Search

Kesejahteraan Hakim di Era Transisi Pemerintahan: Gimik atau Sistemik?

Latar Belakang

Sejak Senin 7 Oktober 2024 lalu, komunitas hukum di Indonesia menerima berita yang cukup mengagetkan. Beberapa hakim dari berbagai wilayah yang bergabung dalam kelompok Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) melakukan gerakan cuti masal yang rencananya akan berlangsung selama 5 (lima) hari sampai dengan 11 Oktober 2024 mendatang. Gerakan ini membawa sebuah tuntutan utama yaitu memperjuangkan perbaikan kesejahteraan hakim di Indonesia. Dalam rilis medianya, isu kesejahteraan hakim bertumpu pada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung (PP 94/2012) yang dinilai sudah tidak lagi memiliki landasan yang kuat. Selain itu, isu kesejahteraan hakim pada dasarnya sudah berulang kali mencuat, namun tidak kunjung diselesaikan oleh para pemangku kepentingan. Berangkat dari kondisi tersebut, IJRS sebagai lembaga yang berfokus pada isu hukum dan peradilan menilai bahwa hal ini perlu disikapi secara sistemik oleh para pemangku kepentingan. Harapannya, penyelesaian sistemik dapat mencegah isu kesejahteraan hakim digunakan hanya sebagai gimik atau semata-mata hanya untuk meraih dukungan publik tanpa ada komitmen dan langkah konkrit untuk menyelesaikan permasalahan.

Bagaimana Kondisi Kesejahteraan Hakim di Indonesia Saat Ini?

PP 94/2012 sebagai dasar hukum pengaturan kesejahteraan hakim di bawah MA saat ini dinilai sudah tidak lagi memiliki landasan yang kuat, baik secara yuridis maupun sosiologis. Secara yuridis, MA telah mencabut kekuatan mengikat dari beberapa ketentuan dalam PP 94/2012, sehingga ketentuan tersebut perlu disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan terkait.[1] Misalnya, Putusan No. 23 P/HUM/2018 menyatakan bahwa ketentuan Pasal 3 ayat (2), (3), dan (4) tentang gaji pokok hakim dinilai bertentangan dengan UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA, sehingga tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Terhadap putusan tersebut, pemerintah pada dasarnya telah melakukan beberapa kali revisi, terakhir dengan PP 40/2022. Akan tetapi, revisi tersebut tidak mengatur kembali ketentuan pasal 3 mengenai gaji pokok hakim yang telah dibatalkan, sehingga terjadi kekosongan hukum.

Hal serupa juga terjadi pada ketentuan mengenai tunjangan kinerja hakim di bawah MA. Sebelumnya, hakim berhak mendapatkan tunjangan kinerja berdasarkan Perpres No. 19 Tahun 2008 Tentang Tunjangan Khusus Kinerja Hakim dan Pegawai Negeri di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Yang Berada di Bawahnya (Perpres 19/2008). Akan tetapi, sejak diberlakukannya PP 94/2012, tunjangan kinerja tersebut tidak lagi dibayarkan kepada hakim.[2] Padahal, tunjangan kinerja tersebut dikenal dan diberlakukan kepada hakim agung berdasarkan PP 82 Tahun 2021 Tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2014 Tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi (PP 82/2021). Berdasarkan PP 82/2021, Hakim Agung berhak mendapatkan tunjangan kinerja dalam hal penanganan perkara dan pelaksanaan tugas dinas lain. Keberlakuan PP 82/2021 ini pada dasarnya merujuk pada UU Kekuasaan Kehakiman dan bertujuan untuk meningkatkan pelaksanaan tugas Kekuasaan Kehakiman, sehingga seharusnya baik Hakim Agung maupun hakim di bawah MA sama-sama berhak mendapatkan tunjangan kinerja.[3] Sayangnya, pemerintah dan MA luput mengatur hal tersebut dan mengabaikan pengaturan mengenai tunjangan kinerja hakim di bawah MA.

Secara sosiologis, ketentuan mengenai besaran hak keuangan yang diatur dalam PP 94/2012 sudah tidak lagi sesuai dengan kondisi saat ini, mengingat sudah lebih dari 10 tahun tidak mengalami penyesuaian, sementara jika dihitung sejak 2012 hingga 2024 telah terjadi inflasi sebesar 242%.[4] Selain hak keuangan, beberapa hak terkait jaminan juga dinilai tidak lagi sesuai dengan kondisi saat ini. Misalnya, Pasal 5 PP 94/2012 menyatakan bahwa hakim diberikan hak menempati rumah negara dan menggunakan fasilitas transportasi selama menjalankan tugasnya pada daerah penugasan. Namun fakta di lapangan menunjukan kondisi rumah negara hakim sudah tidak lagi layak huni karena dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Rumah-rumah negara ini juga hanya tersebar di kota-kota besar. Mayoritas hakim di daerah tidak memperoleh rumah negara maupun tunjangan rumah dinas sebagai penggantinya. Ketiadaan rumah negara ini membuat sejumlah hakim terpaksa menyewa indekos. Hal yang sama juga terjadi pada fasilitas transportasi dan tunjangan transportasi sebagai penggantinya.

Mengapa Penting Meningkatkan Kesejahteraaan Hakim?

Berdasarkan kondisi kesejahteraan hakim sebagaimana dijelaskan sebelumnya, berbagai pihak mempertanyakan keterkaitan antara peningkatan kesejahteraan dengan peningkatan kinerja hakim. Hal ini pada dasarnya telah diakui secara global, bahwa gaji hakim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efisiensi peradilan.[5] Selain itu, gaji, remunerasi, dan pensiun hakim harus sesuai dengan status dan tanggung jawab yang dimiliki seorang hakim, serta harus dipantau secara periodik untuk kepentingan independensi peradilan.[6] Dengan memberikan perlindungan terhadap pendapatan yang cukup kepada hakim, maka hal tersebut akan melindungi hakim dari bentuk-bentuk “tekanan” yang dapat mempengaruhi mereka dalam menjatuhkan putusan secara independen.[7] Sebaliknya, kualitas hidup hakim yang rendah akan berakibat pada independensi peradilan yang terancam.[8]

Selanjutnya, dari sisi beban kerja, pada tahun 2023, pengadilan tingkat pertama menanggung beban perkara sebanyak 2.845.784 (dua juta delapan ratus empat puluh lima ribu tujuh ratus delapan puluh empat) perkara yang harus diselesaikan oleh 6.069 (enam ribu enam puluh sembilan) orang hakim. Artinya, rasio kinerja hakim tingkat pertama apabila dibagi secara rata adalah 1 (satu) orang hakim pengadilan tingkat pertama menangani 469 (empat ratus enam puluh sembilan) perkara per tahunnya. Dari kondisi beban perkara ini, sudah seharusnya hakim di bawah MA diberikan tunjangan kinerja secara proporsional berdasarkan beban perkara yang ditangani. Tanpa adanya tunjangan kinerja, maka tidak ada insentif bagi hakim yang memiliki kinerja dan produktivitas tinggi. Tentu, produktivitas tersebut perlu diikuti dengan kualitas kerja yang baik, sebagai kriteria dalam pemberian tunjangan kinerja hakim.

Pandangan terkait Cuti Masal

Hal pertama yang perlu ditegaskan adalah bahwa cuti massal yang dilakukan oleh para hakim merupakan bentuk penyampaian pendapat yang sah sebagai hak konstitusional warga negara. Jalur cuti masal yang dipilih oleh para hakim juga perlu diapresiasi mengingat hal tersebut dilakukan dengan mengorbankan hak mereka atas cuti yang seharusnya bisa digunakan untuk urusan pribadi, menjadi harus digunakan untuk urusan pekerjaan. Meski demikian, cuti masal para hakim pada akhirnya berdampak pada ditundanya persidangan di pengadilan di berbagai wilayah.[9] Artinya, isu kesejahteraan hakim perlu dilihat sebagai permasalahan serius dan harus disikapi dengan tindakan yang sistemik, sehingga permasalahan serupa tidak lagi berulang di masa yang akan datang. Idealnya, isu kesejahteraan hakim tidak hanya direspon dengan merevisi ketentuan tentang hak keuangan dan fasilitas hakim dalam PP 94/2012, tetapi juga diperkuat dengan rekomendasi untuk pengesahan RUU Jabatan Hakim yang memuat pengaturan yang komprehensif mengenai manajemen SDM Hakim, seperti rekrutmen, kriteria penilaian kinerja, promosi dan mutasi, hingga peningkatan kapasitas.

Jika ditelusuri lebih jauh, protes terkait isu kesejahteraan hakim setidaknya pernah terjadi pada tahun 1956 dan 2011, hingga akhirnya kembali terjadi tahun ini. Artinya, fenomena ini seharusnya disadari dan diantisipasi oleh para pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun MA, sebagai permasalahan yang kerap berulang. Idealnya, para hakim tidak perlu sampai harus mengorbankan hak atas cutinya untuk menyuarakan protes terkait kesejahteraan hakim. Dengan kata lain, cuti masal ini  menandakan bahwa terdapat disfungsi jalur komunikasi dengan para hakim di bawah MA. Hal ini perlu segera dibenahi selain isu kesejahteraan hakim itu sendiri.

Berangkat dari permasalahan di atas, IJRS sebagai lembaga yang bergerak di bidang hukum dan peradilan memandang perlu untuk menyampaikan poin-poin sebagai berikut:

  1. Mendorong agar MA dan Pemerintah mengkaji secara komprehensif solusi terkait tata kelola SDM hakim, mulai dari skema gaji dan tunjangan, fasilitas, penilaian kinerja, hingga promosi dan mutasi;
  2. Mendesak agar lembaga penegak hukum secara aktif melakukan koordinasi dengan MA untuk menyiapkan skema pengamanan hakim baik dalam kedinasan maupun di luar kedinasan;
  3. Mendorong pemerintah untuk memasukkan ketentuan mengenai tunjangan kinerja/honorarium bagi semua hakim di bawah MA agar diberikan tunjangan kinerja/honorarium dalam hal penanganan perkara dan pelaksanaan tugas kedinasan lainnya; dan
  4. Mendesak Pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU terkait Jabatan Hakim yang memberikan kepastian hukum bagi hakim dalam hal status, jabatan, rekrutmen, jaminan keamanan, serta hak keuangan dan fasilitas yang memperhatikan beban kinerja dan kesejahteraan hakim.

Narahubung:

  1. Muhammad Rizaldi Warneri – Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) / rizaldi@mappifhui.org
  2. Gregorius Yoseph Laba – Peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS) / gregoriusyoseph@ijrs.or.id

 

[1] Setidaknya, PP 94/2012 telah dua kali diajukan uji materiil. Uji materiil pertama melalui Putusan No. 27 P/HUM/2017 yang menyatakan bahwa lampiran II PP 94/2012 bertentangan dengan UU MA secara bersyarat, sepanjang kata “Ketua/Kepala” tidak dimaknai termasuk juga Panitera dan Panitera Muda MA. Selanjutnya, uji materiil kedua melalui Putusan No. 23 P/HUM/2018 menyatakan Pasal 3 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4); Pasal 11, 11A, 11B, 11C, 11D, 11E PP 94/2012 sebagaimana telah diubah dengan PP 74/2016 bertentangan dengan UU Kekuasaan Kehakiman dan mencabut kekuatan hukum mengikatnya.

[2] Ketentuan terkait tunjangan khusus kinerja hakim sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2008 tentang Tunjangan Khusus Kinerja Hakim dan Pegawai Negeri di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada Dibawahnya (PP 19/2008). Namun PP ini telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan penutup pada Pasal 12 PP 94/2012.

[3] Penjelasan Umum, PP 82/2021, hal 2

[4] Hal ini disampaikan oleh para hakim yang tergabung dalam Solidaritas Hakim Indonesia, merujuk pada perhitungan inflasi yang terjadi sejak 2012 hingga 2024, diakses melalui https://www.bbc.com/indonesia/articles/czxg75kj1yyo

[5] Deyneli, F. (2012). Analysis of relationship between efficiency of justice services and salaries of judges with two-stage DEA method. European Journal of Law and Economics, 34(3), 477-493. pg. 490

[6] UNODC, Imp

lementation Guide and Evaluative Framework for Article 11, hlm. 31

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] Yulida Medistira, “Aksi Cuti Bersama Hakim PN Jaksel Tunda Sidang Sepekan”, https://news.detik.com/berita/d-7575957/aksi-cuti-bersama-hakim-pn-jaksel-tunda-sidang-sepekan, diakses pada 10 Oktober 2024

Bagikan:

Rilis Pers Lainnya:

Rilis Pers
Rilis Pers Pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keterbukaan Pemerintah Indonesia terkait High-Level Forum on Multi-Stakeholder Partnership/HLF-MSP (Konferensi Tingkat Tinggi Kemitraan Multi-Pemangku Kepentingan) “Memperkuat Kemitraan Multi-Pemangku Kepentingan: Menuju Perubahan Transformatif”
Rilis Pers
Rilis Pers High-Level Forum on Multi-Stakeholder Partnership/HLF-MSP (Pertemuan Tingkat Tinggi Kemitraan Multi-Pemangku Kepentingan) “Memperkuat Kemitraan Multi-Pemangku Kepentingan: Menuju Perubahan Transformatif”