Pada 12 Desember 2022, sebagai bagian dari kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), didukung oleh Pemerintah Australia melalui Australia Indonesia Partnership for Justice 2, menggelar talkshow bertajuk “Mengurai Benang Kusut Restorative Justice dalam Kasus Kekerasan Seksual.” Talkshow yang digelar secara daring ini dilaksanakan sebagai wadah sosialisasi dan edukasi bagi masyarakat dalam rangka meluruskan miskonsepsi yang tengah beredar mengenai Restorative Justice (keadilan restoratif) dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual.
Berbagai fenomena yang terjadi di lapangan membuktikan bahwa pemulihan korban tindak pidana, selaku tujuan dari Restorative Justice (RJ) dalam praktiknya kerap terabaikan. Padahal, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh IJRS terhadap 735 putusan pengadilan, menemukan bahwa korban sangat rentan mengalami berbagai dampak psikis, mulai dari trauma mendalam, rasa takut, rasa malu hingga perubahan perilaku akibat kekerasan seksual yang dialaminya. Sedangkan, dampak fisik yang dialami berkisar dari lebam, luka parah seperti patah tulang hingga kerusakan organ reproduksi. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual juga mengalami dampak finansial.
Kendati demikian, melalui penelitian yang sama, hanya ditemukan 0.1 persen perempuan korban yang dikabulkan untuk memperoleh restitusi dan 19.2 persen lainnya tidak mengajukan permohonan, terlepas dari berbagai dampak yang dialami korban. Sedangkan, mayoritas dari putusan tidak diperoleh informasi mengenai pemulihan yang diajukan dan dikabulkan. Hal ini sangat disayangkan, mengingat ketentuan mengenai pemulihan korban sebenarnya sudah banyak dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, di antaranya melalui Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
Upaya pemulihan merupakan langkah krusial dalam mendukung korban untuk menghadapi proses hukum dan/atau mengupayakan kesejahteraan dan kehidupan yang bermartabat yang berlandaskan prinsip pemenuhan hak korban yang dapat mencakup pemulihan fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya serta ganti kerugian. Pada prinsipnya, pemulihan korban dapat diakses sedari awal proses penanganan kasus, dan telah diafirmasi oleh Pasal 66 UU 12/2022 (Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual), di mana korban berhak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan sejak terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Ratna Batara Munti, selaku Direktur LBH APIK Jawa Barat, juga mengafirmasi hal tersebut ketika dirinya harus mendampingi korban kasus perkosaan di Kementerian Koperasi dan UKM yang tengah menjadi sorotan publik. Menurutnya, sangat memprihatinkan ketika kasus tersebut dinilai sebagai delik aduan di mana ini bukanlah hal yang baru dan sering terjadi di kasus-kasus kekerasan seksual yang lalu diarahkan untuk perdamaian yang tidak sesuai dengan prinsip Restorative Justice. Seringkali pula, korban kekerasan seksual dipaksakan untuk dihadapkan dengan pelaku tanpa adanya standar atau aturan yang berprinsip kepada kepentingan terbaik bagi korban.
Hal ini turut ditanggapi oleh Dr. dr. Natalia Widiasih Raharjanti, Sp.KJ.(K)., M.Pd.Ked. yang memberikan gambaran bahwa secara psikologis perlu diperhatikan kondisi-kondisi yang kerap dialami korban kekerasan seksual seperti adanya tekanan dan manipulasi dari pelaku terhadap korban, adanya konflik loyalitas, hingga ketimpangan relasi kuasa antara korban dan pelaku. Maka, dibutuhkan jaminan dan mekanisme pemulihan yang benar-benar tujuannya adalah memulihkan kondisi korban dari dampak-dampak tersebut. Namun faktanya, kebanyakan pelaku justru lebih mementingkan pemulihan nama baik dirinya sendiri dibanding memperbaiki kerugian yang dialami korban.
Lebih lanjut ia menambahkan, “salah satu cara RJ misalnya dengan conferencing (mempertemukan korban dengan pelaku) yang diterapkan pada perkara kekerasan seksual dapat menimbulkan berbagai dampak seperti memicu trauma korban terlebih apabila belum ada asesmen kondisi psikologis korban dan sebagainya. Sehingga cara RJ ini perlu dipertimbangkan penerapannya di perkara kekerasan seksual terutama pada kasus yang melibatkan anak”.
Menanggapi hal tersebut, Dr. Sugeng Purnomo, S.H., M.H. selaku Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI menyampaikan, “saat ini dalam UU TPKS juga sudah secara jelas menyebutkan bahwa penyelesaian perkara kekerasan seksual yang melibatkan anak tidak dapat dilakukan di luar persidangan, termasuk memaksakan perkawinan dengan adat istiadat apapun bagi korban kekerasan seksual. Maka, penyeragaman pengetahuan tentang RJ di di APH perlu didorong melalui bimtek, penguatan anggaran, hingga memastikan turunan peraturan yang baik.”
Andreas Marbun, S.H., LL.M., dalam diskusi ini tidak henti-hentinya menekankan bahwa, “RJ itu prinsipnya bukan penghentian perkara tapi bertujuan untuk memulihkan korban. Caranya juga tidak hanya diversi, (caranya) bisa bermacam-macam yaitu bisa restitusi, victim trust fund, penggabungan perkara atau diversi, dll. Jadi, jangan mengkerdilkan RJ hanya sebagai mekanisme penghentian perkara saja.” Oleh karenanya, dalam perkara kekerasan seksual, penerapan RJ tetap harus dipastikan bahwa sifatnya bukan merupakan paksaan terhadap korban namun lebih kepada melihat kembali kebutuhan pemulihan seperti apa yang perlu diberikan kepada korban.
Dr. dr. Natalia Widiasih Raharjanti, Sp.KJ.(K)., M.Pd.Ked. menambahkan bahwa, “segala sesuatu yang dipaksakan di mana korban diminta bertemu dengan pelaku itu dapat menimbulkan luka kembali. Perlu dilihat sejauh mana kondisi emosional korban ketika meminta bertemu dengan korban tersebut, karena bisa jadi ketika bertemu malah pelaku dapat guilt-tripping korban atas kekerasan seksual yang dialami”. Dengan demikian, mempertemukan korban dengan pelaku merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan dalam menghadapi perkara kekerasan seksual namun perlu tetap memperhatikan kebutuhan dan kondisi korban yaitu jangan sampai keinginan mempertemukan korban bertujuan di luar dari pemulihan korban itu sendiri.
Narahubung:
- Andreas Marbun (andreas@dev.ijrs.or.id)
- Naomi Rehulina (naomi@dev.ijrs.or.id)
Laporan Penelitian IJRS tentang Keadilan Restoratif: