Pada 7 Oktober lalu, jagat media sosial diramaikan dengan tulisan Eko Rusdianto yang dipublikasikan dalam projectmultatuli.org tentang kisah seorang Ibu yang melaporkan perkara perkosaan terhadap tiga anaknya yang berujung mengecewakan dan menyayat hati.[1] Seorang Ibu tunggal bernama samaran Lydia yang tinggal di Luwu Timur, Sulawesi Selatan melaporkan tindakan pemerkosaan terhadap ketiga anaknya yang semuanya masih berusia di bawah 10 tahun. Pelaku perkosaan adalah mantan suami Lydia atau ayah kandung dari ketiga anak tersebut dan disebutkan merupakan seorang aparatur sipil negara dengan posisi jabatan tertentu di Pemerintahan Daerah.
Perjalanan ibu Lydia dalam mencari keadilan sangatlah panjang dan berbatu. Diawali dengan pelaporan ke kantor P2TP2A, Dinas Sosial Luwu Timur, alih-alih memperoleh perlindungan, ia malah dipojokkan, dan dituduh berbohong. Lebih parahnya lagi, dengan alasan ingin membuktikan apakah anak korban trauma atau tidak, P2TP2A tersebut justru menelepon terduga pelaku dan mengabarkan bahwa diterima aduan terhadapnya serta mempertemukan mereka. Hasil pemeriksaan psikologis yang dilakukan P2TP2A juga disebutkan tidak menunjukkan tanda-tanda trauma maupun kekerasan. Merasa tidak memperoleh pertolongan, Lydia memutuskan untuk melapor ke Polres Luwu Timur. Di Kepolisian, tanpa adanya pendamping ataupun penasihat hukum, anak-anaknya divisum dan dimintai keterangan oleh penyidik berseragam. Namun, lagi-lagi hasil visum anaknya disebutkan tidak menunjukkan hasil apapun. Bahkan Lydia dipaksa menandatangani BAP tanpa membacanya terlebih dahulu. Foto dan hasil pemeriksaan fisik anak korban yang menunjukkan adanya kerusakan organ reproduksi turut diabaikan. Pada saat yang sama, Lydia juga memperoleh ancaman dari pelaku perkosaan bahwa akan menghentikan nafkah bulanan kepada ketiga anaknya jika laporan diteruskan.
Perjuangan Lydia tidak berhenti sampai di situ, ketika berkunjung ke Polda Sulsel, Lydia malah diminta keluar dari ruangan pemeriksaan anaknya dan dimintai keterangan apakah ada riwayat gangguan jiwa di keluarga atau kelainan sebelum bercerai, serta kondisi rumah tangganya dulu. Lebih lanjut, muncul hasil pemeriksaan Lydia keluar dan disebutkan bahwa Lydia memiliki gejala-gejala waham bersifat sistematis yang mengarah gangguan waham menetap (delusional) dan justru (lagi-lagi) hasil visum anak-anaknya disebutkan tidak ditemukan kelainan atau tanda kekerasan fisik. Hingga akhirnya, Polres Luwu Timur mengeluarkan surat pemberhentian penyidikan tanpa adanya detail pertimbangan pemberhentian.
Tidak menyerah, Lydia melaporkan ke P2TP2A Kota Makassar yang berjarak 12 jam dari tempat tinggalnya dan dirujuk ke LBH Makassar dan melalui Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Kekerasan Seksual terhadap Anak, yang kemudian menjadi penasihat hukumnya. Dari sini, hasil pemeriksaan psikologis anak korban menunjukkan tidak adanya trauma namun anak-anak merasa cemas dan saling menguatkan cerita satu sama lain mengalami kekerasan seksual oleh ayah mereka. Bahkan ditemukan kemungkinan terduga pelaku lebih dari satu orang yang dikuatkan dengan foto dan video yang disimpan oleh Lydia. Pengajuan gelar perkara khusus yang diajukan LBH Makassar kepada Polda Sulsel pun nampak dibuat terburu-buru dan disebutkan bahwa gelar perkara telah dilakukan secara internal. Hingga akhirnya, Polda Sulsel merekomendasikan Polres Luwu Timur untuk tetap melaksanakan penghentian penyidikan.
Dari kasus tersebut, dapat kita lihat bahwa akses keadilan, terutama dalam melaporkan perkara yang dialami korban masih mengalami hambatan. Mengacu pada hasil survei IJRS bersama INFID pada tahun 2020 lalu bahkan menunjukkan bahwa 57,3% responden yang mengalami kekerasan seksual memutuskan untuk tidak melapor dan 57% responden yang mengalami kekerasan seksual tersebut pada akhirnya tidak memperoleh penyelesaian atas kekerasan seksual yang dialaminya. Adanya keengganan untuk melapor dan kecenderungan tidak memperoleh keadilan ini diperparah dengan minimnya perspektif perlindungan perempuan & anak yang dimiliki aparat penegak hukum khususnya polisi. Padahal, dalam riset yang sama, turut ditunjukkan bahwa 43,8% masyarakat cenderung akan melapor ke polisi apabila mengalami kekerasan seksual. Dengan kata lain, polisi merupakan pihak yang dianggap sebagai garda terdepan dalam mekanisme pelaporan kasus kekerasan seksual oleh masyarakat. Namun, perilaku aparat hukum masih cenderung diskriminatif, tidak memperhatikan kebutuhan pemulihan korban, tidak empati dan simpati, bahkan tidak membantu korban.[2]
Selain itu, keseluruhan proses hukum yang dihadapi oleh Lydia dan anak-anaknya menunjukkan adanya ketidaksesuaian prosedur peradilan pidana yang dilakukan oleh Polres Luwu Timur dan Polda Sulsel terhadap anak. Sedari awal, seluruh proses dilakukan tanpa adanya pendampingan atau penasihat hukum. Jika dilihat kembali dalam Pasal 3, UU No. 11 Tahun 2012 disebutkan bahwa setiap anak dalam peradilan pidana berhak untuk memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif. Tidak hanya itu, kondisi-kondisi psikologis dan fisik anak korban nampak diabaikan dalam proses ini. Hal ini menunjukkan adanya keengganan dan minimnya perspektif pengutamaan kepentingan terbaik anak dari penyidik untuk mempertimbangkan bukti-bukti lain seperti misalnya pemeriksaan psikolog, fisik dan sebagainya sebagai bukti tambahan dalam perkara kekerasan seksual. Selain itu, dari sudut pandang hukum acara, nampak tidak adanya transparansi dan akuntabilitas dari Polres Luwu Timur maupun Polda Sulsel dalam penanganan dan keputusan untuk memberhentikan proses penyidikan. Oleh karenanya, perlu adanya tindak lanjut kepolisian untuk melindungi kepentingan korban kekerasan seksual, termasuk evaluasi kebijakan hukum acara pidana Indonesia oleh pemerintah.
Berdasarkan hal di atas, IJRS mendorong:
- Pihak P2TP2A memastikan adanya pendampingan hukum, sosial maupun psikologis kepada anak korban;
- Pihak Kepolisian untuk berpedoman pada Peraturan Kepala Kepolisian RI No. 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana, yang mengatur mengenai pelayanan dan perlindungan khusus kepada perempuan dan anak yang menjadi saksi dan korban tindak pidana. Dimana kepolisian wajib memberikan jaminan keselamatan korban, menjaga kerahasiaan saksi/korban, memperlakukan saksi/korban dengan penuh empati dan menjaga profesionalisme untuk menjamin terwujudnya keadilan dan kepastian hukum. Kepolisan harus melanjutkan proses penyidikan dengan memastikan prinsip keterbukaan, fair trial dan kepentingan terbaik bagi anak korban;
- Pihak Kepolisian perlu memperhatikan kondisi psikologis dan fisik, serta kebutuhan pemulihan anak dengan mengoptimalkan rekomendasi atau peran dari pihak lain seperti Psikolog, Dokter, Pekerja Sosial. Serta perlu mempertimbangkan bukti-bukti lain seperti Visum et Repertum, Visum et Repertum Psikatrikum (surat keterangan dokter jiwa), Visum et Repertum Psikologikum (hasil pemeriksaan psikolog), hasil pemeriksaan forensik, alat bukti elektronik dan sebagainya;
- Pemerintah perlu melakukan evaluasi kebijakan hukum acara terkait kekerasan seksual untuk memastikan peradilan yang lebih transparan dan akuntabel, termasuk memastikan adanya mekanisme uji kelayakan terhadap pemenuhan asas fair trial dalam proses hukum perkara kekerasan seksual
Narahubung:
Arsa Ilmi Budiarti
Bestha Inatsan Ashila
Indonesia Judicial Research Society/IJRS
Office phone/email: 0821-2500-8141/office@dev.ijrs.or.id
[1] Rusdianto, Eko, “TIga Anak Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan”, 2021, Project Multatuli, diakses di https://projectmultatuli.org/kasus-pencabulan-anak-di-luwu-timur-polisi-membela-pemerkosa-dan-menghentikan-penyelidikan/?__cf_chl_captcha_tk__=pmd_3lFmHtyZkDkR0OF4NAIsD7mMLq_NHq_h5k.kYe3MCgo-1633675843-0-gqNtZGzNA5CjcnBszQhR pada 8 Oktober 2021
[2] West Coast LEAF, “WE ARE HERE: Women’s Experiences of the Barriers to Reporting Sexual Assault” (Vancouver: West Coast LEAF, 2018), hlm. 5