Pedoman Kejaksaan Nomor 11 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika dan/atau Tindak Pidana Prekursor Narkotika

Pedoman-Kejaksaan-11-Tahun-2021

Download Pedoman

Kekerasan Seksual pada Laki-Laki: Diabaikan dan Belum Ditangani Serius

Oleh: Bestha Inatsan Ashila dan Naomi Rehulina Barus

Beberapa pekan yang lalu masyarakat dihebohkan dengan sebuah kasus perundungan dan pelecehan seksual terhadap seorang karyawan laki-laki di KPI. Di saat yang sama, seorang selebriti yang melakukan kekerasan seksual terhadap laki-laki juga mengundang pembicaraan karena baru saja keluar dari penjara dan disambut dengan meriah oleh beberapa kelompok masyarakat.

Di tahun 2021 sebagaimana dilansir oleh Detik.com pada 26 April, seorang remaja laki-laki berusia 16 tahun berinisial FA, yang tinggal di Probolinggo, Jawa Timur, mengaku telah menjadi korban perkosaan yang dilakukan oleh seorang perempuan berinisial DAP (28 tahun). Dilansir dari Kompas 23 April 2021 pelaku menyuruh FA datang ke rumah kontrakannya untuk membicarakan pekerjaan, setibanya di rumah pelaku, FA dicekcoki minuman keras hingga tidak sadarkan diri. Dalam kondisi tidak berdaya, FA dipaksa untuk melayani pelaku.

Kekerasan seksual terhadap laki-laki bukanlah sebuah fenomena baru yang terjadi di masyarakat. Pada tahun 2020 terdapat kasus yang cukup menghebohkan publik yaitu kasus Reynhard Sinaga di mana terdapat 48 korban laki-laki dan diduga melakukan 159 kasus perkosaan dan serangan seksual di Inggris. Pada bulan April 2021 silam, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman 11 tahun penjara dan denda Rp100 juta kepada HI (58 tahun) seorang pendeta di Jawa Timur yang terbukti melakukan pencabulan terhadap 11 anak di bawah umur yang terjadi bertahun-tahun.

Data kekerasan seksual terhadap laki-laki nyata tapi diabaikan

Banyak penelitian menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual didominasi oleh perempuan dan mayoritas pelaku adalah laki-laki. Akan tetapi fakta tersebut tidak dapat menafikan bahwa kekerasan seksual juga terjadi pada laki-laki khususnya anak laki-laki. Kekerasan seksual terhadap laki-laki seringkali tidak dianggap sebagai suatu hal yang serius. Berdasarkan Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan INFID Tahun 2020 ada 33% laki-laki yang mengalami kekerasan seksual khususnya dalam bentuk pelecehan seksual.

Berdasarkan survei dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang melibatkan 62.224 responden, 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan di ruang publik. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperlihatkan bahwa korban kekerasan seksual di tahun 2018 lebih banyak dialami oleh anak laki-laki, di mana ada 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual.

Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2017, untuk kelompok umur 13-17 tahun prevalensi kekerasan seksual terlihat lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu sebesar 8,3% atau dua kali lipat dari prevalensi kekerasan seksual pada perempuan yang mencapai 4,1%.

Temuan-temuan ini menjadi menarik karena laki-laki jarang dianggap sebagai korban kekerasan seksual. Walaupun laki-laki memiliki peluang yang lebih kecil untuk mengalami kekerasan seksual, banyak sekali kasus yang tak terungkap ke permukaan. Sebuah studi dari satu dari enam orang menyimpulkan bahwa permasalahan terkait kekerasan seksual terhadap laki-laki kurang dilaporkan, kurang diakui, dan kurang ditangani. Data yang menunjukkan terjadinya kekerasan seksual pada laki-laki seringkali diacuhkan karena laki-laki yang memiliki pengalaman menjadi korban cenderung untuk tidak melaporkannya.

Korban kekerasan seksual laki-laki memilih untuk bungkam

Selama ini toxic masculinity membuat kita meyakini bahwa kasus laki-laki yang menjadi korban pemerkosaan adalah hal yang tidak masuk akal, laki-laki dianggap selalu menginginkan hubungan seksual—sehingga mereka tidak bisa diperkosa. Laki-laki harus cukup kuat untuk bisa melawan—sehingga mereka seharusnya dapat melawan dan kejahatan perkosaan hampir tidak mungkin terjadi. Mitos tersebut berkontribusi pada budaya di mana pemerkosaan terhadap laki-laki seringkali diabaikan dan tidak dilaporkan.

Dalam jurnal “Perceptions of male victims in depicted sexual assaults: A review of the literatur” yang ditulis Michelle Davies dan Paul Rogers pada 2006, selama ini ada anggapan bahwa “seorang perempuan tidak dapat memaksa seorang pria untuk melakukan hubungan seks”. Perempuan dipandang sebagai makhluk yang lemah dan pasif secara seksual, sedangkan laki-laki adalah makhluk yang lebih agresif, menjadi inisiator dalam hubungan seksual. Sehingga, sulit untuk membayangkan ‘perempuan yang submisif’ memaksa seorang pria yang secara terang menolak untuk berhubungan seks, atau adanya laki-laki yang menolak kesempatan untuk berhubungan seks.

Laki-laki korban seksual seringkali merasa lemah, tidak berharga, dan kehilangan “kejantanannya” karena tidak mampu melindungi diri maupun komunitasnya. Belum lagi, adanya asumsi masyarakat yang menggeneralisir korban perkosaan sesama jenis sebagai bentuk penyimpangan seksual. Acapkali korban dikaitkan dengan ‘praktik homoseksualitas’ yang dianggap tabu dan tidak “normal”.

Berdasarkan jurnal ‘’Conflict-related sexual violence against men and boys’’ Wynne Russell tahun 2007, ketika menjadi korban kekerasan seksual, laki-laki dewasa maupun anak laki-laki cenderung enggan untuk melaporkan kasusnya, sehingga membuatnya sulit untuk melihat dengan akurat ruang lingkupnya. Data statistik yang masih terbatas hampir pasti sangat kurang dalam merepresentasikan jumlah korban laki-laki. Kekerasan seksual pada laki-laki ada, namun sebagian besar tidak terdokumentasi. Hal ini menyebabkan kurangnya bantuan atau keadilan bagi laki-laki yang menjadi korban.

Dampak Kekerasan Seksual yang Dialami Laki-Laki

Selama ini, sebagian besar penelitian terkait kekerasan seksual berfokus pada perempuan sebagai korban dan masih sedikit yang membahas laki-laki sebagai korban. Kurangnya pencarian kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki dan kurangnya penelitian terkait dampak kekerasan seksual pada laki-laki menunjukkan sikap yang ada di masyarakat—bahwa ketika kekerasan seksual terjadi pada laki-laki, hal tersebut bukanlah topik yang dapat diterima untuk didiskusikan.

Banyak tulisan tentang trauma psikologi yang dialami korban perkosaan perempuan, sementara sedikit penelitian yang membahas korban laki-laki, penelitian terhadap kasus menunjukkan bahwa laki-laki juga mengalami banyak reaksi seperti yang dialami perempuan ketika menjadi korban, yaitu depresi, kemarahan, rasa bersalah, menyalahkan diri sendiri, disfungsi seksual, trauma, dan keinginna untuk bunuh diri.

Masalah lain yang dihadapi laki-laki termasuk adanya peningkatan perasaan tidak berdaya, citra diri yang rusak dan adanya jarak emosional dengan orang lain (emotional distancing). Tidak jarang seorang laki-laki korban perkosaan justru menyalahkan diri sendiri atas peristiwa yang dialami, mempercayai bahwa dirinya yang memberikan kesempatan kepada pelaku.

Minimnya perlindungan hukum bagi korban laki-laki

Tidak dapat dipungkiri, kurangnya atensi publik terhadap kasus-kasus kekerasan seksual selain daripada laki-laki sebagai pelaku terhadap korban perempuan, telah membatasi pengadvokasian reformasi politik hukum bagi para korban. Dalam jurnal “Gender Neutrality, rape, and Trial Talk” yang ditulis Philip Rumney tahun 2008, meskipun sebagian besar negara seperti Amerika telah mengadopsi peraturan perundang-undangan yang responsif gender, masih ada celah hukum yang mendiskriminasi korban laki-laki.

Berdasarkan paper “Into The Mainstream: Addressing Sexual Violence against Men and Boys in Conflict” dari Plan Internasional tahun 2014 fakta ini didukung berdasarkan hasil survei terhadap 189 negara di mana dua puluh satu negara di antaranya belum memberikan perlindungan hukum yang komprehensif bagi korban laki-laki. Perkosaan terhadap laki-laki tidak didefinisikan pada terminologi atau klasifikasi kejahatan yang sama layaknya korban perempuan, karena perkosaan terhadap perempuan mungkin memiliki konsekuensi hukum yang berbeda, atau tidak diakuinya perkosaan terhadap laki-laki sebagai suatu delik yang dapat dipidana.

Problematika yang serupa juga terjadi di Negara Indonesia. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia yang belum mengenal istilah “kekerasan seksual”, memberikan penafsiran yang sempit terhadap laki-laki korban perkosaan. Berdasarkan Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), korban perkosaan haruslah seorang perempuan yang mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Sama halnya dengan rumusan Pasal 286 hingga 288 KUHP.

Dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, R. Soesilo menjelaskan bahwa pembuat aturan memandang pemaksaan persetubuhan terhadap laki-laki, tidak akan mengakibatkan sesuatu yang buruk atau merugikan bagi laki-laki, seperti halnya seorang perempuan yang dirugikan (hamil) atau melahirkan anak karena perbuatan itu.

Mau tidak mau, Aparat Penegak Hukum kerap menggunakan Pasal 289 KUHP hingga Pasal 296 KUHP (‘perbuatan cabul’), ketika menangani kasus perkosaan terhadap laki-laki dewasa. Pasal-pasal tersebut dinilai “lebih” responsif gender sebab tidak memandang apakah perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan, maupun sebaliknya. Unsur ‘seseorang’ yang dicantumkan dalam pasal ini berlaku untuk siapa saja.

Hal yang perlu dilakukan kedepan

Hal yang penting yang dibutuhkan adalah pengumpulan data yang sistematis, semua data harus dapat dipecah berdasarkan jenis kelamin dan usia. Selain itu, perlu adanya ruang bagi para ahli untuk berdiskusi tentang cara memberikan bantuan untuk laki-laki dan anak laki-laki korban kekerasan seksual, mengingat isu ini luar biasa sensitif bagi korban dan masyarakat sehingga perlu strategi yang perlu dipikirkan masak-masak sebagaimana disebutkan dalam paper “Sexual violence against men and boys” oleh Wynne Russell. Mengingat korban laki-laki memiliki kebutuhan yang berbeda dari korban perempuan dan seringkali enggan untuk membahas kekerasan seksual yang dihadapinya dan dampaknya.

Selain itu, penyintas kekerasan seksual biasanya mengalami gangguan stress pasca trauma (PTSD), sehingga seorang penyintas perkosaan biasanya disarankan untuk berkonsultasi dengan crisis centre atau orang yang ahli dalam hal tersebut. Sebagian besar penyedia layanan dikelola oleh perempuan, namun mereka juga biasanya memiliki konselor pria dan perempuan. Korban dapat menanyakan apakah lembaga layanan memiliki staf laki-laki atau tidak.

Konseling dapat membantu mengatasi reaksi fisik dan emosional dan memberikan korban informasi yang diperlukan terkait prosedur medis dan proses peradilan. Korban juga memiliki hak untuk melaporkan kejahatan yang dialami, namun karena aparat penegak hukum tidak selalu peka terhadap laki-laki korban perkosaan penting untuk memiliki teman atau pendamping yang dapat mendampingi dalam pelaporan tindak pidana dan agar mendapatkan dukungan dan bantuan.

 

Tulisan ini dimuat dalam media HukumOnline.com : https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt6151421019441/kekerasan-seksual-pada-laki-laki–diabaikan-dan-belum-ditangani-serius/?page=1

Meningkatkan Akses Layanan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan

Pada tanggal 24 September 2021 kemarin, LBH Apik Jakarta mengadakan diskusi ”Meningkatkan Akses Layanan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Melalui Implementasi Pedoman Kejaksaan Agung No. 1 Tahun 2021”. Acara ini dipandu oleh Deputi Knowledge Management IJRS Bestha Inatsan Ashila dengan 2 orang narasumber yaitu Ibu Erni Mustika Sari S.H.,M.H Jaksa di Kejaksaan Agung RI dan Ibu Dr. Margaretha Hanita tenaga ahli P2TP2A DKI Jakarta.

Acara diskusi ini dihadiri oleh berbagai stakeholder diantaranya LPSK, Pengadilan Negeri, Kejaksaan, Unit PPA Polres, paralegal, dan lembaga pendampingan korban.

Dalam diskusi tersebut narasumber dan peserta menyampaikan pengalamannya dan hambatan dalam menangani perkara kekerasan terhadap anak dan perempua. Diskusi juga menghasilkan beberapa rekomendasi diantaranya mendorong adanya sosialisasi pedoman kejaksaan no. 1 Tahun 2021, adanya koordinasi yang lebih solid antara APH dengan LPSK dan lembaga layanan, mendorong agar kasus kekerasan seksual tidak diselesaikan dengan cara RJ, dan mendorong adanya sistem yang memastikan restitusi dibayarkan pelaku.

Pelatihan Fasilitasi oleh Sekolah Fasilitasi

Selama 2 pekan pada tanggal 6-17 September 2021, IJRS dengan dukungan AIPJ2 mengikuti pelatihan fasilitasi yang diselenggarakan oleh Sekolah Fasilitasi secara online. Pada pelatihan ini peserta pelatihan mendapatkan materi dari fasilitator profesional Endro Catur Nugroho. Dio, Shofana, Bestha, Maria, Arsa, Nanda dan Dian menjadi peserta dari IJRS yang mengikuti kegiatan ini.

Kelas yang diambil pada pelatihan ini adalah mengenai Esensi Fasilitasi, yang memfokuskan peserta untuk mengenal dasar-dasar fasilitasi, membuat rancangan fasilitasi dan terampil dalam mempraktekkan fasilitasi pada pekerjaan dan kegiatan sehari-hari menggunakan teknik, metode dan alat-alat yang sesuai dengan kondisi kelompok yang difasilitasikan.

[Rilis Pers] Seleksi Calon Hakim Agung Tahun 2021: Mampukah Menghasilkan Hakim Agung yang Berintegritas dan Profesional?

Komisi Yudisial (KY) telah menyelenggarakan tahap akhir seleksi calon hakim agung (CHA) berupa wawancara (fit and proper test) terhadap 24 orang calon pada tanggal 3-7 Agustus 2021. Rangkaian seleksi CHA ini diselenggarakan oleh KY untuk memenuhi jumlah kebutuhan Hakim Agung sebanyak 13 orang yang diminta Mahkamah Agung (MA) dengan rincian 2 orang Hakim Agung kamar perdata, 8 orang Hakim Agung kamar pidana, 1 orang Hakim Agung kamar militer, dan 2 orang Hakim Agung kamar tata usaha negara khusus pajak.

Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) mencatat beberapa isu perihal keterbukaan yang terjadi selama diselenggarakannya wawancara CHA oleh KY. Pertama, beberapa CHA yang lolos ke tahap wawancara diduga memiliki rekam jejak bermasalah, mulai dari jumlah harta kekayaan yang tidak wajar hingga dugaan pelanggaran integritas dan profesionalitas. Kedua, Koalisi menilai beberapa panelis dan komisioner memberikan kesan intimidatif saat melemparkan pertanyaan, tetapi justru tidak terdapat pendalaman yang berarti secara substansi. Ketiga, proses pendalaman profil berupa klarifikasi rekam jejak CHA dalam wawancara CHA sempat dilakukan secara tertutup dengan menonaktifkan suara (mute) pada saat live Youtube berlangsung, namun pada hari kedua mekanisme ini diubah dan dapat disaksikan secara daring oleh publik.

Poin kedua dan ketiga menunjukkan bahwa tahap wawancara tidak sepenuhnya dilakukan dengan transparan, akuntabel, dan partisipatif. Hal ini tidak sejalan dengan UU Komisi Yudisial dan Peraturan Komisi Yudisial No. 2 Tahun 2016 tentang Seleksi Calon Hakim Agung yang mengatur bahwa “seleksi calon hakim agung dilaksanakan secara transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel.” Dalam Peraturan KY ini, diatur dalam Pasal 21 ayat (6) bahwa wawancara dilakukan secara tertutup dalam hal terdapat informasi baru terkait kesusilaan.

Koalisi mencatat bahwa seleksi CHA kali ini merupakan sebuah kemunduran bagi Komisi Yudisial. Setelah proses wawancara yang kurang transparan, akuntabel dan partisipatif, proses pengumuman CHA yang lolos ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak dipublikasikan oleh KY. Pasca wawancara di KY yang selesai pada 7 Agustus 2021, tidak ada kabar mengenai hasil seleksi CHA baik di website dan media sosial KY maupun di media massa. Hingga pada Jumat, 27 Agustus 2021, beredar file surat perihal Pengajuan Nama Calon Hakim Agung Tahun 2021 yang dikirimkan Komisi Yudisial kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Ketua Komisi III DPR. Surat tersebut bertanggal 9 Agustus 2021 dan memuat 11 nama CHA yang dinyatakan lolos oleh KY dan akan diseleksi lebih lanjut oleh DPR.

Kemunculan surat ini di berbagai platform sebagai dokumen yang tidak resmi dikeluarkan oleh KY tentu menjadi hal yang mengejutkan mengingat dalam proses seleksi CHA yang telah berlangsung di tahun-tahun sebelumnya, KY selalu mengumumkan nama-nama Calon yang lolos dan akan mengikuti seleksi ke DPR bersamaan dengan pengiriman surat ke DPR. Sedangkan, pada seleksi tahun 2021 ini, tidak terdapat pengumuman resmi oleh KY. Sejak berakhirnya proses wawancara pada 7 Agustus 2021, tidak terdapat kabar berita dari KY mengenai kemajuan pelaksanaan seleksi CHA hingga akhirnya surat rahasia tersebut beredar. Bagi Koalisi, hal ini sekali lagi mengundang tanda tanya akan transparansi KY dalam menyelenggarakan proses seleksi CHA. Hari ini 17 September 2021, Pimpinan KY menyerahkan nama-nama calon hakim agung secara simbolis kepada Pimpinan DPR secara langsung di DPR.

Proses seleksi di DPR sudah dimulai hari ini 17 September 2021 dengan agenda pertama penulisan makalah oleh para CHA. Selanjutnya akan dilakukan fit and proper test berupa wawancara CHA pada Senin-Selasa, 20 dan 21 September 2021. Komisi III DPR akan mengambil keputusan mengenai CHA yang lolos menjadi Hakim Agung pada Selasa 21 September 2021.

Penerapan keterbukaan dan transparansi yang rumpang dalam pelaksanaan seleksi CHA di tahap sebelumnya menyadarkan kita bahwa diperlukan pengawalan yang lebih intensif lagi dalam proses seleksi CHA yang akan dilaksanakan di DPR. Untuk itu, Koalisi menuntut Dewan Perwakilan Rakyat untuk:

  1. Menyelenggarakan proses seleksi Calon Hakim Agung secara terbuka dan dapat diakses oleh publik secara daring (online). Dalam hal ini, DPR dapat menerapkan praktik yang sudah dilakukan oleh KY dalam tahap sebelumnya.
  2. Memilih Calon Hakim Agung yang memiliki profil:
    • CHA yang memiliki visi dan misi yang jelas sebagai Hakim Agung;
    • CHA yang tidak memiliki catatan integritas yang buruk;
    • CHA yang memiliki harta kekayaan yang wajar;
    • CHA yang memiliki pemahaman mumpuni mengenai hukum dan peradilan sesuai kamar perkara yang dipilih;
    • CHA yang berkomitmen untuk berperan aktif dalam reformasi peradilan khususnya di Mahkamah Agung;
    • CHA yang memahami peran hakim dan pengadilan dalam pemenuhan HAM sesuai kedudukan pengadilan dalam konsep negara hukum; serta
    • CHA yang memiliki keberpihakan pada kelompok rentan, yaitu perempuan, anak, masyarakat miskin dan kelompok minoritas, serta perlindungan lingkungan hidup.
  3. Tidak meloloskan CHA yang memiliki rekam jejak buruk dan tidak berintegritas.

Jakarta, 17 September 2021

KOALISI PEMANTAU PERADILAN

Transparency International Indonesia (TII), Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Public Interest Lawyer Network (PILNET), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Imparsial, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA), LBH Apik Jakarta

[Rilis Pers] Kebakaran (Lagi) di Lembaga Pemasyarakatan: Evaluasi dan Investigasi Harus Segera Dilakukan

Rabu, 8 September 2021, kita semua dikejutkan dengan kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang yang menewaskan 41 (empat puluh satu) orang. Peristiwa terbakarnya Lapas Kelas I Tangerang bukanlah kejadian baru di Indonesia. Berdasarkan pemantauan ICJR, IJRS, dan LeIP, selama 3 (tiga) tahun terakhir terdapat 13 (tiga belas) Lapas yang mengalami kebakaran. Catatannya, dari 13 (tiga belas) Lapas yang terbakar tersebut, terdapat 10 (sepuluh) Lapas yang terbakar dalam kondisi overcrowding atau di ambang batas overcrowding. Dari 10 (sepuluh) Lapas tersebut, 9 (Sembilan) Lapas dalam kondisi overcrowding dan 1 (satu) di antaranya adalah Lapas dengan jumlah penghuni hampir mencapai batas maksimum, yaitu Lapas Kabanjahe dengan jumlah penghuninya sudah 97% pada saat kebakaran terjadi. Sedangkan angka overcrowding Kelas I Tangerang mencapai 245% dan saat ini dihuni 2.069 orang. Hanya 3 (tiga) Lapas yang terjadi kebakaran dalam 3 (tiga) tahun terakhir yang tidak mengalami overcrowding.

Perlu diingat bahwa kondisi Lapas yang mengalami overcrowding akan berdampak pada rendahnya pemenuhan hak Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dan tahanan. Dari sisi fasilitas, para WBP tidak akan mendapatkan fasilitas yang layak seperti tempat tinggal yang layak, ruang sel yang memadai, sanitasi yang bersih, dan perawatan medis. WBP dan tahanan yang ada dalam Rutan dan Lapas yang mengalami ketidakpuasan akan kondisi tersebut tidak akan menjamin ketertiban dan keamanan emosi yang kemudian berpotensi menciptakan kerusuhan di dalam Rutan dan Lapas. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya aksi kerusuhan di dalam Rutan dan Lapas yang berujung pada terbakarnya Lapas dan Rutan, dalam catatan kami, terdapat 5 (lima) Rutan dan Lapas yang terbakar karena kerusuhan oleh penghuni. Salah satunya adalah kebakaran di Lapas Manado kelas IIA pada April 2020 yang diakibatkan oleh kerusuhan.

Overcrowding Rutan dan Lapas yang berimbas pada penganggaran dan fokus pengelolaan Lapas juga menajdi kendala tersendiri. Dengan kondisi Lapas hari ini, pengelolaan gedung dan fasilitas Lapas menjadi tanda tanya. Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly misalnya mengatakan bahwa kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang diakibatkan oleh instalasi listrik butuk karena Lapas dibangun pada tahun 1971. Dalam temuan kami, ada 3 (tiga) Lapas yang terbakar dalam 3 (tiga) tahun terakhir diakibatkan oleh arus pendek listrik.

Dengan infrastruktur bangunan yang hampir sama, dan dengan kondisi overcrowding yang hampir merata, maka kejadian hari ini di Lapas Kelas I Tangerang bisa terulang kapan saja. Insiden kebakaran ini harusnya menjadi sinyal bagi pemerintah untuk segera mengevaluasi dan melakukan revitalisasi terhadap infrastruktur bangunan Rutan dan Lapas dengan sistem proteksi dan keamanan yang kuat sesuai dengan PP No. 16 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung, demi terjaminnya keamanan dan keselamatan baik WBP dan tahanan maupun petugas.

Oleh karena itu, ICJR, IJRS, dan LeIP mendesak Pemerintah mengambil langkah cepat sebagai berikut:

  1. Pertama, melakukan investigasi menyeluruh dan evaluasi terhadap bangunan dan kondisi keselamatan Rutan dan Lapas, termasuk protokol keamanan dan penanganan kondisi darurat.
  2. Kedua, segera menentukan langkah-langkah pertanggungjawaban atas hilangnya nyawa dan jatuhnya korban, termasuk pemulihan dan pertanggungjawaban pada keluarga korban.
  3. Ketiga, segera menentukan langkah-langkah strategis dalam penyelesaian overcrowding Rutan dan Lapas, dengan melibatkan aparat penegak hukum lintas sektoral. Serta yang terpenting segera melakukan evaluasi terhadap berbagai peraturan perundang-udangan terutama terkait pemidanaan yang berkontribusi pada masalah overcrowding Rutan dan Lapas di Indonesia.

Jakarta, 8 September 2021
ICJR, IJRS, LeIP

CP: Erasmus A.T. Napitupulu
Dio Ashar Wicaksana
Raynov Pamintori Tumorang