[Rilis Pers] Sebagai Kelompok Rentan, Pengguna dan Pecandu Narkotika Harus Segera Dikeluarkan dari Rutan/Lapas

Rilis Bersama: ICJR, IJRS, LBH Masyarakat, MaPPI FHUI, Rumah Cemara dan Yakeba

Menurut keterangan Kementerian Hukum dan HAM per 22 April 2020 diketahui bahwa Kementerian Hukum dan HAM telah melakukan pengeluaran dan pembebasan terhadap 38.822 orang WBP sebagai upaya penanggulangan penyebaran Covid-19 di rutan dan lapas di Indonesia. Kami mengapresiasi kerja pemerintah untuk mencegah penyebaran masif Covid-19 di rutan dan lapas di Indonesia. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh Pemerintah adalah mempersiapkan pengeluaran dan pembebasan WBP yang difokuskan pada kelompok rentan atau dengan tingkat risiko tinggi terpapar Covid-19, seperti para lanjut usia (lansia), ibu hamil atau dengan anak, Anak, WBP dengan penyakit bawaan atau yang sedang dalam kondisi sakit kritis/serius, WBP dengan kondisi gangguan jiwa yang serius, serta pengguna narkotika di dalam rutan dan lapas.

Khusus untuk pengguna narkotika, pandemi Covid-19 harus jadi momentum pemerintah untuk memperbaiki kebijakan narkotika yang membebani negara selama ini. Per Maret 2020 jumlah penghuni rutan dan lapas di Indonesia mencapai 270.466 orang. Padahal, kapasitas rutan dan lapas hanya dapat menampung 132.335 orang. Hal itu berarti beban rutan dan lapas di Indonesia mencapai 204%. Jika kita lihat dari jumlah WBP, per Maret 2020, 55% WBP berasal dari tindak pidana narkotika, sebanyak 38.995 WBP merupakan pengguna narkotika. Bahkan sebelumnya di Februari 2020, 68% WBP berasal dari tindak pidana narkotika dan pengguna narkotika yang dipaksa untuk mendekam di penjara mencapai 47.122 orang.

Meskipun UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sudah merumuskan dalam beberapa pasal soal pentingnya pendekatan kesehatan, namun kebijakan narkotika di Indonesia telah gagal memastikan upaya pendekatan kesehatan tersebut dalam penanggulangan dampak penggunaan narkotika. Indonesia lebih memilih pendekatan perang terhadap narkotika, dengan mengedepankan pemidanaan yang secara global sudah diakui gagal menyelesaikan masalah dampak penggunaan narkotika.

Pengaturan pasal karet pidana dalam UU Narkotika tidak mampu menjamin pengguna narkotika tidak dikriminalisasi dan pencadu diberikan jaminan rehabilitasi. Riset LBH Masyarakat (2014) menunjukkan pengguna narkotika yang dijatuhi dengan vonis rehabilitasi kurang dari 30%. Riset ICJR, Rumah Cemara dan EJA pada 2015 di PN Surabaya menyatakan hanya 6% putusan hakim yang menempatkan pengguna narkotika ke tempat rehabilitasi. Penjara jelas memperburuk kondisi kehidupan pengguna dan pecandu narkotika karena dalam Lapas tidak tersedia pelayanan kesehatan yang memadai, apalagi di tengah kondisi overcrowding. Penelitian Stevens (2019), Hughes (2018) dan UNODC (2010) menyimpulkan bahwa promosi hukuman tidak memiliki dampak mengurangi penggunaan narkotika. Pada negara yang memberlakukan hukuman yang keras terhadap kepemilikan dan penggunaan narkotika untuk konsumsi sendiri tidak mengurangi penggunaan narkotika dalam masyarakat ketimbang negara yang mengatur hukuman lebih ringan. Laporan World Drug Report 2019 UNODC pun menyebutkan bahwa sejak 2009 sampai 2016, secara global permasalahan penggunaan narkotika cenderung stabil, peningkatan penggunaan narkotika hanya sebesar 30% yang merupakan dampak dari pertambahan penduduk. Banyak studi juga telah menyatakan bahwa risiko kesehatan pengguna narkotika lebih besar setelah keluar penjara. Pendekatan kesehatan berbasis harm reduction perlu diprioritaskan kepada pengguna dan pecandu narkotika sesuai dengan rekomendasi beberapa organisasi PBB yang menentang pendekatan penghukuman bagi pengguna narkotika.

Pengeluaran WBP pengguna narkotika pun sudah disuarakan oleh Menteri Hukum dan HAM jauh-jauh hari lalu. Karena kondisi overcrowding yang sudah sangat membebani, Menteri Hukum dan HAM pada 27 April 2019 meminta pengguna narkotika tidak dipenjara. Bahkan sudah diserukan wacana untuk memberikan amnesti masal kepada pengguna narkotika pada November 2019 lalu. Dalam tataran kebijakan baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan persidangan juga telah diterbitkan aturan yang memberi peluang pengguna dan pecandu narkotika dihindarkan dari pemenjaraan. Artinya, secara politik hukum Pemerintah memiliki segala legitimasi hukum, dapat dengan mudah dan sangat beralasan untuk mengeluarkan dan membebaskan WBP tindak pidana narkotika. Perlu ditekankan bahwa tindak pidana narkotika adalah tindak pidana tanpa kekerasan, tidak semua pengguna narkotika mengalami ketergantungan atau adiksi, sehingga tidak semua pengguna narkotika memerlukan rehabilitasi. Pun untuk pengguna narkotika dengan adiksi, rehabilitasi tidak hanya dalam bentuk rawat inap, rehabilitasi bisa dilakukan dengan rawat jalan, kunjungan rutin ke pelayanan kesehatan, konseling rutin offline maupun online, termasuk terapi substitusi yang telah diatur institusi penanggungjawabnya.

Sebagai catatan, penghuni rutan dan lapas harus dikurangi untuk mencegah risiko peyebaran Covid19. Dan kebijakan narkotika jelas menyumbangkan banyak penghuni rutan dan lapas yang seharusnya tidak dipidana sedari awal. Maka untuk itu, Pemerintah perlu menyegerakan pengeluaran dan pembebasan WBP pengguna narkotika, dengan langkah berikut:

Pertama, lakukan assessment atau penilaian kesehatan termasuk penilaian derajatkeparahan penggunaan napza dan resiko yang akuntabel dan komprehensif, termasuk penilaian adiksi dan risiko pada semua WBP yang berasal dari kebijakan “rancu” narkotika. Dalam hal ini, banyak pengguna dan pecandu narkotika dijerat dengan pasal penguasaan dan kepemilikan UU Narkotika yang menyebabkan mereka diklasifikasikan sebagai “bandar” dan dijatuhi hukuman di atas 5 tahun penjara.

Kedua, pastikan WBP yang berasal dari tindak pidana narkotika yang murni sebagai pengguna dikeluarkan.

Ketiga, pastikan WBP dengan adiksi dikeluarkan dengan memperoleh surat rujukan yang menujuk lembaga kesehatan terdekat untuk melakukan rehabilitasi atau tindakan pengawasan lainnya. Rutan dan lapas dapat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah setempat dan Dinas Kesehatan setempat dalam hal ini puskesmas untuk pelaksanaan rehabilitasi atau tindakan pengawasan lainnya.

 

Jakarta, 22 April 2020

Hormat Kami,

ICJR, IJRS, LBH Masyarakat, MaPPI FHUI, Rumah Cemara dan Yakeba

Mengeluarkan Narapidana dalam Pandemi Covid-19 Perlu atau Tidak?

Infografis-Perlukah-Membebaskan-Narapidana-di-Tengah-Pandemi-Covid-19

Download Infografis PDF

Explainer: Seperti apa Gugatan Class Action di Indonesia?

Oleh Josua Satria Collins (Peneliti IJRS)

Di tengah pandemi COVID-19, Enggal Pamukty–seorang pengusaha–mengajukan gugatan class action terhadap Presiden Joko “Jokowi” Widodo karena merasa pemerintah tidak serius dalam menghadapi wabah corona. Bersama lima orang lainnya dari kelompok usaha menengah, kecil dan mikro (UMKM), Enggal mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka berargumen ketika terdapat waktu untuk menyiapkan Indonesia menghadapi COVID-19, jajaran pemerintahan berkelakar soal COVID-19 dan kemudian terlambat melakukan tindakan pencegahan.

Dasar gugatan yang digunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang (UU) No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Mereka menuntut ganti rugi sebesar Rp 10,012 miliar karena mengalami penurunan pemasukan selama wabah virus corona. Mereka juga merasa dirugikan lantaran adanya korban meninggal dan kekhawatiran masyarakat yang tidak terjawab selama awal wabah merebak.

Bagaimana mekanisme dan preseden class action di Indonesia?

Mekanisme gugatan class action

Ketentuan hukum acara dalam class action di Indonesia diatur secara khusus dalam Perma No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.

Terdapat lima tahapan dalam gugatan perwakilan kelompok (class action).

Tahap pertama adalah pengajuan berkas gugatan. Dalam mengajukan berkas, penggugat harus memenuhi persyaratan gugatan class action. Penggugat juga harus melibatkan sejumlah anggota kelompok yang mengalami hal yang sama. Perma tidak menentukan batas minimal berapa orang anggota kelompok agar memenuhi syarat formal. Pakar hukum perdata M Yahya Harahap mengatakan bahwa jika jumlah anggota kelompok 5 atau 10 orang, maka lebih tepat menggunakan gugatan biasa karena proses pemeriksaannya lebih sederhana dibanding class action. Tidak ada batas jumlah maksimal untuk gugatan class action. Kelompok penggugat harus menuntut hal yang sama, menggunakan dasar hukum yang sama. Selain itu, wakil kelompok harus memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakili.

Tahap kedua adalah proses sertifikasi. Berdasarkan permohonan pengajuan gugatan, pengadilan kemudian memeriksa apakah wakil tersebut dijinkan untuk mewakili, apakah syarat-syarat untuk mengajukan gugatan sebagaimana diatur dalam Perma sudah terpenuhi, dan apakah class action merupakan prosedur yang tepat dalam melakukan gugatan tersebut. Sesudah kedua tahap awal selesai dan dinyatakan sah, maka gugatan memasuki tahap ketiga.

Pada tahap ini hakim segera memerintahkan penggugat dengan jangka waktu yang ditentukan melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompok. Ini untuk memberikan kesempatan bagi anggota kelompok menentukan apakah mereka ingin ikut serta dan terikat dengan putusan dalam perkara.

Tahap keempat adalah pemeriksaan dan pembuktian. Proses ini sama dengan perkara perdata umumnya. Bila pada hari sidang pertama, penggugat tidak hadir sedangkan tergugat atau kuasanya yang sah datang, maka gugatan digugurkan dan penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara. Bila pada hari sidang pertama dan pada hari sidang kedua tergugat tidak datang sedangkan penggugat atau para penggugat selalu datang, maka perkara akan diputus tanpa kehadiran tergugat atau verstek.

Tahap kelima dan terakhir adalah pelaksanaan putusan.

Preseden class action

Prosedur class action mulai dikenal di Indonesia saat pengacara RO Tambunan mengajukan gugatan perwakilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap pabrik rokok Bentoel pada 1987. Gugatan tersebut tidak diterima karena pada saat itu gugatan class action bertentangan dengan hukum yang berlaku. Selanjutnya, ada kasus Mukhtar Pakpahan melawan Gubernur DKI Jakarta dan Dinas Kesehatan Jakarta saat itu terkait endemi demam berdarah pada 1988. Di era 90-an, ada perusahaan Iklan dan Radio Swasta Niaga Prambors dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menggugat PT PLN Persero terkait pemadaman listrik pada 1997.

Akhirnya, gugatan class action diakui melalui UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, UU perlindungan konsumen dan UU kehutanan yang terbit di tahun 1999. Tahun 2001 menjadi bersejarah karena gugatan sembilan konsumen gas elpiji kepada Pertamina atas kenaikan harga gas elpiji menjadi perkara class action pertama yang dimenangkan. Selanjutnya, Mahkamah Agung mengatur konsep gugatan ini melalui Perma No. 1 tahun 2002.

Dalam praktiknya, class action di Indonesia tidak selalu berhasil.

Secara umum, agar class action dapat berjalan efektif, perwakilan harus memenuhi sejumlah pertimbangan yang meliputi: analisis kasus, kemungkinan kasus bisa dimenangkan, bukti-bukti penunjang, jumlah pihak yang dirugikan, besaran jumlah kerugian akibat pelanggaran yang diperkarakan, serta persyaratan formal.

Misalnya, pada 2002, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan class action yang diajukan perwakilan warga Jakarta korban banjir terhadap presiden, gubernur Jakarta serta gubernur Jawa Barat. Penggugat menganggap ketiganya bertanggung jawab atas bencana banjir di Jakarta pada Januari 2002 karena tidak memberikan peringatan dini kepada warga dan tidak melakukan langkah-langkah penanggulangan banjir yang semestinya.

Majelis hakim berpendapat bahwa presiden sebagai kepala pemerintahan tidak terbukti melakukan perbuatan hukum karena tidak memiliki kewajiban normatif untuk menanggulangi bencana banjir dan dinilai telah memiliki program terpadu untuk menanggulangi bencana banjir. Majelis juga berpendapat bahwa berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan otonomi berada pada tingkat kotamadya dan atau kabupaten, bukan pada provinsi.

Pada 2007, Mahkamah Agung menghukum PT Kereta Api Indonesia (KAI) untuk membayar ganti rugi kepada korban dan ahli waris korban kecelakaan tabrakan maut kereta api yang terjadi di Brebes, Jawa Tengah, pada 2002 yang menewaskan 33 orang. Dalam gugatan itu, para korban juga menggugat menteri perhubungan, menteri negara Badan Usaha Milik Negara, dan menteri keuangan. Namun, ketiga tergugat itu tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian.

Eksekusi putusan

Hakim harus memutuskan secara rinci pembagian jumlah ganti rugi dalam gugatan perwakilan kelompok yang dikabulkan. Hakim juga harus merinci siapa saja kelompok atau sub-kelompok yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi, dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian. Contoh pembayaran ganti rugi dapat dilihat dalam putusan Pengadilan Negeri Tanjung Pinang di Kepulauan Riau atas gugatan beberapa kelompok nelayan di Kota Baru Senggarang terhadap beberapa perusahaan dan pemerintah kota Tanjung Pinang terkait kerugian akibat kegiatan penambangan.

Majelis hakim menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga menghukum untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 10,760 miliar. Hakim memerintahkan penyelesaian pembayaran uang ganti rugi kepada penggugat melalui komisi pembayaran ganti rugi berisi sembilan orang anggota yang terdiri tiga wakil dari masing-masing sub-kelompok (para penggugat). Komisi ini kemudian menentukan sendiri mekanisme pendistribusian uang ganti rugi. Contoh lain adalah kasus gugatan warga Bukit Duri, Jakarta Selatan, terhadap pemerintah Jakarta atas penggusuran paksa dalam proyek normalisasi kali Ciliwung. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan pemerintah Jakarta dan tergugat lainnya wajib membayar ganti rugi materiil masing-masing sebesar Rp 200 juta kepada 93 warga Bukit Duri, atau total Rp 18,6 miliar.

Sebelas tergugat, termasuk gubernur Jakarta, wali kota Jakarta Selatan, beberapa kepala dinas, camat Tebet, dan lurah Bukit Duri membayar ganti rugi secara tanggung renteng. Pemerintah Jakarta kini juga sedang menghadapi gugatan class action terkait banjir awal tahun ini dan telah menyiapkan anggaran Belanja Tidak Terduga dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) jika mereka kalah. Bila akhirnya Jokowi kalah dalam gugatan class action ini, maka ia akan membayar ganti rugi bukan sebagai pribadi, tetapi sebagai kepala pemerintahan. Artinya, ganti rugi akan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Tulisan dibuat dalam media The Conversation : https://theconversation.com/amp/explainer-seperti-apa-gugatan-class-action-di-indonesia-136051

[Rilis Pers] Catatan Bagi Para Yang Mulia Yang Akan Memilih Ketua Mahkamah Agung yang Baru

Rilis Koalisi Pemantau Peradilan (KPP)

Ketua Mahkamah Agung (MA) saat ini, Prof. Dr. M. Hatta Ali akan genap berusia 70 tahun pada Selasa, 7 April 2020 dan dengan demikian resmi memasuki usia pensiun sebagai Hakim Agung sekaligus Ketua Mahkamah MA. Ketua MA yang baru akan dipilih oleh 48 orang Hakim Agung pada Senin, 6 April 2020.

Saat ini Mahkamah Agung dapat dinyatakan sebagai institusi yang paling reformis dibandingkan dengan institusi lembaga penegak hukum yang lain. Di bawah kepemimpinan M. Hatta Ali, Mahkamah Agung dapat dinyatakan sebagai instansi yang paling baik dan terbuka. Sebut saja sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) di MA, sistem administasi perkara dan persidangan secara elektronik (E-Litigasi), dan sistem penerimaan pengaduan online (SIWAS). Selain itu, MA juga tampak memberikan perhatian bagi perluasan akses masyarakat terhadap keadilan, terutama untuk kelompok rentan. Hal ini dapat dilihat melalui dibentuknya Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) 4/2014; Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana/small claim court melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma 2/2015 yang diperbarui dengan Perma 4/2019); Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum (Perma 3/2017); dan terakhir, Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin (Perma 5/2019).

Meskipun demikian, bukan berarti pengadilan saat ini tanpa masalah. Pengamatan Koalisi terhadap situasi peradilan saat ini menunjukkan bahwa Hatta Ali masih meninggalkan pekerjaan rumah cukup besar bagi penerusnya sebelum masyarakat Indonesia bisa menikmati layanan dari pengadilan yang independen dan kompeten.

Pertama, masih kerap terjadi pungutan liar (pungli) di pengadilan. Pada tahun 2019, Tim Saber Pungli Badan Pengawasan MA berhasil melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Panitera PN Jepara dan Panitera Muda Perdata PN Wonosobo untuk selanjutnya dijatuhi hukuman disiplin.[1] Belum lagi berbagai pungutan liar lain yang terjadi di pengadilan dan dialami oleh para pencari keadilan dan penasihat hukumnya. Kedua, masih ada pejabat pengadilan yang tertangkap tangan menerima suap. Selama masa kepemimpinan Hatta Ali, terutama pada masa kepemimpinan jilid kedua, terdapat beberapa OTT terhadap: Hakim PN Balikpapan (2019), Hakim Ad Hoc Tipikor PN Medan (2018), Hakim PN Tangerang (2018), Panitera Pengganti PN Tangerang (2018), Ketua PT Manado (2017), Hakim Ad Hoc Tipikor pada PN Bengkulu (2017), Panitera Pengganti Pengadilan Tipikor pada PN Bengkulu (2017), dan Panitera Pengganti PN Jakarta Selatan (2017). Ketiga, belum terpenuhinya standar layanan keadilan yang sederhana, misalnya: penyampaian salinan putusan yang masih terus berlarut-larut dan melampaui waktu 14 hari seperti yang diatur undang-undang sehingga sering menghalangi pihak berperkara untuk mengajukan upaya hukum. Selain itu, pelaksanaan sidang yang sering kali molor berjam-jam, tidak sesuai dengan waktu yang disebutkan dalam panggilan sidang. Keempat, kualitas pertimbangan putusan Hakim/Hakim Agung yang masih jauh dari memadai dan jamaknya disparitas putusan yang terjadi. Kelima, tidak terpenuhinya hak-hak para pihak dalam pemeriksaan dan penanganan perkara, terutama dalam perkara pidana. Misalnya hak atas bantuan hukum, hak atas perlindungan dari penyiksaan dalam pemeriksaan untuk proses penyidikan, hak untuk mendapatkan penerjemah, hak atas layanan kesehatan, dan lainnya.

Sebagian besar masalah tersebut bersifat sangat mendasar dan sering terjadi dalam penyelenggaraan proses peradilan di pengadilan. Sehingga cukup mengherankan masalah tersebut tidak dapat diselesaikan dalam delapan tahun periode kepemimpinan Hatta Ali.

Koalisi mencermati bahwa masalah-masalah tersebut disebabkan oleh akar masalah sebagai berikut:

  1. Tidak terefleksikannya nilai integritas dan anti korupsi secara total dalam proses promosi dan mutasi jabatan strategis
  • Indikator yang paling mudah sesungguhnya adalah melihat kesesuaian profil kekayaan pejabat-pejabat strategis di MA dengan sumber penghasilannya. Koalisi mengakui bahwa MA secara konsisten merupakan lembaga yang paling taat mengumpulkan LHKPN disbanding lembaga-lembaga negara lainnya. Namun sesungguhnya pengumpulan LHKPN saja tidak cukup untuk memberi pesan kepada seluruh warga pengadilan bahwa MA adalah lembaga yang anti korupsi dan menjunjung tinggi integritas.
  • Pesan anti korupsi dan pengutamaan integritas tidak akan diterima dengan baik jika di saat yang sama pejabat-pejabat di posisi strategis menunjukkan gaya hidup glamor dan tak sesuai dengan sumber penghasilan resmi.
  • Pesan anti korupsi dan pengutamaan integritas ini baru akan bisa dilihat dengan baik oleh seluruh warga pengadilan jika terhadap setiap pejabat yang akan menduduki jabatan strategis selain diminta menyerahkan LHKPN juga dilakukan analisis profil kekayaan. Jika profil kekayaannya tidak sesuai dengan sumber penghasilan resmi, maka yang bersangkutan harus dipandang tidak memenuhi syarat (ineligible) untuk menduduki jabatan tersebut.
  • Jika Ketua MA yang baru tidak mengupayakan langkah ini dengan meminta bantuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), maka jangan heran jika kita segera masih akan melihat Nurhadi-Nurhadi yang baru menempati jabatan strategis di MA. Dan tidak heran juga jika pungli akan masih tetap marak di pengadilan.
  1. Modernisasi pengadilan masih setengah hati
  • E-Litigasi yang telah diterapkan MA menunjukkan bahwa MA telah maju satu langkah dibanding lembaga penegak hukum lain dalam modernisasi peradilan. Namun, implementasi E-Litigasi masih memunculkan pertanyaan mengenai kesiapan infrastruktur dan SDM. E-Litigasi juga menjadi salah satu tumpuan MA dalam menghadapi situasi darurat saat ini, yaitu pandemic COVID-19. Selain itu, E-Litigasi juga memunculkan pertanyaan soal aspek keterbukaan dan transparansi ke publik.
  • Terlepas bahwa MA sudah memiliki berbagai sistem informasi penanganan perkara yang modern seperti disebutkan di atas, hingga saat ini sistem informasi tersebut tidak menyentuh area-area administrasi perkara yang kritikal/sangat penting bisa menghambat judicial corruption. Misalnya, tidak kunjung diotomatisasinya proses pendistribusian perkara atau penetapan Majelis Hakim di pengadilan-pengadilan tingkat pertama.
  • Padahal, sudah sejak lama diketahui bahwa proses penetapan Majelis Hakim oleh Ketua Pengadilan adalah salah satu titik menentukan dalam praktek mafia peradilan yang mungkin terjadi.
  • Sejumlah kalangan menyatakan bahwa penunjukkan Majelis Hakim adalah kewenangan penuh Ketua Pengadilan. Pertanyaannya, apa salahnya jika Ketua Pengadilan dibantu oleh sebuah teknologi yang memudahkan dia untuk melaksanakan tugasnya? Sistem otomatisasi ini juga bisa membantu Ketua Pengadilan mendistribusikan perkara kepada Majelis-Majelis Hakim sesuai beban kerja terakhir.
  1. Tidak efektifnya pengawasan internal Mahkamah Agung
  • Meskipun MA telah meluncurkan aplikasi SIWAS yang dinyatakan mampu menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat secara online, secara besar-besaran pada September 2016; kenyataannya aplikasi ini jauh dari efektif sebagaimana telah dicoba oleh Koalisi dalam beberapa kesempatan.
  • Proses penanganan pengaduan yang dilakukan oleh Badan Pengawasan MA juga masih tidak transparan dan belum mampu menghadirkan penyelesaian tuntas yang diharapkan Pelapor.
  • Dari kedua fakta tersebut, Koalisi berkesimpulan sistem pengawasan internal MA masih belum memadai dan efektif mendukung pengadilan yang kompeten dan professional.
  • Meskipun metode komunikasi publik yang dilakukan Komisi Yudisial juga kerap tidak tepat, Koalisi berharap kedua lembaga bersedia untuk membangun komunikasi yang lebih baik dan harmonis untuk menyeimbangkan keterbatasan kapasitas Badan Pengawasan dalam melaksanakan fungsi pengawasan internal. Peluang ini sangat besar mengingat tahun ini Komisi Yudisial juga akan mengalami pergantian komposisi Komisioner.
  1. Reformasi hanya fokus pada kelembagaan, bukan kepada hakim atau fungsi pengadilan yang utama
  • Koalisi mencermati bahwa reformasi dan kebijakan yang diambil Mahkamah Agung seringkali masih bersifat “Merdeka Utara-sentris”, yang belum menempatkan prioritas kebutuhan jabatan hakim atau pelaksanaan fungsi pengadilan pada skala prioritas yang seharusnya.
  • Misalnya saja, meskipun hingga saat ini Mahkamah Agung belum mampu menyatakan memadai/tidak memadainya kondisi rumah-rumah dan kendaraan dinas jabatan hakim, atau kecukupan fasilitas mobil dinas pengadilan-pengadilan, Mahkamah Agung sanggup membangun Tower Megah 12 lantai dan menyelenggarakan peluncuran laporan tahunan yang megah dan besar-besaran setiap tahun.
  • Di sisi lain, pengadilan juga sempat dibebani program akreditasi yang ternyata tidak dianggarkan dalam DIPA pengadilan masing-masing. Akibatnya, pengadilan dan hakim-hakim di daerah harus memutar otak agar bisa mengikuti program yang dicanangkan oleh Dirjen di Jakarta.
  • Jika begini situasinya, apa bedanya sistem satu atap Mahkamah Agung dengan sistem dua atap era Kementerian Kehakiman bagi Hakim dan pengadilan-pengadilan di tingkat bawah?
  1. Ketidakseriusan Mahkamah Agung menjalankan peran dalam mekanisme check and balances antar lembaga peradilan
  • Koalisi mencermati, khususnya dalam penanganan perkara pidana, bahwa Hakim dan pengadilan cenderung menjalankan mekanisme check and balances dalam proses peradilan seperlunya saja. Padahal, peran Hakim/Pengadilan (tingkat pertama sampai dengan kasasi) sangat penting untuk memastikan prinsip-prinsip fair trial terpenuhi dalam setiap persidangan perkara yang ditanganinya.
  • Ketidakseriusan ini antara lain terlihat dari keengganan Hakim untuk mengkritisi status penahanan yang ditetapkan sebelumnya oleh JPU atas Terdakwa. Hakim umumnya akan meneruskan masa penahanan terhadap Terdakwa yang sudah ditetapkan JPU tanpa mengkritisi alasan penahanan yang dilakukan sebelumnya. Atau, tidak pernah adanya upaya hakim/MA menetapkan indikator pemidanaan untuk mencegah disparitas akibat semata-mata mengikuti tuntutan JPU. Tidak heran jika saat ini sistem peradilan pidana di Indonesia bisa dikatakan hampir gagal disebabkan masalah over kapasitas yang sangat ekstrim.

Berdasarkan jabaran di atas, Koalisi meminta para Hakim Agung yang akan memilih Ketua MA yang baru untuk memilih sosok dengan kriteria sebagai berikut:

  1. Berintegritas yang patut menjadi suri tauladan bagi seluruh warga pengadilan. Yang ditunjukkan dengan gaya hidup dan profil kekayaan yang sesuai dengan sumber penghasilan dan norma-norma jabatan Hakim.
  2. Tidak dibebani “catatan masa lalu” yang mampu menindaklanjuti hasil pemeriksaan atau pelanggaran etik Hakim dan pegawai pengadilan dengan tegas.
  3. Mampu mengenali dan menempatkan kebutuhan jabatan hakim dan fungsi pelayanan publik/penanganan perkara di pengadilan adalah prioritas utama dalam proses pembaruan peradilan.
  4. Terbuka dan bersedia membangun hubungan baik dengan lembaga negara lain, terutama Komisi Yudisial, untuk saling melengkapi dalam upaya mewujudkan peradilan yang independen dan kompeten bagi rakyat Indonesia.
  5. Mampu memproyeksikan fungsi Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi dan pembentuk kesatuan hukum secara operasional dan institusional lewat kebijakan-kebijakan dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung.
  6. Menaruh perhatian atas perlindungan hak-hak kelompok rentan dalam proses peradilan, yaitu perempuan, anak, penyandang disabilitas dan masyarakat miskin.
  7. Berwibawa yang tidak ragu menggunakan kewenangan yang diberikan undang-undang sebagai penyeimbang sekaligus pelindung hak-hak warga negara, termasuk ketika harus berhadapan dengan lembaga negara lainnya.

 

Koalisi Pemantau Peradilan

YLBHI, LeIP, IJRS, ICJR, LBH Jakarta, PBHI, ELSAM, KontraS, ICW,

LBH Masyarakat, PSHK, ICEL, LBH Apik Jakarta, PILNET Indonesia.

[1] Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2019, hal. 263-264.