Latar Belakang
Pada 20 Agustus 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 [1] (selanjutnya disebut Putusan MK 60), di mana putusan ini mengubah persyaratan pendaftaran pasangan calon (paslon) pilkada dengan: 1) menghapuskan ambang batas 20% jumlah kursi DPRD; dan 2) mengubah ambang batas akumulasi perolehan suara sah di wilayah setempat dari 25% menjadi hanya 10%, 8.5%, 7.5%, dan 6.5% (tergantung jumlah penduduk di wilayah setempat). Putusan MK 60 ini disebut-sebut membuka ruang bagi salah satu partai politik untuk dapat mencalonkan Gubernur di kompetisi pilkada tanpa perlu berkoalisi dengan partai lain.
Tidak hanya itu, di hari yang sama, dikeluarkan juga Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 [2] (selanjutnya disebut Putusan MK 70), di mana menegaskan bahwa syarat menjadi calon Gubernur/Wakil Gubernur minimal berusia 30 (tiga puluh) tahun adalah pada saat dia ditetapkan sebagai calon, bukan saat pelantikan. Putusan MK 70 ini diduga menutup peluang salah satu aktor untuk berkompetisi di pilkada. Namun, sikap Mahkamah Konstitusi pada putusan tersebut bertolak belakang dari putusan sebelumnya, yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024, yang menyatakan bahwa persyaratan usia 30 (tiga puluh) tahun adalah pada saat paslon yang terpilih dilantik.
Pada 21 Agustus 2024, DPR berinisiatif untuk menyepakati isi RUU Pilkada (revisi) yang bertentangan dengan isi Putusan MK di atas dalam waktu kurang dari 24 (dua puluh empat) jam. Hal yang didorong oleh DPR yakni pertama, tetap mempertahankan ambang batas 20% kursi DPRD atau 25% suara sah bagi partai yang memiliki kursi di DPRD. Sedangkan, untuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD, baru mengacu pada syarat yang diputuskan dalam Putusan MK 60 di atas. Kedua, terkait syarat usia calon kepala daerah, DPR mendorong juga untuk patuh pada Putusan MA, bukan pada Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024, di mana syarat calon Gubernur/Wakil Gubernur adalah berusia minimal 30 tahun pada dihitung pada saat dilantik.
Pentingnya Kepatuhan dan Kepastian Hukum dalam Penyelenggaraan Pemilu
Terkait dengan Putusan MK di atas, putusan pengadilan dalam hal ini Putusan MK 60 maupun Putusan MK 70 harus ditaati sebagaimana adanya [3]. Terlebih lagi karena negara Indonesia adalah negara hukum [4], di mana salah satu karakteristik dari negara hukum adalah patuh pada putusan pengadilan. Bahwa apabila putusan pengadilan tidak dipatuhi, maka kedaulatan hukum secara perlahan akan terdegradasi. Ketidakpatuhan kepada putusan pengadilan juga akan membuat pengadilan menjadi tidak bermakna dan berperkara di pengadilan menjadi sia-sia.
Namun, negara hukum bukan hanya soal patuh pada putusan pengadilan. Negara hukum juga berbicara tentang kepastian hukum (legal certainty). Dalam hal ini kami memandang kepastian hukum adalah elemen yang juga sangat penting di dalam negara hukum dan perlu mendapatkan perhatian lebih. Melalui berbagai pengamatan, ditunjukkan bahwa sejak pemilu di awal tahun 2024 lalu, telah diwarnai dengan begitu banyak perubahan ‘aturan main’ (rules of the game) dalam penyelenggaraannya. Beberapa contoh perubahan ‘aturan main’ tersebut, dapat dilihat dari perubahan syarat minimal usia calon ketika mendaftar dan syarat ambang batas kursi atau perolehan suara partai politik pengusung calon. Perubahan ‘aturan main’ pemilu [5] yang terjadi pada waktu yang dekat dengan saat pemungutan suara tentu tidak sesuai dengan pemenuhan asas kepastian hukum dalam hal penyelenggaraan pemilu. Terlebih lagi, ditemui catatan juga bahwa perubahan ‘aturan main’ melalui perubahan peraturan perundang-undangan tentang penyelenggaraan pemilu kerap dilakukan dengan cepat dan terlihat terburu-buru. Dalam hal ini, jaminan terhadap prinsip pembentukan peraturan undang-undang yang demokratis menjadi sulit dipastikan pemenuhannya. Bahwa pemilu sebagai sarana demokrasi sudah seharusnya menekankan prinsip partisipasi, akuntabilitas, dan transparansi, yang sudah dimulai sejak pembentukan ‘aturan main’ pemilu itu sendiri.
Adanya ketidakpastian hukum juga dapat berdampak pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap proses hukum itu sendiri. Misalnya, berdasarkan hasil Survei Kebutuhan Hukum terhadap Kelompok Rentan tahun 2022, ditunjukkan bahwa 63.6% masyarakat kelompok rentan lebih memilih untuk tidak menyelesaikan permasalahan hukumnya karena takut permasalahan menjadi semakin rumit dan tidak memperoleh hasil yang diharapkan.[6] Bahkan, terdapat pula persepsi negatif dari 59.1% masyarakat kelompok rentan bahwa jika masalah hukum masuk ke dalam ranah hukum akan memperburuk kondisi yang ada.[7]
Jika dianalogikan, perubahan ‘aturan main’ ini menyebabkan seseorang yang sejak awal sudah berniat berkompetisi di pemilu, sudah mempersiapkan segala halnya jauh-jauh hari, dan sudah mengeluarkan begitu banyak biaya dan waktu, tiba-tiba dapat batal ‘tanding’ (hanya) karena ada perubahan ‘aturan main’ yang menganulir pencalonannya. Begitu pula seseorang yang semestinya belum memenuhi persyaratan pemilu, tiba-tiba dapat memenuhi syarat ‘tanding’ yang tentunya secara tidak langsung akan merugikan kompetitor yang lain. Hal ini dapat berdampak kepada orang menjadi semakin enggan untuk terjun dan berpartisipasi ke dalam politik, karena tidak ada aturan kompetisi dan hukum yang pasti. Padahal, sebagaimana tradisi pemilu yang demokratis menurut Adam Przeworski (1991) adalah pemilu dengan predictable procedures but unpredictable results. Adapun berhubungan dengan hal ini, salah satu hal yang barangkali dapat diperhatikan kedepannya adalah perlu ada semacam masa iddah atau masa jeda perubahan ‘aturan main’ pemilu, di mana apabila perubahan terjadi di dalam masa tersebut, maka perubahannya baru akan diberlakukan pada kontestasi pemilu berikutnya. Dengan demikian, kepastian hukum dan ‘aturan main’ pemilu akan jauh lebih terjaga.
Pentingnya Memikirkan Ulang Fungsi & Kewenangan MK sebagai Pembuat Norma Baru
Ketidakpastian hukum juga tidak bisa dilepaskan dari ketidakpastian peran MK sebagai negative legislator atau positive legislator yang dapat “membuat norma sendiri”. Misalnya, pada Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, MK “membuat norma sendiri” terkait bukti permulaan pada perkara pidana berjumlah minimal 2 (dua) alat bukti (positive legislator). Sedangkan, pada Putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017, MK membatalkan norma batas usia 16 (enam belas) tahun untuk perkawinan bagi perempuan [8], namun mengembalikan kepada pembuat undang-undang untuk menentukan batas usia perkawinan yang ideal (negative legislator). Perbedaan pendapat terkait peran MK ini juga tidak jarang terjadi di antara kalangan hakim konstitusi. Misalnya, pada Putusan MK 60 di atas, terdapat concurring opinion dari hakim konstitusi Daniel Yusmic, yang menyatakan MK sebenarnya tidak berwenang “membuat norma sendiri” terkait berapa syarat ambang batas untuk pencalonan kepala daerah.
Undang-undang tentang MK (selanjutnya disebut UU MK) pada perubahan pertamanya pernah meluruskan ketidakpastian ini dengan menyatakan bahwa MK hanya berwenang sebagai negative legislator.[9] Permasalahannya, melalui perubahan ketiga UU MK, aturan yang menjelaskan kewenangan MK ini justru dihapus.[10] Pertanyaan kritisnya adalah, apabila MK (kembali) berperan sebagai positive legislator yang dapat “membuat norma sendiri,” lalu siapa yang berwenang menguji norma yang dibuat oleh MK tersebut? Kemudian, untuk apa undang-undang memerintahkan kepada Pemerintah dan DPR untuk menindaklanjuti putusan MK, [11] apabila MK sendiri juga berwenang membuat norma?
Ketidakpastian kewenangan MK sebagai negative legislator atau positive legislator ini telah menjadi perdebatan yang berulang khususnya di tahun pemilu. Tidak jarang oknum-oknum tertentu memanfaatkan celah ketidakpastian kewenangan MK ini untuk mengambil langkah yang sekadar untuk menguntungkan dirinya. Misalnya, ketika MK ‘membuat norma baru’ yang menguntungkan, maka putusan tersebut akan diapresiasi. Sebaliknya, ketika MK ‘membuat norma baru’ yang merugikan, maka putusan tersebut akan menerima kritikan dengan alasan bahwa MK telah melampaui kewenangannya. Perlu dipahami, bahwa ketidakpastian ini secara tidak langsung juga dapat berpotensi melanggar hak-hak politik masyarakat Indonesia secara luas, sebagaimana telah dijelaskan di bagian sebelumnya.
Catatan IJRS terhadap Kondisi Terkini
Berdasarkan dengan hal di atas, kami dari IJRS mendorong agar:
- Seluruh pihak untuk senantiasa mematuhi putusan pengadilan, dalam konteks ini adalah Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024;
- Perumus undang-undang untuk segera menyusun dan menetapkan kebijakan ‘aturan main’ kontestasi pemilu yang jelas/tidak multitafsir, berkepastian hukum, dan stabil/tidak mudah berubah-ubah. Hal ini penting untuk memastikan pemenuhan prinsip-prinsip negara demokratis tetap dijamin dalam penyelenggaraan pemilu yang berlangsung di Indonesia;
- Perumus undang-undang perlu segera mengkaji dan menetapkan batas dan ruang lingkup kewenangan MK dalam menguji undang-undang;
- Segala pembentukan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya dilaksanakan sesuai dengan perencanaan yang baik, dengan melibatkan partisipasi publik, dan dilakukan secara transparan serta akuntabel;
- Aparat negara menghargai dan menghormati kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, sebagai wujud partisipasi warga negara terhadap proses kebijakan.
Narahubung:
Matheus N. / siagian.matheus@ijrs.or.id
Salisa A. / salisa.azzahro@ijrs.or.id
Aditya W. / aditya@ijrs.or.id
IJRS / +62 821-2500-8141 (WA Only) / office@ijrs.or.id
Website: https://ijrs.or.id/ / Instagram: @ijrs_official
Untuk mengunduh catatan diatas, silahkan klik link berikut ini
- JR Ps. 40 ayat (1) UU Pilkada 10/2016
- JR Ps. 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada 10/2016
- 10 ayat (1) UU MK 8/2011 juncto Ps. 10 UU PPP 12/2011
- 1 ayat (3) UUD 1945
- Baik itu melalui putusan pengadilan, melalui perubahan peraturan internal lembaga penyelenggara pemilu, melalui perubahan undang-undang, dsb.
- Arsa Ilmi Budiarti, et. al., Survei Kebutuhan Hukum untuk Kelompok Rentan di Indonesia Tahun 2022, (Jakarta: IJRS, 2023), hlm. 170
- , hlm. 225
- JR Ps. 7 UU Perkawinan 1/1974
- 57 ayat (2a) UU MK 8/2011
- 57 ayat (2a) dicabut melalui UU MK 7/2020
- 10 UU PPP 12/2011. Pada penjelasan Ps. 10 ayat (2) UU PPP 12/2011, disebutkan bahwa tindak lanjut atas putusan MK dilakukan untuk mencegah adanya kekosongan hukum sebagai konsekuensi atas putusan MK. Artinya, desain awal MK sebenarnya memang terbatas untuk menjadi negative legislator yang tidak dapat membuat norma sendiri. Sebab apabila MK sudah dapat membuat norma sendiri, untuk apa lagi ditindaklanjuti?