Minggu lalu (20/4/2025), Kejaksaan Republik Indonesia mengumumkan penahanan terhadap beberapa orang yang terlibat dalam dugaan suap penanganan perkara kasus korupsi minyak goreng di Pengadilan Tipikor Jakarta. Selain hakim, Kejaksaan juga menahan advokat, panitera, dan pelaku usaha yang diduga bersekongkol agar para terdakwa dijatuhkan putusan yang menguntungkan dalam kasus korupsi minyak goreng. Hasilnya, perkara tersebut belum lama ini diputus dengan vonis “lepas” atau terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, namun bukan merupakan tindak pidana. Peristiwa ini menunjukkan rentannya sistem peradilan kita dari praktik korupsi. Kondisi tersebut sangatlah ironis jika dikaitkan dengan data tahun 2024, bahwa negara setiap tahunnya telah mengeluarkan sekitar 224 triliun – 306 triliun rupiah untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi.1 Lebih lanjut, Indonesia juga merupakan negara pengusung Kemitraan Pemerintahan Terbuka (Open Government Partnership / OGP) yang salah satu agenda utamanya adalah pemberantasan korupsi. Lantas, bagaimana menyikapi fenomena suap penanganan perkara dan reformasi peradilan yang masih belum menunjukkan adanya perbaikan dengan terungkapnya kasus ini?
Dalam hal ini, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kemitraan Pemerintahan Terbuka Indonesia memandang terdapat tiga hal penting yang perlu menjadi perhatian. Pertama, praktik suap di pengadilan tidak hanya berkaitan dengan hasil akhir suatu perkara, tetapi juga proses penanganannya yang rentan terhadap praktik korup. Berdasarkan data Indeks Akses Terhadap Keadilan tahun 2021, setidaknya 13.9% responden mengaku harus mengeluarkan biaya untuk suap/pungli yang umumnya digunakan untuk memperlancar proses hukum yang dijalaninya.2 Artinya, kegagalan dalam menyiapkan proses yang aksesibel juga dapat menjadi “pintu masuk” praktik suap peradilan. Oleh karena itu, upaya memberantas korupsi peradilan tidak dapat hanya menyasar pada aspek hasil saja, tetapi juga harus menyentuh aspek proses dari peradilan itu sendiri.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan aspek proses tidak hanya berkaitan dengan kecepatan dalam penanganan perkara, tetapi semua hal yang berkaitan dengan upaya untuk menjamin kualitas proses peradilan sesuai dengan prinsip-prinsip fair trial. Oleh karena itu, hal-hal terkait proses yang berimbang, independensi aparat (kompetensi, kesejahteraan, potensi konflik kepentingan), termasuk sarana-prasarana yang memadai merupakan isu yang tidak dapat dipisahkan dan perlu menjadi perhatian dalam upaya mencegah dan memberantas korupsi peradilan. Tanpa adanya proses yang fair, praktik suap peradilan berpotensi untuk terus berulang. Dampaknya, bagi mereka yang memiliki kekayaan lebih dan bersikap pragmatis, suap peradilan hanya akan dipandang sebagai risiko atau biaya yang harus dikeluarkan dalam berusaha. Di sisi lain, oknum peradilan pun akan melihat praktik tersebut sebagai suatu hal yang wajar, tidak bisa dihindari, dan merupakan konsekuensi wajar dari sistem yang ada. Pada titik ekstrimnya, peradilan pada akhirnya hanya bisa diakses dan digunakan untuk melindungi pihak yang mampu membayar dan memenuhi kebutuhan oknum peradilan. Pada kondisi tersebut, masyarakat luaslah yang akan menanggung dampak paling besar dan kehilangan haknya seiring dengan mahalnya “biaya” yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan layanan peradilan.
Kedua, berulangnya peristiwa suap penanganan perkara di pengadilan juga perlu dikaitkan dengan ketentuan dalam KUHAP yang memberikan diskresi kewenangan kepada para penegak hukum. Pasalnya, diskresi tersebut kerap tidak diikuti dengan akuntabilitas yang memadai, sehingga tidak ada konsekuensi yang jelas atas produk hukum yang dihasilkan dari pelaksanaan kewenangan yang digunakan secara melawan hukum. Pada kasus ini, diskresi yang dimaksud adalah kewenangan hakim dalam menjatuhkan putusan, namun hal itu dilakukan dengan menerima suap. Kondisi ini umumnya dijawab dengan asas yang berlaku dalam hukum acara pidana, yaitu asas res judicata pro veritate habetur yang berarti putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, harus dianggap benar. Di sisi lain, para pihak tetap memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum tanpa melanggar asas res judicata. Artinya, pihak yang dirugikan atas putusan yang dihasilkan dari praktik suap, pada dasarnya dapat mengajukan upaya hukum, seperti halnya yang dilakukan oleh Penuntut Umum dalam kasus ini yang mengajukan upaya hukum kasasi. Akan tetapi, praktik demikian menyisakan pertanyaan apabila dikemudian hari praktik suap tersebut terjadi kembali, sedangkan para pihak tidak lagi memiliki kesempatan untuk mengajukan upaya hukum. Apakah putusan tersebut perlu dilakukan koreksi atau tetap dianggap sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat?
Terhadap kondisi di atas, bukankah idealnya kasus tersebut diperiksa ulang dengan majelis hakim yang baru untuk menghapuskan keraguan atas putusan awal? Secara normatif, KUHAP tidak mengatur secara jelas status dari putusan tersebut. Artinya, terdapat dua kemungkinan sebagai respon terhadap kondisi tersebut. Di satu sisi, penegak hukum menganggap putusan tersebut tetap sah dan mengikat walaupun hasil dari praktik suap. Akan tetapi, konsekuensinya adalah publik akan melihat hal ini sebagai praktik yang melindungi koruptor dan berisiko pada hilangnya kepercayaan publik terhadap pengadilan. Di sisi lain, aparat penegak hukum tetap mengupayakan untuk mengoreksi putusan awal tersebut. Dalam hal ini, pilihan upaya hukum yang tersisa pada dasarnya hanyalah melalui permohonan Peninjauan Kembali (PK). Akan tetapi, Pasal 263 ayat (1) KUHAP melarang PK atas putusan bebas atau lepas, sehingga apabila kondisinya seperti putusan lepas pada kasus ini, maka tertutuplah upaya yang dapat dilakukan untuk mengoreksi putusan hasil dari praktik suap tersebut. Disamping itu, pilihan untuk mengajukan PK sendiri pada dasarnya juga menyisakan permasalahan, mengingat pemeriksaan PK oleh Mahkamah Agung (MA) tidak memungkinkan adanya pemeriksaan atau pembuktian ulang seperti halnya pada pemeriksaan tingkat pertama. Padahal, besar kemungkinan terdapat penyimpangan pada hasil pemeriksaan di tingkat pertama, sehingga penting bagi majelis hakim untuk memeriksa ulang kasus tersebut untuk mendapatkan bukti dan fakta yang sesungguhnya, alih-alih hanya bergantung pada hasil pemeriksaan pada sidang awal, memori PK atau bukti baru (novum) semata. Hal ini tentunya perlu menjadi pembahasan, beserta bentuk-bentuk diskresi lainnya yang bermasalah dalam hukum acara pidana kita. Terlebih, saat ini merupakan momentum yang tepat karena DPR sedang memulai proses legislasi untuk merevisi KUHAP.
Ketiga, banyaknya aktor yang terlibat dalam praktik suap penanganan perkara menunjukkan bahwa bukan hanya profesi hakim yang harus dibenahi. Tentu, hakim merupakan aktor penting yang sangat berpengaruh dalam terjadinya praktik suap tersebut, sehingga penting untuk mendorong budaya anti-korupsi di kalangan hakim. Akan tetapi, apabila reformasi hanya dilakukan terhadap hakim, maka perubahan yang diharapkan tidak akan bertahan lama. Pasalnya, modus korupsi peradilan memiliki keunikan dimana para oknum tidak perlu melibatkan hakim secara aktif untuk mempermainkan perkara. Dalam kasus suap di MA, oknum panitera yang tidak memiliki wewenang dalam memutus perkara, dapat memperjualbelikan isi putusan dengan menawari kedua belah pihak yang berperkara. Artinya, oknum tersebut hanya cukup menunjukkan kedekatannya dengan hakim pemeriksa perkara, tanpa harus tahu isi dari putusan karena sudah pasti mendapatkan keuntungan dari kedua belah pihak. Hal serupa juga dapat dilakukan oleh profesi hukum lainnya yang terkait dengan peradilan.
Berangkat dari ketiga hal di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kemitraan Pemerintahan Terbuka Indonesia, menyampaikan tuntutan sebagai berikut:
- Mendorong MA melakukan reformasi peradilan untuk menutup ruang bagi praktik korup dan menjamin penerapan prinsip-prinsip fair trial dalam setiap proses peradilan pidana.
- Mendorong Pemerintah dan DPR untuk merevisi hukum acara pidana yang mengatur mengenai diskresi para aktor dalam sistem peradilan pidana tanpa adanya konsekuensi hukum yang tegas. Dalam konteks suap penanganan perkara, isu diskresi yang dimaksud utamanya berkaitan dengan status putusan pengadilan yang terbukti dihasilkan dari praktik suap penanganan perkara.
- Mendorong setiap organisasi profesi hukum untuk aktif dalam melakukan penanaman budaya anti-korupsi, baik secara mandiri maupun terpadu, untuk menciptakan lingkungan peradilan yang
Narahubung:
- Muhammad Rizaldi (Indonesia Judicial Research Society) – mrizaldi@ijrs.or.id
- Izza Akbarani (Transparency International Indonesia/TI-I) – iakbarani@ti.or.id
- Almas Sjafrina (Indonesia Corruption Watch/ICW) – almas@antikorupsi.org
- Meliana Lumbantoruan (Publish What You Pay/PWYP Indonesia) – meliana@pwyp-indonesia.org
1 Choky Risda Ramadhan, “An Economic Analysis of Indonesian Anti-Corruption Policies: Can the Government’s Allocation of Resources and Collection of Monetary Sanctions be More Efficient?”, Thesis (Ph.D.)–University of Washington, 2024, pg. 127 2 MaPPI FHUI dan Bappenas, “Indeks Akses Terhadap Keadilan Tahun 2021”, https://mappifhui.org/wp-content/uploads/2023/09/Indeks-Akses-Terhadap-Keadilan-di-Indonesia-Tahun-2021.pdf, hal. 35.