[MEDIA RILIS] Bersama Mencegah Covid-19, Majelis Hakim Harus Maksimalkan Penggunaan Hukuman Non-Pemenjaraan

Di tengah upaya pencegahan pandemi COVID-19, majelis hakim dituntut untuk lebih banyak menggunakan opsi alternatif pemidanaan non-pemenjaraan. Upaya ini dapat membantu mengurangi jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di dalam Rutan/Lapas yang sudah mengalami overcrowding dan mencegah terjadinya potensi penularan COVID-19 di dalam Rutan/Lapas.

Dalam melaksanakan pencegahan penularan COVID-19, seluruh elemen masyarakat diminta untuk berpartisipasi. Upaya physical distancing banyak dilakukan untuk mencegah penularan yang lebih besar. Namun sayangnya, di tengah setting Rutan/Lapas sebagai tempat berkumpul WBP ditambah dengan kondisi overcrowding di Indonesia, hal ini tidak mungkin dilakukan oleh WBP. Kerentanan Rutan/Lapas sebagai tempat penularan penyakit akibat virus harus ditanggapi dengan komprehensif oleh seluruh elemen dalam sistem peradilan pidana, tidak terkecuali hakim.

Mahkamah Agung melalui SEMA No. 1 Tahun 2020 menyampaikan bahwa persidangan perkara pidana yang terdakwanya sedang ditahan dan penahanannya tidak dapat diperpanjang lagi selama masa pencegahan penyebaran COVID-19 tetap dilaksanakan. Kemudian pada 27 Maret 2020, Mahkamah Agung mulai memerintahkan pelaksanaan persidangan dengan teleconference. Dengan demikian, maka persidangan perkara pidana masih akan terselenggara, termasuk sidang dengan agenda putusan.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) menyampaikan bahwa upaya yang dilakukan peradilan saat ini harus mendukung upaya pencegahan COVID-19. Terkait dengan pemidanaan, hakim harus berusaha memproduksi putusan yang sejalan dengan pencegahan COVID-19. Untuk mendukung hal itu telah banyak peluang dalam sistem peradilan pidana saat ini, salah satunya adalah alternatif pemidanaan non-pemenjaraan yang harus dimaksimalkan oleh hakim.

Kondisi overcrowding dan penyebaran COVID-19 menyebabkan Rutan/Lapas bukan lagi menjadi tempat yang aman untuk pelaksanaan pemidanaan. WHO telah menyerukan untuk mengurangi orang dalam tahanan untuk mencegah penyebaran masif terjadi. Atas hal tersebut, dalam tataran penyelesaian perkara pidana saat ini, maka hakim harus:

  1. Memaksimalkan penggunaan pidana bersyarat dengan masa percobaan yang diatur dalam Pasal 14a KUHP, untuk tindak pidana tanpa korban dan tindak pidana tanpa kekerasan misalnya terkait dengan tindak pidana politik. Hakim harus mengupayakan pemidanaan dengan Pasal 14a KUHP. Terpidana akan menjadi klien dalam pengawasan Balai Pemasyarakatan. Pidana bersyarat juga dapat diberlakukan bagi pengguna narkotika coba-coba atau yang tidak butuh perawatan medis.
  2. Memaksimalkan pengguna pasal pidana bersyarat dengan masa percobaan dengan menyertakan syarat khusus dalam Pasal 14c KUHP untuk tindak pidana dengan korban, kekerasan ringan ataupun tindak pidana dengan kerugian ekonomi. Hakim harus mengupayakan adanya syarat khusus berupa ganti kerugian atau kewajiban lain yang terkait dengan kompensasi kerugian korban sebagai syarat khusus, nantinya terpidana akan berada di bawah pengawasan Balai Pemasyarakatan untuk diawasi pemenuhan syarat umum dan syarat khusus atas putusannya. Namun, harus tetap diperhatikan syarat khusus yang diberlakukan harus dapat dipenuhi dengan memperhatikan kepentingan korban dan pelaku
  3. Untuk tindak pidana narkotika, sebagai perkara yang paling banyak diadili di Pengadilan Negeri, hakim bisa memperbaiki jalannya kebijakan narkotika yang saat ini kurang tepat dengan mengedepankan prinsip keadilan restoratif (restorative justice). Hakim harus mencegah pemenjaraan bagi pengguna narkotika, termasuk penguasaan dan kepemilikan untuk kepentingan pribadi. Hakim juga harus mencegah adanya penahanan bagi pengguna narkotika. Sekalipun telah ditahan hakim tetap harus mengupayakan adanya assessment ataskebutuhan rehabilitasi bagi pengguna narkotika, hal ini sesuai dengan SEMA 4/2010 jo. SEMA 3/2011 bahwa hakim atas penilaiannya dibantu dengan surat keterangan dokter dan laboratorium dapat memutus dengan rehabilitasi sekalipun dalam proses penyidikan belum dilaksanakan proses assessment oleh Tim Asesmen Terpadu (TAT).
  4. Hakim dapat menerobos ketentuan pidana minimum khusus untuk pengguna dan pecandu narkotika. Sesuai dengan SEMA Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Hasil Pleno Rapat Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yang menjelaskan jaminan rehabilitasi berdasarkan penilaian hakim, sekalipun penuntut umum tidak menggunakan Pasal 127, hakim diperbolehkan menyimpangi ketentuan minimum khusus pasal-pasal UU Narkotika, sehingga tidak harus memberlakukan pidana penjara. Lewat kebolehan menyimpangi ketentuan minimum khusus, hakim dapat memberlakukan pidana bersyarat dengan masa percobaan dalam Pasal 14a dan Pasal 14c KUHP untuk pengguna narkotika. Khususnya bagi mereka yang tidak membutuhkan rehabilitasi medis atau pengguna awal dan coba-coba.
  5. Terakhir, rehabilitasi bisa dengan rawat jalan. Rehabilitasi bisa dilakukan dengan rawat jalan tanpa harus menginap di Rumah Sakit. Hal ini akan membantu pemerintah sendiri dalam memprioritaskan pasien COVID-19. Sedangkan bagi pengguna narkotika dapat diberlakukan rawat jalan.

Pada intinya, ICJR, LeIP dan IJRS menilai bahwa Hakim harus sedapat mungkin menyesuaikan diri dengan kondisi darurat COVID-19 yang bahkan telah ditetapkan sebagai bencana nasional non-alam. Dalam kondisi ini, pemenjaraan harus sebisa mungkin dihindari. Hal ini juga menjadi langkah baik dalam penggunaan konsep keadilan restoratif serta mengoptimalkan alternative pemidanaan.

Jakarta, 30 Maret 2020

ICJR, LeIP, IJRS

CP :

Erasmus A.T. Napitupulu
Liza Farihah
Dio Ashar Wicaksana

Unduh File PDF

[MEDIA RILIS] Kumham Tak Bisa Sendiri Hadapi Covid-19, Sistem Peradilan Pidana Harus Terpadu

Koalisi mencatat beberapa solusi mengenai masalah penahanan di tengah kondisi pandemi. Selain itu, masalah penahanan dalam perubahan KUHAP ke depan, perlu memastikan adanya mekanisme kontrol dan pengawasan yang lebih ketat dan detail terkait penahanan, hal ini bisa dimulai dengan mamasukkan sistem hakim pemeriksaan pendahuluan (judicial scrutiny) dalam Rancangan KUHAP.

Selasa (24/3), Menteri Hukum dan HAM RI, Yasonna H. Laoly mengirimkan surat kepada Ketua MA RI, Jaksa Agung RI, serta Kapolri untuk menunda pengiriman tahanan ke rutan atau lapas sementara waktu untuk mencegah penyebaran COVID-19. Koalisi Pemantau Peradilan menilai instruksi yang disampaikan oleh Kemenkumham dalam surat tersebut masih belum jelas dan berpotensi melanggar ketentuan hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP.

Menkumham menyampaikan 2 (dua) poin utama dalam surat tersebut. Pertama, Kemenkumham menunda kegiatan kunjungan, penerimaan tahanan baru, dan sidang mulai Rabu (18/3) sampai batas waktu yang belum ditentukan. Kedua, Kemenkumham juga menunda pengiriman tahanan ke rutan/lapas dengan alasan tahanan merupakan kelompok yang rentan terpapar COVID-19 karena kondisi rutan/lapas yang kelebihan muatan penghuni.

Surat tersebut belum menjelaskan apakah Menkumham tetap merekomendasikan penahanan yang dilakukan oleh Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Apabila surat tersebut bertujuan untuk menginstruksikan agar APH tetap dapat menahan tersangka/terdakwa namun tidak dapat melakukan penahanan di rutan atau lapas di lingkungan Kemenkumham, maka hal tersebut bertentangan dengan KUHAP.

Pasal 22 KUHAP menyebutkan berbagai jenis penahanan, seperti tahanan rutan, tahanan rumah, dan tahanan kota. Dalam bagian penjelasan KUHAP, dijelaskan bahwa penahanan di rutan dapat dilakukan di tempat lain seperti kantor polisi, kantor kejaksaan negeri, maupun lapas jika belum ada rutan di wilayah tersebut. Dalam suratnya, Menkumham menginstruksikan untuk menutup akses pengiriman tahanan ke rutan atau lapas, tetapi tidak merekomendasikan agar penahanan dibatasi. Secara tidak langsung pernyataan ini memberikan kesan agar tahanan ditempatkan di kantor polisi atau kantor kejaksaan.

Menkumham memang tidak berwenangan untuk melarang atau memerintahkan penahanan karena kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh penyidik, penuntut umum, dan hakim. Namun, Menkumham bisa memberi rekomendasi beberapa hal yang dapat dipertimbangkan oleh penegak hukum agar tidak melakukan penahanan di tengah situasi seperti ini.

Koalisi memberikan beberapa rekomendasi pada Menkumham dan APH agar penanganan tahanan di tengah pandemi COVID-19 dapat dijalankan sesuai dengan ketentuan KUHAP dengan tetap mengutamakan keselamatan para tahanan.

*Pertama,* Dalam melakukan penahanan, APH perlu memperhatikan ketentuan Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang menyebutkan penahanan hanya dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana dengan ancaman penjara 5 tahun atau lebih. Selain itu, APH perlu memastikan bahwa penahanan memenuhi syarat jika ada kekhawatiran tersangka atau terdakwa melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana. Penahanan harus dilakukan dengan selektif, jika tersangka/terdakwa tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka ia tidak perlu ditahan.

*Kedua,* Penahanan tidak perlu dilakukan terhadap pelaku tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, dan tindak pidana yang tidak melibatkan kekerasan. APH dapat memanfaatkan semaksimal mungkin mekanisme penahanan alternatif, misalnya mekanisme jaminan dalam KUHAP yang memperbolehkan tersangka/terdakwa tidak perlu ditahan.

*Ketiga,* Untuk tahanan yang harus ditahan karena memenuhi syarat Pasal 21 ayat (4) KUHAP, opsi selain penahanan rutan harus dimaksimalkan sebisa mungkin. Pasal 22 KUHAP memberikan opsi tahanan rumah dan tahanan kota, yang memungkinkan tahanan tidak ditempatkan di dalam rutan, maupun tempat penahanan kepolisian, atau kejaksaan yang kami nilai sama-sama memiliki risiko terhadap penyebaran COVID-19. Penahanan rumah dan kota dapat diberikan dengan mempertimbangkan tempat tinggal yang jelas dan pekerjaan sehari-hari yang tidak memungkinkan seseorang meninggalkan kota tempat tinggalnya. Dalam situasi ini, proses hukum tetap berjalan dan putusan berupa penjara bisa dilaksanakan setelah pandemi usai.

*Keempat,* APH harus memaksimalkan penggunaan mekanisme penangguhan penahanan maupun pembantaran untuk mereka yang membutuhkan perawatan dan pendampingan medis. Selain itu, dibutuhkan adanya mekanisme rujukan ke fasilitas kesehatan terdekat untuk melakukan isolasi, karantina, atau tindakan medis lainnya bagi tahanan yang terdampak.

*Kelima,* dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi seperti: tidak adanya kemungkinan menghilangkan barang bukti karena sudah diperiksa maupun sudah disita sejak awal pemeriksaan; tidak adanya kemungkinan melarikan diri karena memiliki pekerjaan sehari-hari atau tempat tinggal tetap; atau melakukan tindak pidana-tindak pidana yang memungkinkan penahanan tidak dilakukan sebagaimana disampaikan di atas, tahanan yang sudah habis masa tahanannya harus segera dikeluarkan dan tidak diperpanjang. Hal ini dilakukan untuk mengurangi jumlah penghuni yang ada sehingga pencegahan COVID-19 dapat dilakukan dengan efektif sesuai dengan kemampuan rutan atau lapas.

*Keenam,* perlu adanya pengelolaan mitigasi dan edukasi yang komprehensif pada petugas rutan dan lapas untuk menghadapi situasi darurat seperti pandemi COVID-19 di masa yang akan datang. Penyusunan manajemen mitigasi dan materi edukasi ini bisa melibatkan lintas sektor termasuk sektor penanggulangan bencana, kesehatan, sosial, dan lainnya.

*Terakhir,* Koalisi menilai bahwa Pemerintah perlu memastikan ada aturan pelaksana dan juga aturan turunan dari KUHP yang lebih detail untuk mengantisipasi situasi seperti ini. Koalisi menyadari sistem penahanan di Indonesia masih membutuhkan aturan mengenai sistem jaminan, pengawasan alternatif penahanan dan lainnya, untuk itu Pemerintah perlu memastikan adanya mekanisme pengawasan dan evaluasi yang lebih ketat dan detail terkait penahanan, hal ini bisa dimulai dengan memasukkan sistem hakim pemeriksaan pendahuluan (judicial scrutiny) dalam Rancangan KUHAP.

Akan tetapi mengingat keadaan mendesak, sebagai langkah darurat mencegah meluasnya pandemi COVID-19 di lapas dan rutan, *Koalisi meminta Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk segera menerbitkan Peraturan Bersama terkait pengetatan penggunaan kewenangan penahanan.*

Jakarta 27 Maret 2020
Hormat Kami,
Koalisi Pemantau Peradilan.
ICJR, YLBHI, PKBI, IJRS, PUSKAPA, LBH Masyarakat, ELSAM, PBHI, Institut Perempuan, KontraS, Rumah Cemara, LeIP, LBH Pers, ICEL, IMPARSIAL, LBH Jakarta

Rilis Pers : Mendesak Lembaga Peradilan Menunda Persidangan Selama Masa Pandemi Covid-19 & Lepaskan Sebagian Tahanan

Per Sabtu 21 Maret 2020 pukul 16.00 WIB, Achmad Yurianto selaku Juru Bicara Pemerintah RI untuk penanganan Coronavirus disease (COVID-19) menyatakan bahwa 450 orang positif COVID-19, 38 orang meninggal dunia dan 20 orang sembuh. Terdapat penambahan kasus baru sebanyak 81 orang, kematian sejumlah 6 orang dan pasien sembuh sebanyak 4 orang dari hari sebelumnya. Lebih lanjut, Achmad Yurianto menyatakan bahwa COVID-19 berpotensi menginfeksi 600-700 ribu orang di Indonesia berdasarkan perhitungan population at risk, yakni jumlah populasi yang kemungkinan melakukan kontak secara langsung maupun tidak langsung dengan penderita COVID-19 sehingga memiliki risiko tinggi terinfeksi (cnnindonesia.com). Jumlah kematian (death toll) akibat COVID-19 yang semakin meningkat di Indonesia, menempatkan angka kematian Indonesia lebih dari 8% di mana saat rilis ini ditulis menjadi yang tertinggi di dunia bahkan di atas Italia, Iran, China, Jepang, dan Spanyol (data dari Johns Hopkins Center for Health Security).

Bertolak belakang penetapan pandemic COVID-19 sebagai bencana nasional non-alam di Indonesia dan himbauan Pemerintah RI untuk meminimalisasi interaksi manusia dalam jumlah banyak, ruang sidang masih menjadi tempat berkumpul para aparat penegak hukum dan para pihak yang berperkara. Dalam masa pandemi ini, Mahkamah Agung diharapkan untuk memiliki sense of crisis (rasa kepekaan terhadap situasi krisis) dengan cara mengutamakan keselamatan aparat penegak hukum dan para pihak yang berperkara. Sebuah itikad baik ketika pada 17 Maret 2020, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Sekretaris Mahkamah Agung (SE SEKMA) No. 1 Tahun 2020 berupa upaya pencegahan penyebaran COVID-19 di lingkungan Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. Namun, sayang sekali SE SEKMA ini tidak menunjukkan ketegasan Mahkamah Agung untuk mencegah penyebaran COVID-19. SE SEKMA ini mengatur bahwa persidangan perkara pidana, pidana militer, dan jinayat tetap dilangsungkan seperti biasa. Persidangan yang masih berjalan seperti biasa dan menjadi tempat berkumpul banyak orang sangat berpotensi menjadi tempat penyebaran COVID-19. Dalam situasi ini, Mahkamah Agung tidak mempertimbangkan fakta bahwa penyebaran COVID-19 sangat cepat dan angka kematian (death toll) akibat COVID-19 di Indonesia kian hari kian meningkat.

Selain itu, hak kesehatan orang-orang yang sedang terkurung di rumah tahanan negara (Rutan) atau lembaga pemasyarakatan (Lapas) juga belum dipikirkan dengan baik. Penghuni Rutan dan Lapas. Dengan fakta bahwa Rutan dan Lapas mengalami overcrowding dengan tingkat kelebihan kapasitas sebanyak 98% (data smslap.ditjenpas.go.id per 17 Maret 2020), Rutan dan Lapas juga sangat berpotensi menjadi tempat penyebaran COVID-19 dengan cepat. Kementerian Hukum dan HAM melalui Kepala Rumah Tahanan Negara/Lembaga Pemasyarakatan telah menerapkan kebijakan untuk membatasi kunjungan. Namun, kebijakan ini tidak sejalan dengan perintah pengadilan yang tetap memanggil para tahanan untuk bersidang.

Situasi overcrowding yang tidak memungkinkan social distancing (jaga jarak antar manusia) dan minimnya pemenuhan hak atas kesehatan bagi para tahanan akan membuat penyebaran COVID-19 semakin tak terbendung. Hal ini akan menimbulkan risiko penyebaran COVID-19 kepada aparatur penegak hukum seperti Hakim, Jaksa, Advokat dan lainnya yang intens berinteraksi dalam jarak dekat dan kontak fisik dengan tahanan.

Koalisi Pemantau Peradilan melihat bahwa ketiadaan kebijakan dari Mahkamah Agung untuk melakukan penundaan sidang karena COVID-19 menyebabkan potensi penyebaran COVID-19 yang membahayakan aparatur penegak hukum dan juga para tahanan. Selanjutnya, kebijakan terhadap tahanan juga perlu mendapat perhatian khusus dan seharusnya tidak hanya diserahkan kepada Kementerian Hukum dan HAM tetapi wajib melibatkan institusi lainnya seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung.

Penundaan sidang perlu diikuti kebijakan melepaskan sebagian tahanan yaitu mereka yang menjadi tersangka tindak pidana ringan termasuk pengguna narkotika. Selain itu warga binaan pemasyarakatan yang masuk kriteria untuk mendapatkan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Remisi perlu diberikan tanpa permohonan yang bersangkutan dan birokrasi administrasi seperti biasa. Hal ini untuk menjamin keselamatan dan akhirnya hak hidup para tahanan, warga binaan pemasyarakatan, penjaga Rutan, Sipir Lapas serta anggota keluarganya dan pada akhirnya hidup seluruh bangsa.

Berdasarkan hal-hal tersebut, Koalisi Pemantau Peradilan mendesak kepada Mahkamah Agung, Kepolisian, Kejaksaan serta Kementerian Hukum dan HAM untuk:

  1. Mendesak Mahkamah Agung untuk mengeluarkan kebijakan penundaan persidangan pada semua pengadilan tingkat pertama di Indonesia dalam jangka waktu social distancing yang dianjurkan oleh Pemerintah RI;
  2. Mendesak Mahkamah Agung untuk mengeluarkan kebijakan tentang penundaan persidangan bagi tahanan yang saat ini sedang dalam tahap pemeriksaan di pengadilan;
  3. Mendesak Mahkamah Agung perlu mempercepat pelayanan E-litigasi (administrasi perkara dan prosedur persidangan secara elektronik untuk perkara perdata, perdata agama, dan tata usaha negara) di seluruh pengadilan sebagai alternatif penyelesaian penundaan dan/atau peniadaan sidang;
  4. Mendesak Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kejaksaan perlu melakukan kesepakatan bersama terkait penundaan persidangan dengan implikasi jangka waktu penahanan. Perlu ada aturan bersama terkait penangguhan masa tahanan bagi tahanan yang jangka waktunya akan habis;
  5. Mendesak Kementerian Hukum dan HAM untuk melindungi tahanan di Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan dalam pemenuhan hak atas kesehatannya;
  6. Mendesak Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung meninjau ulang penahanan saat ini untuk mengurangi overcrowding di Rutan dan Lapas serta mendesak Kementerian Hukum dan HAM melalui Lapas meninjau ulang kebijakan penerapan pemberian remisi, pembebasan bersyarat (PB), cuti menjelang bebas (CMB), cuti bersyarat (CB) dengan mengutamakan warga binaan pemasyarakatan dengan hukuman ringan ataupun kejahatan biasa, termasuk pengguna narkotika.

ELSAM, ICJR, IJRS, LBH Jakarta, LeiP, Kontras, PBHI, YLBH, PILNET Indonesia, ICW, CDS, LBH Masyarakat, LBH Apik Jakarta, PSHK, ICEL.

Narahubung:
Liza
Afif

Rilis Pers : Covid-19, Suara Difabel: Jangan Lupakan Kami!

Dalam situasi pandemik Covid-19 yang membahayakan ini, penyandang disabilitas/difabel merupakan bagian yang paling rentan dalam masyarakat. Seringkali anggota kelompok kami memiliki kerentanan berlapis, ketika yang bersangkutan sekaligus adalah anak-anak, orang tua, dan juga perempuan difabel yang sedang hamil.

Sayangnya, kerentanan difabel dalam situasi ini belum direspon secara komprehensif oleh pemerintah. Dari sekian banyak informasi publik yang disediakan oleh pemerintah, Kami melihat upaya untuk memastikan akses yang inklusif bagi difabel untuk menerima informasi masih sangat minim. Sebagai contoh, dalam setiap konferensi pers Satgas Covid 19 yang dibentuk Pemerintah Pusat tidak pernah disediakan Juru Bahasa Isyarat (JBI).

Bahkan hingga saat ini, Pemerintah sama sekali belum mengeluarkan pernyataan mengenai rencana yang terukur untuk memastikan akses layanan dan jaminan kesehatan bagi difabel dalam situasi sulit ini. Informasi yang komprehensif terkait pencegahan untuk penularan dan tertular, pemeriksaan gejala, pengobatan, serta layanan pengaman sosial selama proses penyembuhan seharusnya diproduksi dengan mempertimbangkan akses bagi difabel, serta tersedia secara luas, termasuk di layanan rehabilitasi dan pedesaan.

Pemerintah tampaknya melupakan masyarakat difabel dan lalai memenuhi kewajibannya dalam Pasal 20 UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas yang memberikan jaminan Hak Perlindungan dari Bencana untuk penyandang disabilitas, meliputi hak untuk mendapatkan informasi yang mudah diakses akan adanya bencana; mendapatkan pengetahuan tentang pengurangan risiko bencana; mendapatkan prioritas dalam proses penyelamatan dan evakuasi dalam keadaan bencana; mendapatkan fasilitas dan sarana penyelamatan dan evakuasi yang mudah diakses; dan mendapatkan prioritas, fasilitas, dan sarana yang mudah diakses di lokasi pengungsian.

Untuk mencegah ancaman keselamatan yang lebih besar terhadap difabel akibat pandemik Covid19, Koalisi mendesak Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, agar sesegera mungkin:

  1. Meningkatkan kapasitas sektor perawatan kesehatan dengan cepat untuk memberikan layanan yang memenuhi syarat bagi difabel dengan:
    • Memastikan semua klinik yang menyediakan pengujian dan layanan yang terkait dengan COVID-19 memberikan dukungan akses fisik dan asistensi sepanjang diperlukan oleh difabel,
    • Menyediakan sumber daya bagi fasilitas tambahan yang ramah difabel, seperti konferensi video dan konsultasi telepon ke layanan medis khusus,
    • Menyediakan hotline yang melayani masyarakat dengan memprioritaskan layanan bagi difabel dan keluarganya, terutama yang membutuhkan dukungan mobilitas,
    • Menyediakan fasilitas yang memadai bagi difabel dengan kebutuhan kompleks, terutama ketika mengalami karantina
    • Melakukan penjangkauan aktif seperti penyuluhan, serta pemeriksaan bagi difabel yang tinggal di sekolah-sekolah luar biasa atau panti-panti rehabilitasi.
  2. Mendistribusikan perlengkapan pelindung diri yang memadai untuk difabel dan tenaga medis yang memberikan kesehatan bagi difabel, termasuk bagi mereka yang tinggal dalam sekolah luar biasa atau panti rehabilitasi.
  3. Mengidentifikasi dan menyediakan kebutuhan layanan sosial pendukung-terutama dengan menyediakan perawat pengganti, bagi setiap difabel yang pendampingnya, atau dirinya sendiri, menjalani karantina dan proses pengobatan untuk mencegah menurunnya kualitas hidup mereka.
  4. Menempatkan difabel sebagai kelompok prioritas dalam penerimaan semua bentuk layanan tanpa biaya yang disediakan pemerintah.
  5. Menyediakan dan mendistribusikan informasi yang mudah diakses oleh setiap kelompok difabel dan pendamping mereka, termasuk mereka yang tinggal di sekolah luar biasa dan panti-panti rehabilitasi dalam bentuk video, audio, gambar dan tulisan, mengenai:
    • Penyebaran Covid-19,
    • Gejala yang dialami penderita
    • Cara-cara untuk mencegah tertularnya Covid-19
    • Cara-cara untuk mencegah menularkan Covid-19 (self-isolation, social distancing, dst)
    • Unit dan fasilitas kesehatan yang memberikan layanan deteksi dan pengobatan Covid-19 yang ramah difabel
    • Jaminan biaya pendeteksian dan pengobatan dari Covid 19 berikut prosedurnya
    • Dukungan dan pengaman sosial lainnya yang bisa diakses difabel yang melakukan selfisolation atau dalam proses penyembuhan, dan hal-hal lainnya yang disebutkan dalam angka 1 sampai dengan 4 di atas.

Untuk bisa melaksanakan seluruh permintaan pada angka 1 sampai dengan 5 di atas, agar Pemerintah Pusat:

  1. Sedapat mungkin menyediakan biaya-biaya yang dibutuhkan untuk menanggulangi pandemik Covid-19 terutama untuk difabel, dari setiap sumber anggaran yang bisa diakses, termasuk mata-mata anggaran cadangan dan bantuan yang ditawarkan negara atau lembaga donor yang bersifat tidak mengikat,
  2. Melakukan pendelegasian dan koordinasi erat dengan Pemerintah-Pemerintah Daerah di seluruh wilayah,
  3. Berkoordinasi dan berkolaborasi dengan organisasi-organisasi difabel, baik organisasi level nasional maupun di daerah,
  4. Memantau pelayanan yang diberikan untuk difabel di seluruh wilayah 5. Memastikan terpenuhi akses keadilan bagi difabel di peradilan

Jakarta, 18 Maret 2020
Narahubung:
● Nurul 0856 2914 654
● Dhede 0822 2664 7301
● Suharto 0821 4071 9451
● Ismail (Tuli) 0857 1246 8696

Atas Nama Masyarakat Difabel Indonesia:
1. SIGAB Indonesia
2. SAPDA
3. Komunitas Braille’iant Indonesia
4. Ikatan Keluarga Disabilitas (Ternate)
5. Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulawesi Selatan
6. Perhimpunan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Sulawesi Selatan
7. Pergerakan Difabel untuk Kesetaraan (PerDIK) Sulawesi Selatan
8. Bandung Independent Living Center (BILLiC), Bandung
9. Pengurus Kecamatan-PPDI Kec. Mlati Sleman, DI Yogyakarta
10. Gema Difabel Sulawesi Barat
11. Yayasan Pelopor Peduli Disabilitas Situbondo (PPDIS)
12. CIQAL Yogyakarta
13. OHANA Yogyakarta

Didukung oleh:
1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta
2. Indonesian Judicial Research Society (IJRS), Jakarta
3. Institute of Community Justice (ICJ), Makassar
4. Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Jakarta
5. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Wilayah Sulawesi Selatan
6. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Nusa Tenggara Barat
7. Lingkaran Belajar untuk Perempuan (LIBU Perempuan), Palu
8. Lembaga Bantuan Hukum Makassar (LBH Makassar)
9. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) Jakarta
10. Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK) Indonesia, Jakarta
11. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jogja
12. Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi peradilan (LeIP), Jakarta
13. SUAR Indonesia
14. Knowledge Hub Jejaring Mitra Kemanusiaan (KH-JMK)

Rilis Pers : Covid-19, Mendesak Perlindungan Terhadap Tahanan

Koalisi Pemantau Peradilan (LBH Masyarakat, LBH Jakarta, YLBHI, IJRS, LeIP, PBHI, PILNET Indonesia)

Pandemi Coronavirus disease (COVID-19) sedang menjalar ke beberapa negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan data tercatat per 16 Maret 2020 telah terdapat 134 kasus positif (data Kementerian Kesehatan RI) dan telah menyebar di 8 Provinsi di Indonesia. Provinsi DKI Jakarta adalah daerah dengan kasus positif COVID-19 terbanyak dan menjadi daerah paling rawan persebaran COVID-19.

Sejauh ini penanganan COVID-19 fokus untuk mengatur mobilitas orang dengan kebebasan tapi minim menyasar terhadap orang-orang yang sedang terkurung di rumah tahanan negara (Rutan) atau lembaga pemasyarakatan (LAPAS).

Minimnya perhatian terhadap orang-orang yang ditahan menimbulkan risiko persebaran COVID-19 menjalar terhadap seluruh penghuni Rutan dan Lapas termasuk petugas. Bahkan terhadap tahanan yang sedang dalam pemeriksaan di persidangan, persebaran COVID-19 bisa menjangkiti aparatur penegak hukum seperti Hakim, Jaksa, Panitera yang intens berinteraksi dalam jarak dekat dan kontak fisik dengan tahanan. Situasi tersebut sangat mengkhawatirkan sebab Rutan dan Lapas menjadi institusi yang over kapasitas dengan tingkat kelebihan kapasitas per 17 Maret 2020 sebanyak 98% (smslap.ditjenpas.go.id). Over kapasitas menjadikan Rutan dan Lapas menjadi tempat berkumpulnya orang dalam jumlah banyak dalam satu tempat dan berdampak terhadap persebaran COVID-19 dapat bergerak dengan cepat.

Berdasarkan hal tersebut, saat ini Kementerian Hukum dan HAM melalui Kepala Rumah Tahanan Negara/Lembaga Pemasyarakatan telah menerapkan kebijakan untuk membatasi kunjungan. Namun, kebijakan ini tidak sejalan dengan perintah pengadilan yang tetap memanggil para tahanan untuk bersidang. Sampai dengan rilis ini ditulis, Mahkamah Agung belum menerbitkan instruksi kepada Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia untuk menyikapi pandemi COVID-19 sebagai keadaan force majeure.

Koalisi Pemantau Peradilan melihat bahwa ketiadaan kebijakan dari Mahkamah Agung untuk melakukan penundaan sidang karena COVID-19 dan tidak adanya upaya yang bersinergi dengan berbagai institusi lain seperti Kejaksaan, Pengadilan dan Kementerian Hukum dan HAM untuk menyikapi COVID-19 terhadap tahanan menyebabkan potensi penyebaran COVID-19 yang membahayakan aparatur penegak hukum dan juga para tahanan.

Kebijakan terhadap tahanan tidak hanya diserahkan kepada Kementerian Hukum dan HAM tetapi wajib melibatkan institusi lainnya seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung. Dalam praktiknya, Kepolisian dalam tahap penyidikan kerap menggunakan masa penahanan sampai habis tanpa ada keperluan yang signifikan, sedangkan Kejaksaan kerap menunda pelimpahan perkara ke pengadilan dan sering menunda jadwal sidang yang sudah ditetapkan.

Dampak dari praktik ini adalah tenggat waktu untuk memeriksa tahanan di persidangan semakin sempit, dan berakibat kepada hak terdakwa dalam pembelaannya. Sedangkan persidangan yang mepet menimbulkan potensi kesempatan terdakwa di persidangan dalam menyiapkan pembelaan tidak maksimal. Praktik ini tampak menyepelekan prinsip asas praduga tidak bersalah sebab setiap Hakim dan Jaksa, termasuk Polisi sudah menganggap setiap terdakwa di persidangan sudah pasti akan dinyatakan bersalah.

Terkait dengan hal tersebut tersangka/terdakwa yang menghuni penjara dalam posisi berisiko dan kerap terkikis hak atas kesehatannya dan hak-hak hukumnya dalam proses peradilan pidana. Biang keladi atas situasi ini adalah bobroknya sistem peradilan pidana saat ini yang kerap menegasikan hak tersangka dan terdakwa dalam proses peradilan pidana. Berdasarkan hal ini, Koalisi Pemantau Peradilan mendesak kepada Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung serta Kementerian Hukum dan HAM untuk:

  1. Melindungi tahanan di Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan dalam pemenuhan hak atas kesehatannya;
  2. Mendesak Mahkamah Agung untuk mengeluarkan kebijakan tentang penundaan persidangan bagi tahanan yang saat ini sedang dalam tahap pemeriksaan di pengadilan;
  3. Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kejaksaan perlu melakukan kesepakatan bersama terkait penundaan persidangan dengan implikasi jangka waktu penahanan. Perlu ada aturan bersama terkait penangguhan masa tahanan bagi tahanan yang jangka waktunya sudah mau habis;
  4. Mahkamah Agung perlu mempercepat pelayanan E-litigasi (administrasi perkara dan prosedur persidangan secara elektronik untuk perkara perdata, perdata agama, dan tata usaha negara) di seluruh pengadilan sebagai alternatif penyelesaian penundaan dan/atau peniadaan sidang;
  5. Lembaga peradilan perlu melakukan evaluasi sistem peradilan serta menyusun kebijakan mitigasi jika terjadi adanya bencana atau situasi darurat yang menyulitkan pelaksanaan proses peradilan pada masa mendatang;
  6. Mendesak Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung meninjau ulang penahanan saat ini untuk mengurangi overcrowding di Rutan dan Lapas serta mendesak Kementerian Hukum dan HAM melalui Lapas meninjau ulang kebijakan penerapan pemberian remisi, pembebasan bersyarat (PB), cuti menjelang bebas (CMB), cuti bersyarat (CB) dengan mengutamakan warga binaan pemasyarakatan dengan hukuman ringan ataupun kejahatan biasa, termasuk pengguna narkotika.

Narahubung:

Afif         0813 2004 9060
Oky        0812 6541 0330