Jakarta – Kejaksaan Agung Republik Indonesia meluncurkan secara online Pedoman No. 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana pada Senin, 8 Maret 2021.
Pedoman yang diterbitkan pada 21 Januari 2021 lalu menjadi acuan bagi Jaksa dalam menangani perkara pidana yang melibatkan perempuan dan anak baik sebagai saksi, korban maupun pelaku. Pedoman ini bertujuan untuk merespon permasalahan yang seringkali dihadapi oleh Penuntut Umum dalam menangani perkara perempuan dan anak berhadapan dengan hukum (PBH), terutama dalam membuktikan unsur pidana dikarenakan minimnya saksi dan alat bukti. Misalnya, pada kasus-kasus kekerasan seksual, sering kali kasus tersebut tidak memiliki saksi selain korban sendiri. Selain itu, dalam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, sering kali saksi adalah anak yang masih di bawah umur sehingga keterangannya tidak dapat didengar di persidangan. Sebelum Pedoman diterbitkan, sekitar 50 perwakilan mitra Pemerintah, penegak hukum dan organisasi masyarakat sipil terlibat dalam diskusi publik untuk membahas tujuan dan cakupan Pedoman.
Dalam pidato kuncinya, Jaksa Agung RI, Dr. St. Burhanuddin, S.H, M.H, menyatakan, “Kejaksaan merupakan lembaga negara yang berperan sebagai dominus litis atau pengendali perkara. Maka, dalam memastikan akses keadilan bagi perempuan dan anak, Jaksa memegang peran penting untuk -mengawal dan memastikan penanganan perkara pidana yang mengedepankan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak. Hal ini dilakukan secara proporsional dengan memperhatikan peran serta kedudukan anak dan perempuan dalam perkara pidana, asas nondiskriminasi, asas perlindungan serta aspek hukum lain terkhusus mengenai perlindungan saksi dan korban.”
Lebih lanjut, Pedoman ini mengatur agar dalam proses pemeriksaan di pengadilan, Jaksa tidak mengeluarkan pertanyaan yang seksis, menimbulkan diskriminasi berbasis gender, dan membangun asumsi yang tidak relevan sehingga merugikan perempuan dan anak. Jaksa juga diharapkan dapat lebih menggali kondisi perempuan dan anak baik dari sisi psikologis, relasi kuasa, respon akibat dampak trauma psikologis dan fisik serta lebih peka terhadap kondisi stereotip gender. Dalam menguraikan fakta dan perbuatan tindak pidana yang terkait kesusilaan,Penuntut Umum sedapat mungkin menghindari uraian yang terlalu detail, vulgar dan berlebihan. Penyusunan surat dakwaan dan tuntutan juga diharapkan menghormati hak asasi, martabat dan privasi perempuan dan anak serta mencegah pengulangan trauma korban (reviktimisasi). Tidak hanya dalam proses pemeriksaan, Pedoman ini juga mengatur proses dan teknis pemulihan bagi korban tindak pidana, baik melalui ganti rugi, restitusi, dan kompensasi.
Dalam acara peluncuran online, Pedoman ini disambut baik oleh banyak kalangan antara lain Dr. Sugeng Purnomo, S.H, M.H dari Kemenko Polhukam, Taufik Basari (Anggota Komisi III dan Baleg DPR-RI), Andy Yentriyani, S.Sos, M.A (Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan) serta Siti Mazumah (Direktur LBH Apik Jakarta) yang menjadi penanggap dalam diskusi tersebut.
“Kami menyambut baik Pedoman ini karena memberikan kesempatan bagi korban dan saksi untuk didampingi baik oleh pekerja sosial, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), keluarga ataupun pendamping lainnya. Serta adanya perlindungan terhadap informasi dan indentitas korban/saksi dalam hal kasus-kasus terkait seksualitas dan bagaimana pelaksanaan putusan dalam pidana tambahan dan pembuktian dalam Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, ujar Siti Mazumah Direktur LBH Apik Jakarta.
Pedoman ini merupakan hasil kolaborasi Kejaksaan Agung dengan beberapa mitra pembangunan yaitu Pemerintah Australia lewat Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2), USAID Empowering Access to Justice(USAID-MAJU), Rutgers WPF Indonesia, serta Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) dan Indonesia Judicial Research Society(IJRS).
Narahubung:
Bestha Inatsan Ashila (IJRS): besthainatsan@dev.ijrs.or.id