SOP Kekerasan Polisi, Progresif tapi Kenapa Penerapannya Memble?

Oleh Bestha Ashila Inatsan (Peneliti) & Marsha Maharani (Peneliti)

Akhir 2021, Kapolri Jenderal Listyo Sigit berencana meningkatkan status unit pelayanan perempuan dan anak (Unit PPA) menjadi direktorat tersendiri di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Tujuannya untuk memberikan layanan yang lebih baik kepada perempuan dan anak yang mengalami kekerasan. Kapolri juga menyebutkan, direktorat akan diisi oleh polisi wanita (polwan) yang dapat memberikan perlindungan serta memiliki tim pendamping psikologi bagi korban.

Rencana tersebut merupakan salah satu langkah yang ditunggu oleh masyarakat setelah selama beberapa bulan terakhir, kita disuguhi rapor merah aparat dalam menangani kasus kekerasan seksual.

Pada Oktober 2021 misalnya, institusi kepolisian sempat viral karena tagar #PercumaLaporPolisi di media sosial sebagai respons kekecewaan masyarakat terhadap kinerja mereka. Pun, baru-baru ini kasus penyekapan dan perkosaan siswa SMP di Riau yang dilakukan oleh anak anggota DPRD Pekanbaru dihentikan prosesnya oleh kepolisian karena korban dan pelaku berdamai. Sebelumnya pada November 2021, pria 56 tahun memperkosa anak kelas 6 SD hingga hamil. Orang tua korban melaporkan kasus ke Polres Jombang namun polisi menyarankan agar korban tidak menggugurkan kandungannya dan menolak permintaan pihak korban agar dapat mengakses prosedur aborsi yang aman dan legal.

Belum cukup? Berita mengenai perilaku anggota kepolisian mulai menjadi sorotan ketika kasus dugaan pemerkosaan tiga orang anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan dihentikan penyelidikannya.

Benarkah Selangkah Lebih Maju?

Kepolisian memiliki peran yang penting dalam penanganan perkara kekerasan yang dihadapi perempuan dan anak. Apalagi jika kita lihat ke undang-undang polisi bertugas dalam memelihara keamanan, penegakan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, kita juga sudah tahu, kepolisian telah memiliki unit PPA di tingkat Polres dan Polda berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak. Unit ini bertugas untuk memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan.

Kepolisian juga sudah memiliki Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 3 Tahun 2008 tentang pembentukan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban. Dalam memberikan pelayanan terhadap saksi dan korban petugas wajib memberikan jaminan keselamatan, menjaga kerahasiaan, mengajukan pertanyaan yang tidak menghakimi, menyediakan penerjemah, mendengarkan keterangan dengan aktif dan penuh pengertian, serta memberikan informasi mengenai perkembangan perkara.

RPK berada di lingkungan dan menjadi bagian dari ruang kerja UPPA, di mana tugas UPPA diantaranya adalah sebagai penerima laporan/ pengaduan, memberikan konseling, mengirimkan korban ke rumah sakit terdekat, pelaksanaan penyidikan perkara, dan meminta visum, menjamin kerahasiaan korban/ saksi, menjamin keamanan dan keselamatan korban, menyalurkan korban ke Lembaga Bantuan Hukum atau rumah aman, melakukan koordinasi dan kerja sama lintas sektor, serta memberitahu perkembangan kasus kepada pelapor.

Sepintas, aturan di atas tampak sangat progresif, komprehensif, dan berperspektif korban. Apalagi keberadaan peraturan Kapolri ini telah mendahului keberadaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dan Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana. Peraturan Kapolri tersebut sudah berusia 13 tahun, sehingga dapat dikatakan sebenarnya kepolisian selangkah lebih maju apalagi telah memiliki unit khusus untuk penanganan perempuan dan anak.

Tidak cukup sampai di situ, pada 2009 Kepolisian RI juga mengeluarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.

Aturan seperti ini belum ditemukan di institusi penegak hukum lainnya. Selain adanya peraturan internal dilansir dari website BPHN, Kepolisian juga telah melakukan berbagai upaya untuk memaksimalkan pelayanan. Misalnya dengan meningkatkan jumlah UPPA sebanyak 550 unit, membuat modul penanganan anak berhadapan dengan hukum (ABH), merekrut 7000 polwan, dan juga peningkatan kualitas serta kerja sama dengan beberapa instansi seperti P2TP2A, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, termasuk masyarakat sipil.

Salah satu praktik baik di Polres Metro Jakarta Timur juga memiliki fasilitas yang cukup memadai seperti adanya ruang pemeriksaan, ruang konseling, ruang bermain anak, ruang istirahat, ruang pembinaan ABH.

Sayangnya dengan berbagai langkah baik yang telah dilakukan kepolisian, masih banyak perempuan dan anak korban kekerasan yang belum mendapatkan akses keadilan.

Cuma Garang di Atas Kertas

Polisi dianggap sebagai garda terdepan dalam mekanisme pelaporan yang dianggap dapat membantu korban dalam mencari keadilan. Berdasarkan Studi Barometer Kesetaraan Gender yang dilakukan INFID dan IJRS pada 2020, mayoritas masyarakat 43,8 persen akan memilih untuk melaporkan kasus kekerasan seksual ke polisi dan 41,6 persen lainnya ke keluarga. Kepolisian yang merupakan bagian dari aparat penegak hukum merupakan salah satu aktor penting dalam upaya pemberian perlindungan bagi korban dan saksi.

Sayangnya korban masih mengalami berbagai hambatan dalam melaporkan kasus yang dialami. Berdasarkan penelitian yang sama, mayoritas korban (57,2 persen) pada akhirnya tidak melaporkan kasus yang dialami karena takut, malu, merasa bersalah, dan tidak tahu harus melapor kemana.

Selama ini masyarakat enggan untuk melaporkan kasus yang dialami karena masih adanya stigma negatif dan adanya ketidakpercayaan terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam menangani perkara kekerasan seksual. Berdasarkan laporan ‘’Women’s Experiences of the Barriers to Reporting Sexual Assault’’ oleh Alana Prochuk Tahun 2018, aparat penegak hukum masih memberikan komentar yang tidak sensitif, penuh stereotip, victim blaming, tidak empati, dan belum membantu korban untuk mencari keadilan. Sehingga, korban tidak mendapatkan penanganan yang efektif dan mayoritas korban kekerasan seksual (57,9 persen) tidak mendapatkan penyelesaian kasus dan hanya 19,2 persen pelaku yang dipenjara.

Berdasarkan laporan Studi Kualitatif mengenai Persepsi dan Dukungan Pemangku Kepentingan Terhadap RUU PKS di tahun 2020 yang dilakukan INFID, sistem hukum selama ini masih dinilai lemah dalam merespons kasus kekerasan seksual. Korban dituntut untuk langsung melaporkan kepada pihak berwajib ketika mengalami peristiwa, padahal korban yang terluka pasti mengalami trauma dan membutuhkan waktu untuk pengobatan dan perawatan dengan resiko proses hukum tertunda dan adanya kemungkinan alat bukti yang sulit didapat.

Melihat data tersebut, sepertinya langkah yang perlu dilakukan kepolisian perlu lebih dioptimalkan lagi. Kepolisian sebagai garda terdepan diharapkan mampu melindungi korban kekerasan seksual agar korban mendapatkan akses keadilan. Dengan berbagai instrumen hukum dan sumber daya yang dimiliki Kepolisian RI, seharusnya penanganan korban bisa lebih baik lagi. Masyarakat perlu mengawal langkah dan rencana yang akan dilakukan oleh kepolisian ke depan.

Tulisan ini dimuat dalam media Magdalene :

https://magdalene.co/story/sop-kekerasan-polisi-progresif-tapi-kenapa-penerapannya-memble

Pejabat dengan kekayaan tak wajar tidak bisa dipidana: salah siapa?

Oleh Andreas N. Marbun (Peneliti IJRS)

Bulan lalu, Johan Budi – mantan juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) – menulis opini di harian Kompas tentang harta kekayaan penyelenggara negara dan lemahnya mekanisme Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di Indonesia.

Sebagai respons terhadap tulisan tersebut, melalui tulisan ini, saya akan membahas lebih lanjut mengenai penyebab masalah ketidakwajaran harta kekayaan pejabat negara.

Perlu dicatat, bahwa Indonesia belum mengatur pemidanaan terhadap pejabat negara yang memiliki harta yang tidak sah (illicit enrichment).

Padahal, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Pemberantasan Korupsi (United Nations Convention against Corruption atau UNCAC) sudah mengatur soal kriminalisasi illicit enrichment ini.

Karena ketiadaan pengaturan ini, maka seolah-olah boleh saja pejabat berharta banyak walau sumbernya patut dicurigai, sepanjang tidak ketahuan bahwa hartanya diperoleh secara tidak sah atau berasal dari tindak pidana.

Sehingga, Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) perlu segera direvisi dengan mempidana peningkatan kekayaan pejabat yang tidak sah ini.

UU Tipikor dan UNCAC

Meski berkali-kali Indonesia memperingati Hari Anti-korupsi setiap 9 Desember, pada hakikatnya, ketentuan pidana yang diatur dalam UU Tipikor masih belum sejalan dengan pengaturan yang ada di UNCAC.

Hal ini tidak mengejutkan, sebab UU Tipikor terakhir kali direvisi pada 2001, sedangkan UNCAC baru selesai dibuat pada 2003.

Perbedaan substansi antara UNCAC dan UU Tipikor sudah banyak dibahas di berbagai tulisan.

Yang justru mengejutkan ialah ketiadaan kemauan politik, baik dari pemerintah maupun DPR, untuk mengubah UU Tipikor agar sejalan dengan UNCAC; padahal Indonesia sudah meratifikasi UNCAC pada 2006.

Ketiadaan political will ini tergambar dari RUU Tipikor yang tidak masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2021, maupun Prolegnas tahun 2022.

Dapat kita simpulkan bahwa tidak akan ada perubahan secara fundamental dalam pemberantasan korupsi yang terjadi di Indonesia, setidak-tidaknya dalam waktu dekat.

Menghukum kekayaan tidak wajar

Sebagai bentuk komitmen untuk memberantas korupsi yang sejalan dengan UNCAC, sudah sepatutnya Indonesia juga mengatur mengenai pemidanaan terhadap pejabat negara yang memiliki harta yang tidak sah.

Memang, dalam UNCAC tidak ada kewajiban untuk mengatur illicit enrichment mengingat sifatnya yang fakultatif dan ketentuan tersebut merupakan non-mandatory offences), namun bukan berarti negara tidak perlu atau tidak bisa mengatur tindak pidana ini.

Sebaliknya, justru negara sangat perlu untuk segera mengatur pemidanaan terhadap pelaku illicit enrichment.

Ketiadaan pengaturan ini justru dijadikan ‘tameng’ bagi para pejabat berharta banyak yang sumbernya tidak jelas.

Tanpa kriminalisasi illicit enrichment, sia-sialah segala upaya pelaporan harta kekayaan – bahkan jika terdapat peningkatan harta penyelenggara negara yang tidak wajar sekalipun.

Sudah banyak negara di dunia yang mengatur mengenai illicit enrichment ini. Sebuah penelitian baru menemukan bahwa setidak-tidaknya terdapat 98 pengaturan mengenai illicit enrichment yang telah diterapkan di berbagai negara, seperti Afghanistan, Brunei Darussalam, Cina, dan Meksiko. Sayangnya, Indonesia tidak termasuk.

Kegagalan sistemik

Stagnasi (atau bahkan regresi) dalam pemberantasan korupsi di Indonesia (sebagaimana tercermin dalam Indeks Persepsi Korupsi yang merosot) tidak hanya merupakan kesalahan penegak hukum yang gagal untuk menindak korupsi secara konsisten.

Ini bukan pula semata-mata kesalahan penyelenggara negara yang enggan untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang sudah ada.

Kegagalan ini justru secara sistemik berawal dari ketidaksiapan aturan anti-korupsi di Indonesia.

Tentu saja bukan merupakan tugas KPK (atau penegak hukum lainnya seperti Kepolisian dan Kejaksaan) untuk membuat UU yang baik guna terciptanya sistem pemberantasan korupsi yang ajeg.

Karena DPR memiliki fungsi legislasi, maka DPR-lah yang sepatutnya dipersalahkan karena gagal membuat UU Tipikor yang sejalan dengan standar pemberantasan korupsi global.

Rekomendasi untuk Johan Budi

Sebagai anggota DPR, Johan Budi sudah dengan sangat baik dalam menjalankan fungsi pengawasannya terhadap kinerja KPK. Namun, seorang anggota DPR juga harus menjalankan fungsi legislasi dan penganggaran.

Oleh karena itu, setidak-tidaknya ada tiga rekomendasi yang perlu segera dilakukan oleh para anggota DPR, dan rekomendasi ini bisa diinisiasi oleh Johan Budi sebagai mantan pegawai KPK (yang tentunya memiliki pemahaman mendalam di bidang anti-korupsi) dan sebagai anggota komisi III DPR (yang memiliki beban tanggung jawab mengurusi bidang penegakan hukum).

Pertama, DPR perlu segera mengajukan revisi UU Tipikor. Revisi yang dibuat juga harus sejalan dengan pengaturan UNCAC, mengingat UNCAC sendiri sudah diratifikasi ke dalam hukum nasional. Jika RUU yang dibuat tidak sejalan dengan UNCAC, maka permasalahan peningkatan harta PN yang tidak wajar tidak akan dapat dibenahi.

Kedua, dalam rancangan UU tersebut, DPR (khususnya anggota komisi III) perlu memastikan adanya aturan pemidanaan terhadap illicit enrichment. Jika tidak, maka penegak hukum akan mendapat beban tambahan untuk pembuktian asal-usul harta kekayaan tersebut.

Kewajiban untuk memastikan bahwa seorang pejabat penyelenggara negara memiliki harta yang sesuai dengan pendapatannya seharusnya dibebankan pada insan pejabat itu sendiri, bukan justru dibebankan hanya pada satu institusi penegak hukum untuk mengawasi semua pejabat dari Sabang sampai Merauke.

Terakhir, DPR perlu menjamin bahwa tidak ada upaya pelemahan KPK melalui kebijakan anggaran.

Jika kita membuka besaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dari 2019 hingga 2021, kita dapat melihat bahwa anggaran KPK meningkat secara konsisten tiap tahun.

Kita perlu mengapresiasi kinerja DPR yang memberikan keleluasaan anggaran bagi KPK. Jika pada suatu hari DPR meminta KPK untuk meningkatkan kinerjanya agar mampu mendalami asal-usul peningkatan harta pejabat yang tidak wajar, maka peningkatan biaya untuk penegakan hukum juga perlu ditambah.

Jika tiada langkah konkret dari DPR untuk melaksanakan setiap rekomendasi sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka kita selaku rakyat Indonesia tidak perlu heran jika ada pegawai negeri, polisi, atau tentara yang punya aset senilai ratusan miliar dan memiliki ‘rekening gendut’ yang sumbernya tidak jelas; sebab itu merupakan keniscayaan.

Tulisan dimuat dalam media The Conversation : https://theconversation.com/pejabat-dengan-kekayaan-tak-wajar-tidak-bisa-dipidana-salah-siapa-174158