Sabtu 15 Maret 2025, Komisi I DPR RI menggelar rapat pembahasan revisi UU No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pembahasan RUU ini dilakukan secara diam-diam hingga malam hari di Hotel Fairmont dan berakhir dengan “penggerudukan” yang dilakukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Reformasi Sektor Keamanan.(1) Penggerudukan tersebut merupakan wujud kritik atas pembahasan UU yang jauh dari partisipasi publik, terlebih revisi UU TNI memuat materi kontroversial.
Rapat Panja pembahasan RUU yang seharusnya dilakukan secara terbuka justru digelar secara tertutup dan tidak melibatkan elemen masyarakat sipil. Bahkan, terdapat sejumlah kendaraan taktis milik Kopassus yang dikerahkan untuk mengawal rapat ini.(2) Dari sisi waktu, pelaksanaan rapat di akhir pekan (hari Sabtu dan Minggu) yang berlangsung hingga malam hari, menimbulkan pertanyaan mengenai urgensi perubahan UU TNI serta pembahasannya yang dilakukan secara tertutup dan terburu-buru. Revisi UU TNI bahkan awalnya tidak masuk dalam daftar program legislasi nasional. Pemerintah baru menyusulkan usul pembaharuan UU ini melalui Surat Presiden yang kemudian mendapat persetujuan rapat paripurna DPR pada 18 Februari 2025.
Menyikapi peristiwa ini, Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam gerakan Open Government Partnership Indonesia (CSO OGP Indonesia) mendesak DPR dan Pemerintah untuk segera menghentikan pembahasan RUU TNI yang tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Hal ini didasarkan pada beberapa argumentasi sebagai berikut:
Pertama, Pembahasan RUU TNI Dilakukan secara Tertutup dan Tanpa Partisipasi Bermakna Masyarakat
Pembahasan regulasi yang tertutup bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang terbuka atau open government. CSO OGP Indonesia menyayangkan hal ini mengingat Indonesia merupakan anggota dan salah satu pendiri Open Government Partnership (OGP). OGP adalah kemitraan global dimana setiap negara anggota berkomitmen untuk melembagakan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat sipil melalui ko-kreasi untuk mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang partisipatif, transparan, akuntabel, dan inklusif. Secara prinsip, transparansi dan partisipasi merupakan core value dari OGP. Dengan demikian, proses penyusunan kebijakan publik maupun perumusan peraturan perundang-undangan, harus melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna, serta secara substansi mampu menjawab kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Penyusunan peraturan perundang-undangan, transparansi dan partisipasi masyarakat yang bermakna telah diatur dalam UU 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU-XVIII/2020. Putusan ini merupakan salah satu putusan penting (landmark decision) karena untuk pertama kalinya MK mengabulkan (sebagian) permohonan dalam pengujian formil UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. MK menyatakan UU ini bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna dalam pembentukannya. Lebih lanjut, MK menyebutkan 3 (tiga) prasyarat partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) dalam pembentukan peraturan perundang-undang yaitu hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Oleh karena itu, pembahasan RUU TNI yang tidak mendengarkan pendapat publik, tidak mempertimbangkan pendapat publik, dan tanpa penjelasan kepada publik merupakan pelanggaran atas prasyarat partisipasi masyarakat yang bermakna serta pembangkangan terhadap konstitusi UUD 1945.
Partisipasi masyarakat yang bermakna dalam pembentukan UU, sebagaimana diamanatkan UU 13/2022, meliputi tahapan perancangan hingga pembahasan antara DPR dan pemerintah, termasuk akses informasi dan masukan lisan/tertulis. Hal ini sejalan dengan asas keterbukaan dalam UU No. 30/2024 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Namun, pembahasan RUU TNI yang tertutup, terburu-buru, tanpa akses publik terhadap draft dan tanpa partisipasi masyarakat sipil, menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tersebut.
Kedua, Pembahasan RUU TNI Merupakan Wujud Tokenisme dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad dalam wawancara media pada 17 Maret 2025 menyebutkan bahwa agenda pembahasan RUU TNI telah melewati proses konsinyering atau pembahasan intensif yang merupakan bagian dari prosedur yang telah diatur dalam mekanisme legislasi.(3) Padahal, pembahasannya dikebut oleh pemerintah dan DPR dalam waktu yang sangat singkat, tertutup, dan tanpa partisipasi masyarakat yang bermakna, hal mana yang juga tampak dalam banyak pembentukan peraturan perundang- undangan yang belakangan terjadi (misalnya revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, revisi UU BUMN, hingga revisi UU TNI). Penyusunan naskah akademik, proses konsinyering, dan forum-forum publik dilakukan hanya sebatas pemenuhan prosedur legislasi semata. Kondisi ini dikenal dengan tokenisme, yaitu partisipasi hanya dilakukan secara simbolis dengan menempatkan sejumlah kecil orang – yang bahkan tidak mewakili kepentingan yang diakibatkan oleh suatu kebijakan/regulasi yang disusun. Seperti yang dikhawatirkan publik, output dari pembahasan UU yang tidak terbuka tersebut tak lain yaitu materi UU yang juga bermasalah.
Ketiga, Materi Muatan Perubahan RUU TNI Mengancam Supremasi Sipil dan Menghidupkan Kembali Dwifungsi ABRI
Dalam draft RUU TNI yang beredar di masyarakat, ditemukan sejumlah materi muatan yang apabila diberlakukan akan mengancam supremasi sipil dan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI. Salah satu rumusan pasal yang sangat signifikan adalah terkait pengisian jabatan publik oleh prajurit aktif TNI. Berdasarkan Pasal 47 UU TNI, prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Adapun terdapat 10 Kementerian/Lembaga (K/L) yang dapat diduduki oleh prajurit aktif diantaranya kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Akan tetapi, ketentuan ini diubah dalam RUU TNI dengan menyebutkan bahwa “Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung, serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden.” Draft versi yang lain menyebutkan bahwa pemerintah dan DPR sepakat untuk menambah 6 K/L lainnya yang bisa dijabat oleh prajurit TNI aktif, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, BNPB, BNPT, Badan Keamanan Laut, Kejaksaan Agung, dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).(4)
Penempatan prajurit aktif TNI dalam jabatan-jabatan publik K/L sebagaimana disebutkan dalam RUU TNI ini tentu mengancam supremasi sipil dan menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI yang telah dihapuskan sebagai bagian dari agenda reformasi 1998. Bahkan, Panglima TNI, Agus Subiyanto dalam wawancara pada 6 Juni 2024 menyebutkan bahwa, TNI saat ini bukan lagi menjalankan dwifungsi ABRI melainkan multifungsi ABRI. Pernyataan ini semakin menegaskan sikap dan tujuan pemerintah dalam menghidupkan keberadaan TNI dalam ruang-ruang sipil. Selanjutnya, frase “yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden” sebagaimana dirumuskan dalam perubahan Pasal 47 RUU TNI, menjadi dasar bagi Presiden untuk memberikan diskresi pengisian jabatan sipil oleh prajurit aktif TNI. Dengan demikian, Presiden dapat memerintahkan prajurit TNI aktif untuk mengisi jabatan sipil apapun sesuai keinginan, diskresi, atau kebijakannya sendiri.
Penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil menimbulkan sejumlah dampak negatif yang signifikan terhadap demokrasi dan ruang sipil, diantaranya:
- Pelemahan supremasi sipil dan kembalinya dwifungsi ABRI
Penempatan TNI dalam jabatan sipil akan menghidupkan kembali konsep “dwifungsi ABRI” yang dominan pada era Orde Baru, dimana militer memiliki peran ganda dalam urusan pertahanan dan sipil. Hal ini berpotensi melemahkan supremasi sipil dan mengembalikan dominasi militer dalam kehidupan publik, yang bertentangan dengan semangat reformasi dan demokrasi.
- Pelemahan profesionalisme TNI
Penempatan TNI di luar fungsinya sebagai alat pertahanan bukan hanya salah, tetapi akan memperlemah profesionalisme TNI itu sendiri. Profesionalisme TNI dapat terwujud jika penempatan TNI difokuskan sebagai alat pertahanan negara, bukan dalam jabatan sipil yang sangat jauh dari kompetensinya.
- Gangguan terhadap meritokrasi
Penempatan prajurit TNI dalam jabatan sipil dapat mengganggu sistem meritokrasi dalam birokrasi sipil. Hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan bagi aparatur sipil negara yang telah mengikuti jalur karier sesuai dengan kompetensi dan kualifikasi yang ditetapkan. Selain itu, profesionalisme TNI juga dapat terpengaruh karena prajurit yang seharusnya fokus pada tugas pertahanan negara dialihkan ke tugas-tugas sipil.
- Dualisme loyalitas dan konflik kepentingan
Penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil dapat menimbulkan dualisme loyalitas, dimana mereka harus bertanggungjawab kepada atasan sipil dan militer secara bersamaan. Situasi ini dapat menyebabkan konflik kepentingan dan mengaburkan garis komando, yang pada akhirnya dapat mengganggu efektivitas pemerintahan dan tata kelola yang baik.
- Penyempitan ruang sipil dan ancaman terhadap demokrasi
Dominasi militer dalam jabatan sipil dapat menyempitkan ruang sipil dan mengancam prinsip-prinsip demokrasi. Keterlibatan militer dalam urusan sipil dapat mengurangi partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan melemahkan kontrol sipil atas militer, yang esensial dalam sistem demokrasi.
Selain ketentuan terkait pengisian jabatan sipil oleh prajurit aktif TNI, terdapat sejumlah rumusan pasal lain yang berpotensi mengancam supremasi sipil dan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI diantaranya ketentuan terkait penambahan batas usia pensiun prajurit, penambahan kewenangan melakukan operasi non-perang, dan yurisdiksi hukum prajurit TNI yang tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum.
Berdasarkan penjelasan sebagaimana diuraikan sebelumnya, CSO OGP Indonesia mendesak agar DPR dan pemerintah segera melakukan hal-hal sebagai berikut:
- Menghentikan proses pembahasan RUU TNI dan berbagai RUU lainnya yang dilakukan secara tidak transparan dan tidak partisipatif. Preseden buruk pembahasan peraturan perundang-undangan secara tertutup dan terburu-buru tidak sejalan dengan prinsip- prinsip pemerintahan terbuka (transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan inklusi), tidak sejalan dengan asas umum pemerintahan yang baik, serta menghilangkan kepercayaan publik (public trust).
- Menghentikan segala upaya untuk menghidupkan kembali dwifungsi ABRI atau mendudukan TNI pada jabatan-jabatan sipil; dan
- Menghentikan tindakan represif atau intimidatif, serta meminta aparat penegak hukum untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat sipil yang peduli terhadap pembahasan RUU TN
Daftar CSO OGP Indonesia:
- Indonesia Judicial Research Society (IJRS)
- International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)
- Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
- Indonesia Corruption Watch (ICW)
- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
- Transparency International (TI) Indonesia
- Wahana Visi Indonesia (WVI)
- Publish What You Pay (PWYP Indonesia)
Narahubung:
Gregorius Yoseph Laba (IJRS) – gregoriusyoseph@ijrs.or.id
Rinto Leonardo Siahaan (INFID) – rinto@infid.org
Dzatmiati Sari (TII) – dsari@ti.or.id
Almas Sjafrina (ICW) – almas@antikorupsi.org
-
- Detik News, diakses melalui https://newdetik.com/berita/d-/koalisi-sipil-geruduk-ruang-rapat-panja-ruu-tni-di-hotel-jakpus
- CNN Indonesia, diakses melalui https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250316123946-20-1209386/rantis-koopsus-kawal-rapat-ruu-di-hotel-fairmont-tni-buka-suara
- Aid, diakses melalui https://www.alinea.id/peristiwa/revisi-uu-tni-proses-terbuka-dan-sesuai-mekanisme-b2nkz9RrO
- Kompas, diakses melalui https://www.komcom/tren/read/2025/03/16/133000365/16-kementerian-dan-lembaga-ini-bisa-diduduki-prajurit-aktif-menurut-revisi