Pos

Kriminalisasi Ganja Medis: Harus Berapa Banyak Korban Lagi?

Peneliti IJRS, Maria Tarigan, menjadi pembicara dalam diskusi online, “Kriminalisasi Ganja Medis: Harus Berapa Banyak Korban Lagi?” yang diselenggarakan oleh Loophole Academy hari Selasa, 15 Juni 2020.

Dalam diskusi ini, Maria menjelaskan bagaimana hak atas kesehatan dan perkembangan pemanfaatan ganja medis dipertimbangkan dalam memutus kasus Reyndhart Rossy N. Siahaan. Maria juga menyatakan bahwa seharusnya Reyndhart Rossy bisa diputus bebas atas dasar daya paksa sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP.

Turut menjadi pembicara dalam acara ini adalah Harie NC Lay selaku kuasa hukum Rossy dan Dhira Narayana dari Lingkar Ganja Nusantara, masing-masing menjelaskan perkembangan kasus Rossy dan pemanfaatan ganja medis dari dalam kebudayaan Indonesia.

Sejauh mana Legalisasi Ganja bisa Bermanfaat?

Oleh : Maria I Tarigan (Peneliti IJRS)

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Rafli, mengusulkan legalisasi budidaya ganja sebagai komoditas ekspor. Dalam usul yang disampaikan lewat rapat bersama pemerintah di DPR pada 30 Januari lalu, Rafli berpendapat bahwa ganja memiliki manfaat yang sudah banyak terbukti, memiliki potensi untuk mendatangkan pemasukan dan meminta agar masyarakat tidak terlalu kaku soal ganja.

Ganja sudah legal di beberapa negara. Inggris dan Thailand, misalnya, telah melegalkan ganja untuk kesehatan. Negara Bagian California, Amerika Serikat (AS), bahkan telah melegalkan penggunaan ganja untuk rekreasi bagi orang dewasa. Per tahun 2018, California meraup US$345 juta (sekitar Rp 4,7 trilyun) dari pajak penjualan ganja. Angka ini bahkan masih di bawah prediksi pemerintah setempat yang menargetkan angka $643 juta.

Industri ganja berhasil pula menyelamatkan kota Pueblo, di Colorado, AS, yang mengalami kesulitan ekonomi pasca jatuhnya industri besi di sana. Belanda juga turut menikmati keuntungan dari legalisasi ganja medis dengan memonopoli pasokan ganja ke perusahaan farmasi serta ekspor ganja ke negara-negara lain di Eropa.

Tapi status hukum ganja di Indonesia saat ini tidak memungkinkan pemerintah untuk memanfaatkan potensi ekonomi tanaman tersebut.

Status hukum ganja di Indonesia

Saat ini, pemerintah masih melarang pembudidayaan, penggunaan, maupun peredaran ganja. Ganja termasuk narkotika golongan I, artinya ganja tidak dapat digunakan untuk kesehatan dan dianggap berpotensi sangat tinggi menyebabkan ketergantungan bagi penggunanya.

Bagi sebagian masyarakat Indonesia, ganja dipercaya memiliki efek buruk seperti kecanduan dan perilaku negatif lainnya. Posisi ganja sebagai narkotika golongan I menyebabkan penggunaan ganja terancam hukuman paling berat dibandingkan dengan penggunaan narkotika golongan lain. Pengguna ganja dapat diancam hingga 4 tahun penjara – sama seperti pengguna sabu, sedangkan pengguna narkotika jenis lainnya seperti morfin diancam hukuman lebih rendah, yakni maksimal 2 tahun penjara.

Sementara, penelitian-penelitian telah menunjukkan manfaat ganja sebagai obat-obatan alternatif yang memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Thailand, misalnya, mengizinkan penggunaan ganja sebagai alternatif pengobatan bagi efek samping kemoterapi, epilepsi, dan multiple sclerosis. Legalisasi ganja medis diperkirakan menambah pemasukan Thailand $46-312 juta pada 2024.

Tapi Indonesia belum bisa memanfaatkan potensi ekonomi ganja karena status hukumnya padahal penggunaan ganja dalam budaya Indonesia sudah terjadi lama. Tim riset Yayasan Sativa Nusantara melaporkan bahwa penggunaan ganja tercantum dalam manuskrip kitab kuno Tajul Muluk di Aceh. Masyarakat Indonesia sudah memanfaatkan ganja selama ratusan tahun untuk kepentingan ritual, pengobatan, bahan makanan, dan pertanian.

Pada tahun 2019 sekitar 2,2 juta orang mengkonsumsi ganja di Indonesia – sekitar 63% dari total pengguna narkotika menurut Badan Narkotika Nasional (BNN).

Potensi ekonomi

Di sektor kesehatan, obat dari olahan ganja disinyalir jauh lebih murah dan alami ketimbang obat-obat berbahan kimia sintetis produk industri farmasi. Ini relevan di kala saat ini sebanyak 90% obat di Indonesia berbahan baku impor yang berharga mahal. Optimalisasi ganja untuk medis tidak hanya digunakan untuk penyembuhan penyakit, tetapi juga dapat menjadi alternatif sumber pendapatan negara.

Sebagai perbandingan, satu hasil studi yang dilakukan oleh di Nagan Raya, Nanggroe Aceh Darussalam, pada 2017 menunjukkan bahwa ganja dari Aceh dihargai Rp 100 ribu per kilogram (kg) dalam peredaran ilegal. Satu hektar ladang ganja dapat menghasilkan 1.500 kg ganja kering dalam waktu 6 bulan.

Dalam kurun waktu itu, petani dapat memperoleh Rp 150 juta. Modal yang dikeluarkan untuk membuka lahan dan menanamnya sekitar Rp 4-5 juta untuk waktu enam bulan sampai panen. Dengan modal yang sama, petani hanya dapat menghasilkan 100 kg tembakau yang dijual dengan harga Rp 60.000 per kg.

Harga jual ganja sebagai produk legal bisa jadi berbeda. Di Colorado, harga ganja mengalami penurunan hingga lebih dari sepertiganya pasca legalisasi pada tahun 2018. Namun, pada 2019, dilaporkan bahwa penjualan ganja di sana mencapai $1,29 miliar, dengan jumlah pajak yang ditarik negara sebesar $270 juta.

Ganja untuk kesehatan

Penelitian mengenai kemungkinan ganja sebagai obat penyakit diabetes pernah diusahakan oleh Lingkar Ganja Nusantara (LGN) di 2014. Penelitian ini didasari pada hasil studi oleh Lola Weiss, peneliti Hadassah University Hospital Ein Kerem, Israel, pada 2006, yang menunjukkan bahwa cannabinoid berpotensi mengurangi kasus diabetes.

Merespons usaha LGN, pada Januari 2015, menteri kesehatan saat itu, Nila F. Moeloek, melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menerbitkan sebuah keputusan yang menyetujui penelitian yang diusulkan oleh LGN dengan syarat harus dilakukan di laboratorium pemerintah.

Namun penelitian ini kemudian tertunda dengan alasan utama bahwa penelitian ganja membutuhkan biaya besar dan tidak menjadi prioritas. Beberapa manfaat ganja telah dieksplorasi. National Cancer Institute di AS menemukan, misalnya, bahwa cannabinoid —- salah satu senyawa yang terdapat pada ganja – memiliki potensi untuk mengurangi efek samping yang ditimbulkan oleh kemoterapi pada kanker.

Berdasarkan hasil studi oleh Grand View Research, sebuah lembaga riset pasar di AS, bidang medis menjadi sumber pendapatan terbesar bagi industri ganja global pada tahun 2019, yaitu 71%. Industri ganja juga diprediksi dapat bernilai hingga $73.6 milyar pada tahun 2027.

Alasan lain

Legalisasi ganja juga bisa menjadi solusi masalah sumpeknya penjara di Indonesia (overcrowding). Ganja merupakan jenis narkotika ilegal yang paling banyak digunakan di Indonesia. Pengadilan juga masih banyak mengadili tindak pidana narkotika yang bersifat minor, seperti kepemilikan, penggunaan, maupun transaksi jual beli narkotika —- termasuk ganja.

Per bulan Februari 2020, jumlah putusan perkara narkotika yang terdaftar dalam Mahkamah Agung mencapai 140.427 perkara. Ini menjadikan narkotika sebagai penyumbang perkara pidana terbanyak di seluruh pengadilan di Indonesia, diikuti oleh pencurian sebanyak 103.490 perkara dan penghinaan sebanyak 46.418 perkara.

Penumpukan perkara sudah lama menjadi permasalahan dalam sistem peradilan di Indonesia. Banyaknya perkara yang harus diputus pada akhirnya berpotensi mempengaruhi kualitas dan konsistensi dari putusan yang dihasilkan oleh pengadilan.

Pada tahun 2018 saja, jumlah penghuni lapas di seluruh Indonesia mencapai 266.000 orang padahal total daya tampung hanya 126.000 orang, dan kasus narkotika berperan cukup besar dalam overcrowding lapas..

Ini tentu akan membebani negara. Untuk 2020 saja, Kementerian Hukum dan HAM meminta tambahan anggaran sebesar Rp 3 triliun dari anggaran yang semula berjumlah Rp 10 triliun, dengan alokasi Rp 2,6 triliun untuk lapas, dan Rp 300 miliar untuk penyelesaian pembangunan lapas.

Dekriminalisasi ganja, ditambah dengan regulasi dan pengawasan terhadap peredaran ganja, akan membuka ruang bagi pengadilan agar dapat fokus menangani tindak pidana narkotika yang lebih serius.

Pengadilan, misalnya, bisa fokus pada peredaran ganja gelap yang umumnya dilakukan dalam jumlah lebih besar dan mengakibatkan kerugian yang besar pula bagi negara, baik secara ekonomi maupun sosial.

Untuk dipertimbangkan

Di dunia, ganja merupakan salah satu zat narkotika yang berpotensi besar untuk disahkan, baik lewat dekriminalisasi (penghapusan sanksi kriminal bagi pengguna atau pemilik) ataupun legalisasi secara menyeluruh (mengizinkan budi daya dan penjualan). Ini karena dampak negatif yang ditimbulkan oleh ganja, baik secara kejiwaan maupun tingkah laku, lebih ringan dibandingkan narkotika jenis lainnya, bahkan jika dibandingkan dengan alkohol dan rokok sekalipun.

Pemerintah dapat menjadikan beban penegakan hukum dan potensi medis dan ekonomi sebagai pertimbangan dalam dekriminalisasi penggunaan ganja. Langkah konkret pertama yang dapat dilakukan ialah dengan mengizinkan dilakukannya penelitian terhadap potensi manfaat kesehatan yang dimiliki oleh ganja.

Kemudian, pemerintah dapat mengubah kedudukan ganja menjadi golongan III. Narkotika yang masuk golongan III dinilai memiliki khasiat untuk pengobatan sehingga banyak digunakan, serta memiliki potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Namun aturan tersebut harus didukung dengan pengawasan yang ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan sehingga keuntungan yang diperoleh dari budi daya ganja benar-benar dapat dinikmati oleh masyarakat.

Tulisan ini dimuat dalam media The Conversation : https://theconversation.com/sejauh-mana-legalisasi-ganja-bisa-bermanfaat-131208