[Rilis Pers] Kondisi Kasus Covid-19 di Rutan/Lapas Harus Mendapatkan Perhatian, Overcrowding Harus Diselesaikan Bersama

Setidaknya ada 7 Lapas di Indonesia yang terpapar covid-19, dengan jumlah infeksi kepada 120 WBP dan 18 Petugas Lapas. Ditjen PAS perlu buka data aktual kasus covid-19 di rutan lapas, dan Kementerian Hukum dan HAM harus kembali melakukan upaya untuk mengurangi overcrowding kali ini harus memprioritaskan mereka yang termasuk ke dalam kelompok rentan kesehatan, perempuan, dan anak-anak, serta juga WBP dengan resiko keamanan yang rendah misalnya WBP tindak pidana non-kekerasan dan pengguna serta pecandu narkotika.

Kasus pertama covid-19 di Indonesia telah dilaporkan pada awal Maret 2020, sampai dengan 23 Agustus 2020, kasus covid-19 di Indonesia mencapai 153.535 kasus. Sampai dengan 1 April 2020 dalam Rapat Kerja Komisi III Kementerian Hukum dan HAM dengan Komisi III DPR, menteri Hukum dan HAM menyatakan belum ada kasus Covid-19 dilaporkan dalam rutan/lapas di Indonesia. Pada 10 Mei 2020, Dirjen PAS menyatakan terdapat 1 warga binaan pemasyarakatan (WBP) dan 2 petugas rutan/lapas yang positif covid-19. Namun kemudian, dari waktu tersebut hingga saat ini tidak ada pernyataan resmi lanjutan terkait dengan kondisi faktual kasus covid-19 di rutan/lapas.

Padahal, berdasarkan pemantauan media yang dilakukan ICJR, IJRS, dan LeIP telah terjadi banyak kasus infeksi covid-19 di dalam rutan/lapas di seluruh Indonesia, baik yang menyerang WBP maupun petugas rutan/lapas yang juga memberikan kondisi kerentanan penularan. ICJR, IJRS, dan LeIP mencatat setidaknya ada 7 Lapas di Indonesia yang terpapar covid-19, yaitu Lapas Kelas I Surabaya, Jawa Timur, Lapas Kelas IIA Subang, Jawa Barat, Lapas Kelas IIB Muara Bulian, Jambi, Lapas Kelas IIA Jambi, Jambi, Lapas Perempuan Kelas II A Sungguminasa, Sulawesi Selatan, Lapas Klas II B Muara Sijunjung, Sumatera Barat, Lapas Terbuka Kelas II B Pasaman, Sumatera Barat dengan jumlah infeksi 120 WBP dan 18 Petugas Lapas, 1 diantaranya adalah Kalapas Kelas IIA Jambi. Data ini bisa jadi lebih banyak karena hingga saat ini tidak ada data aktual resmi yang diberikan oleh Kementerian Hukum dan HAM dan Ditjen PAS, sebelumnya pun Menteri Hukum dan HAM pada 17 Agustus 2020 lalu memerintahkan Dirjen PAS untuk bekerja lebih ekstra dalam mencegah penyebaran covid-19 di rutan/lapas. Menteri Hukum dan HAM menyebut sejumlah lapas yang tercatat memiliki riwayat paparan covid-19, yaitu Lapas Perempuan Kelas IIA Palembang, Lapas Perempuan Kelas II A Sungguminasa, Lapas Kelas IIA Salemba, dan Lapas Perempuan Kelas IIA Jakarta, sebagian lapas-lapas tersebut tidak terlaporkan media, itu berarti tidak sepenuhnya tergambar kondisi penyebaran covid-19 di rutan/lapas. Data aktual oleh Ditjen PAS perlu dipaparkan untuk mempermudah dilakukannya tracking dan pengelompokan tingkat resiko untuk merancang langkah strategis pencegahan penyebaran covid-19.

Kerentanan rutan/lapas atau fasilitas penahanan lain yang tertutup dan tidak memungkinkan dilakukannya physical distancing maupun protokol kesehatan lain secara optimal yang disebabkan oleh overcrowding dalam fasilitas, seharusnya menjadi perhatian utama dari Kementerian Hukum dan HAM. Pembiaran penyebaran Covid-19 tanpa adanya upaya untuk memastikan dilakukannya tracking yang baik, testing yang merata dan rutin, serta optimalisasi protokol kesehatan dan terus membiarkan fasilitas penahanan dan pemasyarakatan mengalami overcrowding, akan menjadikan Rutan/Lapas lingkungan yang paling berbahaya bagi penyebaran Covid. Bahaya ini, tidak hanya mengancam tahanan maupun narapidana, namun juga petugas, dan masyarakat umum yang tinggal di sekitar fasilitas maupun yang berhubungan dengan petugas maupun mereka yang keluar-masuk Rutan/Lapas.

Meskipun pada April 2020, upaya pengeluaran Narapidana melalui mekanisme integrasi dan asimiliasi telah dilakukan sebagai respons terhadap pandemi Covid-19, namun ICJR, IJRS, dan LeIP menilai upaya tersebut masih kurang maksimal, dengan meninggalkan kondisi masih terdapat beban rutan/lapas mencapai 176% per Juli 2020, penghuni rutan/lapas masih lebih dari kapasitasnya yang hanya 133.086 orang. Angka tersebut pun, tidak tersebar secara merata, sebab di beberapa UPT, angka overcrowding masih berada diatas 100%. Sebut saja Lapas Kelas I Surabaya, yang pada Jumat, 21 Agustus 2020, 2 WBPnya dilaporkan positif Covid-19 dan 23 WBP lain reaktif rapid test. Menurut data Ditjenpas, Lapas Kelas I Surabaya, per 23 Agustus, mengalami overcrowding sebesar 128%. Artinya, upaya sesederhana physical distancing, pastinya mustahil dilakukan. Perlu diketahui juga per 23 Agustus terdapat kabar 7 orang WBP di lapas ini meninggal dunia secara berturut setelah mengalami sakit. Pihak lapas pun secara terang-terangan menyatakan klinik dan layanan kesehatan lapas tidak mampu menangani kondisi ini.

Kementerian Hukum dan HAM harus kembali melakukan upaya untuk mengurangi overcrowding, sebagaimana telah dilakukan sebelumnya di April lalu, setidaknya hingga seluruh UPT dapat dengan maksimal menjalankan protokol kesehatan, mengingat saat ini covid-19 sudah terpapar dalam rutan/lapas.

Pengeluaran lalu hanya difokuskan dengan melihat sisa masa pidana dari WBP. Yang belum dilakukan Kumham adalah melakukan pengeluaran dengan basis kerentanan penularan covid-19. Kelompok rentan ini termasuk diantaranya WBP yang berusia di atas 65 tahun, WBP dengan penyakit bawaan yang menyebabkan rendahnya imunitas seseorang seperti jantung, orang di umur berapapun yang memiliki obesitas atau orang dengan kondisi medis tertentu yang dapat memburuk jika tidak dikontrol seperti diabetes, gagal ginjal atau liver. Selain itu, perempuan yang hamil maupun perempuan yang membawa bayi serta anak-anak juga masuk ke dalam kelompok rentan yang harus diutamakan pengeluarannya oleh Kumham. Kumham juga harus fokus pada pengeluaran WBP yang sedari awal tidak perlu dipenjara, yaitu kelompok pengguna narkotika, per Juli 2020, jumlah pengguna narkotika di dalam rutan/lapas masih mencapai 40,470 orang.

Kementerian Hukum dan HAM penting untuk terus melakukan pengeluaran sebagai langkah lanjutan, kali ini harus memprioritaskan mereka yang termasuk ke dalam kelompok rentan kesehatan, perempuan, dan anak-anak, serta juga WBP dengan resiko keamanan yang rendah misalnya WBP tindak pidana non-kekerasan dan pengguna serta pecandu narkotika.

Untuk mengurangi beban Lapas, tentu Kemenkumham tidak dapat bekerja sendiri. Presiden juga nampaknya harus secara keras mengingatkan aparat penegak hukum untuk tidak secara masif menggunakan penahanan dalam kasus dan kondisi yang tidak terlalu dibutuhkan. Dalam beberapa kasus, Polisi masih tetap melakukan penahanan untuk kasus-kasus yang tidak berhubungan dengan kekerasan bahkan hanya menyangkut ekspresi dan pendapat saja. Hal ini diperburuk karena alternatif penahanan belum masif dilakukan. Di tataran pengadilan, ICJR, IJRS, dan LeIP meminta agar Mahkamah Agung segera memberikan arahan agar mengedepankan alternatif pemidanaan non penjara bagi kasus-kasus tertentu. Secara khusus ICJR, IJRS dan LeIP memberikan catatan kepada Kejaksaan Agung yang mulai menggunakan kewenangan menghentikan perkara untuk kasus-kasus yang berdasarkan kewenangan kejaksaan dianggap tidak terlalu penting untuk dilanjutkan pada proses selanjutnya.

Untuk itu, ICJR, IJRS, dan LeIP juga mengingatkan kepada Kementerian Hukum dan HAM, untuk dapat secara transparan memberikan update mengenai rutan/lapas yang penghuninya terpapar virus Covid-19. Hal ini, harus dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM sebagai tanggung jawabnya untuk dapat mencegah penyebaran lebih lanjut, sebab tanpa adanya data yang terbuka, maka tracking terhadap penyebaran virus akan sangat sulit dilakukan. Kegagalan tracking yang optimal, tidak hanya mengancam keselamatan penghuni dan petugas, namun juga masyarakat yang ada di populasi umum.


ICJR, IJRS, LeIP

Perlu Integrasi dan Komitmen Aparat Hukum dalam Pencegahan Korupsi

Tertangkapnya buronan terpidana dalam kasus cessie Bank Bali Djoko s Tjandra membuka tabir modus keterlibatan sejumlah oknum aparat penegak hukum, mulai advokat, polisi, dan jaksa. Alih-alih menegakan hukum, aparat penegak hukum justru cawe-cawe dengan pelaku tindak pidana. Untuk itu, dalam upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi perlu perubahan terintegrasi antar lembaga penegak hukum guna mencegah penegak hukum terjerembab dalam kasus hukum.

Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar Wicaksana mengatakan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi harus dimulai dari semua lembaga penegak hukum. Tak hanya lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, faktanya advokat pun memiliki peran besar dan penting dalam mencegah terjadinya tindak pidana korupsi atau tindak pidana lain.

Dalam praktiknya, tak sedikit advokat tersandung kasus korupsi saat membela kliennya. Seperti terlibat kasus suap, hingga menghalang-halangi penegak hukum dalam memeriksa kliennya dalam proses hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Memang dia membela kliennya, tapi tetap dia seharusnya membela keadilan,” ujar Dio dalam webinar bertajuk “Urgensi Pemberantasan Korupsi Melalui Reformasi Terintegritasi Lembaga Penegak Hukum”, Rabu (12/8/2020). (Baca Juga: Penangkapan Djoko Tjandra Pintu Masuk Bongkar Mafia Hukum)

Dalam kasus Djoko Tjandra misalnya, penasihat hukumnya Anita Dewi Kolopaking terseret dugaan kasus pemalsuan dokumen terkait pelarian Djoko Tjandra yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Bagi Dio, peran organisasi advokat menjadi penting dalam menegakan kode etik. Ketika advokat tersandung hingga berstatus terpidana kasus korupsi, organisasi advokat perlu bertindak memberi sanksi etik hingga mencabut lisensi izin praktik sebagai advokat.

“Peran organsasi advokat ketika mendidik para calon advokat sebelum mengantongi izin praktik beracara pun menjadi penting,” lanjutnya.

Namun demikian, pada akhirnya pencegahan dan pemberantasan korupsi tetap dilakukan bersama seluruh institusi penegak hukum. Adanya kesamaan cara pandang dalam pemberantasan korupsi menjadi kunci utama. Setidaknya, masing-masing institusi memiliki kewajiban dan konsisten menjaga para aparaturnya konsisten menghindari terjadinya praktik korupsi. Karena itu, menurutnya upaya pemberantasan korupsi sangat membutukan integrasi dan komitmen antar penegak hukum dalam sebuah criminal justice system.

“Kita perlu bagaimana berbagi peran lembaga penegak hukum dan peradilan bersinergi dan duduk bareng mencari cara dan upaya pencegahan bersama yang efektif,” sarannya.

Celah korupsi di peradilan

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Liza Farihah menilai kasus Djoko Tjandra menjadi momentum seluruh lembaga penegak hukum berkaca, sekaligus bersih-bersih dari praktik korupsi. Liza menyoroti dari aspek lembaga peradilan. Dia menjabarkan praktik korupsi terbagi menjadi dua.

Pertama, praktik korupsi sistemik yakni memanfaatkan kelemahan birokrasi sebagai peluang melawan hukum serta mengambil keuntungan. Seperti sebelum periode 2016, alur penanganan perkara di MA terbilang panjang birokrasinya. Hal itu terbuka celah terjadinya tindak pidana korupsi. Kedua, korupsi nonsistemik yakni tanpa menggunakan kelemahan birokrasi secara terstruktur.

Dia pun membeberkan penyebab terjadinya korupsi di lembaga peradilan. Pertama, adanya pergeseran fungsi kasasi di MA. Idealnya, MA sebagai pengadil upaya kasasi tidak memutus berat ringannya hukuman terhadap kasus pidana atau pidana korupsi. Fungsi kasasi sejatinya hanya menilai tepat atau tidaknya penerapan hukum judect factie oleh pengadilan tingkat pertama dan banding.

“Praktiknya, MA seperti menjadi pengadilan tinggi kedua memutus berat ringannya hukuman untuk kasus pidana dan kasus korupsi. MA bisa menaikan atau menurunkan hukuman. Pergeseran ini menjadi celah korupsi. Jika MA melakukan fungsi kasasi secara ideal, maka akan meminimalisir celah terjadinya korupsi,” kata dia.

Kedua, proses birokrasi penanganan perkara yang panjang. Meski MA kini telah membuat terobosan  dengan mengefektifkan dan mengefisienkan proses penanganan perkara dengan memusatkan pada kepaniteraan, berbeda dengan sebelumnya. Sebelumnya, format putusan MA sedemikian tebal dan panjang yang hanya mengulang-ngulang surat dakwaan, tuntutan. Padahal, pertimbangan hukum putusan tidak banyak. Tapi kini, MA membuat kebijakan supaya format putusan menjadi lebih efektif dan efisien.

“Kalau penanganan berkas perkara yang sedemikian panjang dan ribet akan menjadi membuka celah terjadinya praktik korupsi (suap, red),” kata dia.

Ketiga, organisasi peradilan satu atap yang sentralistis dan akuntabilitasnya cukup lemah. Sejak beberapa tahun terakhir, MA sudah menganut sistem satu atap, sehingga semua kebijakan terkait teknis peradilan, administrasi hingga finansial berada di bawah MA. Nah, banyak pihak yang berharap agar MA bisa menjaga akuntabilitas dan transparansinya.

Sayangnya, sistem pengawasan internal oleh Badan Pengawasan (Bawas) tak mampu menjangkau semua satuan kerja (satker). Tak hanya itu, Bawas tak hanya mengawasi satker dan aparaturnya termasuk termasuk pengelolaan keuangan, tapi juga mengawasi ribuan hakim di seluruh Indonesia dalam penanganan perkara

Liza mendorong MA membuka diri untuk bekerja sama dengan lembaga lain yang memiliki  kewenangan mencegah dan memberantas korupsi. Pemerintah pun bertanggung jawab terhadap reformasi peradilan dan berupaya mengintegrasikan lembaga penegak hukum. Seperti membuat tim satuan tugas yang terdiri dari masing-masing lembaga penegak hukum “Sehingga penegakan hukum bisa berjalan bersama-sama,” ujarnya.

Kejaksaan dan hilangnya peran KPK

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan Kejaksaan pun tak lepas dari sorotan masyarakat. Apalagi, dalam kasus Djoko Tjandra ada oknum jaksa yang terlibat. Meski teorinya jaksa bekerja secara independen dalam penegakan hukum, namun faktanya dalam membuat rencana tuntutan (rentut) saja masih berjenjang.

Selain terdapat peran lembaga pengawas eksternal, seperti Komisi Kejaksaan. Namun, perannya tak bertaji. Padahal fungsi dan kewenangan cukup memadai. Persoalannya, dalam menindaklanjuti sebuah pengaduan masyarakat, Komisi Kejaksaan menyampaikan ke Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti pengawas internal. Kata lain, pengawas eksternal tak dapat langsung mengambil tindakan atau menjatuhkan sanksi.

Di sisi lain, meningkatkan tindak pidana korupsi berdampaknya terjadinya bencana. Tak hanya bencana perekonomian nasional, namun kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemberantasan korupsi mesti dilakukan dengan cara-cara luar biasa. UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK telah mengatur jelas proses hukum terhadap aparat penegak hukum yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.

Pasal 11 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur kewenangan KPK menyelidik dan menyidik aparat penegak hukum yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Dalam kasus Djoko Tjandra misalnya, kata Asfin, ada peran KPK yang hilang yakni peran koordinasi.

Menurutnya, meski kepolisian dan kejaksaan memproses jajarannya yang terlibat secara internal, namun perlu dipertanyakan sejauh mana prosesnya bakal membuka tabir lebih lanjut keterlibatan oknum lain. “Nah disitulah peran KPK untuk (proaktif, red) melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk penegak hukum. Karena aparat penegak hukum menjadi bagian dari korupsi itu sendiri,” katanya.

 

Tulisan ini dimuat dalam media HukumOnline di : https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f34b17f7db16/perlu-integrasi-dan-komitmen-aparat-hukum-dalam-pencegahan-korupsi?page=all

Apa Kabar Indonesia Malam – Tv One Jerinx : Bui Akhir Cuitan “IDI kacung WHO”

Dio Ashar (Direktur Eksekutif IJRS) menjadi salah satu narasumber di Apa Kabar Indonesia Malam – TV One (13/08/2020) untuk membahas masalah Jerinx : bui akhir cuitan “IDI kacung WHO”.

Dio menyampaikan : “walaupun saya pribadi tidak setuju sikap Jrx dalam isu Covid ini. Tapi saya merasa pemberian pidana dengan UU ITE tidak tepat. Penggunaan Pasal 28 ayat (2) untuk menjerat Jerinx atas postingan yang dibuatnya jelas tidaklah tepat dan menyalahi makna dari ketentuan tersebut. Ketentuan tersebut pada dasarnya hanya dapat digunakan untuk menjerat ekspresi-ekspresi yang termasuk ke dalam kategori penghasutan untuk melakukan suatu tindakan kebencian/kekerasan/diskriminasi berdasarkan SARA”.

Tidak hanya penggunaan Pasal 28 ayat (2) UU ITE terhadap Jerinx yang tidak tepat, penggunaan Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik juga sama sekali tidak berdasar. Pasal 27 ayat (3) dalam penerapannya haruslah mengacu kepada ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang mengatur mengenai pencemaran terhadap individu.

Jika ingin tahu lebih jauh bisa cek ke rilis pers IJRS dan Koalisi Masyarakat Sipil di bit.ly/SemuaBisaKena

Membangun Brand dan Advokasi di Masa Pandemi Covid-19

Cakap Kamisan tanggal 13 Agustus 2020 lalu menghadirkan Neka (Pustakawan IJRS) dan Adery (Peneliti IJRS) sebagai pembicara. Neka membagikan cerita serta tips n trick tentang bagaimana membangun brand dan mengelola social media selama Pandemi Covid-19. Sementara, Adery selaku peneliti menceritakan bagaimana ia harus melakukan advokasi ke lembaga pemerintahan dan CSO selama Pandemi Covid-19.

Point-point penting bahasan yang disampaikan antara lain :

A. Membangun Brand

  1. Sebelum membuat akun social media (socmed) dan website, penting bagi kita untuk menentukan bagaimana konsep tampilannya, usernya, dan juga apa isi yang mau kita sampaikan. Jadi, lebih baik kita punya materi postingan terlebih dahulu barulah kita share ke akun socmed dan website kita.
  2. Dalam membangun brand, penting untuk melakukan kerja sama atau kolaborasi dengan mitra lain, contohnya membuat Penelitian, Rilis Pers, Podcast, Webinar, dsb. Apalagi jika mitra tersebut sudah punya banyak followers, sehingga jika postingan kerja sama atau kolaborasi tersebut di-share atau di-repost akan menambah engagement socmed kita.
  3. Selama melakukan kerja sama atau kolaborasi dengan mitra lain, jangan sampai lupa dengan apa visi misi dan tujuan lembaga kita. Jangan sampai kita hanya ikut-ikutan menjalankan kegiatan tapi lupa dengan apa sebenarnya tujuan lembaga.
  4. Bagi teman-teman media atau content creator di NGO apabila memiliki SDM sedikit tapi harus mengerjakan desain yang cukup banyak, bisa menggunakan platform desain online seperti Canva, dan mencari icon-icon di Freepik atau Flaticon. Platform tersebut memudahkan kita untuk membuat desain secara cepat / waktu yang singkat.
  5. Teman-teman organisasi Non Profit dapat mendaftarkan diri untuk mendapatkan lisensi Canva Pro secara gratis di https://support.canva.com/account-basics/nonprofit-program/apply-for-nonprofit/

B. Advokasi selama Pandemi

  1. Masih ada beberapa lembaga pemerintahan (sebagai mitra kerja) yang kurang familiar dengan penggunaan zoom sebagai media komunikasi online.
  2. Kita perlu sabar dan terus membantu mitra kita tersebut dalam menggunakan zoom (atau aplikasi lain) sebagai sarana komunikasi.
  3. Perlu juga ada kesadaran dari dalam diri lembaga tersebut untuk mau belajar menggunakan platform atau aplikasi online meeting demi keberlangsungan kegiatan di tengah Pandemi Covid-19.
  4. Apabila sangat urgent dan diharuskan meeting offline, jangan sampai lupa dengan protokol kesehatan. Penting bagi kita menyediakan hand sanitizer, face shield, thermogun, form keterangan (perjalanan selama 2 minggu terakhir; suhu tubuh hari itu; mengunjungi rumah sakit apa selama 2 minggu terakhir; dan riwayat kesehatan), serta jangan lupa untuk menjaga jarak aman. Untuk makanan juga hindari prasmanan, lebih aman jika di dalam lunch box.
  5. Perlu dimengerti, melakukan meeting online juga sama melelahkannya dengan meeting offline. Sebaiknya meeting online hanya maksimal 3 jam supaya mata dan tubuh tidak terlalu lelah di depan layar laptop / komputer.

Pernyataan Pers Aliansi Masyarakat Sipil: Pidana dalam Kasus Jerinx Tidak Tepat, Kepolisian Harus Segera Hentikan Penyidikan

Rabu, 12 Agustus 2020, Jerinx, pemilik akun IG @jrxsid menurut pemberitaan sejumlah kanal media online resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan atas dugaan pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan/atau Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai ujaran kebencian dan pencemaran nama baik. Jerinx dilaporkan oleh IDI wilayah Bali atas postingannya yang menyebut IDI sebagai “kacung WHO” karena mewajibkan dilakukannya rapid test. Kami berpendapat, penggunaan pasal pidana UU ITE untuk menjerat Jerinx atas postingan yang dibuatnya ini tidaklah tepat. Lebih lanjut, penahanan yang dikenakan terhadapnya tidaklah perlu untuk dilakukan dan cenderung dipaksakan. Adapun pernyataan Jerinx terhadap penanganan COVID-19 yang kontraproduktif perlu menjadi pemicu untuk menghadirkan diskursus publik yang lebih sehat, ketimbang menggunakan jalur kriminalisasi melalui instrumen UU ITE.

Penggunaan Pasal 28 ayat (2) untuk menjerat Jerinx atas postingan yang dibuatnya jelas tidaklah tepat dan menyalahi makna dari ketentuan tersebut. Ketentuan tersebut pada dasarnya hanya dapat digunakan untuk menjerat ekspresi-ekspresi yang termasuk ke dalam kategori _incitement to hatred/violence/discriminate_ atau penghasutan untuk melakukan suatu tindakan kebencian/kekerasan/diskriminasi berdasarkan SARA. Elemen penting dalam ketentuan itu yakni “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. Niat menjadi satu komponen yang paling penting untuk membedakan antara ekspresi yang sah (legitimate expression) dengan ekspresi yang termasuk ke dalam ujaran kebencian.

Menurut pandangan kami, ekspresi yang disampaikan oleh Jerinx di dalam postingan Instagramnya tersebut, yang merujuk kepada IDI sebagai “kacung WHO” sangat jauh untuk dapat dikatakan memenuhi unsur ini. Lebih jauh, untuk dapat mengetahui apakah sebuah ekspresi masuk kualifikasi sebagai penyebaran ujaran kebencian, terlebih dahulu harus dilihat: (1) Konteks di dalam ekspresi; (2) Posisi dan status individu yang menyampaikan ekspresi tersebut; (3) Niat dari penyampaian ekspresi untuk mengadvokasikan kebencian dan menghasut; (4) Kekuatan muatan dari ekspresi; (5) Jangkauan dan dampak dari ekspresi terhadap audiens; dan (6) Kemungkinan dan potensi bahaya yang mengancam atas disampaikan ekspresi. Rentannya penyalahgunaan pasal incitement to hatred ini, mengharuskan aparat penegak hukum untuk lebih berhati-hati dalam menilai suatu ekspresi memiliki muatan bahaya (harmful) serius, sehingga dapat dipidana. Sedangkan dalam peristiwa ini, kualifikasi bahaya tersebut belum terpenuhi.

Tidak hanya penggunaan Pasal 28 ayat (2) UU ITE terhadap Jerinx yang tidak tepat, penggunaan Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik juga sama sekali tidak berdasar. Pasal 27 ayat (3) dalam penerapannya haruslah mengacu kepada ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang mengatur mengenai pencemaran terhadap individu. Artinya, pasal tersebut hanya dapat dikenakan terhadap pencemaran yang ditujukan terhadap orang perseorangan, bukan terhadap institusi ataupun badan hukum. Pasal 27 ayat (3) KUHP pun merupakan delik aduan absolut yang artinya individu yang dicemarkan itu sendiri yang harus melaporkan perbuatan pidana terhadapnya dan bukan perwakilannya. Tentu saja menjadi tidak masuk akal kemudian, ketika institusi yang harus diwakili oleh seseorang menggunakan ketentuan ini. Dalam kasus Jerinx, pencemaran nama baik yang dilaporkan adalah pencemaran terhadap institusi IDI. Oleh karenanya, secara otomatis Pasal 27 ayat (3) UU ITE sama sekali tidak dapat diterapkan terhadapnya.

Atas penangkapan dan penetapan Jerinx sebagai tersangka ini, kami mengingatkan kembali agar Aparat Penegak Hukum berhati-hati dalam menerapkan UU ITE. Kejaksaan sebagai *“Dominus Litis”* yang memiliki kewenangan untuk menuntut perkara ini, harus dengan tegas menolak perkara, sebab pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat Jerinx ini jelaslah tidak sesuai dengan maksud pembentukannya dan terlihat sangat dipaksakan hanya untuk memenuhi sentimen punitif dari masyarakat.

Tidak hanya itu, penahanan yang dilakukan terhadap Jerinx oleh Kepolisian bukanlah langkah yang tepat untuk diambil, terlebih di masa pandemi Covid-19 ini, dimana seluruh pihak di dalam sistem peradilan pidana sedang berusaha keras mengurangi jumlah tahanan dari dalam fasilitas penahanan untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19 di dalam fasilitas. Meskipun pasal yang digunakan untuk menjerat Jerinx ancamannya lebih dari 5 (lima) tahun, namun demikian Kepolisian yang memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan harus dapat melihat urgensi dari pelaksanaan upaya paksa ini dengan lebih baik. Terlebih, pasal yang diancamkan kepada Jerinx, sama sekali tidak melibatkan adanya kekerasan, yang seharusnya menjadi bahan pemikiran bagi Kepolisian untuk tidak memprioritaskan penahanan terhadapnya.

*Berdasarkan hal tersebut, kami mendesak sejumlah hal berikut ini:*

  1. Kepolisian untuk menghentikan penyidikan perkara ini, mengingat tidak terpenuhinya sejumlah unsur pidana sebagaimana dijelaskan di atas.
  2. Segera mengeluarkan Jerinx dari tahanan, penahanan Jerinx dapat menjadi gambaran tidak pekanya penyidik terhadap kondisi pandemic Covid-19 yang saat ini juga menjadi persoalan di tempat-tempat penahanan.
  3. Kejaksaan apabila perkara ini tidak dihentikan penyidikannya, sebagai dominus litis, menolak melakukan penuntutan karena tidak layaknya perkara ini untuk diajukan ke persidangan.
  4. Aparat penegak hukum untuk lebih hati-hati menggunakan ketentuan di dalam UU ITE dan menerapkannya dengan ketat sesuai dengan batasan-batasan yang sudah ditentukan.
  5. Pemerintah dan DPR untuk segera memprioritaskan perubahan kembali UU ITE, melihat UU ITE masih belum tepat sasaran dan penggunaanya cenderung eksesif.

Jakarta, 13 Agustus 2020
Aliansi Masyarakat Sipil

ICJR, Elsam, PIL-NET, IJRS, HRWG, DebtWatch Indonesia, IMPARSIAL, PBHI, YLBHI, LBH Pers, Greenpeace Indonesia, PSHK, Indonesia for Global Justice, Yayasan Satu Keadilan, ICEL, LeIP