Hak korban harus dijamin

Dengan tidak diproses secara pidana, kami khawatir bahwa aparat penegak hukum dan berbagai pihak akan abai terhadap perlindungan dan pemulihan korban. Apalagi korban adalah anak yang seluruh warga negara bertanggung jawab melindungi. Kami menyerukan tindakan aktif dari penyidik dan UPTD PPA untuk menjamin pelayanan bagi korban, baik layanan pemulihan fisik maupun psikologis. Dalam Pasal 40 UU TPKS dinyatakan bahwa UPTD PPA wajib memberikan pendampingan dan Pelayanan Terpadu yang dibutuhkan Korban, termasuk sekalipun tidak adanya proses hukum dilakukan.

Atas dasar hal tersebut kami menyerukan:

  1. Penyidik meminta maaf dan memperbaiki pernyataan sebelumnya yang menyatakan kekerasan seksual tidak terjadi.
  2. Penyidik membuka penyidikan untuk kasus ini dengan menggunakan alat bukti Visum et Repertum Psikiatrikum (VeRP) pada pelaku: Benar-benar memastikan apakah pelaku mampu/tidak mampu bertanggung jawab;
  3. Kepolisian, fasilitas kesehatan, dan sektor terkait memastikan pelaku mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa yang memadai dan disertai dengan mekanisme pengawasan yang baik jika hasil visum atau rekomendasi dari ahli kejiwaan menyatakan bahwa pelaku tidak cakap secara hukum;
  4. Penyidik dan UPTD PPA setempat berkoordinasi untuk penyediaan layanan secara langsung bagi korban;
  5. Kapolri untuk menyatakan komitmennya untuk implementasi UU TPKS, termasuk untuk mengevaluasi penuh kapasitas dan struktur penyidik di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak.

Jakarta, 4 Juli 2022

Hormat Kami

IJR
ICJR
Puskapa