[MEDIA RILIS ICJR IJRS dan LeIP] ICJR IJRS dan LeIP Dukung Jaksa Lakukan Penilaian Perkara Berbasis Pemulihan Korban dan Pelaku pada Kasus Pencurian HP di Garut

Kepala Kejaksaan Negeri Garut membebaskan Comara Saeful (41), pelaku pencurian telepon genggam di kantor desa Kabupaten Garut. Comara nekat mencuri ponsel demi anaknya bisa belajar daring. Kepala Kejaksaan Negeri Garut tersebut mengatakan bahwa penghentian perkara tersebut dilakukan dengan melaksanakan Peraturan Kejaksaan (Perja) No. 15 tahun 2020 tentang Penghentian Tuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Dalam proses penyelesaian perkara tersebut, Kejari Garut menyatakan sejak awal pelimpahan kasus, langsung menganalisa kasus itu dan menilai terdapat kemungkinan dilakukannya penghentian perkara dengan mengedepankan Restorative Justice *(RJ). Jaksa dalam prosesnya kemudian mengedepankan mediasi antara pelaku dan korban, dengan juga melibatkan kepala desa dan para warga. Penghentian perkara kemudian diberikan Kejari Garut berdasarkan pertimbangan bahwa telah ada pengembalian HP kepada korban, korban juga tetap dapat menggunakan HP tersebut secara langsung, sehingga kerugian yang diderita korban juga telah tergantikan. Pertimbangan lainnya juga dilakukan terhadap latar belakang pelaku melakukan tindak pidana juga dipertimbangkan yaitu berkaitan dengan kesulitan ekonomi.

ICJR, IJRS dan LeIP mendukung upaya penilaian perkara yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Garut dengan memperhatikan kepentingan korban dan pelaku secara seksama. Diketahui juga bahwa instrumen yang digunakan berkaitan dengan penerapan RJ. Hal pertama yang dipertimbangkan oleh Jaksa adalah berkaitan dengan upaya pemulihan kerugian korban. Upaya pemulihan korban tersebut juga diselaraskan dengan pertanggungjawaban pelaku dengan melakukan upaya permohonan maaf dan adanya perjanjian. Dengan tindakan ini, Jaksa melaksanakan perannya sebagai pengendali perkara (dominus litis) yang mampu melihat kebutuhan penyelesaian perkara dengan melihat kebutuhan korban dan latar belakang pelaku dan tidak melulu berorientasi pada penghukuman yang keras.

ICJR, IJRS dan LeIP mendukung upaya baik dari Jaksa ini, kami melihat ini dapat menjadi momentum bagi para Jaksa kedepannya bisa melihat kebutuhan pemulihan korban dan pelaku sesuai. Yang kemudian kami serukan juga, sejalan dengan apa yang kami susun dalam penelitian “Peluang dan Tantangan Penerapan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”, penerapan RJ tidak hanya semata-mata sebagai penghentian perkara. Namun, titik sentral hadirnya RJ adalah penguatan hak korban, bahwa korban memiliki posisi sentral dalam penyelesaian perkara. Sehingga Jaksa tidak melupakan bahwa keterkaitan pemulihan korban dalam penerapan RJ dapat diselaraskan dengan pertanggungjawaban pelaku, misalnya dengan tidak menghadirkan tuntutan yang selalu mengedepankan penghukuman ataupun pemenjaraan.

Oleh karenanya, penting untuk ditekankan bahwa instrumen pelaksanaan RJ secara kebijakan tidak semata-mata terbatas dalam mekanisme  penghentian perkara saja seperti yang diterapkan saat ini. Kedepannya aparat penegak hukum, termasuk Jaksa dapat menggunakan mekanisme lainnya yang tersedia dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dengan mengedepannya kepentingan korban, seperti mekanisme dalam bentuk tuntutan pidana bersyarat dengan masa percobaan menyertakan syarat ganti kerugian korban (Pasal 14a-c KUHP), tuntutan dengan menyertakan ganti kerugian korban (Pasal 98 KUHAP), tuntutan dengan adanya restitusi untuk tindak pidana menyertakan anak, korban TPPO ataupun bersinergi dengan LPSK. Sehingga dari koalisi mengharapkan Jaksa bisa tetap menggunakan kewenangannya untuk mengimplementasikan prinsip keadilan restoratif baik pada pelaku dan korban atas dasar kemanusiaan.

Jakarta, 15 November 2021
Hormat Kami,

ICJR, IJRS dan LeIP

Erasmus A.T. Napitupulu – Direktur Eksekutif ICJR
Dio Ashar – Direktur Eksekutif IJRS
Liza Farihah – Direktur Eksekutif LeIP