Perspektif Gender dan Perlindungan Anak dalam Penanganan Kekerasan Seksual terhadap Anak Perempuan

Pada 24 September 2020. Direktur Eksekutif IJRS, Dio Ashar menjadi narasumber dalam diskusi Perspektif Gender dan Perlindungan Anak dalam Penanganan Kekerasan Seksual terhadap Anak Perempuan yang diselenggarakan oleh Kalyanamitra. Dalam diskusi ini Dio memaparkan bagaimana perlindungan hukum terhadap korban anak perempuan dalam sistem peradilan Indonesia.

Dalam diskusi ini juga dihadiri oleh Rena Herdiyani (Kalyanamitra), Siti Mazuma (LBH Apik Jakarta), dan Rani Hastari (Yayasan Plan International Indonesia) sebagai narasumber dalam diskusi ini.

4th International Conference on Access to Legal Aid in Criminal Justice System

4th International Conference on Access to Legal Aid in Criminal Justice System menyoroti upaya global dalam mengimplementasikan agenda 2030 untuk pembangunan berkelanjutan dan memastikan akses keadilan bagi semua, menerapkan prinsip-prinsip dan pedoman PBB tentang akses bantuan hukum dalam sistem peradilan pidana.

Acara ini bertujuan untuk mendukung pemerintah dan pemberi bantuan hukum dalam mengembangkan sistem bantuan hukum komprehensif yang dapat diakses dan efektif, memiliki jangkauan nasional, dan tersedia untuk semua tanpa diskriminasi.

Pada momen kritis ini, konferensi ini mempertemukan perwakilan tingkat nasional, penyedia bantuan hukum, anggota masyarakat sipil, dan pakar lainnya untuk mengatasi tantangan global dalam bantuan hukum di tengah COVID-19. Konferensi ini berfokus pada hasil yang praktis dan dapat dicapai, praktik terbaik, dan solusi inovatif untuk memastikan akses keadilan bagi semua.

Konferensi ini dihadiri oleh hampir 800 peserta dari sekitar 89 Negara. IJRS berkesempatan menjadi salah satu peserta dari Indonesia. Siska Trisia dan Josua Satria Collins menjadi perwakilan dari peneliti IJRS yang menghadiri konferensi internasional ini.

Focus Group Discussion: Peluang dan Tantangan Layanan Bantuan Hukum Online Melalui E-Probono

Akses bantuan hukum merupakan salah satu indikator yang menggambarkan kesiapan suatu negara dalam memenuhi jaminan akses terhadap keadilan pada warganya. Di sisi lain, penyediaan bantuan hukum tidaklah semudah yang dibayangkan. Idealnya, bantuan hukum harus dapat diakses oleh setiap warga negara yang memiliki permasalahan hukum. Tingginya kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan membuat bantuan hukum menjadi “barang mewah” yang umumnya hanya bisa diakses oleh kelompok tertentu saja.

Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dengan dukungan dari TIFA Foundation sedang mengembangkan aplikasi berbasis website untuk mempertemukan pencari keadilan dengan penyedia bantuan hukum, yang diberi nama dengan E-Probono (eprobono.org). Website ini berfungsi sebagai wadah dimana masyarakat dapat melaporkan permasalahan hukum yang sedang dialaminya untuk mendapatkan bantuan hukum.

IJRS didukung oleh TIFA bersama dengan BPHN, Peradi, beberapa law firm, dan lembaga bantuan hukum lainnya mengadakan FGD : Peluang dan Tantangan Layanan Bantuan Hukum Online Melalui E-Probono pada 18 September 2020 untuk :

  1. Mendapatkan masukan mengenai strategi dan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk memasifkan bantuan hukum pro bono secara online
  2. Mendapatkan masukan, dukungan, dan kritik mengenai Eprobono sebagai aplikasi digital untuk dapat menjangkau pencari keadilan yang membutuhkan bantuan hukum dan mendukung kebutuhan advokat dalam memberikan bantuan hukum cuma-cuma yang sesuai dengan minatnya

Bagi Anda yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang E-Probono dapat melihat informasi lebih lanjut di bit.ly/eprobono2020 dan jangan lupa bergabung (join) menggunakan E-Probono, daftarkan diri Anda di website eprobono.org

Alasan Kenapa Kamu Harus Join E-Probono

UU ITE untuk Kasus Kekerasan Seksual, Tepatkah?

Oleh Josua Satria Collins dan Maria I. Tarigan

Kepolisian Surabaya, Jawa Timur, bulan ini menahan seorang bekas mahasiswa – yang diduga memperdaya setidaknya 25 orang sejak 2015 untuk melakukan tindakan seksual yang dalam ilmu psikologi disebut “mummification” – suatu perbuatan yang termasuk dalam ruang lingkup fetishism – dengan dalih penelitian.

Polisi menahan tersangka Gilang Aprilian Nugraha Pratama yang kasusnya mengemuka di media sosial dengan dugaan perbuatan asusila.

Namun, polisi menahan Gilang bukan dengan pasal asusila Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), melainkan pasal dalam Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Penggunaan UU ITE oleh polisi dalam memproses kasus ini tidaklah tepat. Gilang melakukan perbuatannya terlepas dari peran teknologi; salah satu korban mengaku mengalami kekerasan secara langsung .

Mengingat dimensi kekerasan seksual yang melekat, kepolisian seharusnya menggunakan KUHP untuk kasus ini.

Penyalahgunaan UU ITE

UU ITE yang disahkan pada 2008 sebagai cyber law pertama di Indonesia dibentuk untuk memberikan keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi. Karena ruang siber memiliki karakteristik khusus, maka pengaturan dan penegakan hukum di dalamnya tidak dapat menggunakan prinsip-prinsip hukum tradisional.

Sebagai contoh, lewat teknologi, seseorang dapat menderita kerugian akibat transaksi walau ia sendiri tidak terlibat dalam transaksi itu karena penjahat melakukan pencurian dana kartu kredit miliknya dan melakukan pembelanjaan di internet.

Undang-undang ini memiliki dua bagian besar. Bagian pertama mengatur hal-hal terkait e-commerce atau perdagangan digital.

Sementara, bagian kedua mengatur hal-hal terkait dengan tindak pidana teknologi informasi, seperti konten ilegal (seperti informasi SARA, ujaran kebencian, informasi bohong/hoaks, penipuan), akses ilegal (seperti hacking), illegal interception (seperti penyadapan), dan data interference (seperti gangguan atau perusakan sistem secara ilegal)

Dalam pelaksanaannya, UU ITE menimbulkan ‘korban’ – bahkan setelah UU itu direvisi pada tahun 2016. UU ITE yang awalnya terbit sebagai jaminan kepastian hukum terhadap informasi dan transaksi elektronik justru mengancam dan berpotensi memberangus kebebasan berekspresi.

UU ITE yang semestinya digunakan untuk melindungi publik justru menjadi alat untuk melawan publik. Tak jarang, UU ini juga digunakan sebagai senjata politik untuk menjatuhkan lawan. Ini terlihat dari tingginya pelaporan kasus di tahun-tahun politik.

Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), perkumpulan yang fokus pada kebebasan berekspresi, mencatat ada 245 laporan kasus UU ITE di Indonesia sejak 2008 dengan hampir setengah kasus UU ITE menggunakan pasal pencemaran nama baik sebagai dasar pelaporan. SAFEnet menemukan UU ITE sering digunakan dengan pola-pola pemidanaan untuk balas dendam, barter kasus, membungkam kritik, shock therapy, dan persekusi kelompok.

Kasus Gilang menambah deretan panjang penyalahgunaan UU ITE di Indonesia. Kasus ini bukan berkaitan dengan e-commerce ataupun sebuah kejahatan yang lahir dari perkembangan teknologi. Dugaan perbuatan Gilang lebih tepat digolongkan sebagai kejahatan kesusilaan yang sudah diatur dalam KUHP.

Pasal KUHP yang bisa digunakan

Polisi menyebut Gilang diduga dengan sengaja menggunakan teknologi elektronik untuk melakukan pemerasan dan pengancaman, dan dapat diancam pidana penjara maksimal enam tahun. Kepolisian menjustifikasi penggunaan UU ITE karena belum menemukan bukti-bukti atau unsur dari perbuatan tersangka yang mengarah pada dugaan pelecehan seksual atau kesusilaan.

Mereka mengatakan telah menelaah beberapa pasal dalam KUHP, yakni Pasal 292, Pasal 296, dan Pasal 297 KUHP, dan mengatakan tidak ada satupun bisa diterapkan. Pasal-pasal tersebut masing-masing mengatur kekerasan seksual terhadap anak, keterlibatan mendukung pelaku kekerasan seksual, dan perdagangan anak,

Namun, menurut kami, Pasal 289 KUHP bisa digunakan dalam kasus Gilang.

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (Pasal 289, KUHP)”

Ada dua unsur penting dalam pasal ini: “perbuatan cabul” dan “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.” Perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan atau kesopanan, atau dapat pula merupakan suatu perbuatan keji yang masuk dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.

Sehingga, perbuatan cabul merupakan semua jenis perbuatan yang memiliki dimensi seksual dan berkaitan dengan hasrat seksual. Gilang mengaku mendapatkan rangsangan seksual saat melihat orang yang ditutupi dengan kain dan dibungkus seperti jenazah.

Oleh karena itu, perbuatan Gilang termasuk sebagai bentuk perbuatan cabul.

Korban, dalam utas Twitter, mengatakan Gilang menggunakan ancaman bunuh diri untuk memaksa korban mau menuruti keinginannya, termasuk untuk melakukan pembungkusan dengan kain terhadap teman korban.

Gilang juga menyebut dirinya menderita penyakit dengan maksud agar korban tidak membantah permintaannya. Ini merupakan bentuk ancaman yang termasuk dalam kategori kekerasan psikis. Kekerasan psikis merupakan perbuatan yang menghilangkan rasa percaya diri maupun rasa aman pada diri seseorang.

UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menyebut kekerasan psikis sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Lebih lanjut, studi 2008 yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Publik di Kanada menunjukkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan psikis antara lain berupa ancaman, pengabaian, penghinaan, maupun isolasi.

Keterlibatan ahli

Dalam kasus yang unik seperti kasus Gilang, keterangan ahli, yang merupakan salah satu alat bukti yang sah dalam persidangan, memainkan peranan yang besar dalam pembuktian. Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Dalam kasus Gilang, keterangan ini dapat diberikan oleh ahli psikologi dan seksologi. Ahli diperlukan dalam persidangan untuk membuktikan bahwa perbuatan Gilang dapat dijerat dengan Pasal 289 KUHP.

Keterangan yang diberikan oleh ahli-ahli, digabung dengan fakta-fakta persidangan yang ada, dapat membantu hakim dalam memeriksa dan memutus kasus ini dengan menggunakan KUHP.

Kasus-kasus serupa seharusnya tidak dijerat dengan UU ITE. Penggunaan UU ITE untuk kasus kekerasan seksual justru semakin menambah daftar panjang permasalahan yang ditimbulkan oleh undang-undang ini.

Tulisan ini dimuat dalam media The Conversation : https://theconversation.com/amp/uu-ite-untuk-kasus-kekerasan-seksual-tepatkah-144876

Civil Society Capacity-building on Sustainable Development Goals (SDGs)

Salah satu peneliti IJRS yaitu Arsa Ilmi, berkesempatan menjadi 1 dari 22 peserta, yang terpilih dari 5 negara di Asia untuk mengikuti pelatihan Civil Society Capacity-building on Sustainable Development Goals (SDGs) oleh Global Academy for Future Civilizations Kyunghee University yang bekerjasama dengan Korea International Cooperation Agency (KOICA) pada 17-26 Agustus 2020 lalu.

Arsa juga menjadi Team Leader untuk Indonesia dan mendapatkan penghargaan Best Team dan Best Essay dalam pelatihan selama 10 hari ini. Pelatihan ini mengajarkan tentang bagaimana organisasi masyarakat sipil dapat berkontribusi dan bekerjasama dalam perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring SDGs dengan menggunakan pendekatan pembangunan dan human rights pada level nasional, regional dan internasional bersama pemangku kepentingan yang lain secara menyeluruh di masa Covid-19 ini.

[Rilis Pers] Jumlah Aparat Pengadilan yang Positif COVID-19 Meningkat, Komitmen Mahkamah Agung untuk Melindungi Aparat Pengadilan Dipertanyakan

Per Senin 31 Agustus 2020, berdasarkan penelusuran media, kasus aparat pengadilan yang positif COVID-19 terdeteksi sekitar 86 orang yang tersebar di 16 pengadilan di seluruh Indonesia (data terlampir). Respon pengadilan ditemukan masih beragam, misalnya terdapat pengadilan yang menutup total pengadilan (lockdown), ada yang menunda sidang, maupun mengurangi jadwal sidang, sampai melakukan rapid test atau swab test. Namun, masih ada yang hanya melakukan penyemprotan dan tetap membuka pelayanan.

Pengadilan Tanggal Jumlah Aparat Pengadilan yang Positif Respon
PN Medan 25 Agustus 1 Memberlakukan Work From Home bagi Sebagian aparat pengadilan selama 5 hari. Hanya memberlakukan sidang secara virtual.

Melakukan rapid test.

PN Serang 25 Agustus 2 Melakukan swab test
PN Jakarta Pusat (2) 24 Agustus 9 Menutup Pengadilan 7 hari
PN Jakarta Pusat (1) 19 Agustus 1 Penyemprotan
PN Denpasar 18 Agustus 5 Menutup Pengadilan 14 hari
PA Praya 18 Agustus 1 Penyemprotan
PN Pare-Pare 18 Agustus 1 Menutup pengadilan 3 hari
PN Amlapura 13 Agustus 3 Membatasi layanan
PA Bukittinggi 12 Agustus 1 Menutup pengadilan 14 hari
PN Jakarta Barat 11 Agustus 5 Menutup pengadilan 6 hari
PA Kendari 11 Agustus 10 Menutup pengadilan 8 hari
PA Surabaya (3) 10 Agustus 26 Menunda sidang 14 hari dan membatasi layanan
PN Gorontalo 10 Agustus 2 Menunda sidang 14 hari
PN Surabaya (2) 9 Agustus 7 Menutup layanan selama 14 hari
PA Deli Serdang 28 Juli 1 Menutup pengadilan selama 7 hari
PA Lubukpakam 27 Juli 1 Menutup pengadilan selama 7 hari
PN Semarang 19 Juli 1 Tes rapid massal
PA Lumajang 17 Juli 7 Menutup Pengadilan selama 7 hari
PN Surabaya (1) 15 Juni 2 Penundaan sidang selama 14 hari

Kondisi di atas tentu menimbulkan kekhawatiran dan membutuhkan respon yang tegas  dari Mahkamah Agung (MA). Sebagaimana kita ketahui pengadilan adalah tempat bertemunya banyak pihak, yaitu aparat pengadilan, penasihat hukum, jaksa penuntut umum dan para pihak yang bersengketa. Oleh karena itu kesehatan maupun keselamatan banyak pihak dipertaruhkan dalam pengelolaan penanganan COVID-19 di pengadilan.

Sejak COVID-19 ditetapkan sebagai bencana nasional non-alam di Indonesia, upaya Mahkamah Agung dalam merespon situasi darurat ini telah dimulai dengan dikeluarkannya SEMA No. 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Di Lingkungan Mahkamah Agung RI Dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya, sebagaimana terakhir kali diubah dengan SEMA No. 6 Tahun 2020. Kebijakan ini telah disesuaikan dengan perkembangan situasi terkini melalui lima kali perubahan. Selanjutnya MA mengeluarkan SEMA No. 8 Tahun 2020 tentang Pengaturan Jam Kerja Dalam Tatanan Normal Baru Pada Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya Untuk Wilayah Jabodetabek Dan Wilayah Dengan Status Zona Merah COVID-19. Melalui pedoman ini, MA menekankan penggunaaan E-Court maupun E-Litigation untuk menghindari atau setidaknya mengurangi potensi berkumpulnya banyak orang. Langkah selanjutnya yang harus diapresiasi adalah adanya Nota Kesepahaman  antara MA, Kejaksaan, Kepolisian dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang Pelaksanaan Sidang Perkara Pidana melalui Konferensi Video dalam Rangka Pencegahan COVID-19 pada 13 April 2020.

Namun upaya-upaya di atas belum dapat mengantisipasi pencegahan penyebaran COVID-19 dan merespon kasus aparat pengadilan yang positif COVID-19. Dalam pedoman memang telah disebutkan sistem work from home, pembagian shift kerja, persidangan secara daring, himbauan menjaga jarak aman, menggunakan alat pelindung diri sebagai upaya menjaga keselamatan pegawai pengadilan. Namun dengan meningkatnya jumlah pegawai yang positif COVID-19 membuat upaya tersebut tidaklah cukup. Contact Tracing diperlukan untuk melacak kemungkinan berpindahnya virus dari aparat pengadilan kepada jaksa penuntut umum, penasihat hukum dan masyarakat yang hadir di pengadilan atau sebaliknya.

Mahkamah Agung belum mewajibkan seluruh pengadilan untuk melakukan rapid test atau swab test secara berkala kepada aparat pengadilan dan tidak perlu menunggu sampai ada pegawai yang terkonfirmasi positif. Beberapa pengadilan ada yang telah melakukan rapid test atau swab test secara mandiri. Namun, seringkali setelah seorang aparat pengadilan dinyatakan positif COVID-19, tidak semuanya diberikan rapid test atau swab test. Selain itu, Mahkamah Agung juga harus meningkatkan peran pimpinan pengadilan agar benar-benar menerapkan protokol kesehatan sesuai standar World Health Organization (WHO).

Oleh karena itu, Koalisi Pemantau Peradilan menyatakan:

  1. Mendesak Mahkamah Agung agar menutup sementara minimal selama 14 hari semua layanan pengadilan yang memiliki kasus positif COVID-19, dan terhadap kasus pidana yang memiliki isu masa penahanan, pengadilan wajib menerapkan sidang secara daring.
  2. Mendesak Mahkamah Agung untuk mengeluarkan kebijakan terkait kewajiban melakukan rapid test/swab test secara berkala dan menyeluruh untuk semua aparat pengadilan di seluruh Indonesia.
  3. Mendesak Mahkamah Agung untuk mewajibkan seluruh pengadilan selama masa tunggu hasil rapid test/swab test untuk menutup total pengadilan sampai dipastikan tidak ada aparat pengadilan yang positif COVID-19.
  4. Mendesak Mahkamah Agung untuk benar-benar menekankan para pimpinan pengadilan dalam memaksimalkan sistem work from home (WFH) atau sistem kerja bergiliran, melakukan persidangan daring, dan hal-hal lain dalam menerapkan protokol kesehatan secara ketat.

 

Jakarta, 2 September 2020

Koalisi Pemantau Peradilan
YLBHI, LeIP, PILNET Indonesia, PUSKAPA, ICW, PBHI, IJRS, ICJR, LBH Masyarakat, KontraS, ELSAM, LBH Jakarta, ICEL, PSHK, Imparsial, LBH Apik Jakarta