Di tengah pandemi COVID-19, Enggal Pamukty–seorang pengusaha–mengajukan gugatan class action terhadap Presiden Joko “Jokowi” Widodo karena merasa pemerintah tidak serius dalam menghadapi wabah corona. Bersama lima orang lainnya dari kelompok usaha menengah, kecil dan mikro (UMKM), Enggal mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka berargumen ketika terdapat waktu untuk menyiapkan Indonesia menghadapi COVID-19, jajaran pemerintahan berkelakar soal COVID-19 dan kemudian terlambat melakukan tindakan pencegahan.
Dasar gugatan yang digunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang (UU) No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Mereka menuntut ganti rugi sebesar Rp 10,012 miliar karena mengalami penurunan pemasukan selama wabah virus corona. Mereka juga merasa dirugikan lantaran adanya korban meninggal dan kekhawatiran masyarakat yang tidak terjawab selama awal wabah merebak.
Bagaimana mekanisme dan preseden class action di Indonesia?
Mekanisme gugatan class action
Ketentuan hukum acara dalam class action di Indonesia diatur secara khusus dalam Perma No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Terdapat lima tahapan dalam gugatan perwakilan kelompok (class action).
Tahap pertama adalah pengajuan berkas gugatan. Dalam mengajukan berkas, penggugat harus memenuhi persyaratan gugatan class action. Penggugat juga harus melibatkan sejumlah anggota kelompok yang mengalami hal yang sama. Perma tidak menentukan batas minimal berapa orang anggota kelompok agar memenuhi syarat formal. Pakar hukum perdata M Yahya Harahap mengatakan bahwa jika jumlah anggota kelompok 5 atau 10 orang, maka lebih tepat menggunakan gugatan biasa karena proses pemeriksaannya lebih sederhana dibanding class action. Tidak ada batas jumlah maksimal untuk gugatan class action. Kelompok penggugat harus menuntut hal yang sama, menggunakan dasar hukum yang sama. Selain itu, wakil kelompok harus memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakili.
Tahap kedua adalah proses sertifikasi. Berdasarkan permohonan pengajuan gugatan, pengadilan kemudian memeriksa apakah wakil tersebut dijinkan untuk mewakili, apakah syarat-syarat untuk mengajukan gugatan sebagaimana diatur dalam Perma sudah terpenuhi, dan apakah class action merupakan prosedur yang tepat dalam melakukan gugatan tersebut. Sesudah kedua tahap awal selesai dan dinyatakan sah, maka gugatan memasuki tahap ketiga.
Pada tahap ini hakim segera memerintahkan penggugat dengan jangka waktu yang ditentukan melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompok. Ini untuk memberikan kesempatan bagi anggota kelompok menentukan apakah mereka ingin ikut serta dan terikat dengan putusan dalam perkara.
Tahap keempat adalah pemeriksaan dan pembuktian. Proses ini sama dengan perkara perdata umumnya. Bila pada hari sidang pertama, penggugat tidak hadir sedangkan tergugat atau kuasanya yang sah datang, maka gugatan digugurkan dan penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara. Bila pada hari sidang pertama dan pada hari sidang kedua tergugat tidak datang sedangkan penggugat atau para penggugat selalu datang, maka perkara akan diputus tanpa kehadiran tergugat atau verstek.
Tahap kelima dan terakhir adalah pelaksanaan putusan.
Preseden class action
Prosedur class action mulai dikenal di Indonesia saat pengacara RO Tambunan mengajukan gugatan perwakilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap pabrik rokok Bentoel pada 1987. Gugatan tersebut tidak diterima karena pada saat itu gugatan class action bertentangan dengan hukum yang berlaku. Selanjutnya, ada kasus Mukhtar Pakpahan melawan Gubernur DKI Jakarta dan Dinas Kesehatan Jakarta saat itu terkait endemi demam berdarah pada 1988. Di era 90-an, ada perusahaan Iklan dan Radio Swasta Niaga Prambors dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menggugat PT PLN Persero terkait pemadaman listrik pada 1997.
Akhirnya, gugatan class action diakui melalui UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, UU perlindungan konsumen dan UU kehutanan yang terbit di tahun 1999. Tahun 2001 menjadi bersejarah karena gugatan sembilan konsumen gas elpiji kepada Pertamina atas kenaikan harga gas elpiji menjadi perkara class action pertama yang dimenangkan. Selanjutnya, Mahkamah Agung mengatur konsep gugatan ini melalui Perma No. 1 tahun 2002.
Dalam praktiknya, class action di Indonesia tidak selalu berhasil.
Secara umum, agar class action dapat berjalan efektif, perwakilan harus memenuhi sejumlah pertimbangan yang meliputi: analisis kasus, kemungkinan kasus bisa dimenangkan, bukti-bukti penunjang, jumlah pihak yang dirugikan, besaran jumlah kerugian akibat pelanggaran yang diperkarakan, serta persyaratan formal.
Misalnya, pada 2002, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan class action yang diajukan perwakilan warga Jakarta korban banjir terhadap presiden, gubernur Jakarta serta gubernur Jawa Barat. Penggugat menganggap ketiganya bertanggung jawab atas bencana banjir di Jakarta pada Januari 2002 karena tidak memberikan peringatan dini kepada warga dan tidak melakukan langkah-langkah penanggulangan banjir yang semestinya.
Majelis hakim berpendapat bahwa presiden sebagai kepala pemerintahan tidak terbukti melakukan perbuatan hukum karena tidak memiliki kewajiban normatif untuk menanggulangi bencana banjir dan dinilai telah memiliki program terpadu untuk menanggulangi bencana banjir. Majelis juga berpendapat bahwa berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan otonomi berada pada tingkat kotamadya dan atau kabupaten, bukan pada provinsi.
Pada 2007, Mahkamah Agung menghukum PT Kereta Api Indonesia (KAI) untuk membayar ganti rugi kepada korban dan ahli waris korban kecelakaan tabrakan maut kereta api yang terjadi di Brebes, Jawa Tengah, pada 2002 yang menewaskan 33 orang. Dalam gugatan itu, para korban juga menggugat menteri perhubungan, menteri negara Badan Usaha Milik Negara, dan menteri keuangan. Namun, ketiga tergugat itu tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian.
Eksekusi putusan
Hakim harus memutuskan secara rinci pembagian jumlah ganti rugi dalam gugatan perwakilan kelompok yang dikabulkan. Hakim juga harus merinci siapa saja kelompok atau sub-kelompok yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi, dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian. Contoh pembayaran ganti rugi dapat dilihat dalam putusan Pengadilan Negeri Tanjung Pinang di Kepulauan Riau atas gugatan beberapa kelompok nelayan di Kota Baru Senggarang terhadap beberapa perusahaan dan pemerintah kota Tanjung Pinang terkait kerugian akibat kegiatan penambangan.
Majelis hakim menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga menghukum untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 10,760 miliar. Hakim memerintahkan penyelesaian pembayaran uang ganti rugi kepada penggugat melalui komisi pembayaran ganti rugi berisi sembilan orang anggota yang terdiri tiga wakil dari masing-masing sub-kelompok (para penggugat). Komisi ini kemudian menentukan sendiri mekanisme pendistribusian uang ganti rugi. Contoh lain adalah kasus gugatan warga Bukit Duri, Jakarta Selatan, terhadap pemerintah Jakarta atas penggusuran paksa dalam proyek normalisasi kali Ciliwung. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan pemerintah Jakarta dan tergugat lainnya wajib membayar ganti rugi materiil masing-masing sebesar Rp 200 juta kepada 93 warga Bukit Duri, atau total Rp 18,6 miliar.
Sebelas tergugat, termasuk gubernur Jakarta, wali kota Jakarta Selatan, beberapa kepala dinas, camat Tebet, dan lurah Bukit Duri membayar ganti rugi secara tanggung renteng. Pemerintah Jakarta kini juga sedang menghadapi gugatan class action terkait banjir awal tahun ini dan telah menyiapkan anggaran Belanja Tidak Terduga dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) jika mereka kalah. Bila akhirnya Jokowi kalah dalam gugatan class action ini, maka ia akan membayar ganti rugi bukan sebagai pribadi, tetapi sebagai kepala pemerintahan. Artinya, ganti rugi akan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Tulisan dibuat dalam media The Conversation : https://theconversation.com/amp/explainer-seperti-apa-gugatan-class-action-di-indonesia-136051