Diseminasi Penelitian Disparitas dan Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika di Indonesia Studi Perkara Tindak Pidana Narkotika Golongan 1 Tahun 2016 – 2020 (Pasal 111-116 dan Pasal 127 UU Narkotika 35 Tahun 2009)

Pada hari Selasa, 28 Juni 2022, Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dengan dukungan Open Society Foundation (OSF) menyelenggarakan diseminasi bertajuk “Penelitian Disparitas dan Kebijakan Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika di Indonesia Studi Perkara Tindak Pidana Narkotika Golongan 1 Tahun 2016-2020 (Pasal 111-116 dan Pasal 127 UU Narkotika 35 Tahun 2009).”

Acara yang berlangsung secara daring, dibuka oleh keynote speech yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. M. Syarifuddin, S.H., M.H. selaku Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Prof. Dr. S.T. Burhanuddin, S.H., M.H. selaku Jaksa Agung Republik Indonesia. Di dalam masing-masing pidato, keduanya menaruh perhatian yang lebih terhadap persoalan dalam kebijakan narkotika di Indonesia.

Dalam acara diseminasi ini, Matheus Nathanael peneliti IJRS memaparkan hasil penelitian yang dilakukan IJRS dengan metode univariat deskriptif dan bivariat uji regresi dari 1.535 perkara (populasi) tindak pidana peredaran gelap Pasal 111-116 UU Narkotika, dan dari 1.634 perkara (populasi) tindak pidana penyalahguna narkotika Pasal 127 UU Narkotika. Dari jumlah tersebut, didapati bahwa untuk peredaran gelap narkotika yaitu sejumlah 616 terdakwa (sample) yang digunakan sebagai acuan utama analisis tindak pidana peredaran gelap. Sedangkan, penyalahguna narkotika yaitu sejumlah 745 terdakwa (sample) yang dijadikan acuan utama analisis tindak pidana penyalahguna narkotika. Putusan yang diperoleh tersebut mulai dari tahun 2016-2020, dari seluruh pengadilan di Indonesia.

Dari temuan yang diperoleh, IJRS mengidentifikasi berdasarkan data demografi perkara peredaran gelap, bahwa: 1) Usia terdakwa dalam peredaran gelap narkotika, hampir seluruhnya berada pada usia produktif antara 15-64 tahun. 2) Peran terdakwa peredaran gelap narkotika yang paling banyak adalah pengguna terakhir yaitu sejumlah 44,6%, sedangkan produsen adalah yang paling sedikit yaitu sejumlah 0,4% 3) Jenis barang bukti perkara peredaran gelap narkotika adalah jenis Sabu yaitu sejumlah 79,2%, lalu diikuti terbanyak kedua adalah Ganja yaitu sejumlah 9,7%. 4) Berat barang bukti Sabu pada perkara peredaran gelap narkotika. Dari 38,8% dari seluruh terdakwa memiliki karakteristik sebagai pengedar Sabu dengan netto tidak lebih dari 1 gram (pengedar “kecil”). 5) Berat barang bukti Ganja pada perkara peredaran gelap narkotika. Dari 1,8% seluruh terdakwa memiliki karakteristik sebagai pengedar ganja dengan netto tidak lebih dari 5 gram (pengedar “kecil”). 6) Terdapat terdakwa peredaran gelap narkotika yang terbukti bersalah, namun tanpa adanya pertimbangan unsur kesalahan yaitu sejumlah 43,7%. 7) Terdapat perkara peredaran gelap narkotika yang terbukti, namun hanya berdasarkan keterangan saksi dari Kepolisian saja yaitu sejumlah 23,3% 8) Terdapat perkara peredaran gelap narkotika yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara 15 tahun atau lebih, namun tidak didampingi penasehat hukum yaitu sejumlah 13,6%. 8) Terdapat terdakwa peredaran gelap narkotika yang dihukum mati yaitu sejumlah 2,3%.

Kemudian, dalam konteks berdasarkan data demografi penyalahguna narkotika, IJRS menemukan bahwa: 1) Hampir seluruh terdakwa penyalahguna narkotika berada di usia produktif yaitu 15-64 tahun. 2) Mayoritas terdakwa penyalahguna narkotika adalah penyalahguna rekreasional yaitu sejumlah 9,1%. 3) Sabu adalah jenis narkotika yang paling sering digunakan terdakwa penyalahguna narkotika yaitu sejumlah 85,5%, kemudian Ganja pada peringkat kedua yaitu sejumlah 10,7%. 4) Berat barang bukti Sabu pada perkara penyalahguna narkotika. 64,8% dari seluruh terdakwa memiliki karakteristik sebagai pengguna sabu dengan netto tidak lebih dari 1 gram (pengguna harian). 5) Berat barang bukti Ganja pada perkara penyalahguna narkotika. 6,5% dari terdakwa memiliki karakteristik sebagai pengguna ganja dengan netto tidak lebih dari 5 gram (pengguna harian). 6) Terdapat kondisi dimana terdakwa sudah memenuhi kualifikasi persyaratan rehabilitasi sebagaimana SEMA 4/2010, namun tetap dipidana penjara.

Selain beberapa hal di atas, IJRS juga menemukan adanya disparitas pemidanaan perkara peredaran gelap: 1) Terdapat disparitas pemidanaan penjara pada perkara peredaran gelap narkotika yang serupa, yaitu sejumlah 65.8% 2) Terdapat disparitas besaran (lamanya) pidana penjara untuk perkara peredaran gelap narkotika yang serupa, mulai dari rentang 0-1 tahun yaitu sejumlah 24.0%, hingga lebih dari 6 tahun yaitu sejumlah 4.0%

Sedangkan beberapa temuan-temuan mengenai disparitas pemidanaan perkara penyalahguna narkotika: 1) Terdapat disparitas pemidanaan penjara pada perkara penyalahguna narkotika yang serupa, yaitu sejumlah 63.6%. 2) Terdapat disparitas besaran (lamanya) pidana penjara untuk perkara peredaran gelap yang serupa, mulai dari rentang 1-5 bulan yaitu sejumlah 17.9%, hingga lebih dari 30 bulan sejumlah yaitu 7,1%. 3) Terdapat disparitas perbedaan bentuk pidana pada perkara penyalahguna narkotika, ada perkara/terdakwa yang dipidana penjara saja, rehabilitasi saja, maupun penjara dan rehabilitasi.

Selain temuan tersebut, IJRS juga menemukan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi pemidanaan. Dalam konteks peredaran gelap narkotika: 1) Kekuatan pengaruh antara besaran tuntutan pidana penjara oleh Jaksa terhadap besaran putusan Hakim berupa penjara bersifat sangat kuat, yaitu sejumlah 74,0%. 2) Kekuatan pengaruh antara peran terdakwa terhadap besaran lamanya putusan penjara oleh Hakim bersifat sedang, yaitu sejumlah 10,9%. 3) Kekuatan pengaruh berat barang bukti narkotika jenis sabu dan ganja terhadap besaran lamanya putusan penjara oleh Hakim bersifat kuat, yaitu sejumlah 30,0%.

Sedangkan dalam konteks penyalahguna narkotika, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pemidanaan, ditemukan bahwa: 1) Terdapat terdakwa yang diputus pidana penjara saja, yaitu sejumlah 92,3%. 2) Terdapat yaitu sejumlah 91,3% yang mana tuntutan Jaksa dan putusan Hakim tidak berubah, artinya dituntut dan diputus pidana penjara saja. 3) Terdapat yaitu sejumlah 3,0% yang mana tuntutan Jaksa dan putusan Hakim tidak berubah, artinya dituntut dan diputus rehabilitasi saja. 4) Terdapat yaitu sejumlah 38,6% perkara penyalahguna narkotika yang diputus tidak lebih dari 1 tahun penjara. 5) Terdapat yaitu sejumlah 46,8% terdakwa penyalahguna narkotika yang diputus rehabilitasi selama 6 bulan. 6) Kekuatan pengaruh antara besaran tuntutan Jaksa berupa penjara terhadap besaran putusan putusan Hakim berupa penjara bersifat sangat kuat, yaitu sejumlah 56.4%

Penelitian ini juga menghadirkan Anugerah Rizki Akbari, S.H., M.Sc., akademisi hukum pidana pada kriminologi Universitas Indonesia yang memaparkan komparasi pedoman pemidanaan narkotika di Amerika Serikat dan Inggris. Bagi Eky tentang penelitian IJRS “Ini bisa dijadikan bekal bagi penyusun kebijakan untuk mengusung pedoman khusus berkaitan dengan narkotika, dengan memperhatikan karakteristik tertentu.” Lebih lanjut, Eky mengatakan yang dapat dipelajari Indonesia adalah “ada proses evaluasi yang dilakukan secara konsisten yang dilakukan oleh pemerintah baik komisi pemidanaan sendiri seperti di Amerika Serikat dan Inggris, atau dilakukan oleh subjek/organ lain. Yang terpenting adalah bahwa proses pemidanaan ini harus dianggap sebagai suatu proses yang penting dalam evaluasi kebijakan dan itu harus: 1) Evaluasi; dan 2) Dipublikasikan secara menyeluruh dan konsisten agar riset pemidanaan kita lebih objektif, transparan, dan lebih akuntabel.”

Tidak hanya itu, penelitian juga menyusun dan memberikan sejumlah rekomendasi penting mengenai kebijakan narkotika seperti apa yang baik untuk diimplementasikan di Indonesia, yang disampaikan oleh Maidina Rahmawati, S.H., peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Bagi Maidina ada 4 poin terkait reorientasi kebijakan narkotika “Evaluasi. Kita punya bahan evaluasi dari bahan yang dilakukan IJRS. Lalu kemudian kita harus melakukan rumusan ulang seluruh ketentuan pidana di dalam Undang-Undang Narkotika yang lebih mudah menghasilkan pemidanaan dan pemenjaraan ketimbang menggunakan Pasal Pengguna narkotika, kita pastikan tidak ada lagi pasal karet—saat ini kita sedang merevisi UU Narkotika tetapi revisi Pasal pemidanaan belum masuk oleh pemerintah. Lalu dalam konteks perubahan hukum acaranya pun ada peran-peran lembaga untuk mendorong intervensi dalam bentuk dekriminalisasi dan yang kedua memanfaatkan sistem kesehatan yang ada dan berdayakan dan kuatkan sistem kesehatan tersebut. Kemudian investigasi negara harus diubah dari penegakan hukum/perang terhadap narkotika menjadi pendekatan kesehatan.”

Terhadap tiga pemapar tersebut, kemudian ditanggapi oleh lima orang penanggap dari berbagai pihak. H. Arsul Sani, S.H, M.Si. wakil ketua MPR RI sekaligus anggota Komisi III DPR RI yang menyambut baik penelitian ini “Hasil penelitian ini buat saya dan juga paparan yang disampaikan narasumber ini luar biasa sekali dan tepat waktu. Saya katakan tepat waktu karena saat ini DPR akan mulai melakukan pembahasan RUU perubahan atas UU 35/2009. Jadi saya kira ini bisa jadi semacam evidence based legislation.” Selain itu Wakil ketua Mahkamah Agung bidang yudisial Dr. Andi Samsan Nganro, S.H., M.H. juga memberikan apresiasi sekaligus tanggapan “Disparitas yang disorot disini adalah disparitas yang mencolok/disparitas yang tidak bertanggung jawab yang mengusik rasa keadilan. Sebab dalam praktek disparitas juga kerap dibutuhkan untuk rasa keadilan.” Dari Jaksa Agung diwakili oleh Dr. Fadil Zumhana, S.H., M.H. Jaksa Agung muda bidang tindak pidana umum yang menyampaikan tanggapan mengenai masalah disparitas dalam konteks Kejaksaan “Masalah disparitas memang sehari-hari kami dengar sebagai pimpinan. Hal itu membuat kami memikirkan solusi terhadap masalah tersebut.” Dari kalangan akademisi dihadirkan tanggapan dari Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A guru besar hukum pidana fakultas hukum Universitas Indonesia yang memberikan sejumlah masukan dan rekomendasi terhadap hasil penelitian IJRS, salah satunya mengenai rehabilitasi “tidak hanya berhenti di UU saja harus ada fasilitas yang memadai baik secara kuantitas dan kualitas untuk melakukannya.” Terakhir, dari pihak Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM disampaikan oleh Dr. Sugeng Purnomo, S.H., M.H. “Menarik tadi hasil penelitian ada ditemukan putusan yang tidak sampai satu tahun, mengapa kemudian tidak dikenakan percobaan.”

 

Acara ini kemudian melahirkan 4 (empat) kesimpulan pokok, di antaranya:

  1. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya disparitas dalam tindak pidana narkotika di Indonesia, baik pada peredaran gelap Pasal 111-116 UU Narkotika maupun penyalahguna narkotika Pasal 127 UU Narkotika;

  2. Disparitas pemidanaan tidak semuanya bermasalah, yang menjadi masalah adalah disparitas pemidanaan yang tidak berdasar/tidak bertanggungjawab;

  3. Salah satu alasan mengapa timbul inkonsistensi dalam penerapan kebijakan rehabilitasi adalah kurangnya fasilitas rehabilitasi, maka perlu ada reorientasi kebijakan narkotika di Indonesia agar menggunakan pendekatan kesehatan public ketimbang pidana penjara;

  4. Salah satu akar masalah tindak pidana narkotika adalah tumpang tindihnya beberapa pasal, sehingga berdampak pada kinerja aparat penegak hukum di lapangan. Maka dengan adanya rencana revisi UU Narkotika, dapat menjadi momen baik dalam memperbaiki masalah tumpang tindih beberapa Pasal agar aparat penegak hukum dalam menjatuhkan hukuman yang proporsional serta menciptakan konsistensi penegakan hukum. Kemudian, salah satu cara berbagai negara dalam mengatasi disparitas yang tidak berdasar adalah dengan membuat pedoman pemidanaan, sehingga Hakim dalam menentukan besaran pidana dapat merujuk ke pedoman pemidanaan tersebut. Maka Indonesia perlu membuat pedoman pemidanaan agar dapat membantu aparat penegak hukum untuk proposional, konsisten, dan rasional dalam menjatuhkan hukuman, dan masyarakat juga dapat kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.