Tertinggal Zaman: Pemaknaan Perkosaan dan Pencabulan dalam Hukum di Indonesia

 

oleh Maria I Tarigan (peneliti) dan Naomi Rehulina Barus (peneliti)

Kasus dugaan pemerkosaan tiga anak oleh ayah kandungnya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, kembali mendapat sorotan. Kepolisian mengatakan bahwa yang terjadi terhadap tiga anak berumur di bawah 10 tahun terkait bukan pemerkosaan, melainkan pencabulan.

Melalui konferensi pers daring pada Rabu, 13 Oktober 2021, Kepala Biro Penerangan Masyarakat dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Brigadir Jenderal Rusdi Hartono, menjelaskan lebih lanjut bahwa dugaan ini didasarkan pada hasil visum di Puskesmas Malili yang diterima pada 15 Oktober 2019.

Menurut hasil wawancara polisi terhadap salah satu dokter, didapati bahwa tidak ada kelainan pada organ kelamin dan dubur korban.

Di lain pihak, dokter yang berbeda di Rumah Sakit Vale Sorowako menemukan peradangan di sekitar vagina dan dubur korban. Dalam perjalanannya, Kepolisian Resor Luwu Timur menghentikan penyelidikan kasus pemerkosaan karena dinilai kurang bukti.

Pernyataan polisi tersebut mendapatkan respon negatif dari masyarakat luas terkait perbedaan antara ‘pencabulan’ dan ‘pemerkosaan’, serta ancaman hukuman terkait.

Sebenarnya apa perbedaan antara tindak pidana perkosaan dan pencabulan? Apa dampaknya secara hukum dari penggunaan kedua istilah tersebut?

Perkosaan dan pencabulan
Secara umum, perkosaan dan pencabulan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Perkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP sebagai berikut :
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Lalu, pencabulan diatur dalam Pasal 289 KUHP sebagai berikut :
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

Dapat kita lihat bahwa ada perbedaan mendasar antara perkosaan dan pencabulan, yakni bahwa perkosaan merupakan suatu tindakan “persetubuhan”, sedangkan pencabulan merupakan suatu “perbuatan cabul” yang bukan merupakan persetubuhan.

Lantas, apa yang dimaksud sebagai ‘persetubuhan’ maupun ‘perbuatan cabul’?

Salah satu definisi persetubuhan diutarakan oleh R. Soesilo dengan mengacu pada Arrest Hoge Raad (putusan Mahkamah Agung Belanda) pada 5 Februari 1912, yakni “peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi alat kelamin laki-laki harus masuk ke dalam alat kelamin perempuan sehingga mengeluarkan air mani.”

Buku R. Soesilo tentang KUHP merupakan salah satu buku ‘klasik’ di dunia hukum Indonesia.

Lebih lanjut, riset Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia – Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) pada 2016 terhadap 50 putusan peradilan terkait perkosaan menunjukkan bahwa seluruh putusan tersebut mendefinisikan persetubuhan sebagai “penetrasi terhadap vagina oleh penis”, terlepas ada atau tidaknya air mani.

Akan tetapi, 41 dari 50 putusan yang diteliti tetap menyinggung keberadaan sperma atau air mani – baik yang dikeluarkan di dalam vagina maupun di luar – dalam pertimbangannya.

R. Soesilo juga mendefinisikan perbuatan cabul, yakni segala perbuatan yang melanggar kesusilaan atau kesopanan, atau dapat pula merupakan suatu perbuatan keji yang masuk dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya mencium, meraba anggota kemaluan, meraba buah dada, dan sebagainya.

Hingga saat ini, definisi perkosaan dan pencabulan telah mengalami perkembangan.

Pada tahun 2004, Undang-Undang (UU) Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ( PKDRT) menetapkan sebuah ketentuan dalam Pasal 46 yang yang menutup kekosongan hukum dalam KUHP yang awalnya hanya mengatur perkosaan sebagai perbuatan yang dilakukan di luar ikatan perkawinan.

Tidak hanya itu, Pasal 76D dan 76E UU Perlindungan Anak tahun 2002 — dan diperbarui pada 2014 — mengatur pula bahwa unsur kekerasan atau ancaman kekerasan tidak dibutuhkan dalam membuktikan adanya perkosaan atau pencabulan terhadap anak.

Sepanjang terdapat bukti bahwa perbuatan cabul atau persetubuhan terhadap anak tersebut terjadi, pelaku sudah dapat dijerat dengan pemidanaan.

Masalah pemaknaan istilah
Pemaknaan perkosaan dan pencabulan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia masih menimbulkan masalah.

Pemaknaan persetubuhan dalam perkosaan, misalnya, masih terbatas pada penetrasi penis dan vagina — dan dalam banyak kasus — sampai mengeluarkan air mani.

Penafsiran ini akan menyulitkan proses pembuktian pada kasus persetubuhan yang dilakukan dengan memakai kondom, atau ketika pelaku (laki-laki) menderita azoospermia — yakni kegagalan pembentukan sperma atau tidak adanya spermatozoa di dalam semen.

Tidak hanya itu, dengan definisi perkosaan saat ini, maka tindakan pelaku yang menggesekkan atau menempelkan alat kelaminnya ke alat kelamin perempuan (tidak sampai masuk) tidak dapat diklasifikasikan sebagai tindakan persetubuhan.

Sama halnya dengan penetrasi alat kelamin laki-laki atau penetrasi benda selain alat kelamin ke anggota tubuh lain pada korban, misalnya mulut (oral) maupun anus (anal). Perbuatan-perbuatan ini hanya akan dijerat sebagai pencabulan.

Pasal 285 KUHP juga secara spesifik menyebutkan perkosaan sebagai tindakan yang dilakukan kepada perempuan, sedangkan Pasal 289 tidak membatasi klasifikasi pelaku dan korban dalam perbuatan cabul – baik laki-laki maupun perempuan, keduanya dapat menjadi korban maupun pelaku.

Hal ini berarti bahwa persetubuhan yang dilakukan kepada laki-laki — selain dalam konteks rumah tangga atau terhadap anak — tidak dapat diklasifikasikan sebagai perkosaan, melainkan sebagai pencabulan.

Padahal, ancaman pidana maksimal pada pencabulan adalah 9 tahun; ini 3 tahun lebih rendah dibanding ancaman pidana pada perkosaan.

Perkosaan maupun pencabulan secara umum juga mensyaratkan adanya paksaan dalam bentuk kekerasan dan ancaman kekerasan oleh pelaku.

Padahal, jika kita berkaca pada definisi global, suatu tindakan seksual kepada orang sudah termasuk sebagai kekerasan seksual ketika dilakukan tanpa persetujuan (consent) dari orang lain tersebut.

Konsep persetujuan dalam hal ini juga berarti bahwa orang lain tersebut memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuannya, salah satunya adalah bahwa ia berada dalam kondisi yang sadar, sukarela, dan tidak mengalami keadaan koersif.

Keadaan koersif dalam hal ini tidak sebatas paksaan berupa kekerasan atau ancaman kekerasan namun juga tipu muslihat, relasi kuasa, dan tipu daya.

Kondisi-kondisi ini masih belum diakomodasi dalam pemaknaan perkosaan dan pencabulan sebagai kekerasan seksual dalam tataran peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Perlu pendefinisian ulang
Saat ini, pengaturan mengenai tindak pidana, termasuk tindak pidana kekerasan seksual, sedang dirumuskan ulang melalui rancangan undang-undang.

Ini menjadi momentum untuk mendefinisikan ulang tindak pidana kekerasan seksual, terutama perkosaan. Masih banyak kondisi dan kebutuhan yang belum dapat diakomodasi dalam pemaknaan tindak pidana perkosaan saat ini.

Sebagai pembanding, Federal Bureau Investigation (FBI) di Amerika Serikat (AS), awalnya mendefinisikan perkosaan sebagai hubungan seksual yang dilakukan kepada perempuan secara paksa dan bertentangan dengan keinginannya. Definisi ini berlaku sejak tahun 1980-an sampai dengan 2013.

Melalui Uniform Crime Report (UCR) pada 2013, FBI melakukan pembaruan terhadap definisi perkosaan.

Tindak pidana perkosaan menurut FBI kini memiliki definisi dan cakupan yang lebih luas, yakni penetrasi, sekecil apapun, terhadap vagina atau anus dengan menggunakan anggota tubuh atau benda, atau penetrasi oral dengan alat kelamin orang lain, tanpa persetujuan dari korban.

Definisi ini dapat dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan di Indonesia.

Selain menghapus klasifikasi spesifik terhadap pelaku dan korban, definisi ini juga memperluas cakupan persetubuhan serta menekankan pada pentingnya persetujuan.

Ketiadaan persetujuan dari korban — dengan cara apapun — sudah cukup untuk menjerat pelaku atas tindak pidana perkosaan.

Tulisan ini dimuat dalam media The Conversation : https://theconversation.com/tertinggal-zaman-pemaknaan-perkosaan-dan-pencabulan-dalam-hukum-di-indonesia-169846

Pedoman Kejaksaan No. 1 Tahun 2021 dan Signifikansinya dalam Perlindungan Perempuan Korban Kekerasan Seksual

Pada tanggal 22 Oktober 2021 lalu, Unit Pengabdian Masyarakat, Klinik Hukuum Perempuan dan Anak Fakultas Hukum UI bersama Mahasiswa Kelas Klinik Hukum Kampus Merdeka dan IJRS menyelenggarakan webinar series dengan tema, “Pedoman Kejaksaan No. 1 Tahun 2021 dan Signifikansinya dalam Perlindungan Perempuan Korban Kekerasan Seksual.”

Maria Isabel Tarigan berkesempatan menjadi salah satu pembicara dalam webinar ini. Maria menjelaskan bagaimana kondisi kekerasan seksual di Indonesia dan hambatan-hambatan yang dialami perempuan dalam proses hukum perkara kekerasan seksual. Maria juga menjelaskan peran-peran IJRS dalam advokasi sehubungan dengan akses keadilan bagi perempuan dan anak di peradilan.

Turut hadir sebagai pembicara adalah Prof. Dr. Dra Sulistyowati Irianto, MA (Guru Besar Fakultas Hukum UI), Dr. Rosmalinda Rohan, S.H., M.Hum. (Klinik Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara), dan Erni Mustikasari S.H., M.H. (Kejaksaan Agung Republik Indonesia). Webinar ini juga dipandu oleh Bestha Inatsan Ashila (Deputi Knowledge Management IJRS) sebagai moderator.

Siapkah Polisi Menjadi Garda Terdepan Mekanisme Pelaporan Kekerasan Seksual?

oleh Arsa Ilmi Budiarti (Peneliti)

Pekan kemarin, jagat media sosial diramaikan dengan hasil reportase Project Multatuli tentang proses pelaporan kasus tiga anak korban perkosaan di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Reportase ini menggambarkan perjalanan seorang ibu yang berupaya untuk mencari keadilan bagi ketiga anaknya dengan melaporkan kasus tersebut ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Kepolisian Resor Luwu Timur hingga Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil dan bahkan melalui proses yang sangat menyedihkan.

Kisah ini kemudian memunculkan berbagai respons dari masyarakat yang diikuti dengan ramainya tagar #PercumaLaporPolisi di berbagai platform media sosial.

Kesaksian-kesaksian yang muncul dengan tagar tersebut menggambarkan ketidakpuasan, kekecewaan, dan ketidakpercayaan masyarakat ketika berurusan dengan polisi dalam berbagai perkara termasuk kasus kekerasan seksual.

(Tidak) melaporkan kekerasan seksual

Ramainya #PercumaLaporPolisi menunjukkan ada anggapan di masyarakat bahwa urusan melaporkan masalah hukum kepada lembaga negara bukan hal yang mudah dilakukan.

Temuan penelitian mengkonfirmasi hal ini. Indeks Akses terhadap Keadilan di Indonesia tahun 2019  menunjukkan bahwa 38% masyarakat Indonesia yang mengalami masalah hukum memilih untuk tidak melakukan apapun terhadap masalah hukumnya. Mereka khawatir dan takut jika melapor, maka masalahnya akan jadi lebih rumit.

Menariknya, sebagian besar masyarakat (60,5%) yang mau melaporkan masalah hukumnya, justru memilih untuk melapor ke lembaga non-negara atau ke mekanisme informal seperti ke keluarga atau ke pengurus Rukun Tetangga, Rukun Warga, atau desa, kelurahan setempat.

Studi tersebut juga menemukan bahwa sebagian besar (52%) anggota masyarakat yang enggan melakukan apa pun terhadap masalah hukumnya tersebut adalah perempuan.

Temuan ini dikuatkan oleh hasil Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender dari International NGO Forum Indonesia (INFID) dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) pada 2020 yang menunjukkan bahwa 57,3% responden dengan pengalaman kekerasan seksual — yang mayoritas adalah perempuan — memutuskan untuk tidak melaporkan perkara kekerasan seksual yang dialami.

Alasan mereka beragam, mulai dari takut, malu, hingga tidak tahu harus melapor ke mana.

Sebagian besar responden (57%) yang mengalami kekerasan seksual mengatakan pada akhirnya tidak memperoleh penyelesaian dalam masalah yang mereka alami.

Jika pun ada penyelesaian, hasil yang didapat tidak mengutamakan kepentingan terbaik korban contohnya seperti dengan membayar sejumlah uang hingga dinikahkan dengan pelaku kekerasan seksual.

Di sisi lain, ada hambatan dari sisi penegak hukum.

Mayoritas responden menganggap penanganan aparat penegak hukum terhadap perkara kekerasan seksual itu cenderung responsif. Namun responden yang menjawab demikian adalah mereka belum pernah mengalami kekerasan seksual.

Sebaliknya, mayoritas responden yang beranggapan aparat tidak responsif adalah mereka pernah mengalami kekerasan seksual.

Polisi di garda terdepan

Di sisi lain, riset yang sama menunjukkan bahwa 43,8% responden yang tahu harus melapor ke mana ketika mengalami kekerasan seksual akhirnya lebih memilih untuk melapor ke polisi apabila mereka mengalami kekerasan seksual.

Bahkan, temuan Indeks Akses terhadap Keadilan di Indonesia tahun 2019 juga menunjukkan bahwa secara umum (72,1%) masyarakat percaya kepada kepolisian untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang dialami.

Ini menunjukkan bahwa di satu sisi, ada harapan dan ekspektasi besar dari masyarakat terhadap kepolisian. Namun, di sisi lain bisa saja masyarakat sebetulnya tidak punya pilihan lain untuk melaporkan perkara kekerasan seksual yang dialaminya.

Kantor-kantor polisi tersebar hingga level administratif paling bawah untuk memudahkan masyarakat untuk membuat pelaporan masalah hukum. Sehingga dapat dikatakan, bahwa kepolisian merupakan garda terdepan dalam pelaporan kekerasan seksual.

Sayangnya, mekanisme pelaporan yang telah disediakan oleh kepolisian untuk penanganan kekerasan seksual belum didukung adanya perspektif perlindungan korban yang baik dari beberapa anggota polisi.

Alih-alih memperoleh perlindungan dan bantuan, saat melaporkan kekerasan seksual yang dialami, para korban justru mengalami menjadi korban kembali serta harus menghadapi pertanyaan yang seringkali menyudutkan, tidak empati, hingga melecehkan.

Selain itu, tidak hanya polisi namun juga aparat penegak hukum secara umum cenderung abai terhadap kondisi psikologis korban yang menyebabkan korban yang mengalami kekerasan seksual harus menghadapi proses hukum yang panjang dengan perilaku aparat yang tidak empatik.

Wajar bila para korban memutuskan untuk mengandalkan mekanisme informal atau pihak-pihak di luar negara untuk penyelesaian permasalahan hukumnya.

Maka menjadi pertanyaan, apakah polisi dapat benar-benar siap menjadi garda terdepan pelaporan perkara kekerasan seksual?

Menyiapkan polisi

Ketika terdapat korban kekerasan seksual yang melapor, petugas polisi seharusnya menciptakan suasana yang kondusif dan nyaman bagi korban untuk menceritakan masalahnya. Polisi seharusnya memastikan keberadaan pendamping korban, jaminan keselamatan korban, adanya pernyataan atau pertanyaan yang tidak menghakimi dan menghargai korban hingga jaminan terwujudnya akses keadilan.

Ini bukan sesuatu yang baru; semua poin ini telah tercantum dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana yang dikhususkan untuk perempuan dan anak.

Selain itu, langkah-langkah untuk memastikan perlindungan korban perempuan dan anak juga telah ditetapkan dalam berbagai pengaturan seperti Undang-Undang (UU) No. 31 Tahun 2014 dan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan terhadap UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Polisi sebagai aparat hukum negara perlu menelaah kembali dan menerapkan prinsip-prinsip perlindungan korban, perempuan, dan anak sesuai berbagai UU tersebut ketika menangani pelaporan perkara kekerasan seksual.

Selain itu, dalam mekanisme pelaporan kekerasan seksual, secara lebih khusus, polisi perlu juga memperhatikan kondisi fisik, psikis maupun kebutuhan pemulihan korban.

Ini dapat dilakukan dengan memastikan adanya penasihat/pendamping hukum, pendamping psikologis hingga pendamping sosial bagi korban.

Untuk memahami kondisi-kondisi tersebut, polisi dapat meminta rekomendasi atau mendorong adanya peran dari pemangku kepentingan lain seperti psikolog, dokter, pekerja sosial, maupun pendamping di penyedia layanan setempat.

Hal-hal ini dapat berimplikasi pada proses penyelesaian perkara secara keseluruhan. Langkah-langkah ini dapat dan telah dilakukan oleh aparat penegak hukum lain sehingga hal ini juga sangat mungkin dilakukan oleh polisi.

Berbagai tindakan polisi yang tidak empatik, diskrimatif, dan tidak melindungi korban masih kerap dilaporkan. Maka peningkatan kapasitas secara mendalam dan komprehensif tentang penanganan perkara yang melibatkan perempuan dan anak masih perlu dan harus terus dilakukan baik kepada calon anggota polisi maupun polisi yang telah bertugas.

Yang tidak kalah penting juga adalah penguatan di sektor non-negara, mengingat terdapat kecenderungan yang tinggi dari masyarakat dalam melaporkan masalah hukum ke pihak-pihak di luar negara.

Penguatan tokoh atau aktor yang dipercaya masyarakat dapat diberikan untuk menerima, merespons atau bahkan meneruskan pelaporan masalah hukum.

Apalagi, pada perkara kekerasan seksual di mana korban yang takut dan malu untuk melapor, maka peran pihak-pihak yang dipercaya inilah yang dapat mendorong akses terhadap keadilan yang lebih luas.

Tulisan dimuat dalam media The Conversation : https://theconversation.com/siapkah-polisi-menjadi-garda-terdepan-mekanisme-pelaporan-kekerasan-seksual-169726

Indeks Terhadap Keadilan di Indonesia Tahun 2019

[Rilis Pers] Lanjutkan Penyidikan Anak Korban Perkosaan di Luwu Timur dengan Memastikan Prinsip Fair Trial dan Kepentingan Terbaik bagi Anak

Pada 7 Oktober lalu, jagat media sosial diramaikan dengan tulisan Eko Rusdianto yang dipublikasikan dalam projectmultatuli.org tentang kisah seorang Ibu yang melaporkan perkara perkosaan terhadap tiga anaknya yang berujung mengecewakan dan menyayat hati.[1] Seorang Ibu tunggal bernama samaran Lydia yang tinggal di Luwu Timur, Sulawesi Selatan melaporkan tindakan pemerkosaan terhadap ketiga anaknya yang semuanya masih berusia di bawah 10 tahun. Pelaku perkosaan adalah mantan suami Lydia atau ayah kandung dari ketiga anak tersebut dan disebutkan merupakan seorang aparatur sipil negara dengan posisi jabatan tertentu di Pemerintahan Daerah.

Perjalanan ibu Lydia dalam mencari keadilan sangatlah panjang dan berbatu. Diawali dengan pelaporan ke kantor P2TP2A, Dinas Sosial Luwu Timur, alih-alih memperoleh perlindungan, ia malah dipojokkan, dan dituduh berbohong. Lebih parahnya lagi, dengan alasan ingin membuktikan apakah anak korban trauma atau tidak, P2TP2A tersebut justru menelepon terduga pelaku dan mengabarkan bahwa diterima aduan terhadapnya serta mempertemukan mereka. Hasil pemeriksaan psikologis yang dilakukan P2TP2A juga disebutkan tidak menunjukkan tanda-tanda trauma maupun kekerasan. Merasa tidak memperoleh pertolongan, Lydia memutuskan untuk melapor ke Polres Luwu Timur. Di Kepolisian, tanpa adanya pendamping ataupun penasihat hukum, anak-anaknya divisum dan dimintai keterangan oleh penyidik berseragam. Namun, lagi-lagi hasil visum anaknya disebutkan tidak menunjukkan hasil apapun. Bahkan Lydia dipaksa menandatangani BAP tanpa membacanya terlebih dahulu. Foto dan hasil pemeriksaan fisik anak korban yang menunjukkan adanya kerusakan organ reproduksi turut diabaikan. Pada saat yang sama, Lydia juga memperoleh ancaman dari pelaku perkosaan bahwa akan menghentikan nafkah bulanan kepada ketiga anaknya jika laporan diteruskan.

Perjuangan Lydia tidak berhenti sampai di situ, ketika berkunjung ke Polda Sulsel, Lydia malah diminta keluar dari ruangan pemeriksaan anaknya dan dimintai keterangan apakah ada riwayat gangguan jiwa di keluarga atau kelainan sebelum bercerai, serta kondisi rumah tangganya dulu. Lebih lanjut, muncul hasil pemeriksaan Lydia keluar dan disebutkan bahwa Lydia memiliki gejala-gejala waham bersifat sistematis yang mengarah gangguan waham menetap (delusional) dan justru (lagi-lagi) hasil visum anak-anaknya disebutkan tidak ditemukan kelainan atau tanda kekerasan fisik. Hingga akhirnya, Polres Luwu Timur mengeluarkan surat pemberhentian penyidikan tanpa adanya detail pertimbangan pemberhentian.

Tidak menyerah, Lydia melaporkan ke P2TP2A Kota Makassar yang berjarak 12 jam dari tempat tinggalnya dan dirujuk ke LBH Makassar dan melalui Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Kekerasan Seksual terhadap Anak, yang kemudian menjadi penasihat hukumnya. Dari sini, hasil pemeriksaan psikologis anak korban menunjukkan tidak adanya trauma namun anak-anak merasa cemas dan saling menguatkan cerita satu sama lain mengalami kekerasan seksual oleh ayah mereka. Bahkan ditemukan kemungkinan terduga pelaku lebih dari satu orang yang dikuatkan dengan foto dan video yang disimpan oleh Lydia. Pengajuan gelar perkara khusus yang diajukan LBH Makassar kepada Polda Sulsel pun nampak dibuat terburu-buru dan disebutkan bahwa gelar perkara telah dilakukan secara internal. Hingga akhirnya, Polda Sulsel merekomendasikan Polres Luwu Timur untuk tetap melaksanakan penghentian penyidikan.

Dari kasus tersebut, dapat kita lihat bahwa akses keadilan, terutama dalam melaporkan perkara yang dialami korban masih mengalami hambatan. Mengacu pada hasil survei IJRS bersama INFID pada tahun 2020 lalu bahkan menunjukkan bahwa 57,3% responden yang mengalami kekerasan seksual memutuskan untuk tidak melapor dan 57% responden yang mengalami kekerasan seksual tersebut pada akhirnya tidak memperoleh penyelesaian atas kekerasan seksual yang dialaminya. Adanya keengganan untuk melapor dan kecenderungan tidak memperoleh keadilan ini diperparah dengan minimnya perspektif perlindungan perempuan & anak yang dimiliki aparat penegak hukum khususnya polisi. Padahal, dalam riset yang sama, turut ditunjukkan bahwa 43,8% masyarakat cenderung akan melapor ke polisi apabila mengalami kekerasan seksual. Dengan kata lain, polisi merupakan pihak yang dianggap sebagai garda terdepan dalam mekanisme pelaporan kasus kekerasan seksual oleh masyarakat. Namun, perilaku aparat hukum masih cenderung diskriminatif, tidak memperhatikan kebutuhan pemulihan korban, tidak empati dan simpati, bahkan tidak membantu korban.[2]

Selain itu, keseluruhan proses hukum yang dihadapi oleh Lydia dan anak-anaknya menunjukkan adanya ketidaksesuaian prosedur peradilan pidana yang dilakukan oleh Polres Luwu Timur dan Polda Sulsel terhadap anak. Sedari awal, seluruh proses dilakukan tanpa adanya pendampingan atau penasihat hukum. Jika dilihat kembali dalam Pasal 3, UU No. 11 Tahun 2012 disebutkan bahwa setiap anak dalam peradilan pidana berhak untuk memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif. Tidak hanya itu, kondisi-kondisi psikologis dan fisik anak korban nampak diabaikan dalam proses ini. Hal ini menunjukkan adanya keengganan dan minimnya perspektif pengutamaan kepentingan terbaik anak dari penyidik untuk mempertimbangkan bukti-bukti lain seperti misalnya pemeriksaan psikolog, fisik dan sebagainya sebagai bukti tambahan dalam perkara kekerasan seksual. Selain itu, dari sudut pandang hukum acara, nampak tidak adanya transparansi dan akuntabilitas dari Polres Luwu Timur maupun Polda Sulsel dalam penanganan dan keputusan untuk memberhentikan proses penyidikan. Oleh karenanya, perlu adanya tindak lanjut kepolisian untuk melindungi kepentingan korban kekerasan seksual, termasuk evaluasi kebijakan hukum acara pidana Indonesia oleh pemerintah.

Berdasarkan hal di atas, IJRS mendorong:

  1. Pihak P2TP2A memastikan adanya pendampingan hukum, sosial maupun psikologis kepada anak korban;
  2. Pihak Kepolisian untuk berpedoman pada Peraturan Kepala Kepolisian RI No. 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana, yang mengatur mengenai pelayanan dan perlindungan khusus kepada perempuan dan anak yang menjadi saksi dan korban tindak pidana. Dimana kepolisian wajib memberikan jaminan keselamatan korban, menjaga kerahasiaan saksi/korban, memperlakukan saksi/korban dengan penuh empati dan menjaga profesionalisme untuk menjamin terwujudnya keadilan dan kepastian hukum. Kepolisan harus melanjutkan proses penyidikan dengan memastikan prinsip keterbukaan, fair trial dan kepentingan terbaik bagi anak korban;
  3. Pihak Kepolisian perlu memperhatikan kondisi psikologis dan fisik, serta kebutuhan pemulihan anak dengan mengoptimalkan rekomendasi atau peran dari pihak lain seperti Psikolog, Dokter, Pekerja Sosial. Serta perlu mempertimbangkan bukti-bukti lain seperti Visum et Repertum, Visum et Repertum Psikatrikum (surat keterangan dokter jiwa), Visum et Repertum Psikologikum (hasil pemeriksaan psikolog), hasil pemeriksaan forensik, alat bukti elektronik dan sebagainya;
  4. Pemerintah perlu melakukan evaluasi kebijakan hukum acara terkait kekerasan seksual untuk memastikan peradilan yang lebih transparan dan akuntabel, termasuk memastikan adanya mekanisme uji kelayakan terhadap pemenuhan asas fair trial dalam proses hukum perkara kekerasan seksual

 

Narahubung:

Arsa Ilmi Budiarti
Bestha Inatsan Ashila

Indonesia Judicial Research Society/IJRS
Office phone/email: 0821-2500-8141/office@ijrs.or.id

 

[1] Rusdianto, Eko, “TIga Anak Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan”, 2021, Project Multatuli, diakses di https://projectmultatuli.org/kasus-pencabulan-anak-di-luwu-timur-polisi-membela-pemerkosa-dan-menghentikan-penyelidikan/?__cf_chl_captcha_tk__=pmd_3lFmHtyZkDkR0OF4NAIsD7mMLq_NHq_h5k.kYe3MCgo-1633675843-0-gqNtZGzNA5CjcnBszQhR pada 8 Oktober 2021

[2] West Coast LEAF, “WE ARE HERE: Women’s Experiences of the Barriers to Reporting Sexual Assault” (Vancouver: West Coast LEAF, 2018), hlm. 5