[Rilis Pers] Larangan Memfoto, Merekam dan Meliput Persidangan oleh Hakim/Ketua Majelis Hakim Baru Relevan Ketika Hakim Terganggu, Bukan Berbasis Izin

Media Rilis Koalisi Pemantau Peradilan (KPP)

MA melalui Peraturan MA No. 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan, terdapat hal yang menjadi sorotan, yaitu pengaturan pada Pasal 4 ayat (6). Perma tersebut yang menyebutkan “Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin hakim/ketua majelis hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya persidangan.

Sebelumnya hal yang sama pernah diatur MA melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia  Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan yang ditandatangani pada 7 Februari 2020. Dalam surat edaran tersebut diatur ketentuan yang menyatakan bahwa “Pengambilan Foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan”. Larangan ini akhirnya dicabut oleh MA. Selain itu perbedaannya kali ini, MA memberikan kewenangan kepada hakim/ketua majelis hakim dan bukan Ketua Pengadilan Negeri.

KPP memandang pada sidang yang terbuka untuk umum, maka mengambil foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual adalah bagian dari akses terhadap keadilan dan keterbukaan informasi publik yang justru harus dijamin oleh Mahkamah Agung, khususnya dalam hal diambil dengan tidak mengganggu jalannya persidangan. Bahwa Ijin dari hakim/ketua majelis hakim baru relevan jika para pengunjung sidang termasuk media massa/jurnalis membawa peralatan atau dengan cara-cara yang pada dasarnya akan mengganggu tidak hanya persidangan namun pengadilan secara keseluruhan, ijin baru tepat dilakukan apabila hakim/majelis hakim terganggu dalam menjalankan sidang.

Dalam hal ini, koalisi memandang prinsip peradilan adalah terbuka untuk umum – sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman, kecuali perkara mengenai kesusilaan atau anak. Bahkan implikasi ketika hal ini tidak terpenuhi maka putusan pengadilan tersebut bisa batal demi hukum.

Koalisi juga melihat dalam hal aturan ini diberlakukan, maka Mahkamah Agung juga harus menjamin bahwa setiap pengadilan wajib mengeluarkan materi terkait dengan persidangan yang sedang berlangsung baik dalam bentuk foto, gambar, audio, dan rekaman visual lainnya yang bisa diakses oleh masyarakat secara bebas dan aktual. Sekedar melarang tanpa mewajibkan setiap pengadilan mengeluarkan materi terkait dengan persidangan, maka dalam pandangan kami, hal ini adalah bentuk penutupan akses informasi publik pada sidang yang terbuka untuk umum.

Koalisi juga mengingatkan bahwa larangan ini juga berdampak terhadap kerja – kerja Advokat yang membutuhkan dokumentasi materi persidangan untuk dapat melakukan pembelaan secara maksimal. Selain itu, larangan ini juga akan berdampak bagi kerja-kerja teman-teman pemberi bantuan hukum yang dimana seringkali mengalami hambatan untuk mendapatkan akses keadilan di persidangan. Secara lebih luas, larangan ini akan berdampak serius terhadap akses keadilan masyarakat dan mereduksi keterbukaan informasi yang juga diwajibkan oleh hukum yang berlaku di Indonesia.

Koalisi juga memahami bahwa diperlukan ketenangan bagi Majelis Hakim yang menyidangkan perkara untuk dapat memeriksa dan memutus perkara dengan cermat dan hati – hati. Namun kami melihat ada cara lain yang dapat diberlakukan untuk dapat mengatur ketertiban di ruang sidang dengan memperhatikan kepentingan berbagai pihak terkait dalam persidangan, termasuk pihak yang membutuhkan akses keadilan dari Memfoto, Merekam dan Meliput Persidangan.

 

Jakarta, 21 Desember 2020

Hormat Kami,
Koalisi Pemantau Peradilan (IJRS, ICJR, YLBHI, ELSAM, PBHI, LBH Masyarakat, PIL-Net, ICEL)

CP:

Dio Ashar (IJRS)
Erasmus Abraham Todo Napitupulu (ICJR)
Asfinawati (YLBHI)
Sekar (Elsam)
Julius Ibrani (PBHI)
Afif (LBH Masyarakat)
Erwin Natosmal Oemar (PIL-Net)
Grita Anindarini (ICEL)

[Rilis Pers] Semua Bisa Kena, Cabut Pasal Karet UU ITE

Rilis Pers Bersama

IJRS – ICJR – LBH PERS – LBH JAKARTA – PBHI – YLBHI – GREENPEACE INDONESIA – ELSAM – PILNET – SAFENET – DEBTWATCH – KONTRAS – RUMAH CEMARA – ICW – IMPARSIAL

Sejak pertama kali diundangkan pada 2008, pasal-pasal pidana di UU ITE sudah dianggap bermasalah. Setelah digemparkan dengan kasus Prita Mulyasari, seorang Ibu yang dipidana karena mengirimkan kritik kepada pelayanan sebuah Rumah Sakit, UU ITE terus memakan korban.

Pada 2016, setelah rangkaian kasus dan uji materil di MK, UU ITE direvisi. Revisi itu ternyata tidak menghentikan daya rusak pasal-pasal pidana karet yang ada di UU ITE, beberapa kasus besar pun menyeruak ke publik. Musuh besar kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang online kali ini tidak hanya Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan, melainkan ada “tamu” baru, yaitu Delik “kesusilaan” dalam pasal 27 ayat (1) UU ITE dan delik “ujaran kebencian” dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE. Pengaturan yang masih sangat karet jadi alasan.

Korban pun berjatuhan, Baiq Nuril, perempuan korban pelecehan seksual yang akhirnya merima Amnesty pertama dari Presiden Jokowi adalah tamparan keras pada problem rumusan dan praktik penggunaan pasal-pasal pidana di UU ITE. Terakhir, perdebatan mencuat ketika Jerinx, seorang musisi yang mengkritik persoalan rapid test pada sebuah organisasi yang kredibel, justru dijawab dengan pidana.

Laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan sejak 2016 sampai dengan Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88% (676 perkara). Laporan terakhir SAFEnet menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis. Sektor perlindungan konsumen, anti korupsi, pro demokrasi, penyelamatan lingkungan, dan kebebasan informasi menjadi sasaran utama.

Maka, bahaya laten pembungkaman terpapar jelas dalam pasal-pasal pidana UU ITE. Dalam kacamata ini, semua bisa kena, hari ini mereka, besok bisa jadi kita.

[Rilis Pers] Mahkamah Agung Tegaskan Komitmennya untuk Pencegahan Perkawinan Anak

Jakarta – Mahkamah Agung menegaskan komitmennya dalam pencegahan perkawinan anak dengan menerapkan prinsip-prinsip kepetingan terbaik bagi anak dalam mengadili permohonan dispensasi perkawinan. Sebagai salah satu institusi mitra pelaksanaan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (STRANAS PPA), Mahkamah Agung berkomitmen turut mencapai target mengurangi perkawinan anak dari 11,2% di 2018 menjadi 8,74% pada 2024 dan 6,9% pada 2030.”

Komitmen ini disampaikan dalam peluncuran Buku Saku Pedoman Mengadili Perkara Dispensasi Kawin oleh Ketua Mahkamah Agung pada hari ini (4/12). Buku Saku bagi para hakim di lingkungan peradilan umum dan agama ini merupakan kerjasama Kelompok Kerja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung Republik Indonesia bersama Indonesia Judicial Research Society (IJRS) didukung Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).

Dalam sambutannya, Ketua Mahkamah Agung RI, YM Dr. H. Muhammad Syarifuddin, SH, MH menyampaikan, “Di dalam PERMA No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Perkara Dispensasi Kawin, badan peradilan berperan sebagai pintu terakhir bagi pencegahan perkawinan anak dengan menerapkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan atas pendapat anak, non-diskriminasi, kesetaraan gender dan persamaan di depan hukum dalam penyelesaian perkara dispensasi kawin.” Mahkamah Agung mencatat peningkatan jumlah perkara dispensasi kawin yang diputus oleh Pengadilan dari 23.126 perkara (2019) menjadi 35.441 (2020). Ketua MA RI berharap hadirnya buku ini dapat meningkatkan kualitas penanganan perkara dan putusan dispensasi kawin demi kepentingan terbaik anak.

Hakim berkapasitas serta bertanggungjawab menjalankan prinsip kepentingan terbaik anak antara lain dengan mendengar pendapat anak, memperhatikan kondisi fisik dan psikis anak berdasarkan hasil pemeriksaan psikolog dan tenaga medis, mempertimbangkan usia anakserta kondisi kerentanan serta kualitas pendidikan anak.

Sejumlah narasumber dan penanggap yang hadir pada peluncuran Buku Saku termasuk Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Family Court of Australia, Unit Pelayanan Terpadu Daerah (UPTD) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Bone dan perwakilan organisasi masyarakat sipil. Melalui diskusi ini, langkah strategis untuk mengupayakan pencegahan perkawinan anak diharapkan dapat dipetakan dan berkembang menjadi rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia dan berbagai stakeholders. Para narasumber dan penanggap juga menggarisbawahi mengenai pentingnya kebijakan pencegahan perkawinan anak di tingkat daerah, rekomendasi dari profesional (psikolog, dokter, dll) dan pembebasan biaya perkara pada permohonan dispensasi kawin.

Selain Perma No. 5 Tahun 2019, Mahkamah Agung juga mengeluarkan Perma No. 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan untuk menjamin akses keadilan bagi anak sebagai pihak yang diajukan permohonan dispensasi kawin, khususnya anak perempuan yang menjadi target utama perkawinan anak. Kehadiran PERMA ini menjadi bagian dalam diskusi peluncuran Buku Saku sebagai bentuk dukungan Mahkamah Agung agar kepentingan terbaik bagi anak tetap dapat dipastikan dalam permohonan dispensasi kawin yang diajukan oleh anggota masyarakat yang tidak mampu membayar biaya perkara.

Dengan dihadiri seluruh Ketua Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Agama, Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama di seluruh Indonesia dan Mahkamah Syar’iyah Aceh, harapannya Buku Saku ini dapat meningkatkan pemahaman Hakim tentang kondisi perkawinan anak di Indonesia dan praktik serta dampak buruk perkawinan anak. Hakim juga perlu menjadikan Buku Saku ini sebagai acuan dalam menangani permohonan dispensasi kawin agar dapat memastikan langkah-langkah yang tepat untuk diambil dalam rangka mencegah dampak buruk bagi perkawinan anak.

Informasi lebih lanjut, hubungi:
Arsa Ilmi
Indonesia Judicial Research Society
HP/WA: 0821-4440-6361
Email: arsa@ijrs.or.id

PBB Ubah Sistem Penggolongan Narkotika yang Memperkuat Posisi Ganja Medis

Pada 2 Desember 2020, Komisi PBB untuk Narkotika yaitu CND (the UN Commission on Narcotic Drugs) menyelenggarakan pemungutan suara atau voting terhadap beberapa rekomendasi WHO terkait perubahan sistem penggolongan (scheduling) narkotika khususnya untuk ganja dan turunannya. Salah satu rekomendasi yang disetujui oleh mayoritas anggota yaitu dihapuskannya cannabis dan cannabis resin (ganja dan getahnya) dari Golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961.

Sebelumnya, ganja dan turunannya ditempatkan pada Golongan I dan Golongan IV. Berdasarkan ketentuan Kovensi Tunggal Narkotika 1961, narkotika yang berada dalam Golongan IV hanya memiliki manfaat medis yang terbatas namun tingkat ketergantungan dan potensi penyalahgunaannya sangat tinggi sehingga termasuk dalam subyek kontrol yang paling ketat jika dibandingkan dengan narkotika Golongan I sampai Golongan III.

Dengan dikeluarkannya ganja dan getahnya dari Golongan IV, sebagaimana dijelaskan dalam uraian rekomendasi WHO, ganja tidak lagi dipersamakan dengan heroin atau opioid yang memiliki ancaman resiko tertinggi hingga menyebabkan kematian. Bahkan sebaliknya, manfaat kesehatan yang dapat diperoleh dari tanaman ganja semakin diakui yang dibuktikan dari hasil penelitian dan praktik-praktik pengobatan ganja medis di berbagai negara, baik dalam bentuk terapi, pengobatan gejala epilepsi, dan lain-lain. Langkah yang diambil PBB ini cukup berpengaruh terhadap posisi ganja dalam kebijakan narkotika secara internasional sehingga tidak lagi menjadi penghalang untuk perkembangan ilmu pengetahuan maupun untuk pemanfaatannya dalam dunia medis.

Atas dasar adanya perkembangan baik dari dunia internasional ini, Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan menyerukan agar Pemerintah Indonesia juga mulai terbuka dengan potensi pemanfaatan ganja medis di dalam negeri. Sebagai langkah konkrit, Pemerintah perlu menindaklanjutinya dengan menerbitkan regulasi yang memungkinkan ganja digunakan untuk kepentingan medis. Sebelumnya, Koalisi yang mendampingi tiga orang ibu dari anak-anak yang mengalami cerebral palsy pada 19 November 2020 juga telah mengajukan permohonan uji materil terhadap UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi yang melarang penggunaan Narkotika Golongan I untuk kepentingan kesehatan. Kesempatan ini harus dapat dijadikan momentum bagi Pemerintah untuk merombak kebijakan narkotika yang berbasiskan bukti (evidence-based policy). Adanya hasil voting lembaga PBB ini sudah dapat dijadikan sebagai legitimasi medis dan konsensus politis yang harus diikuti negara-negara anggotanya termasuk Pemerintah Indonesia selama ini yang mengklaim selalu merujuk pada ketentuan Konvensi Tunggal Narkotika 1961.

Jakarta, 3 Desember 2020
Hormat Kami,

Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan
Rumah Cemara, ICJR, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba, EJA, LGN

Contact Person :

  • Iftitahsari (ICJR)
  • Dio Ashar (IJRS)
  • Maria Tarigan (IJRS)
  • Ma’ruf (LBH Masyarakat)
  • Singgih Tomi Gumilang (LGN)

[Rilis Pers] Memperingati Hari Kesehatan Nasional, Koalisi Masyarakat Sipil “Advokasi Narkotika untuk Pelayanan Kesehatan” Ajukan Permohonan Uji Materil terhadap UU Narkotika

Ketentuan UU Narkotika yang melarang penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan Kesehatan digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh 3 orang ibu dari anak dengan Cerebral Palsy. Narkotika Golongan I yang salah satunya meliputi ganja telah terbukti dalam berbagai penelitian internasional mengandung manfaat kesehatan dan juga telah digunakan secara legal untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan di banyak negara. WHO bahkan dalam rekomendasinya pada 2018 menyatakan agar mempertimbangkan kembali posisi senyawa ganja dalam pengaturan konvensi internasional narkotika (Konvensi 1961). Bahkan beberapa senyawa ganja direkomendasikan dikeluarkan dalam pengaturan konvensi tersebut.

Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Nasional, koalisi masyarakat sipil bersama-sama dengan 3 orang ibu dari anak-anak dengan Cerebral Palsy, yakni penyakit lumpuh otak yang mengakibatkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuh, mengajukan permohonan Uji Materi UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi. Para pemohon berdalil bahwa pelarangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan melalui ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika telah bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin hak warga negara untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28H ayat 1) dan memperoleh manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 26C ayat 1).

Para pemohon perseorangan terdiri dari tiga orang ibu yang masing-masing anaknya didiagnosa dengan Cerebral Palsy. Salah satu anak tersebut sempat membaik kondisi kesehatannya setelah mendapatkan terapi ganja dengan sistem pengasapan (bakar dupa) dan pemberian minyak ganja (Cannabis/CBD Oil) di Australia. Namun ketika berada di Indonesia, pengobatan tersebut menjadi tidak dapat dilanjutkan. Oleh karenanya, adanya larangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan di Indonesia menjadi penghalang bagi mereka untuk mendapatkan pengobatan sehingga kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak-anaknya yang didiagnosa dengan Cerebral Palsy tidak dapat diperbaiki/ditingkatkan hingga taraf semaksimal mungkin yang dapat dijangkau.

Selain pemohon perseorangan tersebut, beberapa lembaga non-pemerintah juga bergabung sebagai para pemohon dalam uji materil ini yakni ICJR, LBH Masyarakat, dan Rumah Cemara yang selama ini banyak menyoroti masalah pengaturan dan penegakan UU Narkotika. Sebagaimana diketahui, pasal-pasal karet dalam UU Narkotika yang perumusannya sangat luas dan multitafsir telah digunakan oleh aparat penegak hukum untuk juga menyasar orang-orang yang menggunakan narkotika meskipun dengan tujuan pengobatan. Hal ini misalnya terjadi dalam kasus Fidelis pada 2017 di Sanggau serta kasus terbaru yang sempat muncul yakni kasus Reyndhart Rossy N. Siahaan pada Mei 2020. Padahal dalam UU Narkotika khususnya Pasal 4 huruf a sebenarnya telah ditekankan bahwa tujuan pembuatan undang-undang ini adalah untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan juga pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Para pemohon meminta MK agar mencabut Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika dan menyatakan pelarangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan bertentangan dengan Konstitusi. Selain itu juga meminta Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika untuk diubah dengan mencabut definisi Narkotika Golongan I menjadi dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan/terapi, dengan tetap menyebutkan potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Pengajuan uji materil ini diharapkan dapat membuka ruang-ruang penelitian ilmiah untuk menekankan kembali ide dasar pemanfaatan narkotika yakni untuk kepentingan kesehatan. Hal ini juga dapat dilihat sebagai kritik yang keras pula terhadap penerapan kebijakan narkotika di Indonesia yang saat ini terlampau berat pada metode penegakan hukum pidana. Kebijakan narkotika sudah saatnya mulai dievaluasi dan diarahkan untuk lebih memperhatikan aspek kesehatan masyarakat dan diambil berbasiskan bukti ilmiah (evidence-based policy). Untuk itu, ketentuan pelarangan penggunaan semua jenis narkotika termasuk Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan dalam UU Narkotika ini perlu dihapuskan supaya dapat memfasilitasi dan mendorong adanya penelitian-penelitian klinis yang berorientasi untuk menggali pemanfaatan narkotika di Indonesia.

RINGKASAN PERMOHONAN

A. Para Pemohon dan Kedudukan Hukum (Legal Standing)
Pemohon Perorangan:

1. Dwi Pertiwi, Ibu dari Musa IBN Hassan Pedersen (16 Tahun)
Musa didiagnosa dengan Cerebral Palsy sejak berusia 40 hari. Penyakit ini diawali dengan pneumonia yang kemudian berkembang menjadi meningitis yang menyerang otak. Dalam upayanya memberi pengobatan kepada Musa, Ibu Dwi pernah memberikan ganja pada tahun 2016 di Australia setiap hari selama satu bulan penuh. Paska pengobatan dengan ganja tersebut, Musa menjadi lebih tenang, kondisi otot dan tulangnya menjadi lebih lembut, dan gejala kejangnya berhenti total. Padahal sebelumnya otot-otot Musa sangat kaku sehingga sulit untuk dilakukan terapi. Musa juga sebelumnya mengalami gejala kejang hampir seminggu sekali. Ibu Dwi terpaksa menghentikan pengobatan dengan ganja pada Musa karena penggunaan ganja untuk pengobatan dilarang di Indonesia.

2. Santi Warastuti, Ibu dari Pika Sasikirana alias Pika (12 Tahun)
Pika didiagnosa menderita Japanesse Encephailtis pada tahun 2015, yakni infeksi pada otak yang disebabkan oleh virus. Pika selama ini menjalani terapi dan mengkonsumsi obat-obatan secara rutin yang ditanggung oleh BPJS. Akan tetapi, pengobatan tersebut akan dihentikan karena adanya kebijakan baru dari PBJS yang membatasi umur oasien yang dapat menerima pengobatan tersebut, yakni maksimal 5 tahun. Ibu Santi pernah mendengar informasi mengenai manfaat terapi yang menggunakan minyak ganja dari rekan kerjanya yang berkebangsaan asing. Ibu Santi juga mengetahui dari Ibu Dwi bahwa Musa menunjukkan perkembangan kondisi yang membaik setelah melakukan terapi dengan menggunakan ganja. Namun Ibu Santi tidak dapat memperoleh minyak ganja tersebut untuk digunakan bagi Pika.

3. Nafiah Murhayanti, Ibu dari Masayu Keynan Almeera P. alias Keynan (10 Tahun)
Keynan menderita epilepsi dan dplegia spactic yang juga merupakan bentuk dari Cerebral Palsy sejak berusia 2 bulan. Penyakit ini mengakibatkan gangguan motorik serta kejang yang berulang setiap hari. Saat ini, Keynan masih mengalami kejang-kejang dan masih memiliki keterbatasan gerak karena baru bias merayap dan menggerakkan tangan. Ibu Nafiah mengetahui kemajuan perkembangan yang signifikan dari kondisi Musa setelah menjalani terapi dengan menggunakan ganja di Australia. Akan tetapi Ibu Nafiah tidak dapat mengakses minyak ganja tersebut untuk digunakan bagi Keynan.

Pemohon Badan Hukum Privat:
1. Rumah Cemara
2. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
3. LBH Masyarakat

B. Ruang Lingkup Pasal yang Diuji

1. Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

2. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Narkotika
Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.

C. Dasar Konstitusional yang Digunakan

1. Pasal 28C ayat (1) UUD 1945
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

2. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

D. Alasan Permohonan

Permohonan Uji Konstitusionalitas Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika adalah untuk mendorong jaminan atas pelayanan kesehatan yang dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh seluruh masyarakat Indonesia khususnya yang berdasarkan pada temuan-temuan dari hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mana dilandasi dengan alasan-alasan sebagai berikut:

1. Hak atas pelayanan kesehatan telah dijamin secara eksplisit pada Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan telah diejawantahkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hak ini bahkan diadopsi dalam UU Narkotika, tepatnya Pasal 4 huruf a dan Pasal 7 pada intinya menegaskan bahwa bahwa Narkotika dapat digunakan untuk pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan hal ini merupakan salah satu tujuan dari UU Narkotika itu sendiri. Jelaslah bahwa Narkotika dapat digunakan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak atas pelayanan kesehatan yang dijamin dalam konstitusi. Dengan demikian, adanya pelarangan Narkotika Golongan I untuk kepentingan kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) secara nyata telah menegasikan pemanfaatan Narkotika Golongan I untuk kepentingan kesehatan.

2. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, jenis-jenis Narkotika Golongan I ternyata dapat digunakan untuk pengobatan berdasarkan hasil penelitian dengan pengujian secara klinis. Penggunaan Narkotika Golongan I untuk kepentingan kesehatan telah diterapkan dan diakui di berbagai negara. Adapun jenis-jenis Narkotika Golongan I tersebut antara lain ganja, diacetilmorfina, dan opium.

3. Saat ini, tanaman ganja maupun turunan zat-zatnya seperti CBD atau THC telah digunakan secara sah dan diakui secara hukum sebagai bagian dari pelayanan kesehatan di setidaknya 40 negara. Berbagai uji klinis telah membuktikan manfaat dari ganja dan zat turunannya, di antaranya untuk mengobati berbagai bentuk epilepsi, menurutnkan pertumbuhan sel-sel tumor, dan mengurangi mual dan muntah terhadap pasien yang menderita penyakit pada fase tingkat lanjut seperti kanker dan AIDS.

4. Opium yang merupakan Narkotika Golongan I memiliki manfaat untuk pengobatan sebagaimana direkam dalam jejak sejarah, yakni pada The Canon of Medicine yang ditulis oleh Ibnu Sina pada tahun 1025. Tidak hanya itu, United States Dispensatory edisi 24 juga mengutip penggunaan opium untuk pengobatan yang berfungsi sebagai analgesics untuk meredakan nyeri mulai dari sakit kepala hingga nyeri akibat kanker.

5. Dalam penelitian yang dilakukan oleh the British Journal of Psychiatry, penggunaan heroin suntik dengan pengawasan (supervised injected heroin) kepada pasien yang menjalani perawatan akibat penyalahgunaan heroin ternyata efektif kepada pasien yang awalnya berstatus untreatable (tidak dapat disembuhkan) dan hanya dilakukan apabila metode pengobatan utama dengan metadhone tidak berpengaruh terhadap perkembangan kondisi kesehatan pasien.

6. World Health Organization (WHO) telah mengakui beberapa manfaat zat-zat kandungan dari cannabis yang cukup ampuh untuk pengobatan. Hal ini didasarkan pada hasil pengujian intensif yang kemudian dilaporkan dalam WHO Expert Committee on Drug Dependence pada bulan Juni 2018.. WHO bahkan telah mengirimkan surat kepada Sekretaris Jenderal PBB untuk mengubah penggolongan (scheduling) beberapa turunan tanaman ganja ke kategori Schedule III sehingga berbagai tindakan pengendalian/kontrol tidak perlu dilakukan dan akses untuk pengobatan dapat diberikan kepada pasien.

7. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika menyebabkan warga negara kehilangan akses untuk memperoleh pelayanan kesehatan dengan memanfaatkan Narkotika Golongan I yang telah terbukti secara klinis bermanfaat dan telah diadopsi berbagai negara di dunia.

8. Penggunaan Narkotika Golongan I untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU Narkotika juga tidak dapat dilakukan apabila manfaat penelitian tersebut ditujukan untuk pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, penelitian yang berorientasi pada pemanfaatan hasil penelitian untuk kepentingan pelayanan kesehatan tidak dapat diwujudkan, padahal peneltian untuk kepentingan pelayanan kesehatan dapat sangan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan di Indonesia.

E. Petitum
Berdasarkan alasan-alasan hukum dan konstitusional di atas serta bukti-bukti terlampir, maka Para Pemohon dalam hal ini memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian undang-undang yang diajukan oleh Para Pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dibaca “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan dan atau terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.”;

3. Menyatakan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

4. Menyatakan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dibaca “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan dan atau terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.”;

5. Menyatakan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Tulisan ini dimuat dalam icjr.or.id

[Rilis Pers] Jumlah Aparat Pengadilan yang Positif COVID-19 Meningkat, Komitmen Mahkamah Agung untuk Melindungi Aparat Pengadilan Dipertanyakan

Per Senin 31 Agustus 2020, berdasarkan penelusuran media, kasus aparat pengadilan yang positif COVID-19 terdeteksi sekitar 86 orang yang tersebar di 16 pengadilan di seluruh Indonesia (data terlampir). Respon pengadilan ditemukan masih beragam, misalnya terdapat pengadilan yang menutup total pengadilan (lockdown), ada yang menunda sidang, maupun mengurangi jadwal sidang, sampai melakukan rapid test atau swab test. Namun, masih ada yang hanya melakukan penyemprotan dan tetap membuka pelayanan.

Pengadilan Tanggal Jumlah Aparat Pengadilan yang Positif Respon
PN Medan 25 Agustus 1 Memberlakukan Work From Home bagi Sebagian aparat pengadilan selama 5 hari. Hanya memberlakukan sidang secara virtual.

Melakukan rapid test.

PN Serang 25 Agustus 2 Melakukan swab test
PN Jakarta Pusat (2) 24 Agustus 9 Menutup Pengadilan 7 hari
PN Jakarta Pusat (1) 19 Agustus 1 Penyemprotan
PN Denpasar 18 Agustus 5 Menutup Pengadilan 14 hari
PA Praya 18 Agustus 1 Penyemprotan
PN Pare-Pare 18 Agustus 1 Menutup pengadilan 3 hari
PN Amlapura 13 Agustus 3 Membatasi layanan
PA Bukittinggi 12 Agustus 1 Menutup pengadilan 14 hari
PN Jakarta Barat 11 Agustus 5 Menutup pengadilan 6 hari
PA Kendari 11 Agustus 10 Menutup pengadilan 8 hari
PA Surabaya (3) 10 Agustus 26 Menunda sidang 14 hari dan membatasi layanan
PN Gorontalo 10 Agustus 2 Menunda sidang 14 hari
PN Surabaya (2) 9 Agustus 7 Menutup layanan selama 14 hari
PA Deli Serdang 28 Juli 1 Menutup pengadilan selama 7 hari
PA Lubukpakam 27 Juli 1 Menutup pengadilan selama 7 hari
PN Semarang 19 Juli 1 Tes rapid massal
PA Lumajang 17 Juli 7 Menutup Pengadilan selama 7 hari
PN Surabaya (1) 15 Juni 2 Penundaan sidang selama 14 hari

Kondisi di atas tentu menimbulkan kekhawatiran dan membutuhkan respon yang tegas  dari Mahkamah Agung (MA). Sebagaimana kita ketahui pengadilan adalah tempat bertemunya banyak pihak, yaitu aparat pengadilan, penasihat hukum, jaksa penuntut umum dan para pihak yang bersengketa. Oleh karena itu kesehatan maupun keselamatan banyak pihak dipertaruhkan dalam pengelolaan penanganan COVID-19 di pengadilan.

Sejak COVID-19 ditetapkan sebagai bencana nasional non-alam di Indonesia, upaya Mahkamah Agung dalam merespon situasi darurat ini telah dimulai dengan dikeluarkannya SEMA No. 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Di Lingkungan Mahkamah Agung RI Dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya, sebagaimana terakhir kali diubah dengan SEMA No. 6 Tahun 2020. Kebijakan ini telah disesuaikan dengan perkembangan situasi terkini melalui lima kali perubahan. Selanjutnya MA mengeluarkan SEMA No. 8 Tahun 2020 tentang Pengaturan Jam Kerja Dalam Tatanan Normal Baru Pada Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya Untuk Wilayah Jabodetabek Dan Wilayah Dengan Status Zona Merah COVID-19. Melalui pedoman ini, MA menekankan penggunaaan E-Court maupun E-Litigation untuk menghindari atau setidaknya mengurangi potensi berkumpulnya banyak orang. Langkah selanjutnya yang harus diapresiasi adalah adanya Nota Kesepahaman  antara MA, Kejaksaan, Kepolisian dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang Pelaksanaan Sidang Perkara Pidana melalui Konferensi Video dalam Rangka Pencegahan COVID-19 pada 13 April 2020.

Namun upaya-upaya di atas belum dapat mengantisipasi pencegahan penyebaran COVID-19 dan merespon kasus aparat pengadilan yang positif COVID-19. Dalam pedoman memang telah disebutkan sistem work from home, pembagian shift kerja, persidangan secara daring, himbauan menjaga jarak aman, menggunakan alat pelindung diri sebagai upaya menjaga keselamatan pegawai pengadilan. Namun dengan meningkatnya jumlah pegawai yang positif COVID-19 membuat upaya tersebut tidaklah cukup. Contact Tracing diperlukan untuk melacak kemungkinan berpindahnya virus dari aparat pengadilan kepada jaksa penuntut umum, penasihat hukum dan masyarakat yang hadir di pengadilan atau sebaliknya.

Mahkamah Agung belum mewajibkan seluruh pengadilan untuk melakukan rapid test atau swab test secara berkala kepada aparat pengadilan dan tidak perlu menunggu sampai ada pegawai yang terkonfirmasi positif. Beberapa pengadilan ada yang telah melakukan rapid test atau swab test secara mandiri. Namun, seringkali setelah seorang aparat pengadilan dinyatakan positif COVID-19, tidak semuanya diberikan rapid test atau swab test. Selain itu, Mahkamah Agung juga harus meningkatkan peran pimpinan pengadilan agar benar-benar menerapkan protokol kesehatan sesuai standar World Health Organization (WHO).

Oleh karena itu, Koalisi Pemantau Peradilan menyatakan:

  1. Mendesak Mahkamah Agung agar menutup sementara minimal selama 14 hari semua layanan pengadilan yang memiliki kasus positif COVID-19, dan terhadap kasus pidana yang memiliki isu masa penahanan, pengadilan wajib menerapkan sidang secara daring.
  2. Mendesak Mahkamah Agung untuk mengeluarkan kebijakan terkait kewajiban melakukan rapid test/swab test secara berkala dan menyeluruh untuk semua aparat pengadilan di seluruh Indonesia.
  3. Mendesak Mahkamah Agung untuk mewajibkan seluruh pengadilan selama masa tunggu hasil rapid test/swab test untuk menutup total pengadilan sampai dipastikan tidak ada aparat pengadilan yang positif COVID-19.
  4. Mendesak Mahkamah Agung untuk benar-benar menekankan para pimpinan pengadilan dalam memaksimalkan sistem work from home (WFH) atau sistem kerja bergiliran, melakukan persidangan daring, dan hal-hal lain dalam menerapkan protokol kesehatan secara ketat.

 

Jakarta, 2 September 2020

Koalisi Pemantau Peradilan
YLBHI, LeIP, PILNET Indonesia, PUSKAPA, ICW, PBHI, IJRS, ICJR, LBH Masyarakat, KontraS, ELSAM, LBH Jakarta, ICEL, PSHK, Imparsial, LBH Apik Jakarta

[Rilis Pers] Kondisi Kasus Covid-19 di Rutan/Lapas Harus Mendapatkan Perhatian, Overcrowding Harus Diselesaikan Bersama

Setidaknya ada 7 Lapas di Indonesia yang terpapar covid-19, dengan jumlah infeksi kepada 120 WBP dan 18 Petugas Lapas. Ditjen PAS perlu buka data aktual kasus covid-19 di rutan lapas, dan Kementerian Hukum dan HAM harus kembali melakukan upaya untuk mengurangi overcrowding kali ini harus memprioritaskan mereka yang termasuk ke dalam kelompok rentan kesehatan, perempuan, dan anak-anak, serta juga WBP dengan resiko keamanan yang rendah misalnya WBP tindak pidana non-kekerasan dan pengguna serta pecandu narkotika.

Kasus pertama covid-19 di Indonesia telah dilaporkan pada awal Maret 2020, sampai dengan 23 Agustus 2020, kasus covid-19 di Indonesia mencapai 153.535 kasus. Sampai dengan 1 April 2020 dalam Rapat Kerja Komisi III Kementerian Hukum dan HAM dengan Komisi III DPR, menteri Hukum dan HAM menyatakan belum ada kasus Covid-19 dilaporkan dalam rutan/lapas di Indonesia. Pada 10 Mei 2020, Dirjen PAS menyatakan terdapat 1 warga binaan pemasyarakatan (WBP) dan 2 petugas rutan/lapas yang positif covid-19. Namun kemudian, dari waktu tersebut hingga saat ini tidak ada pernyataan resmi lanjutan terkait dengan kondisi faktual kasus covid-19 di rutan/lapas.

Padahal, berdasarkan pemantauan media yang dilakukan ICJR, IJRS, dan LeIP telah terjadi banyak kasus infeksi covid-19 di dalam rutan/lapas di seluruh Indonesia, baik yang menyerang WBP maupun petugas rutan/lapas yang juga memberikan kondisi kerentanan penularan. ICJR, IJRS, dan LeIP mencatat setidaknya ada 7 Lapas di Indonesia yang terpapar covid-19, yaitu Lapas Kelas I Surabaya, Jawa Timur, Lapas Kelas IIA Subang, Jawa Barat, Lapas Kelas IIB Muara Bulian, Jambi, Lapas Kelas IIA Jambi, Jambi, Lapas Perempuan Kelas II A Sungguminasa, Sulawesi Selatan, Lapas Klas II B Muara Sijunjung, Sumatera Barat, Lapas Terbuka Kelas II B Pasaman, Sumatera Barat dengan jumlah infeksi 120 WBP dan 18 Petugas Lapas, 1 diantaranya adalah Kalapas Kelas IIA Jambi. Data ini bisa jadi lebih banyak karena hingga saat ini tidak ada data aktual resmi yang diberikan oleh Kementerian Hukum dan HAM dan Ditjen PAS, sebelumnya pun Menteri Hukum dan HAM pada 17 Agustus 2020 lalu memerintahkan Dirjen PAS untuk bekerja lebih ekstra dalam mencegah penyebaran covid-19 di rutan/lapas. Menteri Hukum dan HAM menyebut sejumlah lapas yang tercatat memiliki riwayat paparan covid-19, yaitu Lapas Perempuan Kelas IIA Palembang, Lapas Perempuan Kelas II A Sungguminasa, Lapas Kelas IIA Salemba, dan Lapas Perempuan Kelas IIA Jakarta, sebagian lapas-lapas tersebut tidak terlaporkan media, itu berarti tidak sepenuhnya tergambar kondisi penyebaran covid-19 di rutan/lapas. Data aktual oleh Ditjen PAS perlu dipaparkan untuk mempermudah dilakukannya tracking dan pengelompokan tingkat resiko untuk merancang langkah strategis pencegahan penyebaran covid-19.

Kerentanan rutan/lapas atau fasilitas penahanan lain yang tertutup dan tidak memungkinkan dilakukannya physical distancing maupun protokol kesehatan lain secara optimal yang disebabkan oleh overcrowding dalam fasilitas, seharusnya menjadi perhatian utama dari Kementerian Hukum dan HAM. Pembiaran penyebaran Covid-19 tanpa adanya upaya untuk memastikan dilakukannya tracking yang baik, testing yang merata dan rutin, serta optimalisasi protokol kesehatan dan terus membiarkan fasilitas penahanan dan pemasyarakatan mengalami overcrowding, akan menjadikan Rutan/Lapas lingkungan yang paling berbahaya bagi penyebaran Covid. Bahaya ini, tidak hanya mengancam tahanan maupun narapidana, namun juga petugas, dan masyarakat umum yang tinggal di sekitar fasilitas maupun yang berhubungan dengan petugas maupun mereka yang keluar-masuk Rutan/Lapas.

Meskipun pada April 2020, upaya pengeluaran Narapidana melalui mekanisme integrasi dan asimiliasi telah dilakukan sebagai respons terhadap pandemi Covid-19, namun ICJR, IJRS, dan LeIP menilai upaya tersebut masih kurang maksimal, dengan meninggalkan kondisi masih terdapat beban rutan/lapas mencapai 176% per Juli 2020, penghuni rutan/lapas masih lebih dari kapasitasnya yang hanya 133.086 orang. Angka tersebut pun, tidak tersebar secara merata, sebab di beberapa UPT, angka overcrowding masih berada diatas 100%. Sebut saja Lapas Kelas I Surabaya, yang pada Jumat, 21 Agustus 2020, 2 WBPnya dilaporkan positif Covid-19 dan 23 WBP lain reaktif rapid test. Menurut data Ditjenpas, Lapas Kelas I Surabaya, per 23 Agustus, mengalami overcrowding sebesar 128%. Artinya, upaya sesederhana physical distancing, pastinya mustahil dilakukan. Perlu diketahui juga per 23 Agustus terdapat kabar 7 orang WBP di lapas ini meninggal dunia secara berturut setelah mengalami sakit. Pihak lapas pun secara terang-terangan menyatakan klinik dan layanan kesehatan lapas tidak mampu menangani kondisi ini.

Kementerian Hukum dan HAM harus kembali melakukan upaya untuk mengurangi overcrowding, sebagaimana telah dilakukan sebelumnya di April lalu, setidaknya hingga seluruh UPT dapat dengan maksimal menjalankan protokol kesehatan, mengingat saat ini covid-19 sudah terpapar dalam rutan/lapas.

Pengeluaran lalu hanya difokuskan dengan melihat sisa masa pidana dari WBP. Yang belum dilakukan Kumham adalah melakukan pengeluaran dengan basis kerentanan penularan covid-19. Kelompok rentan ini termasuk diantaranya WBP yang berusia di atas 65 tahun, WBP dengan penyakit bawaan yang menyebabkan rendahnya imunitas seseorang seperti jantung, orang di umur berapapun yang memiliki obesitas atau orang dengan kondisi medis tertentu yang dapat memburuk jika tidak dikontrol seperti diabetes, gagal ginjal atau liver. Selain itu, perempuan yang hamil maupun perempuan yang membawa bayi serta anak-anak juga masuk ke dalam kelompok rentan yang harus diutamakan pengeluarannya oleh Kumham. Kumham juga harus fokus pada pengeluaran WBP yang sedari awal tidak perlu dipenjara, yaitu kelompok pengguna narkotika, per Juli 2020, jumlah pengguna narkotika di dalam rutan/lapas masih mencapai 40,470 orang.

Kementerian Hukum dan HAM penting untuk terus melakukan pengeluaran sebagai langkah lanjutan, kali ini harus memprioritaskan mereka yang termasuk ke dalam kelompok rentan kesehatan, perempuan, dan anak-anak, serta juga WBP dengan resiko keamanan yang rendah misalnya WBP tindak pidana non-kekerasan dan pengguna serta pecandu narkotika.

Untuk mengurangi beban Lapas, tentu Kemenkumham tidak dapat bekerja sendiri. Presiden juga nampaknya harus secara keras mengingatkan aparat penegak hukum untuk tidak secara masif menggunakan penahanan dalam kasus dan kondisi yang tidak terlalu dibutuhkan. Dalam beberapa kasus, Polisi masih tetap melakukan penahanan untuk kasus-kasus yang tidak berhubungan dengan kekerasan bahkan hanya menyangkut ekspresi dan pendapat saja. Hal ini diperburuk karena alternatif penahanan belum masif dilakukan. Di tataran pengadilan, ICJR, IJRS, dan LeIP meminta agar Mahkamah Agung segera memberikan arahan agar mengedepankan alternatif pemidanaan non penjara bagi kasus-kasus tertentu. Secara khusus ICJR, IJRS dan LeIP memberikan catatan kepada Kejaksaan Agung yang mulai menggunakan kewenangan menghentikan perkara untuk kasus-kasus yang berdasarkan kewenangan kejaksaan dianggap tidak terlalu penting untuk dilanjutkan pada proses selanjutnya.

Untuk itu, ICJR, IJRS, dan LeIP juga mengingatkan kepada Kementerian Hukum dan HAM, untuk dapat secara transparan memberikan update mengenai rutan/lapas yang penghuninya terpapar virus Covid-19. Hal ini, harus dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM sebagai tanggung jawabnya untuk dapat mencegah penyebaran lebih lanjut, sebab tanpa adanya data yang terbuka, maka tracking terhadap penyebaran virus akan sangat sulit dilakukan. Kegagalan tracking yang optimal, tidak hanya mengancam keselamatan penghuni dan petugas, namun juga masyarakat yang ada di populasi umum.


ICJR, IJRS, LeIP

Pernyataan Pers Aliansi Masyarakat Sipil: Pidana dalam Kasus Jerinx Tidak Tepat, Kepolisian Harus Segera Hentikan Penyidikan

Rabu, 12 Agustus 2020, Jerinx, pemilik akun IG @jrxsid menurut pemberitaan sejumlah kanal media online resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan atas dugaan pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan/atau Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai ujaran kebencian dan pencemaran nama baik. Jerinx dilaporkan oleh IDI wilayah Bali atas postingannya yang menyebut IDI sebagai “kacung WHO” karena mewajibkan dilakukannya rapid test. Kami berpendapat, penggunaan pasal pidana UU ITE untuk menjerat Jerinx atas postingan yang dibuatnya ini tidaklah tepat. Lebih lanjut, penahanan yang dikenakan terhadapnya tidaklah perlu untuk dilakukan dan cenderung dipaksakan. Adapun pernyataan Jerinx terhadap penanganan COVID-19 yang kontraproduktif perlu menjadi pemicu untuk menghadirkan diskursus publik yang lebih sehat, ketimbang menggunakan jalur kriminalisasi melalui instrumen UU ITE.

Penggunaan Pasal 28 ayat (2) untuk menjerat Jerinx atas postingan yang dibuatnya jelas tidaklah tepat dan menyalahi makna dari ketentuan tersebut. Ketentuan tersebut pada dasarnya hanya dapat digunakan untuk menjerat ekspresi-ekspresi yang termasuk ke dalam kategori _incitement to hatred/violence/discriminate_ atau penghasutan untuk melakukan suatu tindakan kebencian/kekerasan/diskriminasi berdasarkan SARA. Elemen penting dalam ketentuan itu yakni “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. Niat menjadi satu komponen yang paling penting untuk membedakan antara ekspresi yang sah (legitimate expression) dengan ekspresi yang termasuk ke dalam ujaran kebencian.

Menurut pandangan kami, ekspresi yang disampaikan oleh Jerinx di dalam postingan Instagramnya tersebut, yang merujuk kepada IDI sebagai “kacung WHO” sangat jauh untuk dapat dikatakan memenuhi unsur ini. Lebih jauh, untuk dapat mengetahui apakah sebuah ekspresi masuk kualifikasi sebagai penyebaran ujaran kebencian, terlebih dahulu harus dilihat: (1) Konteks di dalam ekspresi; (2) Posisi dan status individu yang menyampaikan ekspresi tersebut; (3) Niat dari penyampaian ekspresi untuk mengadvokasikan kebencian dan menghasut; (4) Kekuatan muatan dari ekspresi; (5) Jangkauan dan dampak dari ekspresi terhadap audiens; dan (6) Kemungkinan dan potensi bahaya yang mengancam atas disampaikan ekspresi. Rentannya penyalahgunaan pasal incitement to hatred ini, mengharuskan aparat penegak hukum untuk lebih berhati-hati dalam menilai suatu ekspresi memiliki muatan bahaya (harmful) serius, sehingga dapat dipidana. Sedangkan dalam peristiwa ini, kualifikasi bahaya tersebut belum terpenuhi.

Tidak hanya penggunaan Pasal 28 ayat (2) UU ITE terhadap Jerinx yang tidak tepat, penggunaan Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik juga sama sekali tidak berdasar. Pasal 27 ayat (3) dalam penerapannya haruslah mengacu kepada ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang mengatur mengenai pencemaran terhadap individu. Artinya, pasal tersebut hanya dapat dikenakan terhadap pencemaran yang ditujukan terhadap orang perseorangan, bukan terhadap institusi ataupun badan hukum. Pasal 27 ayat (3) KUHP pun merupakan delik aduan absolut yang artinya individu yang dicemarkan itu sendiri yang harus melaporkan perbuatan pidana terhadapnya dan bukan perwakilannya. Tentu saja menjadi tidak masuk akal kemudian, ketika institusi yang harus diwakili oleh seseorang menggunakan ketentuan ini. Dalam kasus Jerinx, pencemaran nama baik yang dilaporkan adalah pencemaran terhadap institusi IDI. Oleh karenanya, secara otomatis Pasal 27 ayat (3) UU ITE sama sekali tidak dapat diterapkan terhadapnya.

Atas penangkapan dan penetapan Jerinx sebagai tersangka ini, kami mengingatkan kembali agar Aparat Penegak Hukum berhati-hati dalam menerapkan UU ITE. Kejaksaan sebagai *“Dominus Litis”* yang memiliki kewenangan untuk menuntut perkara ini, harus dengan tegas menolak perkara, sebab pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat Jerinx ini jelaslah tidak sesuai dengan maksud pembentukannya dan terlihat sangat dipaksakan hanya untuk memenuhi sentimen punitif dari masyarakat.

Tidak hanya itu, penahanan yang dilakukan terhadap Jerinx oleh Kepolisian bukanlah langkah yang tepat untuk diambil, terlebih di masa pandemi Covid-19 ini, dimana seluruh pihak di dalam sistem peradilan pidana sedang berusaha keras mengurangi jumlah tahanan dari dalam fasilitas penahanan untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19 di dalam fasilitas. Meskipun pasal yang digunakan untuk menjerat Jerinx ancamannya lebih dari 5 (lima) tahun, namun demikian Kepolisian yang memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan harus dapat melihat urgensi dari pelaksanaan upaya paksa ini dengan lebih baik. Terlebih, pasal yang diancamkan kepada Jerinx, sama sekali tidak melibatkan adanya kekerasan, yang seharusnya menjadi bahan pemikiran bagi Kepolisian untuk tidak memprioritaskan penahanan terhadapnya.

*Berdasarkan hal tersebut, kami mendesak sejumlah hal berikut ini:*

  1. Kepolisian untuk menghentikan penyidikan perkara ini, mengingat tidak terpenuhinya sejumlah unsur pidana sebagaimana dijelaskan di atas.
  2. Segera mengeluarkan Jerinx dari tahanan, penahanan Jerinx dapat menjadi gambaran tidak pekanya penyidik terhadap kondisi pandemic Covid-19 yang saat ini juga menjadi persoalan di tempat-tempat penahanan.
  3. Kejaksaan apabila perkara ini tidak dihentikan penyidikannya, sebagai dominus litis, menolak melakukan penuntutan karena tidak layaknya perkara ini untuk diajukan ke persidangan.
  4. Aparat penegak hukum untuk lebih hati-hati menggunakan ketentuan di dalam UU ITE dan menerapkannya dengan ketat sesuai dengan batasan-batasan yang sudah ditentukan.
  5. Pemerintah dan DPR untuk segera memprioritaskan perubahan kembali UU ITE, melihat UU ITE masih belum tepat sasaran dan penggunaanya cenderung eksesif.

Jakarta, 13 Agustus 2020
Aliansi Masyarakat Sipil

ICJR, Elsam, PIL-NET, IJRS, HRWG, DebtWatch Indonesia, IMPARSIAL, PBHI, YLBHI, LBH Pers, Greenpeace Indonesia, PSHK, Indonesia for Global Justice, Yayasan Satu Keadilan, ICEL, LeIP

[Rilis Pers] Kondisi Buruk Lapas Terekspos Kembali: Mutlak, Reformasi Kebijakan Pidana Harus Perhatikan Lapas

Jajaran Pemerintah dan DPR Harus Serius Bahas Pembaharuan KUHAP, Kebijakan Alternatif Pemidanaan Non Pemenjaraan dalam RKUHP untuk Pengarusutamaan Restorative Justice, dan Reformasi Kebijakan Narkotika dengan Menggunakan Pendekatan Kesehatan

Lagi-lagi kondisi buruk dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) terungkap. Kali ini dibeberkan oleh Surya Anta, yang pernah menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta Pusat melalui cuitan dalam twitter miliknya. Surya Anta membeberkan kondisi buruk pada Rutan Salemba mulai dari kondisi pemenuhan hak dasar WBP yang tidak memadai, yaitu hak atas makanan hingga hak atas kesehatan, juga terjadinya praktik perdagangan gelap narkotika hingga komodifikasi untuk pemenuhan fasilitas layak di dalam Lapas. Kondisi ini dilaporkan pada masa sebelum pandemi COVID-19, sebelum pihak Kementerian Hukum dan HAM memberlakukan kebijakan percepatan asimilasi dan pembebasan bersyarat pada WBP untuk pencegahan penyebaran COVID-19.

Temuan ini tidak mengejutkan, tetapi tetap memprihatinkan, karena kondisi ini terus terjadi tanpa adanya solusi komprehensif. Hal ini jelas terjadi seiring dengan overcrowding Rutan dan Lapas yang terjadi terus menerus tanpa solusi yang komprehensif. Sebagai catatan, sebelum kebijakan pelepasan WBP untuk pencegahan penyebaran COVID-19, per Maret 2020 jumlah penghuni Rutan dan Lapas di Indonesia mencapai 270.466 orang. Padahal kapasitas Rutan dan Lapas hanya dapat menampung 132.335 orang. Kesimpulannya beban Rutan dan Lapas di Indonesia mencapai 204%.

Sayangnya, solusi atas permasalahan tersebut tidak komprehensif dan hilang timbul. Pemerintah tidak begitu memperhatikan bahwa pangkal permasalahan kondisi overcrowding adalah kebijakan pemidanaan di Indonesia.

Kementerian Hukum dan HAM pada Juli 2017 telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) No. 11 tahun 2017 tentang Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam lampiran Permenkumham tersebut, dinyatakan bahwa upaya penanganan overcrowding juga harus dilakukan dengan melakukan perubahan kebijakan dan mereformasi paradigma penghukuman yang kental dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

Permenkumham ini menyoroti budaya praktis aparat penegak hukum yang secara eksesif melakukan penahanan terhadap Tersangka/Terdakwa dalam masa persidangan. Per Maret 2020, jumlah tahanan di Rutan/Lapas di Indonesia menyumbang 24% dari jumlah penghuni. Hal ini disebabkan oleh adanya paradigma penegak hukum bahwa penahanan merupakan suatu keharusan. Padahal KUHAP menyediakan mekansime lain, misalanya tahanan kota, tahanan rumah atupun mekanisme penangguhan penahanana. Untuk penahanan Rutan, KUHAP pun sudah menyatakan bahwa seorang Tersangka “dapat” dikenai penahanan, dan bukan “harus” dikenai penahanan. Sikap seperti ini yang dikritik Permenkumham ini.

“Pola pikir praktis seperti ini sangat berdampak pada isi hunian di Lapas dan Rutan, karena semakin tinggi penghukuman dengan menggunakan media penahanan maka semakin tinggi jumlah hunian dibandingkan dengan kapasitas ruang yang tersedia atau lazim disebut overcrowded” (Lampiran Permenkuham No. 11 tahun 2017 hal. 6)

KUHAP dalam ketentuan mengenai penahanan membatasi syarat dilakukannya penahanan berdasarkan 2 (dua) syarat, yakni syarat objektif dan subjektif. Sayangnya, syarat subjektif penggunaannya sangat bergantung dari penilaian aparat penegak hukum. Apabila aparat penegak hukum berpendapat bahwa pelaku akan melarikan diri, maka penahanan dapat dilakukan. Kondisi ini kemudian diperburuk dengan ketiadaan mekanisme untuk mempertanyakan dipenuhinya syarat subjektif ini, karena pra-peradilan hanya terbatas memeriksa perihal administratif dan hanya dapat dilakukan apabila ada gugatan dari pihak yang haknya terlanggar.

Selain kritik terkait dengan penggunaaan penahanan yang eksesif, Permenkumham No. 11 tahun 2017 tersebut juga menaruh catatan terhadap kondisi minimnya alternatif pemidanaan dalam sistem peradilan pidana saat ini. Kritik tersebut juga disampaikan untuk beberapa rumusan dalam RKUHP.

“Visi undang-undang di Indonesia yang bernuansa penjara sesungguhnya adalah alasan sederhana mengapa Indonesia menghadapi permasalahan kondisi overvrowded pada rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan. Sebagai contoh lain, dalam Rancangan KUHP (RKUHP) yang saat ini dibahas di DPR, hampir semua ancaman pidana meningkat drastis, beberapa di antaranya bahkan dapat mengakibatkan over kriminalisasi yang berujung pemenjaraan dan berbuah overcrowded. Sebut saja semisal pidana penghinaan yang ancamannya dalam RKUHP mencapai 5 (lima) tahun penjara atau pidana zina yang juga mencantumkan pidana penjara 5 (lima) tahun pula.” (Lampiran Permenkumham No. 11 Tahun 2017, hal. 23).

Dalam Naskah Akademik RKUHP, Perumus RKUHP berkomitmen untuk menghadirkan alternatif pemidanaan non-pemenjaraan untuk menghilangkan dampak destruktif dari pemenjaraan. Namun sayangnya, hingga draft RKUHP September 2019, keberadaan alternatif pidana baru nampaknya tidak akan berdampak positif dalam menangani masalah overcrowding, dengan jumlah yang sangat minim dan banyaknya syarat yang harus diberlakukan.

Tidak hanya terkait dengan penggunaaan penahanan yang eksesif dan minimnya alternatif pemidanaan non-pemenjaraan, Permenkumham No. 11 Tahun 2017 tersebut secara jelas mengkritik adanya kebijakan narkotika yang punitif dengan mengatakan bahwa kebijakan ini akan berdampak pada masalah pemenuhan hak kesehatan penghuni Lapas.

Maka sudah bisa ditebak tingginya jumlah pengguna narkotika sangat berpengaruh terhadap jumlah Tahanan/Narapidana kasus penyalahgunaan narkotika yang masuk ke dalam Lapas/Rutan, meskipun tempat terbaik yang dibutuhkan mereka adalah pusat rehabilitasi. Peningkatan pemenjaraan pada pengguna narkotika tersebut dipastikan berbanding lurus dengan prevalensi HIV/AIDS di Lapas/Rutan. Hal ini disinyalir terjadi melalui peredaran gelap narkotika yang tak henti-hentinya (dengan segala modus operandinya) diselundupkan ke dalam Lapas/Rutan dan praktik seksual yang tidak aman yang terjadi di Lapas/Rutan. Jumlah tersebut tentunya perlu menjadi perhatian khusus bagi pemangku kebijakan untuk menyadari bahwa penanganan penyalahgunaan narkotika di Lapas/Rutan memerlukan special treatment (Lampiran Permenkumham No. 11 tahun 2017 hal. 42).

Sebagai catatan, kebijakan narkotika yang mempromosikan pemenjaraan adalah kebijakan yang usang dan telah gagal di banyak negara. Meneruskan kriminalisasi terhadap pengguna dan pecandu narkotika sama dengan meneruskan kegagalan. Per Maret 2020, 55% WBP berasal dari tindak pidana narkotika dan sebanyak 38.995 WBP merupakan pengguna narkotika. Bahkan sebelumnya di Februari 2020, 68% WBP berasal dari tindak pidana narkotika dan pengguna narkotika yang dipaksa untuk mendekam di penjara mencapai 47.122 orang.

Dokumen Permenkumham No. 11 tahun 2017 tentang Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan sebenarnya bisa jadi kunci pemerintah untuk melakukan evaluasi mendasar dari kebijakan pidana di Indonesia. Reformasi kebijakan pidana ini pun sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 Pemerintah yang berkomitmen untuk mengarusutamakan penggunaan Restorative Justice dalam sistem peradilan pidana. Salah satu poin penting dalam penggunaan Restorative Justice juga sejalan dengan menghindarkan penahanan secara eksesif, menjamin optimalisasi alternatif penahanan non pemenjaraan dan mereformasi kebijakan narkotika untuk kembali pada pendekatan kesehatan masyarakat dengan menjamin pengguna dan pecandu narkotika tidak dikriminalisasi.

Oleh karena itu, Koalisi Pemantau Peradilan memberikan rekomendasi solusi untuk perbaikan kondisi buruk Rutan dan Lapas harus dengan reformasi kebijakan pidana sebagai berikut:

  1. Pemerintah dan DPR segera melakukan pembaruan KUHAP dan perbaikan sistem peradilan pidana serta memastikan judicial control/oversight yang lebih baik untuk mencegah penggunaan penahanan secara eksesif;
  2. Pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap upaya reformasi hukum pidana (reformasi ketentuan pidana dalam RKUHP dan UU terkait Pidana di luar KUHP, mengefektifkan pidana denda, dan bentuk alternatif pemidanaan non-pemenjaraan lainnya);
  3. Pemerintah segera mengubah kebijakan punitif menjadi kesehatan masyarakat untuk menangani narkotika dan menyelaraskan kebijakan pidana dengan semangat menghapuskan stigmatisasi bagi pengguna dan pecandu narkotika.

 

Jakarta, 14 Juli 2020
Hormat kami,

Koalisi Pemantau Peradilan
ICJR, IJRS, LeIP, LBH Masyarakat, KontraS, ELSAM, YLBHI, PBHI, LBH Jakarta, ICEL, ICW, PSHK, Imparsial, Puskapa, LBH Apik, PILNET Indonesia

[Rilis Pers] Koalisi Masyarakat Sipil Meminta Dasar Pemerintah Menolak Rekomendasi WHO terkait Ganja Medis untuk Dibuka ke Publik

Koalisi Masyarakat Sipil yang diwakili oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) meminta agar bukti ilmiah terhadap klaim-klaim penelitian terkait ganja medis dibuka kepada publik. Koalisi yang diwakili oleh LBH Masyarakat pada 7 Juli 2020 secara resmi telah mengajukan permohonan informasi publik yang ditujukan kepada BNN, Polri, dan Kemenkes.

Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Narkotika untuk Kesehatan mempertanyakan sikap Pemerintah yang menolak rekomendasi WHO terkait penggunaan ganja untuk kesehatan. Sebelumnya, pada Juni 2020 Pemerintah yang diwakili oleh Badan Narkotika Nasional, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kementerian Kesehatan mengadakan rapat untuk menyiapkan jawaban resmi untuk Komite Ahli Ketergantungan Obat WHO dan berkesimpulan bahwa sikap Indonesia berada pada posisi menolak penggunaan ganja untuk kepentingan kesehatan.

Namun Koalisi Masyarakat Sipil menilai bahwa klaim-klaim penelitian yang dijadikan dasar pengambilan kesimpulan tersebut tidak jelas dan cenderung mengada-ada. Dalam poin-poin hasil rapat tersebut antara lain dinyatakan bahwa:

  1. Jenis ganja yang tumbuh di Indonesia berbeda dengan tanaman ganja yang tumbuh di Eropa atau Amerika. Kesimpulan itu didapat berdasarkan hasil penelitian bahwa ganja di Indonesia memiliki kandungan THC yang tinggi (18%) dan CBD yang rendah (1%). Kandungan THC berbahaya bagi kesehatan karena bersifat psikoaktif;
  2. Ganja medis yang digunakan untuk pengobatan adalah ganja yang melalui proses rekayasa genetik yang menghasilkan kandungan CBD tinggi dan kandungan THC rendah. Sedangkan ganja di Indonesia tidak melalui proses rekayasa genetik karena tumbuh dari alam dengan kandungan THC tinggi dan CBD rendah. Di samping itu sangat mudah tumbuh di hutan dan pegunungan. Sehingga ganja yang tumbuh di Indonesia bukanlah jenis ganja yang dapat digunakan untuk pengobatan;
  3. Di Indonesia penggunaan ganja lebih banyak dikonsumsi untuk bersenang-senang bukan untuk kepentingan medis. Sehingga apabila ganja dilegalkan akan lebih banyak dampak buruknya, seperti peningkatan angka orang sakit dan kematian akibat maraknya penggunaan ganja.

Dalam permohonan informasi publik, Koalisi meminta agar bukti penelitian yang melandasi klaim di atas dapat dibuka kepada publik, meskipun Koalisi meyakini bahwa selama ini belum ada satu pun penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia terkait manfaat kesehatan tanaman ganja.

Oleh karenanya, untuk mengatasi kesimpangsiuran terkait klaim penelitian tersebut dan membuktikan benar adanya bahwa sikap Pemerintah memang diambil berbasiskan bukti, maka lembaga-lembaga Pemerintah tersebut diharapkan dapat segera merespon permohonan informasi ini dan membuka hasil penelitian yang dimaksud kepada publik.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi Narkotika untuk Kesehatan
LBH Masyarakat, ICJR, Rumah Cemra, LGN, IJRS, EJA, Yakeba