Upaya Peningkatan Akses Terhadap Bantuan Hukum oleh IJRS

IJRS telah melakukan serangkaian kegiatan demi meningkatkan akses terhadap bantuan hukum. Mulai dari riset-riset berbasiskan bukti, memaksimalkan layanan bantuan hukum melalui portal, dan membantu meningkatkan kualitas pemberi bantuan hukum.

Apa saja detail kegiatannya?

Simak selengkapnya dalam #InfografisIJRS berikut ini :

 

Sharing Session 2 : “Theory of Change”

Jum’at lalu (20/08/2021) IJRS mengadakan sharing session internal dengan materi tentang “Theory of Change” dari narasumber Mas Windu Kisworo, PhD.

Mas Windu membagikan pengalamannya tentang project design, monitoring – evaluation, dan reporting. Mas Windu juga membahas pentingnya untuk menyimpan arsip-arsip program sebagai database sebuah organisasi.

Terima kasih atas kesempatannya Mas Windu. Semoga ilmunya dapat bermanfaat untuk anggota IJRS.

Sharing Session 1 : ”Benefit-Cost Analysis of Enforcing Anti-Corruption Laws”

22 Juli 2021 baru saja IJRS mengadakan sharing session internal dengan tema : ”𝗕𝗲𝗻𝗲𝗳𝗶𝘁-𝗖𝗼𝘀𝘁 𝗔𝗻𝗮𝗹𝘆𝘀𝗶𝘀 𝗼𝗳 𝗘𝗻𝗳𝗼𝗿𝗰𝗶𝗻𝗴 𝗔𝗻𝘁𝗶-𝗖𝗼𝗿𝗿𝘂𝗽𝘁𝗶𝗼𝗻 𝗟𝗮𝘄𝘀” dengan narasumber Choky Risda Ramadhan.

Bang Choky merupakan Dosen FH UI dan mahasiswa program doktoral University of Washington, Amerika Serikat. Bang Choky membahas tentang rencana desertasinya dan membagikan ilmu tentang 𝗕𝗲𝗻𝗲𝗳𝗶𝘁-𝗖𝗼𝘀𝘁 𝗔𝗻𝗮𝗹𝘆𝘀𝗶𝘀. Semoga kedepannya desertasi Bang Choky lancar dan dapat bermanfaat bagi para pembacanya.

Terima kasih atas sharingnya Bang Choky, semoga ilmunya selalu bertambah dan bermanfaat.

Pelatihan Media Sosial “Awas Serigala”

Media sosial kini rasanya sudah seperti bagian dari kehidupan kita. Millenial, boomers, pribadi maupun untuk lembaga. Tidak terkecuali untuk lembaga-lembaga seperti NGO dan LSM. Bagi NGO dan LSM, media sosial menjadi salah satu sarana untuk berkomunikasi dengan pihak eksternal dan untuk mengadvokasikan isu-isu di lembaganya.

AIPJ2 membuat sebuah pelatihan media sosial bertajuk “Awas Serigala”. Konsep yang diangkat dalam pelatihan ini adalah saat bermedia sosial kita harus fokus pada tujuan kita, jangan sampai kita seperti si tudung merah yang kehilangan fokus akibat diganggu oleh Serigala.

IJRS menjadi salah satu NGO yang berkesempatan mengikuti pelatihan media sosial yang diadakan oleh AIPJ2. Neka dan Arsa menjadi perwakilan dari IJRS untuk mengikuti rangkaian pelatihan yang diadakan sejak April 2021 hingga Agustus 2021.

Fasilitator dalam pelatihan ini terdiri dari Mbak Cecilia Gandes (Social Media Assistant Manager, Harian Kompas), Mas Septa Inigopatria (Head of Product Development Harian Kompas), dan Mas Dio (Ex. Head of Video Kumparan). Serta, pada sesi presentasi Tugas Akhir part II kami kedatangan bintang tamu yaitu Habib Husein Ja’far Al Hadar (konten kreator channel YouTube Jeda Nulis, Cahaya Untuk Indonesia dan Pemuda Tersesat).

Selama pelatihan, IJRS sudah memproduksi dua buah konten berdasarkan hasil masukan dari para fasilitator. Konten IJRS dapat Anda lihat pada link di bawah ini :

  1. IG TV Apresiasi dan Harapan tentang Pedoman Kejaksaan No 1/2021 : https://www.instagram.com/tv/CR5ifovgSPq/?utm_medium=copy_link
  2. Infografis Potret Perkawinan Anak di Indonesia : https://www.instagram.com/p/CRlpwhDgRye/?utm_medium=copy_link

Bahkan untuk konten IG TV IJRS mendapat respon positif yang luar biasa dan mendapatkan engagement yang cukup tinggi mencapai impresi sebesar 3000an.

[Rilis Pers] Sidang Lanjutan Permohonan Uji Materil Pelarangan Narkotika Medis untuk Pelayanan Kesehatan: DPR Minta Pemerintah Tindak Lanjuti dengan Penelitian Ilmiah, Pemerintah Keukeuh Tolak Permohonan

Hari ini 10 Agustus 2021 agenda sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) dilanjutkan dengan mendengar keterangan dari perwakilan DPR dan Presiden terhadap permohonan uji materil tentang pelarangan narkotika Golongan 1 untuk pelayanan kesehatan. Dalam persidangan ini, DPR diwakili oleh Anggota Komisi III Taufik Basari sedangkan Pemerintah yang mewakili Presiden antara lain terdiri dari perwakilan Kementerian Hukum dan HAM, Jaksa Agung, dan Kementerian Kesehatan sebagai juru bicara yang menyampaikan tanggapan terhadap permohonan para pemohon.

Dalam keterangan yang disampaikan di persidangan, DPR pada intinya menolak permohonan ini, namun demikian, DPR juga menekankan beberapa poin penting terkait isu penggunaan narkotika golongan 1 untuk kepentingan medis dan penelitian ganja kedepan. DPR menyatakan bahwa dalam merumuskan kebijakan narkotika dalam negeri perlu bersikap terbuka terhadap perkembangan internasional dari lembaga-lembaga PBB seperti WHO dan CND maupun beberapa negara lain yang telah memperbolehkan praktik penggunaan Narkotika Golongan 1 seperti ganja untuk kepentingan medis.

Terkait sikap Pemerintah yang menolak rekomendasi WHO mengenai perubahan cannabis dan cannabis resin pada Desember 2020, DPR juga memandang bahwa Pemerintah seharusnya tidak hanya berhenti pada sikap penolakan tersebut namun juga harus diikuti dengan langkah kongkret untuk menindaklanjuti dengan melakukan penelitian-penelitian ilmiah untuk mendukungnya, sebab perdebatan ini sudah masuk ranah akademis bukan hanya soal sikap politis.
Meskipun demikian, menurut Koalisi, sikap DPR tersebut menimbulkan ambiguitas terhadap proses uji materil UU Narkotika yang tengah berlangsung. Di satu sisi, DPR mengamini secara kemanusiaan terdapat kerugian yang dialami pemohon uji materi UU Narkotika sehingga kedepan harus diberikan perlindungan hukum. Namun di sisi lain, DPR tidak bisa memberikan jaminan perlindungan atas pokok permohonan uji materil UU Narkotika ini. Oleh karenanya menjadi penting bagi Mahkamah untuk memberikan jalan keluar terhadap hal ini, karena hanya lewat Putusan Mahkamah lah kepastian jaminan perlindungan hukum itu dapat ditegakan tanpa perlu berharap lewat proses politik yang belum jelas arahnya.

Sedangkan dari sisi Pemerintah, sebagaimana sikap-sikap sebelumnya dalam isu ini juga menolak permohonan para pemohon dengan alasan adanya kekhawatiran mengenai dampak yang lebih besar yang akan timbul ketimbang manfaat yang diterima, mengingat kondisi negara Indonesia dengan populasi yang sangat besar ini sulit untuk dilakukan pengawasan. Sehingga Pemerintah berdalih lebih baik merujuk pada alternatif pengobatan lainnya yang secara hukum dan medis dapat digunakan. Sikap kekhawatiran Pemerintah ini kemudian juga memancing pertanyaan dari Hakim MK Suhartoyo untuk menggali apakah kekhawatiran tersebut menggeser hal-hal yang sebenernya esensial soal kebermanfaatan Narkotika Golongan 1 untuk pengobatan yang kalau ditelusuri tata cara penggunaannya secara tepat sebenarnya menjadi dimungkinkan untuk diberikan secara terbatas.

Pertanyaan lainnya kepada Pemerintah juga dilontarkan oleh Hakim MK Enny Nurbaningsih mengenai ukuran ketergantungan narkotika, data terkait mekanisme pengobatan yang tersedia dan prevalensi penyakit cerebral palsy, epilepsi, dll serta mekanisme penggolongan dalam UU Narkotika. Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, Pemerintah menyatakan masih perlu waktu untuk mempersiapkan jawaban dan akan diserahkan secara tertulis pada kesempatan berikutnya.

Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan tidak kaget dengan keterangan dari DPR dan Pemerintah, namun cukup menyayangkan sikap dari DPR dan Pemerintah yang tertutup pada fakta bahwa ada kondisi di masyarakat yang membutuhkan adanya pengobatan dengan menggunakan Narkotika Golongan 1 dan terbatasi akibat pengaturan dalam UU Narkotika. Koalisi juga sepakat dengan DPR yang mendorong adanya penelitian lanjutan terkait Narkotika Golongan 1.

Koalisi juga mengkritik sikap Pemerintah yang menyatakan bahwa pengobatan yang dibutuhkan para pemohon di luar negeri ada alternatifnya di Indonesia, padahal yang menjadi masalah adalah karena para pemohon tidak bisa mengakses opsi-opsi pengobatan sebagaimana masyarakat di negara lain, hal ini lah yang mengakibatkan terjadinya pembatasan pada hak konstitusional para pemohon.

Agenda sidang selanjutnya akan dilakukan pada Senin, 30 Agustus 2021 pukul 11.00 dengan agenda mendengar keterangan ahli yang akan diajukan para pemohon.

Jakarta, 10 Agustus 2021
Hormat Kami,
Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan
Rumah Cemara, ICJR, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba, EJA, LGN

CP:
Maria Tarigan (Kuasa Hukum/Peneliti IJRS)

Rencana Aksi Nasional Open Governemnt Indonesia (RAN OGI) 2020-2022

Indonesia Judicial Research Society (IJRS) bersama dengan Asosiasi LBH Apik Indonesia, LBH Aceh, LBH Jakarta, LBH Bandung, LBH Papua, LBH Masyarakat, LBH Apik Jakarta, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) dan Badan Hukum Indonesia Yayasan Bantuan (YLBHI) yang tergabung dalam Koalisi CSO Bidang Keadilan (Justice Sector) dan Bidang Keterbukaan Kewarganegaraan (Civic Space) berencana mengawal pencapaian program dan rencana implementasi dalam Rencana Aksi Nasional Open Governemnt Indonesia (RAN OGI) 2020-2022 untuk sektor peradilan dan ruang sipil yang telah dipersiapkan bersama.

Atas inisiatif tersebut CSO Coalition for Justice Sector and Civic Space telah mengadakan sosialisasi RAN OGI untuk Rencana Pembangunan pada Selasa lalu, 27 Juli 2021.

Kajian Kritis Pedoman Penuntutan Nomor 11 Tahun 2021

Diponegoro Centre for Criminal Law bersama Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (Persada UB), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) baru saja menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Kajian Kritis Pedoman Penuntutan Nomor 11 Tahun 2021” pada 6 Agustus 2021 lalu.

Matheus Nathanael Siagian (Peneliti IJRS) berkesempatan menjadi salah satu narasumber dalam diskusi publik ini. Dalam diskusi ini, Matheus menjelaskan tentang Prinsip Proporsionalitas Penjatuhan Sanksi Pidana, Unwarranted Disparity, dan Struktur Pedoman Nomor 11 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Narkotika beserta tahapan-tahapannya.

[Rilis Pers] Komisi Yudisial Diharapkan Serius, Terbuka, dan Jangan Pilih Calon Hakim Agung Bermasalah

Tanggal 30 Juli 2021 Komisi Yudisial mengumumkan 24 nama Calon Hakim Agung (CHA) yang lolos seleksi tahap kesehatan dan kepribadian. Kedua puluh empat CHA yang lolos akan mengikuti seleksi tahap akhir di Komisi Yudisial, yaitu tahap wawancara (fit and proper test) pada tanggal 3-7 Agustus 2021. Terdapat 15 CHA memilih kamar pidana, 6 CHA memilih kamar perdata dan 3 CHA memilih kamar militer. Pada tahap wawancara, CHA akan diuji pemahamannya oleh ketujuh Komisioner Komisi Yudisial dan Panel Ahli yang diundang mengenai (1) visi, misi dan komitmen; (2) kenegarawanan; (3) integritas; (4) kemampuan teknis dan proses yudisial; dan (5) kemampuan pengelolaan yudisial.

Dari 24 nama CHA pada tahap wawancara terdapat beberapa nama yang pernah mengikuti seleksi CHA sebelumnya. Terdapat CHA yang memiliki catatan integritas misalnya harta kekayaan yang nilainya tidak wajar, serta dugaan perilaku yang tidak profesional dan berintegritas. Hingga di tahap meloloskan 24 nama tersebut, Komisi Yudisial tampaknya tidak mempertimbangkan dengan menyeluruh catatan integritas para CHA berdasarkan masukan dan pengaduan masyarakat, hasil investigasi dan klarifikasi kepada CHA dalam proses seleksi yang dilakukan pada saat ini.

Selain masalah pengabaian catatan rekam jejak meragukan beberapa CHA, dalam pemantauan pelaksanaan wawancara hari pertama pada Selasa 3 Agustus 2021, beberapa Komisioner Komisi Yudisial tidak mengajukan pertanyaan secara profesional. Seperti menunjukan sikap tidak respek terhadap para CHA dengan menunjukan ekspresi garang. Namun, pada saat yang bersamaan, tidak menukik kepada pertanyaan-pertanyaan yang mendalami kompetensi minimum yang dibutuhkan oleh CHA, seperti integritas dan kapabilitas.

Di sisi lain, proses pendalaman profil berupa klarifikasi rekam jejak CHA dalam wawancara CHA kali ini malah dilakukan secara tertutup. Publik tidak bisa lagi mengetahui proses klarifikasi terhadap data-data atau informasi yang bersifat publik yang dimiliki CHA. Hal itu tentu saja sebuah kemunduran proses seleksi dibandingkan proses-proses seleksi sebelumnya yang lebih terbuka dan transparan.

Oleh karena itu, Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) menuntut Komisi Yudisial agar lebih serius dalam proses wawancara selanjutnya. Proses wawancara ini seharusnya menjadi sarana bagi Komisi Yudisial untuk menggali lebih dalam terkait kompetensi, rekam jejak, dan integritas calon. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi Komisi Yudisial, mengingat amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan peran Komisi Yudisial sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Koalisi Pemantau Peradilan mendorong Komisi Yudisial memilih CHA yang memiliki profil:

  1. CHA yang memiliki visi dan misi yang jelas sebagai Hakim Agung;
  2. CHA yang tidak memiliki catatan integritas yang buruk;
  3. CHA yang memiliki harta kekayaan yang wajar;
  4. CHA yang memiliki pemahaman mumpuni mengenai hukum dan peradilan sesuai kamar perkara yang dipilih;
  5. CHA yang berkomitmen untuk berperan aktif dalam reformasi peradilan khususnya di Mahkamah Agung;
  6. CHA yang memahami peran hakim dan pengadilan dalam pemenuhan HAM sesuai kedudukan pengadilan dalam konsep negara hukum; serta
  7. CHA yang memiliki keberpihakan pada kelompok rentan, yaitu perempuan, anak, masyarakat miskin dan kelompok minoritas, serta perlindungan lingkungan hidup.

Oleh karena itu, Koalisi mendesak Komisi Yudisial untuk:

  1. Melakukan proses wawancara dengan memberikan pertanyaan yang bermanfaat untuk menguji kompetensi CHA dan bukan pertunjukan kegarangan.
  2. Memilih CHA yang memiliki profil berupa kompetensi yang mumpuni dan integritas yang baik.
  3. Menelusuri rekam jejak, termasuk dari sumber LHKPN para CHA agar bisa memastikan bahwa CHA yang terpilih memiliki rekam jejak yang bersih dan berintegritas.
  4. Memilih CHA dengan mempertimbangkan semua hasil penilaian tahapan seleksi.
  5. Memastikan CHA yang terpilih memiliki pemahaman dan komitmen terhadap hak asasi manusia dan keberpihakan pada kelompok rentan dan minoritas
  6. Tidak meloloskan CHA yang memiliki rekam jejak buruk dan tidak berintegritas.

Jakarta, 3 Agustus 2021

KOALISI PEMANTAU PERADILAN

(Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Indonesia Corruption Watch (ICW), Public Interest Lawyer Network (PILNET), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Imparsial, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA), LBH Apik Jakarta

CP :
Dio Ashar Wicaksana (IJRS)
Maria I. Tarigan (IJRS)