Search

Opini

Bukan Hanya Soal Kekerasan: Memaknai Ketidakberdayaan Dalam Perkosaan

Penulis: Maria I. Tarigan dan Naomi R. Barus

Bulan lalu, seorang anak perempuan (20 tahun) dari seorang tersangka mengaku telah diperkosa oleh kepala Kepolisian Sektor (Polsek) Parigi, Sulawesi Tengah, yang menjanjikan status bebas untuk sang ayah yang tengah ditahan dalam kasus pencurian hewan ternak.

Korban mengaku telah dirayu berkali-kali dan dijanjikan uang oleh si perwira polisi. Setelah setuju bertemu dengan pelaku di sebuah hotel, korban kemudian diperkosa dan diberikan uang.

Ada perdebatan mengenai pasal yang dapat dikenakan terhadap perbuatan pelaku. Banyak yang berpendapat bahwa pelaku dapat dikenakan Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang perkosaan di luar pernikahan dengan memperluas makna kekerasan menjadi tidak sebatas kekerasan fisik namun juga kekerasan psikis.

Di lain sisi, peristiwa ini dapat dianggap memenuhi ketentuan Pasal 284 KUHP terkait perbuatan zina yang dilakukan oleh laki-laki yang sudah menikah. Namun, Pasal 284 akan turut menjerat korban sebagai pihak yang ikut melakukan perzinaan.

Selain kasus di atas, peristiwa serupa juga terjadi di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, pada bulan yang sama. Dalam kasus ini, anggota Polsek Kutalimbaru mencabuli seorang istri dari tersangka narkoba di sebuah hotel setelah pelaku meminta korban untuk bertemu dengan alasan ingin membicarakan kasus suaminya.

Kekerasan seksual: memahami kompetensi dalam persetujuan

Persetujuan (consent) selalu identik dengan keleluasaan seseorang untuk memberikan persetujuan dan kapasitasnya dalam memberikan persetujuan. Keleluasaan seseorang dalam memberikan persetujuan tidak terlepas dari kapasitas orang tersebut dalam memberikan persetujuan.

Dalam konteks kekerasan seksual, hal ini juga berarti bahwa suatu tindakan seksual yang dilakukan tanpa persetujuan adalah kekerasan seksual.

Kendati demikian, dalam beberapa kondisi, persetujuan yang diberikan dengan bebas oleh korban tidak lagi menjadi penting dalam menentukan apakah suatu tindakan termasuk ke dalam kekerasan seksual atau tidak. Kondisi yang dimaksud adalah ketika orang tersebut memang tidak memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuan (non competent consent).

Konsep non competent consent berangkat dari pemahaman bahwa setiap tindakan dari individu harus dilakukan dengan kesadaran penuh, maka pihak yang menyetujui harus mempunyai kompetensi dirinya adalah pihak yang cakap di depan hukum.

Terdapat sejumlah ukuran yang dapat dipergunakan dalam menentukan kapasitas individu untuk memberikan persetujuan.

Sebagian besar negara bagian di Amerika Serikat (AS), mengkategorikan mereka yang masuk ke dalam non competent consent adalah anak-anak (bawah 18 tahun), orang dewasa rentan (berusia di atas 70 tahun), orang yang tidak memiliki kapasitas mental, orang tak berdaya, orang yang tidak sadarkan diri, dan orang dalam keadaan mabuk.

Ketika pihak-pihak di atas melakukan suatu tindakan seksual (seperti persetubuhan), tindakan tersebut sudah termasuk sebagai kekerasan seksual, terlepas dari adanya persetujuan yang diberikan. Persetujuan tidak lagi relevan untuk dipertanyakan dalam kondisi ini.

Maka penting untuk menilik lebih jauh apakah seseorang yang melakukan aktivitas atau tindakan seksual memiliki kapasitas atau kompetensi untuk memberikan persetujuan.

Yang harus dipastikan adalah apakah tindakan atau aktivitas seksual tersebut dilakukan di bawah keadaan-keadaan yang koersif.

Keadaan koersif tidak hanya sebatas pada kekerasan secara fisik, tetapi juga pada kekerasan psikis, maupun bentuk lainnya, antara lain ancaman kekerasan yang menimbulkan ketakutan, rangkaian kebohongan, bujuk rayu, pemerasan, penyalahgunaan kekuasaan atau adanya relasi kuasa, dan intimidasi.

Kekerasan secara psikis tidak selamanya timbul melalui kekerasan atau ancaman kekerasan.

Sangat jelas, bahwa pelaku di Parigi telah menyalahgunakan kekuasaannya atas korban. Ini kerap terjadi pada kasus pelaku memiliki relasi kuasa dengan korban.

Relasi kuasa merupakan hubungan sosial yang tidak setara antara satu pihak dengan pihak lainnya: salah satu pihak memiliki kuasa lebih atas pihak lainnya.

Relasi kuasa menimbulkan ketidakberdayaan korban. Pada umumnya, pelaku akan memanfaatkan kerentanan, kepercayaan, dan ketergantungan korban kepadanya. Oleh karena itu, ketidakberdayaan korban juga menjadi salah satu bentuk dari non competent consent.

Dalam kasus di Parigi, persetujuan yang korban berikan merupakan bentuk keterpaksaan.

Kondisi tidak berdaya terjadi ketika seseorang tidak memiliki kapasitas untuk memahami bahwa hal yang terjadi terhadapnya merupakan tindakan atau aktivitas seksual dan akibatnya korban terpaksa menerima tindakan yang akan diperbuat terhadap dirinya.

Ketidakberdayaan dapat didasari oleh kapasitas mental dan fisik seseorang, kondisi disabilitas, atau atas dasar pengaruh alkohol atau narkotika.

Ukuran ketidakberdayaan bersifat subjektif sebab titik kondisi tidak berdaya setiap orang berbeda-beda dengan penyebab yang berbeda-beda pula.

Ketentuan tentang perkosaan

Di Indonesia, Pasal 285 KUHP tentang pemaksaan hubungan seksual dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan umum digunakan untuk mengatur tindak pidana perkosaan.

Namun, pengaturan tentang kekerasan seksual dalam bentuk persetubuhan tidak hanya terbatas pada Pasal 285 itu.

Terdapat beberapa pengaturan lain yang mengatur tindak pidana persetubuhan dalam KUHP, salah satunya adalah Pasal 286.

“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

Berbeda dengan Pasal 285 yang menekankan pada adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, Pasal 286 mengatur kekerasan seksual sebagai tindakan yang dilakukan pada seorang perempuan yang berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.

Sayangnya, kondisi ketidakberdayaan dalam Pasal 286 selama ini hanya didefinisikan sebatas ketidakberdayaan fisik, yaitu mabuk, pingsan, sakit, atau kondisi lain yang menyebabkan korban tidak dapat mengadakan perlawanan sedikit pun.

Kendati demikian, terbuka kemungkinan Pasal 286 untuk ditafsirkan secara lebih luas daripada kondisi ketidakberdayaan fisik.

Secara luas, ketidakberdayaan (incapacitation) dalam suatu hubungan seksual adalah kondisi seseorang tidak dapat membuat keputusan secara rasional dan masuk akal karena kondisi ketidakberdayaan fisik dan psikistidak sadar atau tidak paham apa yang ia alami adalah suatu hubungan seksual.

Kondisi korban di Parigi bisa termasuk kondisi ketidakberdayaan psikis yang disebabkan adanya kondisi relasi kuasa. Dengan demikian, Pasal 286 dapat digunakan untuk menjerat si perwira polisi.

Peran penting hakim dalam pemaknaan suatu ketentuan

Perluasan makna ketidakberdayaan dalam Pasal 286 merupakan salah satu contoh bentuk penafsiran ekstensif yang dapat dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan.

Penafsiran ekstensif bersifat memperluas makna yang terdapat dalam suatu aturan hukum dengan tetap berpegang pada maksud asli dari aturan hukum.

Penafsiran semacam ini cukup sering digunakan oleh hakim dalam memutus perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuan hukumnya.

Ini sejalan dengan mandat hakim miliki, yakni tidak semata menjadi corong dari undang-undang tapi juga mengadili dan memutus perkara bahkan ketika tidak ada hukum yang mengaturnya — atau kalau pun ada, aturan hukum tersebut masih kurang jelas.

Karena itu juga, hakim diwajibkan untuk menggali dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang (UU) tentang Kekuasaan Kehakiman.

Perluasan makna suatu ketentuan bisa dilakukan hakim, bahkan seharusnya dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam menangani suatu kasus yang belum secara tegas diatur.

Ini demi menjamin keadilan bagi orang-orang seperti para korban kekerasan seksual yang berada di bawah ketidakberdayaan psikis maupun relasi kuasa.

Tidak berhenti di penafsian

Penggunaan penafsiran terhadap ketentuan UU yang ada dapat menjadi solusi sementara untuk menutup kekosongan maupun ketidakjelasan hukum.

Akan tetapi, akar permasalahannya masih ada: aturan hukum yang sudah tertinggal zaman, tidak relevan, dan tidak lagi mampu mengakomodasi permasalahan kekerasan seksual yang ada di Indonesia.

Upaya untuk merumuskan aturan kekerasan seksual yang lebih komprehensif dan akomodatif sedang dilakukan melalui pembahasan rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Pembaruan terhadap hukum pidana juga tengah dilakukan melalui revisi KUHP, termasuk di dalamnya tindak pidana kekerasan seksual seperti perkosaan dan perbuatan cabul. Harapannya, pembaruan pengaturan kekerasan seksual dapat menghadirkan jaminan perlindungan bagi korban-korban kekerasan seksual yang masih belum dilindungi oleh aturan hukum yang ada.

Tulisan ini dimuat dalam media The Conversation : https://theconversation.com/bukan-hanya-soal-kekerasan-memaknai-ketidakberdayaan-dalam-perkosaan-171011

Bagikan:

Opini Lainnya:

COVER_Peradilan
Rapor merah reformasi hukum peradilan pidana Jokowi, PR untuk Prabowo
COVER_Undang-undang atau Peraturan
Disparitas pemidanaan: mengapa pelaku kekerasan seksual bisa mendapat hukuman berbeda-beda untuk kasus serupa?
COVER_Narkotika
Revisiting Indonesia’s New Criminal Code: A Missed Opportunity to End Legal Uncertainty in Drug Policy
COVER_Korupsi
Modus ‘mark up’ laporan kegiatan mahasiswa: bibit dan peluang korupsi di lingkungan kampus