Search

Rilis Pers

52% Perempuan Masih Enggan Melaporkan Permasalahan Hukumnya, Pemberdayaan Hukum jadi Alternatif Solusi!

Indeks Akses terhadap Keadilan 2019 menemukan bahwa 46 persen masyarakat yang mengalami permasalahan diskriminasi dan kekerasan berbasis gender memutuskan untuk tidak melakukan apapun terhadap masalah yang dialaminya. Selain itu, dalam hal pilihan penyelesaian permasalahan, mayoritas perempuan atau sebanyak 52% responden cenderung enggan untuk melakukan tindakan apapun jika mengalami permasalahan hukum. Padahal, perempuan adalah pihak yang paling sering mengalami permasalahan yang berkaitan dengan keluarga dan anak (misalnya, perceraian), jaminan/bantuan sosial dan permasalahan administrasi/kependudukan.

Beberapa temuan permasalahan tersebut menjadi salah satu latar belakang pentingnya suatu pemberdayaan hukum (legal empowerment). Pemberdayaan Hukum adalah segala tindakan yang meningkatkan kapasitas individu maupun komunitas untuk mengetahui dan menggunakan hak-haknya, khususnya melalui pengetahuan akan hukum. Peran pemberdayaan hukum ini menjadi sentral bagi akses terhadap keadilan khususnya bagi kelompok rentan seperti perempuan. Perempuan diharapkan tidak hanya mampu untuk memahami layanan dan proses hukum yang tersedia, namun juga untuk mengidentifikasi dan mampu menyelesaikan permasalahan hukum yang mereka hadapi berdasarkan hukum yang berlaku.

Berdasarkan hal tersebut, Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dengan dukungan Alternative Law Groups (ALG), suatu lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Filipina, telah melakukan penelitian dan webinar penelitian terkait “Peran Pemberdayaan Hukum oleh Komunitas dalam Memperkuat Akses Keadilan untuk Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH) di Indonesia: Studi di Jakarta dan Yogyakarta”. Diseminasi hasil penelitian dilaksanakan pada Senin, 20 November 2023 pukul 13.00 – 16.30 WIB secara online melalui Zoom Webinar dan Siaran langsung via Youtube di bit.ly/LivestreamYoutube-WebinarPemberdayaanHukum.

Pada sesi talk show ini, berkaitan dengan upaya pemberdayaan hukum, Warida Syafie (Direktur Eksekutif ICJ Makassar) menyampaikan bahwa terdapat program yang cukup populer di ICJ Makassar, yaitu “Shelter Warga”, yang merupakan pemberdayaan atau organisasi di kelurahan yang berisi dari berbagai orang dari latar belakang berbeda yang mencoba untuk melakukan pemberdayaan hukum terhadap berbagai persoalan yang ada di masyarakat. Demikian pula Nur Aida (Direktur LBH APIK Jayapura) Nuwila juga menyampaikan bahwa LBH APIK Jayapura melakukan program pelibatan laki-laki dan anak laki-laki dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan, termasuk pelatihan terhadap guru sebagai pelopor anti kekerasan, sehingga harapannya anak korban kekerasan seksual juga bisa diterima kembali bersekolah.

Adapun dalam konteks reformasi kebijakan, Bernita Sinurat (Penyuluh Hukum Ahli Muda, BPHN Kemenkumham) menyampaikan bahwa BPHN tidak berfokus pada pemberdayaan dan bantuan hukum terhadap perempuan saja namun masyarakat secara umum, dan saat ini BPHN mengupayakan adanya revisi UU Bantuan Hukum. Demikian pula yang disampaikan Sriwija Yanti (Tokoh Perempuan Akar Rumput & Community Organizer Flower Aceh), bahwa rekan-rekan Flower Aceh juga tengah mengadvokasikan kebijakan pemerintah khususnya Qanun Jinayat yang kurang memberikan rasa keadilan terutama bagi korban kekerasan.

Berdasarkan hasil penelitian termasuk pelaksanaan webinar ini, dapat disimpulkan bahwa kegiatan pemberdayaan hukum berkontribusi dalam mendorong reformasi kebijakan salah satunya melalui penyusunan kebijakan berbasis bukti yang dilakukan organisasi masyarakat sipil melalui riset, pengolahan data, maupun pemantauan dan evaluasi atas kasus-kasus yang ditangani sehingga dapat mengidentifikasi celah hukum dan memberikan rekomendasi kebijakan. Dalam hal ini, OMS peran penting dalam menciptakan ekosistem yang inklusif dan suportif terhadap kebutuhan perempuan berhadapan dengan hukum dari mulai menyediakan informasi, layanan bantuan hukum dan non-hukum (penyediaan konseling, rumah aman, pemulihan, dan lain sebagainya).

Adapun dari hasil penelitian ini, IJRS memberikan poin rekomendasi yang ditujukan khususnya kepada BPHN, Komnas Perempuan, CSO, dan Pemerintah, yaitu sebagai berikut:

BPHN

  1. BPHN perlu melakukan revisi UU Bantuan Hukum untuk mengoptimalkan pemberian jaminan bantuan hukum bagi kelompok rentan serta mengoptimalkan alokasi anggaran bantuan hukum baik litigasi dan non-litigasi;
  2. BPHN perlu mengembangkan metode penentuan target dan materi pemberdayaan hukum melalui metode Legal Need Survey (LNS), sehingga pelaksanaan pemberdayaan hukum bisa lebih efektif, tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
  3. BPHN perlu memberikan tindakan afirmatif (affirmative action) kepada kelompok rentan dalam pemberian penyuluhan hukum karena kelompok rentan merupakan kelompok yang menghadapi hambatan, ketidaksetaraan dan keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak; dan
  4. BPHN perlu melakukan kolaborasi dengan berbagai aktor seperti organisasi bantuan hukum dan organisasi masyarakat sipil lainnya dalam menyelenggarakan pemberdayaan hukum.

Komnas Perempuan

  1. Komnas Perempuan terus konsisten dalam melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala (misalnya 3 tahun sekali) terhadap kebijakan yang terkait dengan isu perempuan dengan tetap melibatkan organisasi masyarakat sipil, universitas, akademisi dan/atau lembaga HAM lainnya; dan
  2. Komnas Perempuan terus konsisten dalam melakukan berbagai kolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil dan tetap membuka ruang advokasi bersama dalam advokasi kebijakan terkait isu-isu keadilan terhadap perempuan.

Pemerintah

  1. Pemerintah perlu melibatkan lebih melibatkan stakeholder terkait termasuk organisasi masyarakat sipil dalam melakukan pembentukan atau perubahan kebijakan agar kebijakan yang disusun tepat sasaran, sesuai tujuan dan sesuai kebutuhan masyarakat; dan
  2. Pemerintah perlu secara berkala melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap implementasi kebijakan yang sudah diterbitkan, sehingga pemerintah dapat mengetahui apakah suatu kebijakan sudah sesuai dengan tujuan dan kebutuhan serta dapat mengukur dampak dan pencapaian dari tujuan kebijakan.

CSO

  1. CSO dapat terus mendorong pemerintah dan institusi penegak hukum untuk terus melakukan peningkatan kapasitas terhadap aparat penegak hukum termasuk hakim, jaksa dan polisi khususnya terkait dengan isu-isu kelompok rentan. Karena kebijakan yang di advokasikan tidak akan berjalan jika tidak ada perubahan paradigma dan perspektif pada APH dan aparatur negara;
  2. CSO dapat terus melibatkan paralegal khususnya dari kelompok muda (misalnya kelompok disabilitas, pemuda adat, orang dengan HIV/AIDS), dalam rangka mendorong partisipasi kelompok muda yang bermakna misalnya dengan pemanfaatan teknologi dan digitalisasi dalam penyediaan informasi dan kegiatan pemberdayaan;
  3. CSO dapat secara konsisten dan kolaboratif dalam melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala (misalnya 3 tahun sekali) dengan melibatkan universitas, akademisi dan/atau lembaga HAM nasional; dan
  4. CSO dapat terus mendorong advokasi kebijakan berbasis bukti melalui peningkatan penelitian yang menerapkan kaidah-kaidah metodologi penelitian yang ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

Jakarta, 14 Desember 2023

Hormat kami,
Indonesia Judicial Research Society (IJRS)
office@ijrs.or.id

Bagikan:

Rilis Pers Lainnya:

Rilis Pers
Kesejahteraan Hakim di Era Transisi Pemerintahan: Gimik atau Sistemik?
Rilis Pers
Rilis Pers Pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keterbukaan Pemerintah Indonesia terkait High-Level Forum on Multi-Stakeholder Partnership/HLF-MSP (Konferensi Tingkat Tinggi Kemitraan Multi-Pemangku Kepentingan) “Memperkuat Kemitraan Multi-Pemangku Kepentingan: Menuju Perubahan Transformatif”