[Media Rilis ICJR IJRS dan LeIP] Pelaksanaan Vaksin Tahanan KPK: Pemerintah Diskriminatif pada Rutan dan Lapas yang Overcrowding

Berdasarkan Informasi yang ada, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan vaksinasi Covid-19 terhadap 39 tahanan kasus korupsi. Pada dasarnya kami sudah menyoroti bahwa petugas rutan/lapas maupun Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) belum mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah dalam program vaksinasi penanggulangan COVID-19, tidak terkecuali tahanan KPK. Karena memang sudah seharusnya Pemerintah memprioritaskan petugas dalam setting tertutup seperti petugas dalam rutan dan lapas. Tidak hanya petugas, namun juga tahanan dan WBP yang merupakan kelompok beresiko karena sulit melakukan physical distancing dan berada pada tempat setting tertutup seperti Rutan dan Lapas.

Kami mendukung upaya vaksinasi yang dilakukan pada petugas, tahanan dan WBP, termasuk tahanan KPK, namun seharusnya prioritas vaksinasi diberikan kepada petugas, tahanan dan WBP di rutan dan lapas yang overcrowding. Mengingat program vaksinasi pada mereka juga belum jelas. Kondisi overcrowding harus menjadi masalah yang diperhatikan Pemerintah dalam kondisi pandemi ini. Beberapa kali Presiden Jokowi dan jajarannya juga berbicara tentang permasalahan overcrowding rutan dan lapas di Indonesia.

Mengutip kembali data Infeksi COVID-19 di lingkungan rutan dan lapas berdasarkan pemantauan media yang dilakukan ICJR, sampai dengan 18 Januari 2021 telah terjadi 1.855 infeksi COVID -19 di 46 UPT Pemasyarakatan Rutan seluruh Indonesia. 1.590 orang WBP, 122 petugas rutan/lapas, 143 orang tidak diketahui WBP atau petugas terinfeksi COVID -19. Data dari media massa menunjukkan 4 WBP meninggal dunia.

World Health Organization (WHO) dalam Strategic Advisory Group of Experts on Immunization menyebutkan bahwa populasi pada fasilitas penahanan juga masuk ke dalam prioritas pertama untuk vaksin. Dalam konteks Indonesia, pemerintah pada 17 Januari 2021, melalui Dirjen PAS menerbitkan SK PAS-UM.01.01-01 tentang Persiapan Pelaksanaan Vaksin COVID-19 kepada Warga Binaan Pemasyarakatan kepada Kanwil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Dalam SK tersebut, Dirjen PAS hanya memerintahkan Kepala Divisi Pemasyarakatan, untuk melakukan koordinasi dengan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi tentang kebutuhan dan rencana pemberian Vaksin COVID-19 bagi Petugas di jajaran Pemasyarakatan. Selebihnya masih dalam tahapan koordinasi dan sosialisasi yang belum menyentuh inti permasalahan. Dari kebijakan ini, terlihat bahwa rencana pemberian vaksin COVID-19 bagi petugas dan WBP di rutan dan lapas belum jelas.

Dalam kondisi pandemi, overcrowding, dan ketidakjelasan vaksinasi, para petugas, tahanan, dan WBP di rutan dan lapas justru didiskriminasi dengan tidak menjadi prioritas vaksinasi dari pemerintah. Maka dari itu, kami mendesak agar petugas rutan dan lapas serta tahanan dan WBP mutlak harus menjadi prioritas penerima vaksin Covid-19. Pembiaran akan berujung pada pelanggaran hak asasi manusia, utamanya dalam kondisi overcrowding dan penularan di rutan dan lapas yang sudah sangat berbahaya. Pembedaan yang terjadi dengan tahanan KPK juga merupakan tindakan diskriminatif oleh pemerintah.

Jakarta, 25 Februari 2021
Hormat Kami,

ICJR, IJRS dan LeIP

Cp:

Dio Ashar (IJRS)
Liza Farihah (LeIP)
Maidina Rahmawati (ICJR)

Tahukah Masyarakat Kemana Ia Harus Melaporkan Kekerasan Seksual?

 

Mayoritas responden telah mengetahui dan menentukan pihak mana yang dituju untuk melaporkan kasus Kekerasan Seksual (KS). Polisi sebagai aparatur negara adalah salah satu pelaksana penting dalam penanganan KS. Kepolisian dapat memberikan jaminan keamanan bagi korban dan/atau saksi serta memberikan informasi hukum. Keluarga, sebagai opsi kedua yang dipilih kerap menjadi sarana awal bagi korban untuk mendapatkan dukungan psikologis, maupun dukungan lainnya. Pihak keluarga juga dapat berperan mengantar korban ke pusat layanan krisis, LBH, rumah sakit, dll. Di dalam tahap persidangan, keluarga juga dapat dipilih korban sebagai pendamping dalam proses pemeriksaan.

***Survei ini menggunakan perangkat telepon dan melibatkan partisipasi 2.210 responden yang mencakup wilayah ibukota, kotamadya dan kabupaten. Dengan demikian, didapatkan penyebaran responden yang representatif di setiap provinsi. Responden survei dipilih secara multistage cluster sampling di mana unit sampling adalah cluster sample dari riset-riset sebelumnya. Dari seluruh cluster survei sebelumnya, didapatkan data populasi yang akhirnya diambil sample sejumlah 2.210 responden (margin of error 2 persen dari data populasi)

 

lihat seri lainnya di sini :

Survei Kekerasan Seksual dan Perkawinan Anak

[Media RIlis] ICJR IJRS dan LeIP Sayangkan Pernyataan Menko Polhukam tentang Restorative Justice pada Kasus Perkosaan

Pada saat menjadi pembicara dalam acara Rapim Polri, Selasa (16/2/2021), Menteri Koordinator Bidang Polhukam mencontohkan penerpaan Restorative Justice dalam kasus perkosaan. Menurut menteri tersebut pendekatan restorative justice tidak bicara bahwa si pemerkosa harus ditangkap dan dibawa ke pengadilan untuk menjalani proses hukum. Restorative justice, menurutnya membangun harmoni agar antara keluarga korban dan pemerkosa serta masyarakat tidak gaduh.

ICJR, IJRS dan LeIP menyayangkan pernyataan ini. Ini adalah contoh kekeliruan memahami lahirnya Restorative Justice (RJ) dan arti penting menerapkan nilai-nilai. Sebagai catatan mendasar yang harus diketahui, nilai RJ hadir sejalan dengan gerakan penguatan hak korban, tititk sentralnya adalah menyelaraskan pemulihan korban dengan mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa yang memupuk pertanggungjawaban pelaku, untuk mencapai harmoni agar proses penyelesaian sengketa tersebut bersifat memulihan atau restoratif. RJ bukan soal membungkam hak korban untuk mendapatkan harmoni semu di masyarakat.

Pada kasus perkosaan RJ dapat saja diterapkan, tetapi tetap yang menjadi titik sentral yang harus diperjuangkan adalah mendengarkan dan memberi ruang bagi korban untuk menyampaikan kerugiannya, membuat pelaku menyadari perbuatannya dan memahami dampak dari perbuatan yang dilakukannya, untuk kemudian menyelaraskan pertanggungjawaban pelaku untuk bisa berdampak positif bagi pemulihan korban. Pernyataan Menko Polhukam yang menilai RJ pada kasus perkosaan tidak untuk menangkap dan mengadili pelaku tidak tepat, meminta pelaku dan korban dinikahkan dengan alasan menjaga harmoni dan nama baik keluarga justru adalah contoh buruk praktik selama ini yang bertentangan dan tidak sejalan dengan nilai dan prinsip RJ.

Pernyataan ini juga tidak berpihak pada upaya-upaya untuk memberikan penguatan pengaturan hak korban perkosaan ataupun kekerasan seksual. Padahal data survey Lentera Sintas Indonesia pada 2016 lalu terhadap 25.213 responden korban kekerasan seksual, ditemukan 93% korban perkosaan tidak melaporkan kasusnya, salah satu alasan mendasar adanya ketakutan dengan narasi menyalahkan korban. Survey terbaru IJRS dan Infid pada 2020 juga menujukkan bahwa 57,4% responden yang pernah mengalami kekerasan seksual menyatakan aparat penegak hukum tidak responsif terhadap kasus kekerasan seksual. Dengan adanya pernyataan ini, aktor high level yang seharusnya memberikan jaminan hak korban, justru semakin tidak berpihak pada korban.

ICJR, IJRS dan LeIP meminta Menko Polhukam untuk segera meluruskan dan mengklarifikasi pernyataan tersebut, serta memberikan jaminan bahwa penerapan RJ harus dipahami oleh seluruh jajaran pemerintah dan aparat penegak hukum untuk meletakkan kepentingan dan pemulihan korban sebagai fokus utama.

Jakarta, 18 Februari 2021
ICJR, IJRS dan LeIP

CP:
Liza Farihah (Direktur Eksekutif LeIP)
Dio Ashar (Direktur Eksekutif IJRS)
Maidina Rahmawati (Peneliti ICJR)

Persepsi Masyarakat tentang Tugas Perempuan di Ranah Domestik

 

Data menunjukkan bahwa pandangan masyarakat tentang kewajiban mengelola rumah tangga masih dibebankan pada perempuan. Hanya sedikit responden penelitian yang menyatakan bahwa perempuan juga dapat bertugas mencari nafkah. Hal ini menguatkan bahwa persepsi masyarakat masih memegang nilai-nilai ketidaksetaraan gender. Padahal, perempuan dan laki-laki itu sama – sama, seharusnya memiliki posisi setara, wajib saling menghormati satu sama lain serta dapat membagi peran kewajiban urusan rumah tangga sesuai porsi, bukan jenis kelamin.

 

***Survei ini menggunakan perangkat telepon dan melibatkan partisipasi 2.210 responden yang mencakup wilayah ibukota, kotamadya dan kabupaten. Dengan demikian, didapatkan penyebaran responden yang representatif di setiap provinsi. Responden survei dipilih secara multistage cluster sampling di mana unit sampling adalah cluster sample dari riset-riset sebelumnya. Dari seluruh cluster survei sebelumnya, didapatkan data populasi yang akhirnya diambil sample sejumlah 2.210 responden (margin of error 2 persen dari data populasi)

 

lihat seri lainnya di sini :

Survei Kekerasan Seksual dan Perkawinan Anak

[Rilis Koalisi Masyarakat Sipil] Presiden Jokowi Segera Cabut Pasal Karet UU ITE, Rakyat Mendesak dan Siap Mengawal

Senin, 15 Februari 2021, dalam rapat tertutup dengan pimpinan TNI dan Polri di Istana Negara, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa Pemerintah akan membuka ruang untuk duduk bersama dengan DPR RI guna merevisi UU ITE. Koalisi mendukung pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam membuka wacana Revisi UU ITE tersebut, namun pernyataan tersebut tidak boleh sebatas pernyataan retorik ataupun angin segar demi populisme semata. Pernyataan tersebut harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkrit.

Koalisi menyatakan beberapa hal yang perlu diperhatikan jika Pemerintah ingin serius mengubah UU ITE:

Pertama, seluruh pasal – pasal yang multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi dalam UU ITE sudah seharusnya dihapus. Rumusan pasal-pasal dalam UU ITE, yang sudah diatur dalam KUHP, justru diatur secara buruk dan tidak jelas rumusannya disertai dengan ancaman pidana lebih tinggi. Dalam keyakinan ICJR, LBH Pers dan IJRS, hal ini menyebabkan banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang dilanggar akibat penggunaan pasal-pasal duplikasi dalam UU ITE. Misalnya, Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang memuat unsur “melanggar kesusilaan”. Pasal ini seharusnya dikembalikan kepada tujuan awalnya seperti yang diatur dalam Pasal 281 dan pasal 282 KUHP dan atau UU Pornografi bahwa sirkulasi konten melanggar kesusilaan hanya dapat dipidana apabila dilakukan di ruang dan ditujukan untuk publik, bukan justru diatur dengan konteks dan batasan yang tidak jelas. Selama ini Pasal 27 ayat (1) UU ITE justru menyerang kelompok yang seharusnya dilindungi, dan diterapkan berbasis diskriminasi gender.

Pasal 27 ayat (3) juga kerap kali digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang online. Meskipun dalam penjelasan telah dirujuk ke Pasal 310 dan Pasal 311, namun dalam praktik seringkali diabaikan sebab unsur “penghinaan” masih terdapat di dalam pasal. Pasal ini seharusnya dirumuskan dengan sangat jelas. Komentar umum PBB No. 34 merekomendasikan dihapusnya pidana defamasi, jika tidak memungkinkan aplikasi diperbolehkan hanya untuk kasus paling serius dengan ancaman bukan pidana penjara. Selain itu, pidana penghinaan pun tidak lagi relevan dalam banyak aspek menggunakan hukum pidana, aparat sudah mulai harus mengarahkan delik penghinaan ke ranah perdata yang memang sudah diakomodir misalnya dalam 1372 KUHPerdata (BW).

Contoh lainnya adalah pasal tentang penyebaran informasi yang menimbulkan penyebaran kebencian berbasis SARA sebagaimana diatur dalam 28 ayat (2) UU ITE. Pasal ini tidak dirumuskan sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian. Pasal ini justru menyasar kelompok dan individu yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah, lebih memprihatinkan pasal ini kerap digunakan untuk membungkam pengkritik Presiden, sesuatu yang oleh Mahkamah Konstitusi dianggap inkonstitusional saat menghapus pasal tentang penghinaan terhadap Presiden.

Laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan sejak 2016 sampai dengan Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88% (676 perkara). Laporan terakhir SAFEnet menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis. Sektor perlindungan konsumen, anti korupsi, pro-demokrasi, penyelamatan lingkungan, dan kebebasan informasi menjadi sasaran utama. Revisi UU ITE, khususnya dalam tindak pidana penghinaan dan tindak pidana penyebaran berita bohong, harus dijamin tidak terjadi duplikasi yang menyebabkan tumpang tindih sehingga berakibat bertentangan dengan kepastian hukum. Pasal-pasal tersebut harus disesuaikan dengan ketentuan dalam RKUHP yang akan dibahas.

Berdasarkan monitoring yang dilakukan oleh LBH Pers, selama tahun 2020 setidaknya terdapat 10 Jurnalis yang sedang melaksanakan kerja kerja pers dilaporkan menggunakan ketentuan pasal – pasal dalam UU ITE. Adapun pasal yang kerap digunakan adalah pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian.

Kedua, proses “fair trial” dalam ketentuan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam revisi UU ITE harus kembali diberlakukan dan mendukung pembaharuan KUHAP dalam RKUHAP bahwa segala bentuk upaya paksa harus dengan izin pengadilan. Revisi UU ITE harus mengembalikan hal baik yang pernah dirumuskan oleh UU ITE tahun 2008 bahwa mekanisme upaya paksa harus dengan izin dalam bentuk penetapan dari pengadilan. Dalam UU ITE yang sekarang berlaku, upaya paksa justru menjadi diskresi aparat penegak hukum dan menghilangkan ijin dari Ketua Pengadilan.

Ketiga, pengaturan mengenai blocking & filtering juga harus direvisi. Dalam pandangan Koalisi, kendatipun kewenangan tersebut memang sudah seharusnya dimiliki pemerintah untuk menegakan hukum, namun perlu adanya kontrol agar tidak terjadi kesewenang – wenangan. Kewenangan mengenai pengaturan blocking dan filtering konten harus diatur secara tegas mekanismenya sesuai dengan due process of law. Terlalu besarnya kewenangan pemerintah eksekutif melakukan blocking dan filtering konten internet perlu ditinjau ulang dengan memasukan mekanisme kontrol dan pengawasan sebelum dan setelah melaksanakan pemutusan. Hal tersebut adalah semata mata untuk menjamin hak setiap orang atas informasi dan asas – asas pemerintahan yang baik.

Untuk itu Koalisi menyatakan:

  1. Desakan kepada presiden Jokowi untuk merealisasikan pernyataan yang disampaikan untuk melakukan revisi UU ITE
  2. Desakan kepada Presiden Jokowi dan DPR RI untuk mencabut semua pasal pasal karet yang kerap kali menjadi alat mengkriminalisasi ekspresi dan pendapat oleh masyarakat
  3. Desakan kepada Presiden Jokowi dan DPR RI untuk merevisi ketentuan hukum acara pidana dalamn UU ITE agar dapat menjamin adanya fair trial dan sinkronisasi dengan perubahan KUHAP kedepan, salah satunya memperkuat judicial scrutiny (izin pengadilan untuk melakukan upaya paksa)
  4. Desakan kepada Presiden Jokowi dan DPR RI untuk merevisi ketentuan mengenai kewenangan pemerintah eksekutif yang terlalu besar untuk melakukan pemutusan akses elektronik sebagaimana diatur dalam UU ITE
  5. Desakan kepada Presiden Jokowi dan DPR RI untuk mengevaluasi secara menyeluruh implementasi UU ITE oleh aparat penegak hukum, termasuk mendorong aparat untuk memiliki pemahaman dan perspektif hak asasi manusia dan profesionalitas dalam menangani setiap perkara UU ITE

Jakarta, 16 Februari 2021
Hormat kami,
Koalisi Masyarakat Sipil
ICJR, LBH Pers, IJRS, Elsam, SAFENet, YLBHI, KontraS, PBHI, Imparsial, LBH Masyarakat, AJI Indonesia, ICW, LeIP, LBH Jakarta, Greenpeace Indonesia, PUSKAPA, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), WALHI.

Narahubung:
ICJR (Sustira Dirga)
LBH Pers (Ade Wahyudin)
IJRS (Dio Ashar)

5 dari 7 Masyarakat Pernah Mengalami Kekerasan Seksual Semasa Hidupnya

 

5 dari 7 masyarakat menyebutkan pernah mengalami kekerasan seksual baik pada dirinya sendiri, keluarga ataupun orang lain yang dikenalnya, seperti teman, tetangga, kolega kantor dan sebagainya. Hal ini membuktikan bahwa fenomena kekerasan seksual adalah isu darurat di masyarakat kita. Data ini juga menunjukkan bahwa kekerasan seksual masih banyak dialami dan dapat terjadi kepada siapa saja, termasuk laki – laki. Temuan ini membuktikan bahwa stereotipe tentang laki – laki sebagai maskulin, kuat, dan dominan juga bisa menjadi korban. Selain itu, kekerasan seksual ini juga masih banyak terjadi ranah privat yang dianggap aman yaitu di rumah.

 

***Survei ini menggunakan perangkat telepon dan melibatkan partisipasi 2.210 responden yang mencakup wilayah ibukota, kotamadya dan kabupaten. Dengan demikian, didapatkan penyebaran responden yang representatif di setiap provinsi. Responden survei dipilih secara multistage cluster sampling di mana unit sampling adalah cluster sample dari riset-riset sebelumnya. Dari seluruh cluster survei sebelumnya, didapatkan data populasi yang akhirnya diambil sample sejumlah 2.210 responden (margin of error 2 persen dari data populasi)

 

lihat seri lainnya di sini :

Survei Kekerasan Seksual dan Perkawinan Anak

Tempat Umum dianggap Lokasi yang Paling Rentan Kekerasan Seksual

 

Masyarakat menganggap bahwa ranah publik adalah tempat yang rawan terjadinya kekerasan seksual. Sementara itu tempat tinggal dan tempat kerja dianggap sebagai tempat paling aman. Padahal, berdasarkan Survei Sense of Justice MaPPI FHUI pada 2016 menemukan, mayoritas pelaku kekerasan seksual adalah orang yang dikenal korban yaitu; teman, pacar, keluarga, tetangga, kerabat, guru dan lainnya–di lingkungan tempat tinggal korban. Pada tahun 2016, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga mencatat, 62 persen kekerasan seksual yang dialami anak-anak terjadi di lingkungan terdekat; keluarga dan sekolah.

 

***Survei ini menggunakan perangkat telepon dan melibatkan partisipasi 2.210 responden yang mencakup wilayah ibukota, kotamadya dan kabupaten. Dengan demikian, didapatkan penyebaran responden yang representatif di setiap provinsi. Responden survei dipilih secara multistage cluster sampling di mana unit sampling adalah cluster sample dari riset-riset sebelumnya. Dari seluruh cluster survei sebelumnya, didapatkan data populasi yang akhirnya diambil sample sejumlah 2.210 responden (margin of error 2 persen dari data populasi)

 

lihat seri lainnya di sini :

Survei Kekerasan Seksual dan Perkawinan Anak

IJRS Harapkan Kejaksaan Implementasikan Pedoman Ini

Indonesia Judicial Research Society (IJRS) mengharapkan agar Kejaksaan Republik Indonesia dapat melaksanakan Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana.

“Harapannya, pedoman ini dapat diimplementasikan dengan baik sehingga seluruh lapisan Kejaksaan dapat mengimplementasikan hal-hal yang diatur dalam pedoman ini,” kata Bestha Inatsan A, peneliti dari IJRS di Jakarta, Selasa (9/2).

Menurutnya, implementasi pedoman tersebut sangat urgen karena peran Kejaksaan Agung (Kejagung) sangat penting dalam memastikan bahwa pedoman ini dapat diterapkan secara optimal, sehingga keadilan bagi anak dan perempuan yang dicita-citakan dalam pedoman ini dapat terwujud dan terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap sektor hukum dan peradilan.

“IJRS mengapresiasi langkah konkret Kejaksaan dalam mengeluarkan pedoman ini,” kata Bestha. Ia menjelaskan, Kejaksaan Republik Indonesia menetapkan Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana. Ini merupakan langkah konkret Kejagung guna menjamin dan memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak dalam proses hukum.

Menurutnya, jaminan dan perlindungan kepada perempuan dan anak ini masih menghadapi hambatan dan tantangan, terutama dalam pemenuhan haknya untuk mendapatkan fair trial.

Pedoman ini, lanjut Bertha, akan menjadi acuan bagi Jaksa dalam menangani perkara pidana yang melibatkan perempuan dan anak baik sebagai saksi, korban maupun pelaku. Apalagi Jaksa memegang peranan penting sebagai dominus litis (pengendali perkara) untuk mengawal dan memastikan pemenuhan akses keadilan bagi perempuan dan anak.

“Pembentukan pedoman [ini] menjadi sangat penting dan merupakan angin segar bagi penegakan hukum di Indonesia, khususnya bagi kelompok rentan,” katanya.

Bestha menilai bahwa langkah konkret Kejaksaan tersebut juga selaras dengan program-program pemerintah, salah satunya adalah peran aparat penegak hukum dalam perlindungan dan upaya pemulihan terhadap korban yang juga sejalan dengan indikator Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

“Pedoman ini juga sekaligus juga sejalan dengan upaya Mahkamah Agung (MA) RI yang sebelumnya telah menerbitkan PERMA No. 3 Tahun 2017 tentang pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan hukum, dan program SPPT-PKKTP (Sistem Peradilan Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan) yang diinisiasi oleh Bappenas, Komnas Perempuan, dan Forum Pengada Layanan,” ungkapnya.

Pedoman Kejaksaan ini bertujuan mengatur bagaimana proses pemeriksaan dan pemenuhan hak bagi perempuan dan anak sejak dalam tahapan penyelidikan dan penyidikan hingga tahap pelaksanaan putusan yang prosesnya dilaksanakan dengan berbasis perspektif korban, serta sensitif terhadap kerentanan yang dihadapi oleh perempuan dan anak.

Beberapa hal yang diatur dalam pedoman tersebut, misalnya dalam proses pemeriksaan bahwa jaksa tidak boleh mengeluarkan pertanyaan yang seksis, menimbulkan diskriminasi berbasis gender, dan membangun asumsi yang tidak relevan sehingga merugikan bagi perempuan dan anak yang menjalani pemeriksaan di pengadilan. “Jaksa juga diharapkan dapat lebih menggali kondisi psikologi, relasi kuasa, respons psikologis maupun kondisi stereotip gender,” ujarnya.

Pedoman ini juga memberikan kesempatan bagi korban dan saksi untuk didampingi, baik oleh pekerja sosial, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), keluarga ataupun pendamping lainnya. Serta adanya perlindungan terhadap informasi dan indentitas korban atau saksi dalam hal kasus-kasus terkait seksualitas dan bagaimana pelaksanaan putusan dalam pidana tambahan dan pembuktian dalam Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Dalam menguraikan fakta dan perbuatan terkait dengan tindak pidana yang terkait kesusilaan Penuntut Umum sedapat mungkin menghindari uraian yang terlalu detail, vulgar, dan berlebihan dalam pembuatan surat dakwaan dan tuntutan demi penghormatan terhadap hak asasi, martabat, dan privasi perempuan dan anak serta mencegah reviktimisasi.

“Tidak hanya dalam proses pemeriksaan, pedoman ini juga mengatur proses dan teknis pemulihan bagi korban tindak pidana, baik melalui ganti rugi, restitusi, dan kompensasi,” katanya.

Tulisan ini dimuat dalam Gatra.com : https://www.gatra.com/detail/news/503279/hukum/ijrs-harapkan-kejaksaan-implementasikan-pedoman-ini