Sudah lebih dari satu dekade sejak Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual pertama kali pada 2012.
Selama itu pula, RUU ini menghadapi berbagai hambatan, antara lain dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020, penolakan dari publik, hingga akhirnya masuk kembali dalam Prolegnas Prioritas 2021 di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Ini bukan berarti perjalanan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah mendekati akhir. Berbagai pihak masih menganggap RUU ini terlalu liberal dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, ajaran agama, atau budaya ketimuran.
Padahal RUU ini dapat menjadi salah satu pengaturan untuk memastikan adanya akses keadilan bagi korban kekerasan seksual di Indonesia.
Survei International NGO Forum Indonesia (INFID) dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) menemukan bahwa walau sebagian besar masyarakat mendukung RUU ini, tidak sedikit yang belum memahami isinya secara utuh. Tidak sedikit pula yang memiliki persepsi salah.
Beda pemahaman
INFID dan IJRS melakukan survei melalui telepon pada Juli 2020 kepada 2.210 responden di seluruh wilayah Indonesia.
Kami menemukan bahwa sebagian besar (70.5%) responden setuju bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual perlu untuk segera diberlakukan.
Lebih lanjut, lebih dari setengah (57.3%) responden menyebutkan pernah mengalami kekerasan seksual baik pada dirinya sendiri, keluarga, ataupun orang yang dikenalnya. Dua pertiga responden yang menyebutkan ini adalah perempuan, sepertiga lainnya laki-laki.
Namun, walau mengalami kekerasan seksual, mereka memutuskan untuk tidak melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya dengan alasan takut (33.3%), malu (29.0%), tidak tahu melapor ke mana (23.5%) dan bahkan merasa bersalah (18.5%).
Hal ini juga sejalan dengan hasil temuan survei yang menunjukkan bahwa ada anggapan di masyarakat bahwa kekerasan seksual terjadi karena korban genit (71.5%), suka berfoto dengan pakaian seksi (53,7%), tidak bisa menjaga dirinya sendiri (51.2%) dan alasan-alasan lainnya yang cenderung menyalahkan korban.
Belum lagi kejadian-kejadian saat korban yang memutuskan untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialami justru mendapat hukuman pidana. Ini antara lain yang terjadi pada kasus Baiq Nuril – mantan tenaga honorer sekolah menengah yang menyebarkan konten bermuatan asusila yang dikirim atasannya di Nusa Tenggara Barat, atau remaja korban perkosaan yang melakukan aborsi di Jambi.
Tidak hanya di masyarakat, aparat penegak hukum juga kerap menyalahkan korban, padahal mereka adalah salah satu garda terdepan dalam pelaporan kekerasan seksual di Indonesia.
Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa masyarakat masih memiliki pengetahuan minim tentang isu kekerasan seksual, terutama terkait jaminan perlindungan bagi korban kekerasan seksual.
Fokus pada akses keadilan
Tugas besar dalam mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah menjawab persoalan terkait perlindungan korban, penanganan dan pencegahan kekerasan seksual, serta sosialisasi informasi RUU itu sendiri.
Namun, pembahasan yang ada dan berkembang di masyarakat saat ini justru lebih mengarah kepada aspek agama dan moral, seperti RUU ini melegalkan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT); memperbolehkan zina; dan lain sebagainya, dan bukan pada akses keadilan.
Yang perlu menjadi pusat perhatian dalam RUU ini adalah, antara lain apakah pengaturan ini dapat memastikan perlindungan bagi korban yang ingin melapor, adanya penanganan yang memperhatikan kebutuhan atau kepentingan korban dan juga pelaku, serta pencegahan kekerasan seksual dengan keterbukaan informasi dan edukasi secara masif kepada publik.
Maka, sebelum RUU ini disahkan, penting bagi DPR dan Komnas Perempuan untuk mengembalikan diskusi pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ke tujuan yang sesungguhnya yaitu memastikan adanya akses keadilan dalam perkara kekerasan seksual.
Kita juga perlu mendorong masyarakat sipil yang bergerak di isu hak-hak perempuan untuk melakukan edukasi dalam hal pencegahan kekerasan seksual yang selama ini masih dianggap tidak penting dan tabu.
Edukasi dapat dilakukan di sektor pendidikan dan juga memanfaatkan media sosial antara lain dengan menyebarluaskan informasi soal substansi RUU, cara melapor apabila menjadi korban kekerasan seksual, dan soal Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi.
Edukasi perlu dilakukan dengan memastikan bahwa informasi yang diberikan menggunakan bahasa yang mudah dipahami, tidak bersifat memaksa ataupun agresif, dan dilakukan lewat agen-agen sosialisasi yang ramah serta dekat kepada masyarakat.
Agen-agen sosialisasi ini dapat berupa tokoh agama, komunitas di masyarakat (kelompok pengajian, Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), paralegal komunitas dan sebagainya) ataupun aparat setempat seperti perangkat RT, RW, dan kepala desa.
Pemberdayaan agen-agen ini penting karena selain dapat meningkatkan kapasitas mereka, ini juga dapat memastikan bahwa pesan yang disampaikan dapat dilakukan dengan cara yang paling ramah dan mudah dipahami masyarakat.
Hal ini tentu sejalan dengan konsep legal empowerement yang juga merupakan dasar dari pendekatan akses terhadap keadilan itu sendiri.
Tulisan dimuat oleh The Conversation : https://theconversation.com/ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-masuk-prioritas-dpr-tapi-masyarakat-masih-memiliki-pemahaman-berbeda-beda-158303
This is only available in Bahasa Indonesia