[Rilis Pers] Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan Berikan Catatan terhadap Sosialisasi Pemerintah terkait Pengubahan Scheduling Cannabis dan Cannabis Resin

Pada 25 Juni 2021, dalam rangka memperingati Hari Anti Narkotika Internasional (HANI), Kementerian Luar Negeri menginisiasi kegiatan webinar sosialisasi pengubahan scheduling cannabis dan cannabis resin yang diumumkan oleh PBB pada akhir tahun 2020. Kegiatan ini juga melibatkan BNN, Kementerian Kesehatan, dan akademisi dari Sekolah Farmasi ITB sebagai panelis.

Dalam agenda sosialisasi ini, Kemenlu yang diwakili oleh Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata, Rolliansyah Seomirat, menyampaikan respon Pemerintah Indonesia terhadap perubahan kebijakan scheduling cannabis tersebut, bahwa Pemerintah Indonesia bersikeras untuk tidak mengikuti perubahan kebijakan PBB tersebut dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 39 Konvensi Tunggal Narkotika. Dalam ketentuan tersebut, negara anggota memang diperbolehkan untuk mengambil langkah yang lebih ketat dalam mengatur listing penggolongan narkotika namun secara spesifik yang disebutkan sebagai referensi adalah untuk narkotika pada Schedule II dan preparations pada Schedule III. Ketentuan tersebut pun juga menekankan bahwa keputusan untuk mengatur secara lebih ketat hanya dapat dilakukan sepanjang untuk melindungi kepentingan kesejahteraan masyarakat/kesehatan masyarakat. Namun kemudian ketika berakibat sebaliknya yakni terjadi pengabaian pada pemenuhan hak atas kesehatan masyarakat seperti yang saat ini terjadi dalam konteks di Indonesia, tentu hal ini menjadi tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan dalam pengaturan Pasal 39 Konvensi Tunggal Narkotika tersebut.

Pada aspek yang lain, Kemenkes menyatakan saat ini sedang menyusun Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang khusus mengatur soal penelitian mengenai tanaman ganja. Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kemenkes, Agusdini Banun Saptaningsih, menekankan bahwa Permenkes tersebut bertujuan akan melegalkan tanaman ganja untuk penelitian, sehingga sampai dengan hari ini memang belum ada penelitian yang dilakukan dengan menggunakan tanaman ganja secara fisik. Hal ini kemudian juga diperkuat dengan pernyataan akademisi Farmasi ITB, Rahmana Emran Kartasasmita, bahwa selama ini penelitian mengenai ganja juga baru sebatas dilakukan melalui simulasi aplikasi pada komputer, belum secara eksperimental di laboratorium. Dengan demikian, penelitian yang sebelumnya menyatakan bahwa kandungan tanaman ganja di Indonesia memiliki THC lebih tinggi sehingga tidak cocok untuk digunakan sebagai obat, menjadi dipertanyakan kualitas penelitiannya. Sebab, penelitian tersebut dapat dipastikan juga tidak menggunakan zat dari tanaman ganja secara fisik dan oleh karenanya peer review terhadap penelitian tersebut sangat diperlukan untuk menyoroti apakah secara metodologi penelitian dapat dibenarkan untuk menghasilkan kesimpulan yang demikian.

Terakhir, Kemenlu juga BNN sempat menyatakan akan mendorong Indonesia untuk kembali menjadi anggota CND (Commission on Narcotic Drugs) periode 2024-2027. Koalisi tentu mendukung agar Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional dapat berkontribusi dan terlibat aktif dalam perumusan kebijakan narkotika secara internasional. Namun Koalisi juga perlu mengingatkan bahwa masih banyak aspek kebijakan narkotika di dalam negeri yang genting untuk dibenahi, misalnya soal terlampau beratnya pada penggunaan pemidanaan pada kasus-kasus narkotika yang menjadi akar masalah rutan-lapas yang kelebihan muatan hingga penggunaan kampanye buta perang terhadap narkotika (war on drugs) yang memicu terjadinya pelanggaran HAM (contoh: penangkapan-penahanan sewenang-wenang, penjatuhan hukuman mati tanpa jaminan fair trial, dll). Masalah ini juga telah banyak disoroti melalui laporan-laporan lembaga PBB khususnya yang melakukan monitoring pada pemenuhan HAM. Untuk itu, sebagai langkah persiapan untuk mengajukan sebagai anggota CND, Koalisi mendorong agar Pemerintah Indonesia perlu fokus untuk memperbaiki arah kebijakan narkotika nasional ke depan.

Jakarta, 26 Juni 2021
Hormat Kami,
Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan
Rumah Cemara, ICJR, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba, EJA, LG

[Rilis Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan] Penyitaan Buku Hikayat Pohon Ganja Bukti Buruknya Pemahaman Apgakum pada Ilmu Pengetahuan dan Hukum Acara Pidana

Musisi Anji ditangkap pada 16 Juni 2021 karena mengkonsumsi narkotika jenis ganja. Selain menyita 30 gram ganja, dari kasus ini penyidik juga ikut menyita buku Hikayat Pohon Ganja sebagai brang bukti. Bukan hal baru, sebelumnya dalam kasus Jeff Smith pada beberapa waktu lalu, penyidik juga diketahui telah melakukan penyitaan terhadap buku-buku yang mengandung konten bertema ganja. Padahal penyitaan buku-buku yang bersifat keilmuan tersebut sebagai barang bukti sama sekali tidak ada kaitannya dengan proses pembuktian dalam ketentuan UU Narkotika yang menjerat tersangka.

Pasal 39 ayat (1) KUHAP menjelaskan jenis barang-barang yang dapat dilakukan penyitaan, antara lain: barang yang diperoleh/sebagai hasil dari tindak pidana, barang yang digunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana, barang yang digunakan untuk menghalangi penyidikan, benda khusus yang diperuntukkan untuk tindak pidana, dan benda yang mempunyai kaitan langsung dengan tindak pidana. Dari kelima jenis barang yang disebutkan KUHAP tersebut, buku yang disita penyidik dalam kasus Anji jelas tidak memenuhi klasifikasi barang-barang yang dapat disita berdasarkan ketentuan dalam KUHAP.

Akses yang seluas-luasnya terhadap buku maupun media literasi lainnya merupakan simbol kemerdekaan berpikir seseorang dan menjadi bagian penting dari proses edukasi yang seharusnya tidak boleh dibatasi dalam negara demokratis. Konstitusi telah menjamin kebebasan ini bagi setiap warga negara untuk mengakses segala jenis informasi untuk kepentingan edukasi atau pengembangan dirinya secara intelektual. Pasal 28F UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan segala jenis saluran yang tersedia”.

Pihak Kapolres Jakarta Barat yang melakukan penangkapan terhadap Anji bahkan juga sempat mengakui bahwa kepemilikan buku tersebut merupakan bagian dari edukasi tersangka terkait tanaman ganja. Dengan menyadari hal tersebut ditambah dengan tidak ditemukan sama sekali kaitannya dengan proses pembuktian, maka seharusnya penyitaan terhadap buktu-buku tersebut tidak perlu dan bertentangan dengan Undang-Undang. Sebaliknya, buku-buku semacam itu yang mengandung keilmuan mengenai tanaman ganja yang dalam berbagai negara telah diakui manfaatnya termasuk pengobatan dapat menjelaskan secara akurat dan ilmiah bahwa kebijakan narkotika sekarang yang diterapkan di negara ini telah salah arah.

Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan oleh karenanya mendorong supaya reformasi kebijakan narkotika yang berbasiskan bukti (evidence-based policy) dapat segara dilakukan oleh Pemerintah dan DPR. Hal ini tentu dengan memperhatikan berbagai perkembangan dunia internasional terkait posisi tanaman ganja seperti perkembangan terakhir pada akhir tahun 2020 yakni mengenai perubahan penggolongan ganja/cannabis dalam Konvensi Tunggal Narkotika berdasarkan rekomendasi World Health Organization (WHO) setelah mempertimbangkan manfaat medis yang dikandungnya. Kebijakan narkotika dengan demikian harus tidak lagi bertumpu pada pendekatan penegakan hukum seperti yang sekarang dilakukan hingga berdampak pada masalah penjara yang kelebihan muatan, tetapi perlu lebih mengarahkan pada pendekatan kesehatan masyarakat dan pengurangan dampak buruk (harm reduction) dari penggunaan narkotika.

Sebagai salah satu langkah yang ditempuh untuk mendorong perubahan kebijakan tersebut, Koalisi telah mengajukan permohonan uji materil Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika yang melarangan penggunaan narkotika untuk kepentingan kesehatan kepada Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan perkembangan terakhir, sidang selanjutnya akan diselenggarakan pada Selasa, 22 Juni 2021 dengan agenda mendengar keterangan dari DPR dan Pemerintah. Dengan adanya permohonan uji materil ini diharapkan dapat menyadarkan kembali para pembuat kebijakan bahwa tujuan ketersediaan narkotika sebagaimana diamanatkan oleh UU Narkotika adalah untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan, sehingga peluang penelitian-penelitian terhadap Narkotika Golongan I yang berorientasi untuk kepentingan medis dapat juga segera dilakukan.

Jakarta, 18 Juni 2021
Hormat Kami,

Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan
Rumah Cemara, ICJR, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba, EJA, LGN