Search

Refleksi Kekerasan Seksual Berulang di RSHS Bandung: Urgensi Pembaruan Kebijakan Kesehatan

Pada tanggal 18 Maret 2025, Priguna Anugerah Pratama (PAP), seorang dokter residen dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi Universitas Padjadjaran yang bertugas di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, diduga melakukan tindak pidana kekerasan seksual berupa pemerkosaan terhadap putri dari seorang pasien yang sebelumnya menjalani perawatan di ICU rumah sakit tersebut.[1] Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat juga mengungkap pada 12 April 2025 bahwa kini kepolisian tengah mendalami laporan baru dugaan pemerkosaan dari dua korban lain yang pernah mendapatkan pelayanan medis dari PAP. Adapun, laporan ini masuk setelah Polda Jawa Barat membuka posko pengaduan setelah kasus pertama terkuak pada pertengahan Maret lalu.[2]

Malpraktik dan Kekerasan Seksual oleh PAP

PAP melakukan pemerkosaan terhadap tiga korban dengan membius para korban terlebih dahulu. Dalam kasus korban pertama, PAP menginformasikan korban untuk menjadi donor darah dengan alasan ayah korban dalam kondisi kritis sehingga membutuhkan transfusi darah untuk memulihkan kesehatannya. Hal ini berujung dengan pembiusan terhadap korban. Korban kedua mengalami pembiusan saat menjalani kontrol anestesi untuk persiapan operasi telinga. Sedangkan korban ketiga juga mengalami pembiusan dengan dalih akan menjalani tes alergi obat bius menjelang operasi gigi.

PAP tidak hanya melakukan tindakan kekerasan seksual yang keji terhadap para korban, tetapi PAP juga melakukan malpraktik dalam kapasitasnya sebagai dokter. Selain itu, pelaku menyalahgunakan posisinya sebagai tenaga medis dan memanipulasi prosedur medis sehingga seakan-akan tindakan pembiusan terhadap para korban adalah tindakan yang memang seharusnya dilakukan.

Dengan demikian, PAP juga membahayakan kesehatan para korban dengan bius total yang diberikan tanpa indikasi medis. Dalam hal ini, pembiusan hingga korban mengalami kehilangan kesadaran penuh memiliki indikasi bahwa PAP memberikan bius total (general anesthesia). Hal ini merupakan tindakan medis berisiko dan merupakan prosedur yang dilakukan secara terbatas, misalnya saat melakukan operasi besar. Adapun, bius total adalah prosedur yang dilakukan di bawah pengawasan ketat karena berpotensi menimbulkan komplikasi serius, misalnya gangguan memori dan penurunan fungsi organ.[3]

Urgensi Pembaruan Tata Kelola dan Manajemen Rumah Sakit

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa Kementerian Kesehatan akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola pendidikan dan pelayanan medis yang melibatkan dokter residen PPDS Anestesiologi di RSHS Bandung. Selain itu, Menkes  juga menyoroti bahwa perlu ada pengawasan yang lebih tinggi dalam pengelolaan obat bius di rumah sakit, mengingat obat tersebut seharusnya hanya bisa diakses oleh dokter konsulen, bukan oleh dokter residen yang merupakan peserta didik seperti PAP.[4]

IJRS berpendapat bahwa evaluasi tentu menjadi penting untuk mencegah tindak pidana serupa di masa depan. Kendati demikian, evaluasi terkait tata kelola rumah sakit juga perlu dilakukan secara menyeluruh terhadap semua tenaga medis sebagai pihak yang memiliki kewenangan intervensi medis terhadap pasien. Evaluasi tidak semestinya terbatas hanya pada dokter residen saja, melainkan harus menargetkan seluruh tenaga medis dan tenaga kesehatan. Hal ini menjadi penting mengingat posisi tenaga kesehatan (misalnya, perawat) karena mereka juga dapat memberikan tindakan medis terhadap pasien.

Dalam kasus PAP, Polda Jawa Barat juga mengungkap bahwa pelaku melakukan pemeriksaan dan prosedur medis terhadap para korban tanpa pengawasan.[5] Bahkan pemerkosaan dilakukan di Mother and Children Healthcare (MCHC) yang merupakan ruangan baru di lantai 7 RSHS Bandung yang saat itu belum difungsikan untuk layanan resmi.[6] Perlu menjadi sorotan juga bahwa minimnya pengawasan dari pengelola PPDS dan managemen rumah sakit, termasuk kelalaian penyimpanan obat bius juga harus menjadi refleksi dalam memastikan lingkungan rumah sakit yang aman bagi pengunjung maupun pekerja rumah sakit itu sendiri.

Urgensi Membangun Sistem Pencegahan Kekerasan Seksual oleh Pemberi Layanan Medis

Kekerasan seksual yang dilakukan oleh pemberi layanan medis kepada pasien tidak sedikit terjadi. Hal ini biasanya dilatarbelakangi karena adanya rasa percaya dari pasien kepada pemberi layanan medis. Sebagian besar penyedia layanan kesehatan memang dapat dipercaya dan mematuhi hukum maupun etika profesi. Namun, penelitian telah menemukan bahwa beberapa penyedia layanan medis menggunakan kuasa kedudukan profesional mereka untuk menyalahgunakan kepercayaan pasien hingga melakukan kekerasan seksual.

Oleh karena itu, rumah sakit dan pemberi layanan medis bersama pemerintah harus membangun sistem pencegahan kekerasan seksual. Misalnya di Amerika Serikat, Pusat Penelitian Bioetika di Universitas Washington membuat penelitian yang mempelajari 101 kasus kekerasan seksual terhadap pasien.[7] Dari hasil penelitian itu, mereka berusaha membangun sistem pencegahan kekerasan seksual oleh pemberi layanan medis.

Salah satu upaya untuk mewujudkan sistem tersebut, serangkaian panduan telah dibentuk. Misalnya, panduan memuat penjelasan mengenai penyimpangan perilaku layanan medis yang menyalahgunakan prosedur untuk melakukan kekerasan seksual, rangkaian panduan bagi pasien untuk mengidentifikasi perilaku menyimpang oleh pemberi layanan medis, dan layanan aduan jika terjadi pelanggaran.

Selain itu, ada juga panduan dan rekomendasi untuk menghadirkan pendamping bagi pasien yang akan melaksanakan pemeriksaan yang melibatkan organ intim untuk memastikan kenyamanan pasien (terutama pemeriksaan fisik terhadap payudara, panggul, rektum dan pemeriksaan lain yang mengharuskan pasien melepaskan pakaian). Adapun, pendamping dalam hal ini adalah sesama tenaga medis atau tenaga kesehatan yang familiar dan memahami prosedur yang akan dilakukan. Pendamping yang hadir juga akan memiliki jenis kelamin yang sama dengan pasien, serta hak untuk mendapatkan pendamping berlaku bagi laki-laki maupun perempuan.[8]

Upaya ini dapat meningkatkan kewaspadaan pasien dan pemberi layanan kesehatan terkait potensi kekerasan seksual, sehingga memudahkan pencegahan dan pelaporan. Langkah serupa harus dilakukan juga oleh Kementerian Kesehatan untuk membentuk sistem pencegahan kekerasan seksual dalam pelayanan kesehatan.

Memastikan Pelayanan Terpadu Untuk Menunjang Pemulihan Para Korban

UU TPKS telah menjamin hak-hak pemulihan bagi korban kekerasan seksual secara komprehensif, baik dari saat sebelum dan selama proses peradilan maupun setelah proses peradilan berlangsung. Adapun, tentu menjadi tanggung jawab negara agar para korban menerima pelayanan terpadu yang mencakup penanganan, perlindungan, dan pemulihan, untuk memastikan hak-hak mereka terpenuhi dengan baik.

Koordinasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Kesehatan bersama Pemerintah Daerah Bandung menjadi penting untuk memfasilitasi pemulihan para korban. Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan terpadu.[9] Adapun, setidaknya ada tiga kategori hak-hak korban yang harus diupayakan, yaitu terkait pemulihan kesehatan fisik dan psikis (layanan kesehatan, layanan penguatan psikologis, layanan psikososial lainnya), pemenuhan hak korban atas layanan hukum (akses bantuan hukum, konsultasi maupun pendampingan hukum) dan hak korban atas restitusi.

Dengan demikian, Indonesia Judicial Research Society menuntut agar Kementerian Kesehatan untuk mengambil langkah-langkah berikut:

  1. Kementerian Kesehatan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola dan manajemen rumah sakit, termasuk pengelolaan obat anestesi.
  2. Kementerian Kesehatan untuk mewajibkan pelatihan terhadap tenaga kesehatan dan tenaga medis terkait pencegahan dan pelaporan kekerasan seksual, serta menyediakan edukasi  hak pasien khususnya informasi  untuk mendorong deteksi dini perilaku pemberi layanan yang tidak wajar dan/atau penyalahgunaan prosedur medis.
  3. Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mengawal Pemerintah Daerah Bandung dalam memberikan pelayanan terpadu untuk memastikan pemulihan komprehensif bagi para korban.

[1] “Kronologi Pemerkosaan 2 Korban Baru Dokter Priguna,” Tempo.co, diakses 13 April 2025, https://www.tempo.co/hukum/kronologi-pemerkosaan-2-korban-baru-dokter-priguna-1230771.

[2] “Kronologi Pemerkosaan 2 Korban Baru Dokter Priguna.” Tempo.co.

[3] “Kenali Macam-Macam Anestesi dan Efek Sampingnya.” Alodokter, diakses 13 April 2025. https://www.alodokter.com/kenali-macam-macam-anestesi-dan-efek-sampingnya#:~:text=Efek%20samping%20anestesi%20lokal&text=Sakit%20kepala,rasa%20pada%20area%20yang%20disuntik.

[4] “Menkes Akan Evaluasi Tata Kelola Pendidikan dan Pelayanan Dokter Residen di RS Hasan Sadikin,” Tempo, diakses pada 16 April 2025, https://www.tempo.co/politik/menkes-akan-evaluasi-tata-kelola-pendidikan-dan-pelayanan-dokter-residen-di-rs-hasan-sadikin-1230491.

[5] Pemerkosaan di RSHS Bandung, Polisi Sebut Pelaku Memeriksa Korban Tanpa Pengawasan,” Kompas.id, diakses 13 April 2025, https://www.kompas.id/artikel/pemerkosaan-di-rshs-bandung-polisi-sebut-pelaku-memeriksa-korban-tanpa-pengawasan.​

[6]  “Kronologi Pemerkosaan 2 Korban Baru Dokter Priguna.” Tempo.co.

[7] “Preventing Sexual Abuse in Healthcare,” Bioethics Research Center, diakses April 15, 2025, https://brcinitiatives.org/resources/preventingsexabuse/.

[8] Medical Defence Union, “Guide to Chaperones,” diakses April 16, 2025, https://www.themdu.com/guidance-and-advice/guides/guide-to-chaperones.

[9] Pasal 72 UU TPKS

Share:

Other Press Release:

INGGRIS-Press Release
Not Merely Reducing the Divorce Rate: The Ministry of Religious Affairs' Marriage Course and the Reality of Domestic Violence and Child Marriage
INGGRIS-Press Release
Hakim Bukan Bawahan Presiden!
INGGRIS-Press Release
Indonesian Civil Society Calls for Strengthened Regulations and the Sustainability of Open Government Indonesia Amidst Global and Regional Challenges
INGGRIS-Press Release
Hadir dalam High-Level Roundtable - Leadership in Action, OGP CSO Indonesia Dorong Peningkatan Kapasitas CSO, Penguatan Kerangka Kelembagaan, dan Kontekstualisasi Prinsip-Prinsip Lokal OGP