Media Briefing Peluncuran Hasil Studi Kesetaraan Gender

Media Briefing Peluncuran Hasil Studi Kesetaraan Gender “Persepsi dan Dukungan Stakeholder, serta Respons Masyarakat terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” yang akan diadakan secara online pada 25 November 2020 telah selesai.

Media briefing ini dihadiri oleh beberapa narasumber diantaranya :
1. Hendrik Lewerissa, S.H., LL.M., – Anggota DPR RI Fraksi Gerindra
2. Prof. Dr. Vennetia Ryckerens Danes, M.S., Ph.D, – Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, KPPPA
3. Tatat – Program Manager INFID
4. Ratna Batara Munti – Peneliti Kualitatif
5. Arsa Ilmi Budiarti – Peneliti Kuantitatif IJRS

Dan moderator:
Sonya Helen Sinombor – Jurnalis KOMPAS

Kegiatan dibuka oleh A. D. Eridani selaku Senior Program Officer Partnership & Membership. Beliau menyampaikan Media Briefing ini memiliki 3 tujuan :
1) Menyebarluaskan hasil studi kualitatif dan kuantitatif
2) Meningkatkan dukungan publik untuk mempercepat pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
3) Menyampaikan data dan fakta kepada masyarakat dan pemangku kebijakan mengenai urgensi pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Arsa Ilmi (Peneliti IJRS) memaparkan hasil studi kuantitatif terkait penelitiannya. Studi Kuantitatif Persepsi Masyarakat terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dilaksanakan pada Mei – Juli 2020 dengan 2210 responden di 34 provinsi dengan margin of error 2%. Survei dilakukan melalui telepon dan multistage cluster sampling.

Berdasarkan hasil studi kuantitatif, 70,5% setuju diberlakukan RUU PKS. Namun, 57,2% diantaranya belum pernah mendengar apa itu RUU P-KS. Sehingga, perlu ada edukasi dan sosialisasi mengenai RUU ini kepada masyarakat secara luas.

71,8% responden pernah mengalami kekerasan seksual. 66,7 % diantaranya adalah perempuan.

80,3% setuju bahwa bahwa perempuan itu lemah secara fisik sehingga lebih sering menjadi korban kekerasan. 62,8% setuju bahwa Kekerasan/pelecehan secara seksual itu lebih wajar dialami perempuan daripada laki-laki.

> 93% merasa bahwa penting agar korban memperoleh berbagai hak pemulihan seperti konseling, pengobatan, untuk kembali ke masyarakat dll.

[Rilis Pers] Memperingati Hari Kesehatan Nasional, Koalisi Masyarakat Sipil “Advokasi Narkotika untuk Pelayanan Kesehatan” Ajukan Permohonan Uji Materil terhadap UU Narkotika

Ketentuan UU Narkotika yang melarang penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan Kesehatan digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh 3 orang ibu dari anak dengan Cerebral Palsy. Narkotika Golongan I yang salah satunya meliputi ganja telah terbukti dalam berbagai penelitian internasional mengandung manfaat kesehatan dan juga telah digunakan secara legal untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan di banyak negara. WHO bahkan dalam rekomendasinya pada 2018 menyatakan agar mempertimbangkan kembali posisi senyawa ganja dalam pengaturan konvensi internasional narkotika (Konvensi 1961). Bahkan beberapa senyawa ganja direkomendasikan dikeluarkan dalam pengaturan konvensi tersebut.

Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Nasional, koalisi masyarakat sipil bersama-sama dengan 3 orang ibu dari anak-anak dengan Cerebral Palsy, yakni penyakit lumpuh otak yang mengakibatkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuh, mengajukan permohonan Uji Materi UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi. Para pemohon berdalil bahwa pelarangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan melalui ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika telah bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin hak warga negara untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28H ayat 1) dan memperoleh manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 26C ayat 1).

Para pemohon perseorangan terdiri dari tiga orang ibu yang masing-masing anaknya didiagnosa dengan Cerebral Palsy. Salah satu anak tersebut sempat membaik kondisi kesehatannya setelah mendapatkan terapi ganja dengan sistem pengasapan (bakar dupa) dan pemberian minyak ganja (Cannabis/CBD Oil) di Australia. Namun ketika berada di Indonesia, pengobatan tersebut menjadi tidak dapat dilanjutkan. Oleh karenanya, adanya larangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan di Indonesia menjadi penghalang bagi mereka untuk mendapatkan pengobatan sehingga kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak-anaknya yang didiagnosa dengan Cerebral Palsy tidak dapat diperbaiki/ditingkatkan hingga taraf semaksimal mungkin yang dapat dijangkau.

Selain pemohon perseorangan tersebut, beberapa lembaga non-pemerintah juga bergabung sebagai para pemohon dalam uji materil ini yakni ICJR, LBH Masyarakat, dan Rumah Cemara yang selama ini banyak menyoroti masalah pengaturan dan penegakan UU Narkotika. Sebagaimana diketahui, pasal-pasal karet dalam UU Narkotika yang perumusannya sangat luas dan multitafsir telah digunakan oleh aparat penegak hukum untuk juga menyasar orang-orang yang menggunakan narkotika meskipun dengan tujuan pengobatan. Hal ini misalnya terjadi dalam kasus Fidelis pada 2017 di Sanggau serta kasus terbaru yang sempat muncul yakni kasus Reyndhart Rossy N. Siahaan pada Mei 2020. Padahal dalam UU Narkotika khususnya Pasal 4 huruf a sebenarnya telah ditekankan bahwa tujuan pembuatan undang-undang ini adalah untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan juga pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Para pemohon meminta MK agar mencabut Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika dan menyatakan pelarangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan bertentangan dengan Konstitusi. Selain itu juga meminta Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika untuk diubah dengan mencabut definisi Narkotika Golongan I menjadi dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan/terapi, dengan tetap menyebutkan potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Pengajuan uji materil ini diharapkan dapat membuka ruang-ruang penelitian ilmiah untuk menekankan kembali ide dasar pemanfaatan narkotika yakni untuk kepentingan kesehatan. Hal ini juga dapat dilihat sebagai kritik yang keras pula terhadap penerapan kebijakan narkotika di Indonesia yang saat ini terlampau berat pada metode penegakan hukum pidana. Kebijakan narkotika sudah saatnya mulai dievaluasi dan diarahkan untuk lebih memperhatikan aspek kesehatan masyarakat dan diambil berbasiskan bukti ilmiah (evidence-based policy). Untuk itu, ketentuan pelarangan penggunaan semua jenis narkotika termasuk Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan dalam UU Narkotika ini perlu dihapuskan supaya dapat memfasilitasi dan mendorong adanya penelitian-penelitian klinis yang berorientasi untuk menggali pemanfaatan narkotika di Indonesia.

RINGKASAN PERMOHONAN

A. Para Pemohon dan Kedudukan Hukum (Legal Standing)
Pemohon Perorangan:

1. Dwi Pertiwi, Ibu dari Musa IBN Hassan Pedersen (16 Tahun)
Musa didiagnosa dengan Cerebral Palsy sejak berusia 40 hari. Penyakit ini diawali dengan pneumonia yang kemudian berkembang menjadi meningitis yang menyerang otak. Dalam upayanya memberi pengobatan kepada Musa, Ibu Dwi pernah memberikan ganja pada tahun 2016 di Australia setiap hari selama satu bulan penuh. Paska pengobatan dengan ganja tersebut, Musa menjadi lebih tenang, kondisi otot dan tulangnya menjadi lebih lembut, dan gejala kejangnya berhenti total. Padahal sebelumnya otot-otot Musa sangat kaku sehingga sulit untuk dilakukan terapi. Musa juga sebelumnya mengalami gejala kejang hampir seminggu sekali. Ibu Dwi terpaksa menghentikan pengobatan dengan ganja pada Musa karena penggunaan ganja untuk pengobatan dilarang di Indonesia.

2. Santi Warastuti, Ibu dari Pika Sasikirana alias Pika (12 Tahun)
Pika didiagnosa menderita Japanesse Encephailtis pada tahun 2015, yakni infeksi pada otak yang disebabkan oleh virus. Pika selama ini menjalani terapi dan mengkonsumsi obat-obatan secara rutin yang ditanggung oleh BPJS. Akan tetapi, pengobatan tersebut akan dihentikan karena adanya kebijakan baru dari PBJS yang membatasi umur oasien yang dapat menerima pengobatan tersebut, yakni maksimal 5 tahun. Ibu Santi pernah mendengar informasi mengenai manfaat terapi yang menggunakan minyak ganja dari rekan kerjanya yang berkebangsaan asing. Ibu Santi juga mengetahui dari Ibu Dwi bahwa Musa menunjukkan perkembangan kondisi yang membaik setelah melakukan terapi dengan menggunakan ganja. Namun Ibu Santi tidak dapat memperoleh minyak ganja tersebut untuk digunakan bagi Pika.

3. Nafiah Murhayanti, Ibu dari Masayu Keynan Almeera P. alias Keynan (10 Tahun)
Keynan menderita epilepsi dan dplegia spactic yang juga merupakan bentuk dari Cerebral Palsy sejak berusia 2 bulan. Penyakit ini mengakibatkan gangguan motorik serta kejang yang berulang setiap hari. Saat ini, Keynan masih mengalami kejang-kejang dan masih memiliki keterbatasan gerak karena baru bias merayap dan menggerakkan tangan. Ibu Nafiah mengetahui kemajuan perkembangan yang signifikan dari kondisi Musa setelah menjalani terapi dengan menggunakan ganja di Australia. Akan tetapi Ibu Nafiah tidak dapat mengakses minyak ganja tersebut untuk digunakan bagi Keynan.

Pemohon Badan Hukum Privat:
1. Rumah Cemara
2. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
3. LBH Masyarakat

B. Ruang Lingkup Pasal yang Diuji

1. Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

2. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Narkotika
Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.

C. Dasar Konstitusional yang Digunakan

1. Pasal 28C ayat (1) UUD 1945
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

2. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

D. Alasan Permohonan

Permohonan Uji Konstitusionalitas Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika adalah untuk mendorong jaminan atas pelayanan kesehatan yang dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh seluruh masyarakat Indonesia khususnya yang berdasarkan pada temuan-temuan dari hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mana dilandasi dengan alasan-alasan sebagai berikut:

1. Hak atas pelayanan kesehatan telah dijamin secara eksplisit pada Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan telah diejawantahkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hak ini bahkan diadopsi dalam UU Narkotika, tepatnya Pasal 4 huruf a dan Pasal 7 pada intinya menegaskan bahwa bahwa Narkotika dapat digunakan untuk pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan hal ini merupakan salah satu tujuan dari UU Narkotika itu sendiri. Jelaslah bahwa Narkotika dapat digunakan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak atas pelayanan kesehatan yang dijamin dalam konstitusi. Dengan demikian, adanya pelarangan Narkotika Golongan I untuk kepentingan kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) secara nyata telah menegasikan pemanfaatan Narkotika Golongan I untuk kepentingan kesehatan.

2. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, jenis-jenis Narkotika Golongan I ternyata dapat digunakan untuk pengobatan berdasarkan hasil penelitian dengan pengujian secara klinis. Penggunaan Narkotika Golongan I untuk kepentingan kesehatan telah diterapkan dan diakui di berbagai negara. Adapun jenis-jenis Narkotika Golongan I tersebut antara lain ganja, diacetilmorfina, dan opium.

3. Saat ini, tanaman ganja maupun turunan zat-zatnya seperti CBD atau THC telah digunakan secara sah dan diakui secara hukum sebagai bagian dari pelayanan kesehatan di setidaknya 40 negara. Berbagai uji klinis telah membuktikan manfaat dari ganja dan zat turunannya, di antaranya untuk mengobati berbagai bentuk epilepsi, menurutnkan pertumbuhan sel-sel tumor, dan mengurangi mual dan muntah terhadap pasien yang menderita penyakit pada fase tingkat lanjut seperti kanker dan AIDS.

4. Opium yang merupakan Narkotika Golongan I memiliki manfaat untuk pengobatan sebagaimana direkam dalam jejak sejarah, yakni pada The Canon of Medicine yang ditulis oleh Ibnu Sina pada tahun 1025. Tidak hanya itu, United States Dispensatory edisi 24 juga mengutip penggunaan opium untuk pengobatan yang berfungsi sebagai analgesics untuk meredakan nyeri mulai dari sakit kepala hingga nyeri akibat kanker.

5. Dalam penelitian yang dilakukan oleh the British Journal of Psychiatry, penggunaan heroin suntik dengan pengawasan (supervised injected heroin) kepada pasien yang menjalani perawatan akibat penyalahgunaan heroin ternyata efektif kepada pasien yang awalnya berstatus untreatable (tidak dapat disembuhkan) dan hanya dilakukan apabila metode pengobatan utama dengan metadhone tidak berpengaruh terhadap perkembangan kondisi kesehatan pasien.

6. World Health Organization (WHO) telah mengakui beberapa manfaat zat-zat kandungan dari cannabis yang cukup ampuh untuk pengobatan. Hal ini didasarkan pada hasil pengujian intensif yang kemudian dilaporkan dalam WHO Expert Committee on Drug Dependence pada bulan Juni 2018.. WHO bahkan telah mengirimkan surat kepada Sekretaris Jenderal PBB untuk mengubah penggolongan (scheduling) beberapa turunan tanaman ganja ke kategori Schedule III sehingga berbagai tindakan pengendalian/kontrol tidak perlu dilakukan dan akses untuk pengobatan dapat diberikan kepada pasien.

7. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika menyebabkan warga negara kehilangan akses untuk memperoleh pelayanan kesehatan dengan memanfaatkan Narkotika Golongan I yang telah terbukti secara klinis bermanfaat dan telah diadopsi berbagai negara di dunia.

8. Penggunaan Narkotika Golongan I untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU Narkotika juga tidak dapat dilakukan apabila manfaat penelitian tersebut ditujukan untuk pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, penelitian yang berorientasi pada pemanfaatan hasil penelitian untuk kepentingan pelayanan kesehatan tidak dapat diwujudkan, padahal peneltian untuk kepentingan pelayanan kesehatan dapat sangan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan di Indonesia.

E. Petitum
Berdasarkan alasan-alasan hukum dan konstitusional di atas serta bukti-bukti terlampir, maka Para Pemohon dalam hal ini memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian undang-undang yang diajukan oleh Para Pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dibaca “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan dan atau terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.”;

3. Menyatakan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

4. Menyatakan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dibaca “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan dan atau terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.”;

5. Menyatakan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Tulisan ini dimuat dalam icjr.or.id

Anggaran Bantuan Hukum Belum Sesuai Kebutuhan Riil

Oleh Siska Trisia

Melalui APBN, Pemerintah mengalokasikan anggaran bantuan hukum untuk orang miskin setiap tahun. Dana sebesar Rp53.679.900.000 (tahun 2020) disalurkan melalui Organisasi Bantuan Hukum (OBH) terakreditasi untuk membantu warga miskin yang menghadapi masalah hukum. Penyaluran itu tersebar di seluruh Indonesia meskipun pembagiannya belum proporsional secara geografis. Persoalannya, dana yang disediakan negara dianggap belum sesuai dengan realitas. Dana penanganan perkara belum sesuai kebutuhan riil.

Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 63 Tahun 2016 telah mengatur tata cara pemberian bantuan hukum, termasuk kegiatan yang masuk kategori bantuan hukum dimaksud. Besaran biayanya diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-01.HN.03.03 Tahun 2017. Berdasarkan beleid yang diteken Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly ini, untuk kegiatan litigasi penanganan perkara pidana, total biaya yang dianggarkan sebesar 8 juta rupiah mulai dari penyidikan di kepolisian hingga tahap peninjauan kembali. Untuk kegiatan non-litigasi berupa penyuluhan hukum, biaya yang disediakan negara adalah Rp3.740.000.

Masih ada satuan kegiatan lain yang dibiaya negara. Untuk litigasi ada perkara perdata dan tata usaha negara; sedangkan nonlitigasi mencakup konsultasi hukum, investigasi perkara, mediasi, negosiasi, penelitian hukum, pemberdayaan masyarakat, pendampingan di luar pengadilan, dan drafting dokumen hukum.

Namun, Gina Sabrina menilai anggaran bantuan hukum yang disediakan negara itu belum sesuai kebutuhan riil di lapangan. Project Officer Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) ini mengatakan anggaran yang disediakan belum mencakup biaya operasional yang dikeluarkan OBH saat memberikan bantuan hukum. Contohnya, biaya penanganan perkara seperti biaya panjar, biaya perkara, biaya scan dokumen perkara, biaya visum et repertum dalam kasus kekerasan, atau biaya komunikasi OBH dengan pihak-pihak terkait perkara.

Jika dana yang tersedia tidak mencukupi, maka biaya-biaya operasional ditanggung oleh OBH. “Itu belum termasuk biaya riil yang menjadi tanggung jawab negara,” ujarnya dalam diskusi daring ‘Anggaran Bantuan Hukum, Tanggung Jawab Negara atau Beban Organisasi Bantuan Hukum’, Senin (2/11).

Selain itu, Gina menyoroti besarnya biaya yang harus dikeluarkan OBH ketika mendampingi warga miskin di daerah kepulauan. Biaya transportasi sangat besar, sehingga jika dikalkulasi, dana bantuan hukum yang disediakan negara jauh dari cukup. Masalah ini terjadi antara lain karena sejak awal belum dilakukan penelitian komprehensif berapa sebenarnya biaya riil yang dibutuhkan dalam pemberian bantuan hukum litigasi dan nonlitigasi. “Belum ada monev (monitoring dan evaluasi-red) apakah dana itu sudah sesuai kebutuhan riil OBH atau belum,” kata Gina.

Sehubungan dengan itu PBHI mengusulkan agar dilakukan survei dan penelitian per regional untuk menghitung kebutuhan riil pemberi dan penerima bantuan hukum. Gina mengatakan kebutuhan riil setiap OBH berbeda-beda, terutama karena alasan-alasan geografis dan kebutuhan operasional. “Komponen atau item dalam SK Menteri Hukum dan HAM itu perlu diperluas,” ujar Gina kepada hukumonline.

Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, dan Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK Indonesia, Khotimun Sutanti, menguatkan penjelasan Gina. Pengalaman LBH APIK mendampingi korban, misalnya, menunjukkan bahwa dana yang disediakan belum memadai, misalnya untuk pemulihan korban. “Biaya layanan untuk korban belum ter-cover,” ujarnya Khotimun Susanti.

Menurut Arif Maulana, penyesuaian biaya bantuan hukum dengan kebutuhan riil sangat penting. Riset yang dilakukan terhadap sejumlah OBH menunjukkan ada biaya-biaya rutin yang secara periodik dikeluarkan OBH namun tidak ter-cover oleh dana bantuan hukum APBN. “Ada sejumlah biaya rutin yang pasti dikeluarkan,” tegas Arif.

Biaya-biaya rutin itu misalnya biaya petugas kebersihan kantor, gaji pengemudi, arsiparis, dan gaji pengacara publik. Belum lagi kebutuhan riset pengacara dan paralegal OBH. Di era digital ini, bahan-bahan hukum dapat diakses lewat internet. “Mau tidak mau biayanya harus disediakan organisasi bantuan hukum,” kata Arif.

Direktur Bidang Akses Keadilan, Siska Trisia Indonesia Judicial Research Society (IJRS), menyoroti tiga kebijakan anggaran bantuan hukum. Pertama, menyesuaikan jenis dan dampak permasalahan yang dialami. Kedua, menyesuaikan besaran anggaran bantuan hukum dengan lokasi atau wilayah geografis. Ketiga, menambah porsi untuk bantuan hukum non-litigasi.

Konferensi Nasional Bantuan Hukum I (2019) juga menyinggung penganggaran bantuan hukum dan menyampaikan sejumlah rekomendasi. Misalnya rekomendasi merevisi SK Menteri Hukum dan HAM tentang besaran biaya litigasi dan nonlitigasi sehingga mengcover keseluruhan biaya yang diperlukan dalam pemberian bantuan hukum. Sebaiknya anggaran dihitung per kasus sehingga penerimaan jasa bantuan hukum dimungkinkan lebih dari satu kali bagi satu orang klien untuk kasus yang sama tetapi layanan yang berbeda sesuai dengan kebutuhan riil. “Jumlah ideal anggaran bantuan hukum untuk tiap daerah berbeda,” pungkas Gina.

Tulisan ini dimuat dalam HukumOnline.com : https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5fa4170d8bb0f/anggaran-bantuan-hukum-belum-sesuai-kebutuhan-riil

Refleksi Satu Tahun Perubahan Batas Minimal Usia Kawin

Arsa Ilmi (peneliti IJRS) mendapatkan kesempatan menjadi salah satu narasumber dalam Webinar yang diadakan oleh Infid dan Koalisi Perempuan Indonesia. Arsa Ilmi memaparkan penelitian kuantitatif tentang perkawinan anak di Indonesia.

Dalam pemaparannya, Arsa menyampaikan ada perbedaan persepsi mengenai perkawinan anak perempuan dan laki-laki. Sebanyak 56.1% responden menjawab anak perempuan di bawah usia 19 tahun boleh menikah, alasan terbanyak melakukan perkawinan anak perempuan adalah untuk menghindari perzinahan (77.3%). Sebaliknya, untuk anak laki-laki, anggapan bahwa anak laki-laki di bawah usia 19 tahun boleh menikah hanya sebesar 38%.

“Refleksi Satu Tahun Perubahan Batas Minimal Usia Kawin” dapat Anda lihat diskusinya di laman Facebook Infid atau klik bit.ly/WebinarInfid-IJRS

Konferensi Nasional Hasil Riset Advokasi Berbasis Gender, Disability and Social Inclusion (Gedsi)

Riset tentang isu perempuan dan disabilitas telah banyak dilakukan di Indonesia. Tapi, belum banyak dari penelitian tersebut yang melibatkan perempuan dan penyandang disabilitas sebagai subjek penelitian. Sebagian besar mereka hanya dilibatkan sebagai objek penelitian semata.

Lembaga SAPDA (Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak) telah membuat pelatihan terkait dengan metode riset dan analisa riset untuk perempuan disabilitas, perempuan dengan tanggungan disabilitas dan perempuan aktifis disabilitas yang memiliki tujuan yaitu memberikan pengetahuan terkait dengan konsep GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion).

Sebagai akhir dari penelitian berbasis GEDSI ini, SAPDA (Sentra Advokasi perempuan difabel dan anak) menindaklanjuti penelitian tersebut dengan diadakannya Konferensi Hasil Riset Advokasi Berbasis GEDSI “Catatan Kritis RUU Ketahanan Keluarga dan Rancangan Regulasi di Indonesia Dalam Perspektif GEDSI”.

Pada tanggal 3 November 2020, SAPDA mengadakan konfrensi tersebut pada sesi keempat konfrensi dengan bersubtemakan HKSR dan Kekerasa, dimana Direktur Eksekutif IJRS, Dio Ashar menjadi salah satu penanggap hasil riset dari tim peneliti SAPDA. Dalam diskusi tersebut, Dio memberikan tanggapan perihal metodologi riset hukum.

Diskusi Hukum dan HAM 5 (DUHAM 5)

UU No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang disahkan pada 2 November 2011, meneguhkan kewajiban negara terhadap akses bantuan hukum. Pemerintah tidak hanya mengatur lebih rinci terkait penyelenggaraan bantuan hukum namun juga memastikan tersedianya anggaran bantuan hukum yang dialokasikan pada APBN dan mendorong Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran di APBD. Ketersediaan anggaran yang cukup dan alokasi yang tepat berbasis kebutuhan riil menjadi salah satu faktor penting untuk mendorong ketersediaan akses bantuan hukum yang berkualitas.

Selama tujuh tahun pelaksanaan bantuan hukum, pemerintah sudah membangun sistem bantuan hukum dengan cukup baik, namun terkait dengan ketersediaan anggaran dan alokasi yang memadai hampir tidak banyak perubahan yang signifikan.

Pembiayaan bantuan hukum belum didasarkan pada kebutuhan riil seperti: biaya operasional kasus, biaya perkara dan kebutuhan penerima selaku korban, sehingga seringkali OBH mencari sumber pendanaan yang lain agar layanan bantuan hukum tetap bisa berjalan. Permasalahan anggaran bantuan hukum yang dihadapi pemberi bantuan hukum ini pun akhirnya berdampak pada penyebaran organisasi bantuan hukum dan kualitas layanan bantuan hukum.

Untuk membahas hal tersebut lebih jauh sekaligus memperingati hari bantuan hukum nasional dan rangkaian peringatan 24 Tahun PBHI, PBHI mengadakan diskusi daring  pada 2 November 2020. Diskusi Hukum dan HAM 5 (DUHAM 5) menghadirkan Siska Trisia (peneliti IJRS) sebagai salah satu narasumber dalam diskusi ini dan membahas mengenai “Kebutuhan Anggaran Bantuan Hukum berdasarkan Survei Kebutuhan Hukum dan Indeks Akses terhadap Keadilan”.