Sulitnya Percaya Laki-Laki Bisa Jadi Korban: Fenomena Kekerasan Seksual terhadap Laki-Laki beserta Dampak dan Respon Lingkungan Sekitar

Penulis : Luki Rudianto
Reviewer : Arsa Ilmi Budiarti

Trigger Warning [TW] Sexual Assault/Kekerasan Seksual: Tulisan ini membahas tentang isu kekerasan seksual terhadap laki-laki. Isi dalam tulisan berisi pengalaman kolektif dan merupakan kisah nyata yang dialami para informan yang sudah disetujui untuk diceritakan ulang dengan identitas yang disamarkan. Tulisan ini mungkin dapat menimbulkan dan memicu rasa tidak nyaman atau trauma bagi pembaca. Apabila Anda membutuhkan bantuan dan mengalami dampak dari tulisan ini dapat menghubungi kami.

Kasus kekerasan seksual memang bukanlah isu baru dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan data dari Simfoni PPA Tahun 2022, Kekerasan seksual menjadi jenis kekerasan tertinggi dibanding dengan jenis kekerasan lainnya yang dialami oleh korban dengan jumlah sebanyak 11.016 kasus. Namun, apakah kita pernah membayangkan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi kepada laki-laki? Hasil penelitian IJRS menunjukkan bahwa 1 dari 3 laki-laki setidaknya pernah mengalami satu kali kekerasan seksual semasa hidupnya. Peneliti magang kami, Luki Rudianto, mencoba menangkap fenomena kekerasan terhadap laki-laki yang betul adanya terjadi di sekitar kita.

Bayu, 22 tahun (nama & usia samaran) menceritakan pengalamannya tumbuh sebagai anak tertutup akibat peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya pada saat usia sekolah. Bayu yang merupakan seorang anak laki-laki yang semasa di Sekolah Dasar mendapatkan kekerasan seksual berupa perkosaan. Kejadian ini dilakukan oleh teman laki-laki Bayu yang yang pada saat itu sudah memasuki usia pubertas dan memaksa Bayu untuk melakukan hubungan seksual demi melampiaskan nafsu. Kejadian tersebut terjadi secara berulang hingga 3-4 kali, melalui cara yang berbeda dan bahkan disertai dengan ancaman dari pelaku. Tidak hanya itu, Bayu juga mendapatkan kekerasan serupa dari sesama laki-laki yang dulunya pernah menjadi korban kekerasan seksual dari pelaku yang sama. Setelah mendapati peristiwa tersebut, Bayu tidak melaporkan kejadian yang dialami dikarenakan ketika ia menceritakan kejadiannya kepada orang tuanya, mereka menganggap cerita Bayu hanya omong kosong.

Tidak jauh berbeda, kejadian kekerasan seksual serupa juga dialami oleh Anton, 20 tahun (nama & usia samaran). Pada saat Anton berusia 7 tahun, ia mendapatkan pelecehan seksual dari teman dan juga orang yang tidak dikenalnya. Pelaku melakukan pelecehan dengan menyentuh bagian-bagian tubuh Anton di mana hal ini tidak terjadi hanya sekali. Selain itu, beberapa kali Anton juga menerima kekerasan seksual secara verbal, yaitu candaan yang menghina tentang seksualitas Anton dan menggoda Anton ketika ia sedang berjalan. Hal tersebut dilakukan oleh segerombolan teman pelaku kepada Andre. Kejadian tersebut memberikan trauma yang cukup mendalam sehingga menyebabkan tumbuh menjadi sosok yang penakut dan cenderung menghindar apabila berpapasan dengan segerombolan laki-laki. Sama halnya dengan Bayu, Anton juga tidak melaporkan kejadian tersebut dikarenakan dirinya pada saat itu masih kecil dan kurang paham terkait tindakan kekerasan seksual. Setelah dirinya menyadari bahwa itu merupakan bentuk kekerasan seksual, ia juga takut melaporkannya dikarenakan takut tidak dipercaya.

Kedua cerita tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengalaman kekerasan seksual yang dialami oleh laki-laki dan pada dasarnya sering juga kita dengar terjadi pada korban-korban berjenis kelamin perempuan. Kisah-kisah ini membuktikan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi kepada siapa saja terlepas dari jenis kelamin maupun gender yang dimilikinya. Pengalaman kekerasan seksual kepada laki-laki menjadi fenomena yang kerap dianggap tidak mungkin terjadi karena laki-laki merupakan sosok yang maskulin sehingga akan menjadi sulit dipercaya bahwa kejadian berupa kekerasan seksual dapat terjadi kepadanya.

Toxic masculinity pada laki-laki

Berbagai kecenderungan yang serupa pada perkara kekerasan seksual terhadap perempuan, juga muncul kepada laki-laki yang menjadi korban dari kekerasan seksual. Beberapa di antaranya yaitu jarang dilaporkannya kasus ke pihak Kepolisian maupun orang terdekat, sulit ditemukannya tempat perlindungan, hingga ketidakmampuan korban dalam melawan ketika kekerasan seksual terjadi kepadanya. Bahkan ditemukan bahwa hal-hal tersebut lebih sulit untuk dilakukan oleh laki-laki sebagai korban karena adanya faktor stereotipe maskulinitas yang masih diberikan masyarakat kepada laki-laki. Hal ini kerap dipahami sebagai istilah toxic masculinity yaitu tekanan budaya bagi laki-laki untuk berperilaku sesuai dengan standar yang berlebihan dengan cara tertentu.

Maksud dari istilah ini adalah, laki-laki dalam berkehidupan harus mengikuti aturan masyarakat yang menciptakan konstruksi sosial di mana laki-laki harus bersikap gagah, tidak penakut, kuat, tidak boleh menangis, bisa berkelahi, dsb. Hal tersebut menjadi toxic apabila bersifat kaku di mana terdapat harapan atau ekspektasi dari masyarakat untuk laki-laki tidak bersikap di luar yang dikonstruksikan–meskipun ini dapat merugikan bagi laki-laki tersebut di kondisi tertentu.

Contoh stereotipe maskulinitas

Seringkali masyarakat berpikir bahwa, “Kenapa kamu sebagai laki-laki nggak melawan? Kan laki-laki kuat dan punya power, seharusnya bisa dong melawan ketika mendapatkan kekerasan seksual?”.

Perlu kita pahami bahwa, ketika mendapatkan kekerasan seksual, korban kekerasan seksual baik itu laki-laki maupun perempuan hanya dapat terdiam dan tidak tahu harus melakukan apa. Kondisi tersebut diartikan sebagai sikap kekakuan atau tiba-tiba lumpuh (freeze) yang muncul ketika merespon ancaman yang datang. Jadi, pada saat korban menghadapi ancaman atau ketakutan, yang kemungkinan muncul adalah sikap freeze, flight, dan fight. Kondisi tersebut juga dialami oleh korban kekerasan seksual laki-laki lainnya yaitu Musa, 20 tahun dan Roy, 23 tahun (nama & usia samaran) yang menyatakan bahwa:

“Saat itu saya nggak bisa ngelawan, saya nggak sadar itu udah masuk ke bentuk kekerasan seksual. Jadi saya cuma diam ngefreeze, nggak tahu mau ngapain saya juga nggak bisa ngomong ke teman saya karena dia adalah yang dituakan, jadi saya juga takut”

“Semakin hal tersebut (re: tindak kekerasan seksual) dilakukan, semakin aku risih terus akhirnya pelan-pelan tak (re: aku) tolak dan lawan begitu: sudah pak jangan pak, sungkan aku, gitu….”

Hal lain yang ditemukan dapat mempengaruhi hal ini adalah bahwa para korban mengalami kejadian kekerasan seksual yang dialami ketika berusia dini. Sehingga, mereka belum memahami konteks kekerasan seksual secara mendalam.

Contoh stereotipe maskulinitas lainnya ialah male grooming, di mana masyarakat menganggap bahwa laki laki maskulin tidak perlu untuk melakukan perawatan karena hal tersebut identik dengan perempuan. Hal ini menimbulkan sebuah stereotipe bahwa hanya perempuan yang bisa melakukan perawatan dikarenakan mereka memiliki sifat feminim, sedangkan laki laki yang memiliki sifat maskulin tidak terlalu membutuhkan jenis perawatan.

Selain itu, anggapan laki-laki sebagai makhluk agresif secara seksual menjadikan hal tersebut alasan bahwa laki-laki tidak dapat menjadi korban kekerasan seksual dan dituding menjadi menikmati keuntungannya. Berbagai tuntutan tersebut membuat laki-laki enggan untuk membicarakan apa yang terjadi pada dirinya secara terbuka.

Dampak kekerasan seksual kepada laki-laki

Apakah ketika kekerasan seksual terjadi kepada laki-laki maka dampak yang sama dengan perempuan? Jawabannya ialah iya. Dampak yang dialami juga berupa dampak psikis maupun fisik. Dampak psikis yang ditemukan dialami mulai dari depresi, kecemasan, suasana perasaan yang berubah, bahkan sampai ada keinginan untuk bunuh diri. Laki-laki yang mendapatkan kekerasan seksual sedari kecil akan tumbuh menjadi sosok yang pendiam dan tertutup. Hal ini dikarenakan adanya rasa trauma dan ketakutan yang dirasakan oleh penyintas sehingga mereka cenderung menghindar dari kehidupan sosial. Hal ini seperti disampaikan oleh korban bahwa:

“Saya cenderung takut untuk berteman membangun relasi dengan anak laki-laki karena yang saya rasakan pelaku itu adalah laki-laki juga dan itu membuat saya tidak nyaman ketika berteman dan berinteraksi dengan laki-laki.”

Dampak psikis lainnya yang dirasakan oleh korban adalah takut untuk membangun relasi dengan laki-laki. Hal ini dikarenakan dirinya takut kejadian tersebut terulang kembali dan lebih baik menghindar daripada harus merasakan hal yang sama. Secara emosional, kondisi psikologis diri menjadi berubah-ubah di mana emosi sulit untuk dikendalikan dan bahkan tak jarang menjadi depresi, hingga menyalahkan dirinya sendiri atas peristiwa yang dialami karena malu dan merasa tidak cukup kuat untuk melawannya. Bahkan, akibat peristiwa tersebut korban perlu beberapa kali ke psikolog untuk dapat berdamai dengan dirinya sendiri

“(Untuk) nafas itu jadi sempit, tangan tremor gitu, dan kadang juga sakit kepala yang cukup sakit banget gitu. Ditambah keluarga juga banyak yang nolak terus tekanan depresi segala macem, ya almost 2 tahun lah aku struggle dan nenangin diri untuk berdamai gitu.”

Terlebih lagi apabila laki-laki mengalami kekerasan seksual dari laki-laki, stigma bahwa korban adalah homoseksual atau penyuka sesama jenis dapat menimbulkan dampak negatif tersendiri bagi korban.

Selain itu, dampak lainnya ialah mereka sebagai laki-laki yang dinilai merupakan seseorang yang dapat diandalkan dan digambarkan menjadi sosok kepala keluarga, ketika mereka mendapatkan kekerasan seksual dirinya dicap sebagai seorang yang tidak dapat diandalkan karena tidak bisa melawan peristiwa yang dialaminya. Kalimat seperti “halah, lu aja kemarin dilecehin ga bisa ngelawan, apalagi harus ngurus masalah ini, yang ada malah gabecus” juga beberapa kali terdengar oleh korban dari lingkungan sekitarnya, sehingga ia menjadi pribadi yang terus menerus menyalahkan dirinya sendiri.

Respon masyarakat dan keluarga atas kekerasan seksual terhadap laki-laki

Kekerasan seksual terhadap laki-laki masih dianggap hal yang belum awam terjadi sehingga tidak jarang, pengakuan para korban justru direspon oleh masyarakat sebagai bahan candaan, ditertawakan, disepelekan, tidak dianggap, bahkan sampai pada tahap mereka dinilai mengambil keuntungan dalam kesempitan. Fakta tersebut dapat terlihat dari komentar masyarakat di media sosial ketika ada peristiwa kekerasan seksual terhadap laki-laki.

 

Sumber: Tiktok.com/dalam berbagai unggahan

Alih-alih mendapatkan dukungan dari masyarakat, korban malah mendapatkan respon sebaliknya yang membuat mereka takut untuk melaporkan kejadian tersebut. Padahal seharusnya secara bersama-sama kita dapat membantu mereka dalam mendapatkan keadilan dan mendukung korban agar bisa melewati masa traumanya. Tak jarang, dari pihak berwajib yang seharusnya membantu proses laporan tersebut malah kembali mempertanyakan maskulinitas korban.

Tidak jauh berbeda dari respon masyarakat, respon dari keluarga sebagai orang terdekat korban juga kerap negatif di mana mereka seringkali tidak mempercayai korban. Padahal ketika seseorang mendapatkan kejadian yang tidak diinginkan, keluarga menjadi salah satu support system yang seharusnya dapat diandalkan. Akan tetapi hal tersebut tidak dirasakan oleh kebanyakan korban laki-laki, dikarenakan keluarga mereka tidak mempercayainya bahwa kejadian kekerasan seksual dapat dialami oleh laki-laki.

Seperti yang dialami oleh Bayu yang ketika bercerita kepada anggota keluarganya, mereka menggap bahwa hal tersebut hanya omong kosong dan tidak mungkin terjadi. Hal tersebut berdampak kepada Bayu yang menjadi tidak berani untuk melaporkan peristiwa yang dialaminya sehingga ia masih sering mendapatkan kekerasan seksual. Selain itu, keluarga juga seringkali terlambat menyadari dan mengetahui bahwa anak laki-laki mereka menjadi korban dari adanya kekerasan seksual akibat kurang terbukanya komunikasi antar masing-masing anggota keluarga.

Kebutuhan perlindungan dan pemulihan kepada korban laki-laki

Sama halnya dengan perempuan, laki-laki korban kekerasan seksual juga memiliki kebutuhan terkait dengan perlindungan atau pemulihan. Dikarenakan kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki jarang terungkap, kebutuhan yang dirasa paling penting ialah dukungan kepercayaan dan empati dari lingkungan sekitar peristiwa yang dialami oleh korban.

“Pertama yang penting adalah empati, empati dan percaya dulu kepada korban gitu. Bahwa banyak orang yang bahkan orang yang terdekat sendiri mungkin enggak percaya dan juga enggak punya empati gitu. Jadi menurut saya penting kenapa kita untuk berempati terhadap apa yang korban katakan karena ketika korban menceritakan ke orang terdekat, ke teman atau orang tua, itu tandanya korban mempercayai kalau mereka itu adalah pihak-pihak yang aman untuk diberitahukan soal peristiwa itu.” (Anton, 20 Tahun)

Kebutuhan lainnya ialah pendampingan kepada korban agar peristiwa tersebut ketika dilaporkan kepada lembaga tertentu, korban tidak merasa dirugikan. Maksudnya ialah ketakutan-ketakutan yang dialami oleh korban ketika melapor adalah takut identitas mereka sebagai korban terungkap ke publik dan pihak yang dilaporkan tidak menindaklanjuti kasus yang dilaporkan. Maka dari itu diperlukan pendampingan untuk membantu dalam proses penanganan kasus tersebut. Terlebih ketika korban merupakan laki-laki, demi memperoleh perlindungan yang semestinya, juga diperlukan adanya upaya dan dukungan dari lingkungan sekitarnya karena masih kentalnya stereotip maskulinitas yang ada.

Implementasi UU TPKS perlu lebih sensitif terhadap korban laki-laki

Salah satu alasan mengapa laki-laki tidak melapor peristiwa yang dialaminya ialah karena adanya keraguan terkait dengan hukum yang berlaku. Kebingungan yang timbul terkait harus melaporkan kepada siapa, proses seperti apa yang dijalani, bentuk perlindungan seperti apa yang dapat dimintakan, dan sebagainya. Kabar baiknya, saat ini perlindungan hukum tersebut telah dibuat dan disahkan melalui UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 12 April 2022 lalu.

Sebelum adanya UU TPKS, pengaturan di Indonesia mengenai tindak pidana pemerkosaan telah tertera dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, di dalam pasal 285 KUHP hanya memberikan interpretasi yang sempit mengenai korban sebab hanya menyebutkan wanita sebagai objek dari hukum kasus pemerkosaan. Oleh sebab itu, perlindungan yang diberikan terhadap laki-laki sebagai korban pemerkosaan hanya ditegaskan dalam pasal 289 KUHP hingga Pasal 296 KUHP yang lebih menafsirkan korban secara umum tanpa membeda-bedakan gender mereka. Namun saat ini, kebingungan tersebut sudah terjawab dalam UU TPKS yang tidak membatasi korban dengan gender apa yang dapat diberi perlindungan dan jaminan penanganan yang berperspektif korban.

Meskipun, pada penerapannya saat ini prinsip no viral no justice masih kerap dijadikan prinsip penanganan kejahatan di Indonesia. Kondisi ini masih akan cukup menyulitkan bagi korban kekerasan seksual laki-laki yang dengan adanya stereotip maskulinitas seperti yang dijelaskan di atas, akan semakin enggan untuk melapor dan menyuarakan kejadian kekerasan seksual yang dialaminya ke publik–dalam hal ini media sosial. Oleh karenanya, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah sejauh mana jaminan perlindungan (dalam UU TPKS) terhadap korban laki-laki ini dapat diterapkan ketika mereka melapor? Sudahkan kapasitas aparat kita memadai untuk merespon kekerasan seksual terhadap laki-laki? Serta lembaga apa yang bertanggungjawab memastikan hal tersebut?

(2023)

Apabila Anda mengalami atau melihat terjadinya kekerasan seksual dapat melapor ke:

  • KemenPPA melalui Hotline SAPA 129 atau WhatsApp ke 08211-129-129
  • Komnas Perempuan melalui email dan media sosial @komnasperempuan atau melalui mitra penyedia layanan yang dapat dilihat dan dicatat kontaknya https://komnasperempuan.go.id/mitra-komnas-perempuan/pengada-layanan
  • Komnas HAM melalui WhatsApp ke 0811-1129-129
  • LPSK melalui call center di nomor 148 atau WhatsApp 0857-7001-0048
  • LBH APIK Jakarta melalui Hotline 0813-8882-2669

Keterangan Saksi: Sejauh Mana Dapat Diandalkan?

Gita Nadia Pramesa, S.Psi

Dua bulan terakhir, publik tak lepas dari sorotan media terhadap sidang kasus yang menewaskan Brigadir J. Jalannya sidang mengundang berbagai reaksi di masyarakat, terutama saat pemeriksaan salah satu saksi, yaitu S, yang merupakan ART dari terpidana FS. Dalam beberapa pertanyaan yang digulirkan oleh majelis Hakim, Saksi S sulit untuk mengingat detail waktu, antara lain bulan dan tahun terkait kepindahan rumah dinas FS, tampak bingung menjelaskan runutan detil kejadian di Magelang yang disebut sebagai hari terjadinya pelecehan seksual, juga mengubah keterangan yang sebelumnya ada dalam Berita Acara Pemeriksaan Perkara (BAP). Di persidangan yang lain, Saksi D, ART lainnya,juga tidak ingat siapa saja yang hadir di Tempat Kejadian Perkara (TKP) setelah terjadinya tembakan, tidak ingat siapa yang memberi instruksi agar ia membersihkan darah korban, serta keliru dalam mengurutkan jam demi jam di hari terjadinya peristiwa tembakan yang menewaskan korban.

Respon-respon saksi dalam kasus di atas sebenarnya menjadi salah satu contoh dari banyaknya fenomena serupa dari saksi tindak pidana ketika diminta mengingat detil peristiwa yang diketahuinya. Aparat Penegak Hukum (APH) seringkali meminta saksi mengingat secara detil peristiwa yang terjadi, mulai dari tanggal, jam, lokasi, siapa yang terlibat, urutan kejadian, gerak-gerik pelaku, pakaian pelaku, pakaian korban, dan informasi detil lainnya (khususnya pada saksi yang berada langsungdi TKP). Hal ini dapat dipahami, mengingat pentingnya kedudukan keterangan saksi sebagai alat bukti dalam hukum acara pidana. Keterangan yang diberikan Saksi kerap diharapkan dapat membantu Hakim guna mendapatkan keyakinan tentang tindak pidana yang terjadi. Namun, proses penggalian informasi ini selalu menjadi momok tersendiri bagi APH maupun saksi itu sendiri. Kebingungan atau kesulitan saksi dalam mengingat atau menjawab pertanyaan terkait detil peristiwa, sering memunculkan anggapan bahwa keterangan saksi tidak dapat diandalkan. Lebih jauh, saksi dianggap berbohong karena kesulitan menjawab pertanyaan, mengubah keterangan, bahkan memunculkan keterangan baru dalam persidangan.

Selama empat puluh tahun terakhir, ilmu psikologi melakukan berbagai penelitian terkait ingatan saksi. Hal ini kemudian memunculkan berbagai temuan mengenai cara kerja ingatan manusia dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Perlu kita sadari, saksi yang memberikan keterangan baik di tahap penyidikan dan pemeriksaan di persidangan (terutama yang berkaitan langsung dengan kejadian pidana) adalah individu yang telah melalui banyak hal sejak terjadinya peristiwa tindak pidana. Jika APH berharap bahwa saksi akan datang memberikan keterangan dengan lengkap, runut, dan detil, maka ini adalah anggapan yang keliru. Sebab, umumnya ingatan manusia hanya menangkap sebagian kecil informasi dari seluruh peristiwa yang sebenarnya terjadi. Apa yang diingat bergantung dari apa yang menjadi fokus atau perhatian saksi saat peristiwa tersebut. Sehingga, sangat perlu disadari bahwa sistem ingatan manusia bukanlah sistem yang bekerja seperti alat perekam yang dapat merekam kejadian dengan jelas, lalu diputar kembali dengan urutan yang detil dan akurat.

Ingatan manusia terkait suatu peristiwa terbentuk melalui proses yang kompleks mulai dari informasi tersebut masuk ke dalam ingatan, disimpan, hingga informasi itu dipanggil kembali saat dibutuhkan. Selama proses tersebut, ada begitu banyak faktor baik fisik maupun psikologis yang dapat mempengaruhi ingatan saksi terhadap peristiwa yang terjadi. Contohnya, seberapa jauh jarak saksi dari pelaku, apakah saksi memiliki waktu yang cukup untuk memperhatikan pelaku (ciri-ciri fisik, pakaian yang digunakan, gerak gerik), faktor penerangan di TKP, apakah pelaku melakukan penyamaran (seperti mengunakan penutup kepala atau wajah, menggunakan kacamata, mengganti gaya rambut). Hal-hal bersifat fisik seperti ini sangat besar pengaruhnya dalam menyulitkan saksi mengingat wajah pelaku.

Dari sisi psikologis, apakah saksi mengalami stres, kecemasan, dan rasa takut akibat peristiwa tersebut? Penelitian eksperimental psikologi oleh Valentine & Mesout pada tahun 2008 mengungkapkankemampuan saksi dalam mengenali pelaku penyerangan saat saksi mengalami stress. Penelitian tersebut menemukan bahwa, saksi dengan tingkat kecemasan tinggi erat kaitannya dengan kesalahan dalam menggambarkan ciri-ciri pelaku, menjelaskan detil peristiwa, dan berujung pada kesalahan menunjuk pelaku (memilih siapa pelaku penyerangan saat beberapa orang dibariskan). Hal ini diperdalam jika sebuah peristiwa pidana melibatkan senjata. Peristiwa yang melibatkan senjata dapat menimbulkan fenomena weapon focus effect, yaitu saat saksi mengalami stress yang tinggi akibat kehadiran senjata. Sehingga, ia hanya fokus pada senjata yang menyerang, yang berdampak pada terabaikannya detil kejadian penting lainnya (seperti karakteristik wajah, ciri-ciri pakaian pelaku, dsb).

Informasi yang diterima seseorang kemudian akan disimpan dalam sistem ingatannya hingga nanti dipanggil kembali jika diperlukan. Semakin lama masa simpan informasi dalam sistem ingatan, maka semakin memudar pula ingatan tersebut dipengaruhi waktu dan kontaminasi informasi. Dalam hal waktu simpan, Valentine,dkk melakukan penelitian pada tahun 2003 di London menemukan bahwa saksi mengalami penurunan peforma yang besar dalam mengenali pelaku apabila pemeriksaan dilakukan melebihi satu minggu sejak peristiwa terjadi. Jika kita lihat dari contoh kasus kesaksian ART di atas di atas, terdapat jeda selama kurang lebih empat bulan sejak terjadinya peristiwa hingga saksi diperiksa di persidangan (dua bulan dari peristiwa sampai penyidikan dan dua bulan juga dari penyidikan ke persidangan). Selama masa tersebut secara alami saksi akan mengalami penurunan ingatan terkait peristiwa. Selama masa itu juga sangat besar kemungkinan saksi mengalami kontaminasi informasi pasca kejadian. Kontaminasi informasi ini terjadi melalui interaksi sesama saksi dan apabila saksi membaca pemberitaan peristiwa tersebut di media. Informasi-informasi baru tersebut dapat mempengaruhi ingatan saksi yang tidak jarang menyebabkan saksi malah menghasilkan ingatan baru sebab tanpa sadar ia melebur ingatan aslinya dengan informasi baru yang diterima. Tidak heran jika saksi kerap kali bingung saat ditanya oleh APH mengenai peristiwa empat bulan sebelum persidangan tersebut.

Proses menggali kembali ingatan saksi melalui wawancara yang dilakukan APH menjadi proses yang krusial. Sebab, bagaimana proses wawancara berjalan akan berpengaruh pada keterangan saksi yang dihasilkan. Penelitian eksperimental psikologi yang dilakukan oleh Pansky,dkk pada tahun 2005 memuat temuan bahwa semakin lama masa simpan informasi, semakin menurun jumlah detil informasi yang dapat saksi berikan mengenai pelaku dan peristiwa tersebut, namun tidak mengurangi akurasi informasi selama diwawancara dengan metode yang efektif. Oleh sebab itu, diperlukan serangkaian prosedur yang dilakukan untuk memaksimalkan kualitas dan kuantitas keterangan saksi. Apakah prosedur wawancara sudah dilakukan dengan tepat, dalam arti bukan hanya sekedar sesuai prosedur yang berlaku namun apakah prosedur itu sendiri merupakan prosedur yang dapat secara efektif menggali informasi dari saksi. Apakah pemilihan kalimat dalam wawancara, teknik pendekatan, dan kemampuan komunikasi APH baik di tingkat penyidikan dan pemeriksaan di persidangan itu sendiri sudah mendukung untuk menggali informasi secara efektif. Jika melakukan pendekatan yang disertai tekanan, apakah langkah itu akan menghasilkan informasi yang lebih banyak atau justru mengurangi jumlah dan ketepatan informasi yang diberikan saksi disebabkan faktor stress yang dialami.

Keterangan yang saksi berikan dalam persidangan sesungguhnya tidak lepas dari keseluruhan prosedur yang berjalan sejak awal penyidikan. Tak jarang pula saksi memberikan keterangan yang kontradiktif dengan keterangan sebelumnya atau bahkan kemudian melaporkan hal yang belum pernah disebutkan dalam wawancara sebelumnya.  Kontradiksi dan kemunculan suatu informasi baru seringkali dianggap sebagai informasi yang tidak dapat diandalkan kebenarannya. Penelitian eksperimental psikologi yang dilakukan oleh Fisher,dkk pada tahun 2009 menemukan bahwa kontradiksi informasi merupakan tanda ketidakakuratan saksi sebatas topik yang dibahas secara spesifik. Ketidakakuratan itu tidak serta merta menjadikan keterangan saksi salah secara keseluruhan. Adapun saksi yang secara tiba-tiba memunculkan informasi baru, hal ini berhubungan dengan metode wawancara yang dilakukan. Faktor ragam teknik pendekatan APH, bahkan kalimat yang ditanyakan dimungkinkan memicu ingatan saksi yang belum muncul sebelumnya. Sebagaimana kontradiksi, kemunculan informasi baru ini bukan menjadi tanda tidak dapat diandalkannya keseluruhan keterangan saksi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terbatasnya keterangan saksi mengenai peristiwa tindak pidana yang terjadi sangat dipengaruhi faktor fisik dan psikologis yang ada saat peristiwa tersebut. Sehingga, saksi tidak dapat memperhatikan dan mengingat banyak hal mengenai peristiwa yang terjadi. Keterbatasan jumlah informasi masih dapat dimaksimalkan selama APH melakukan wawancara saksi dengan metode yang efektif untuk memunculkan ingatan saksi mengenai peristiwa tersebut. Adapun permasalahan detil peristiwa merupakan hal yang secara alami sulit diingat saksi, sehingga APH membutuhkan berbagai metode pendekatan untuk memancing ingatan saksi mengenai hal tersebut. Ketika saksi keliru dalam memberikan keterangan (salah menyebutkan detil waktu, ciri fisik pelaku, dll), mengubah keterangannya, memberikan keterangan yang kontradiktif, atau memunculkan informasi baru yang belum pernah disebutkan sebelumnya, tidak serta merta saksi bisa dianggap melakukan kebohongan. Perilaku ini dapat muncul akibat ingatan yang sudah memudar, kontaminasi informasi baik melalui interaksi dengan saksi lainnya dan membaca pemberitaan media, serta metode wawancara yang digunakan oleh APH.

Sifat ingatan manusia yang mudah dibentuk atau terpengaruh merupakan hal yang berjalan di luar kendali APH. Sehingga yang perlu difokuskan adalah bagaimana memaksimalkan jalannya prosedur yang ada di bawah kendali APH.

Ke depannya, perlu didorong akan adanya berbagai terobosan bagi APH ketika melakukan pemeriksaan terhadap saksi, khususnya untuk mendorong pemeriksaan saksi yang didukung dengan pendekatan multi-disiplin dan mempertimbangkan faktor non-legal. Karena, pemeriksaan saksi merupakan proses yang krusial dalam menggali kebenaran materiil. Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan untuk dilakukan oleh para pemangku kepentingan, di antaranya:

  1. Melakukan evaluasi terhadap prosedur pemeriksaan saksi yang dilakukan selama ini apakah sudah sesuai dengan prosedur dan keilmuan terbaru, evaluasi ini juga dilakukan untuk menilai apakah proses penggalian informasi sudah dilakukan dengan efektif;
  2. Mengoptimalkan prosedur dan metode pemeriksaan untuk memaksimalkan kualitas dan kuantitas keterangan saksi, dengan pertimbangan terhadap masa simpan informasi pada saksi yang akan berpengaruh terhadap detail informasi yang disimpan , termasuk juga untuk mempersiapkan alternatif alat bukti, dalam hal terdapat potensi hilang atau kaburnya informasi yang dimiliki saksi;
  3. Melakukan peningkatan kapasitas bagi APH yang dapat mempertajam kompetensi APH dalam melakukan pemeriksaan yang efektif dan efisien terhadap saksi dalam perkara, serta agar APH memahami faktor – faktor khusus mengenai kondisi psikologis saksi dan dampaknya terhadap terjadinya tindak pidana. Misalnya, mengenai kemungkinan terjadinya kontaminasi pasca informasi, memperdalam bagaimana teknik dalam penggalian seperti cara pemilihan kalimat, teknik pendekatan dan kemampuan komunikasi; dan
  4. Mendorong kerjasama – kerjasama dengan ahli-ahli psikologi forensik, psikiatri dan kriminologi dalam memaksimalkan metode penggalian keterangan saksi demi terciptanya keadilan, baik kerjasama dalam proses pemeriksaan sebagai ahli maupun dalam menyusun kurikulum peningkatan kapasitas bagi APH.

Pentingnya Penerapan Social business Model Canvas dalam Merancang Inovasi Sosial di Bidang Hukum

Oleh: Siska Trisia (Peneliti IJRS)

Hingga saat ini, akses masyarakat terhadap keadilan masih terbilang sulit. Hal tersebut sesuai dengan hasil pengukuran pemerintah terkait akses keadilan di masyarakat (indeks) tahun 2019 lalu. Meskipun Indonesia memiliki skor cukup baik yakni 69,6[1] dari maksimum 100, ternyata masih banyak hal yang perlu diperbaiki. Salah satunya terkait akses akan layanan hukum seperti bantuan hukum dari pengacara.

Pandemi COVID-19 semakin mempersulit kondisi ini, mengingat ruang gerak masyarakat yang terbatas, akses keadilan pun semakin sulit dijangkau.

Berkaitan dengan kondisi tersebut, Kehadiran inovasi teknologi yang berbentuk situs cukup penting dan merupakan sebuah kebutuhan.  khususnya ketika banyak masyarakat sulit mendapat bantuan hukum lantaran persebaran Lembaga penyedia layanan bantuan hukum di Indonesia tidak merata.

Berbagai inovasi atau situs-situs di bidang hukum sudah digagas oleh banyak pihak, tidak hanya pemerintah dan swasta melainkan juga dilakukan oleh organisasi nirlaba seperti Non-Government Organization (NGO) yang bergerak di bidang hukum.

Contohnya indekshukum.org[2] milik Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (Leip), Korupedia.org[3] milik Transparansi Internasional Indonesia (TI), Pantau Peradilan milik Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) dan eprobono.org[4] yang dikembangkan oleh Indonesia Judicial Research Society (IJRS).

Namun demikian, dari sisi kelembagaan NGO di tingkat nasional dan provinsi masih sangat bergantung pada donor internasional untuk pendanaan[5]. Mengingat kondisi tersebut, maka sebuah upaya tentu diperlukan untuk menanggulanginya. Salah satunya dengan mendorong penggunaan metode Design Thinking dan Social Busines Model Canvas sejak proses perencanaan kerja kerja NGO.

Design thinking merupakan metode penyelesaian masalah yang berakar pada kebutuhan pengguna. Dalam menciptakan inovasi hukum cara berpikir tersebut sering luput sehingga teknologi yang awalnya dibentuk untuk masyarakat menjadi tidak berdaya guna lantaran dibentuk hanya dengan pandangan pembuat.

Terdapat 5 tahapan yang harus dilalui dalam membuat sebuah situs dengan metode design thinking.

Yang pertama adalah discover atau menggali permasalahan masyarakat dengan wawancara mendalam, sintesis atau mendata kemungkinan solusi atas permasalahan. Selanjutnya adalah ideate atau memetakan dampak yang mungkin ditimbulkan solusi (baik positif atau negatif), prototype dan execute atau tahap pelaksanaan ide.

Dalam menjalankan proses design thinking di atas diperkenalkan alat bantu berupa Social Busines Model Canvas.

Social Business Model Canvas

Business Model Canvas[6] adalah satu metode perencanaan bisnis yang diperkenalkan oleh pengusaha asal Swiss, Alexander Osterwalder untuk memudahkan pelaku bisnis dalam memahami dan mengkomunikasikan bisnis perusahaannya kepada orang lain dalam rangka menciptakan peluang bisnis itu sendiri.

Metode ini kemudian diadaptasi oleh penggiat sosial menjadi Social Business Model Canvas yang sudah banyak digunakan NGO di berbagai negara[7].

Tanpa harus membuat proposal kegiatan yang panjang, canvas ini akan memudahkan mereka dalam menggambarkan ide untuk mengatasi permasalahan sosial yang terjadi seiring dengan memetakan sumber pendanaan penunjang.

Karena merupakan bagian dari proses perencanaan, dalam mengisi canvas ini terdapat beberapa informasi utama yang harus ditetapkan secara matang.

Seperti siapa saja penerima manfaat, nilai apa yang akan ditawarkan, solusi kongkret atas permasalahan yang dihadapi, pemetaan aktor pendukung dan pemangku kebijakan yang bisa dilibatkan, aktivitas utama yang akan diselenggarakan, komponen anggaran yang menjadi modal kegiatan dan terakhir pemetaan potensi pemasukan.

Secara keseluruhan, jika semua tahapan design thinking sudah dilakukan dengan baik, maka dapat dipastikan segala inovasi sosial yang kemudian dihadirkan akan lebih efisien, menciptakan berbagai kolaborasi antar stakeholder dan menghindari pekerja sosial dari kehilangan pasarnya.

Dikarenakan NGO bekerja tidak hanya mengejar keuntungan semata (profit oriented), namun juga berfokus pada penyelesaian masalah-masalah sosial. Maka Segala bentuk keuntungan dipergunakan untuk keberlangsungan program dan operasional[8].

Hal ini merupakan salah satu solusi dari permasalahan kemandirian pendanaan NGO termasuk dalam merawat situs-situs sebagai bagian inovasi yang diluncurkan.

Kehadiran beberapa situs-situs hukum yang dijelaskan sebelumnya perlu diapresiasi. Namun, tidak semua situs hukum bisa bertahan seperti beberapa contoh di atas. Berbagai faktor menjadi penyebabnya[9], mulai dari tidak matangnya perencanaan dari situs yang diluncurkan, nilai kemanfaatan minim, kurangnya kebaharuan hingga lemahnya sistem pendanaan yang dimiliki oleh penggagas kembali menjadi penyebab matinya situs yang diluncurkan.

Memang belum ada contoh sukses penggunaan metode ini di Indonesia. Namun di luar negeri, praktik baik penggunaan metode design thinking dalam kegiatan sosial ini dapat dilihat dari apa yang sudah dijalankan oleh Maria stopez (sebuah penyedia layanan sosial dibidang kontrasepsi dan KB) di Zambia[10].

Dengan metode design thinking dan Bersama IDEO.org[11], Maria menyelenggarakan program peningkatan kesadaran remaja melalui Diva Centres (ruang yang di dekor sedemikian rupa dan menyediakan layanan perawatan seperti di salon) yang di dalamnya disediakan mentor sebagai pendengar atas pendapat mereka mengenai lelaki dan seks.

Program tersebut berhasil meningkatkan pemahaman para remaja dan mendorong mereka untuk berani membuat keputusan tentang masa depan mereka.

Penggunaan design thinking, khususnya SBM canvas dalam proyek sosial oleh NGO atau komunitas masyarakat lainnya sudah diterapkan di 80 negara[12]. Materinya juga telah diajarkan pula di beberapa kampus seperti Oxford, Georgetown dan Stanford University.

Bagaimana metode ini bisa diterapkan di Indonesia?

Kedepannya, jika metode ini digunakan di Indonesia dan dikembangkan secara terus menerus, maka cita-cita pekerja sosial mandiri seperti NGO dalam menjalankan situsnya akan dapat terwujud. Hal tersebut tentu berdampak pula pada suksesnya pembaharuan hukum Indonesia.

Sederhananya metode design thinking dan penggunaan SBM canvas ini bisa dipraktikkan sejak organisasi sosial atau NGO menyelenggarakan rencana strategi yang biasa dilakukan setiap awal tahun.

Dengan demikian, jauh sebelum implementasi kegiatan NGO sudah dapat memetakan secara matang apa saja yang akan dilakukan, dengan siapa mereka bisa bekerja sama serta pemasukan apa yang bisa dimanfaatkan sebagai alternatif pendanaan lembaga agar tetap bertahan meskipun berada dalam kondisi yang sulit.

[1] (https://www.liputan6.com/global/read/4131728/bappenas-luncurkan-indeks-terhadap-keadilan-dalam-inlu-2019)

[2] (http://indekshukum.org/)

[3] (http://korupedia.org/)

[4] (https://eprobono.org/home)

[5] (https://theconversation.com/lsm-indonesia-sekarang-bisa-akses-dana-pemerintah-untuk-pelayanan-masyarakat-102047)

[6] (https://www.academia.edu/29318887/Business_Model_Canvas_Kanvas_Model_Bisnis2004)

[7] (https://socialenterpriseinstitute.co/wp-content/uploads/2018/12/Social-Business-Model-Canvas.pdf).

[8] (https://kumparan.com/temali/perbedaan-business-model-canvas-dengan-social-business-model-canvas-1s16B3InTAw/full)

[9] (https://ssir.org/articles/entry/an_operating_model_to_make_social_innovation_stick)

[10] (https://namati.org/resources/design-for-legal-empowerment/)

[11] https://www.ideo.org/

[12] (https://namati.org/resources/design-for-legal-empowerment/)