Search

Pernyataan Sikap IJRS Menolak Brutalitas dan Impunitas Kepolisian Lewat Sensor yang Dilegitimasi Pemerintah

Sejak unjuk rasa menolak tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bergulir pada 25 Agustus 2025, gelombang aksi terus meluas di Jakarta dan berbagai kota lain. Aksi ini kembali menyingkap brutalitas aparat Kepolisian RI sekaligus diiringi langkah-langkah nyata pembatasan penyiaran untuk meredam akses publik terhadap informasi independen dan imparsial. Pembatasan tidak hanya menyasar televisi dan radio, tetapi juga ruang digital yang menjadi kanal vital bagi masyarakat sipil dalam memantau jalannya protes di berbagai titik.

Pada 27 Agustus, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) memanggil perwakilan TikTok dan Meta Indonesia di tengah aksi yang tengah berlangsung. Langkah ini segera menuai kritik masyarakat sipil karena dinilai membuka ruang untuk sensor di ruang digital. Meski Wakil Menteri Komdigi menegaskan pertemuan itu tidak berkaitan dengan protes, sehari kemudian Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) DKI Jakarta mengeluarkan surat imbauan kepada 66 lembaga penyiaran agar tidak menayangkan liputan aksi di DPR RI, bahkan meminta pemberitaan dijaga agar tidak “memicu ketegangan” dan diarahkan pada nuansa “sejuk dan damai.” Dalam menanggapi surat imbauan tersebut, Menteri Komdigi menyampaikan melalui unggahan di media sosial bahwa informasi mengenai adanya pelarangan terhadap stasiun televisi nasional oleh pemerintah yang tersebar luas di masyarakat adalah hoaks.[1] Sekalipun informasi imbauan pembatasan penayangan liputan tersebut diklaim sebagai berita bohong, pada dasarnya, pemerintah semestinya tidak membatasi aktivitas peliputan dan penyebarluasan informasi terkait kegiatan unjuk rasa yang terjadi.

Kendati demikian, ancaman sensor di ruang digital semakin nyata ketika pada 30 Agustus pukul 15.40 WIB Presiden Prabowo Subianto memerintahkan TNI–Polri melakukan “penindakan tegas” terhadap massa, dan hanya beberapa jam kemudian, pukul 20.40 WIB,[2] fitur Live TikTok yang selama ini diandalkan masyarakat sipil untuk mendokumentasikan situasi lapangan, memantau brutalitas aparat kepolisian, serta menyalurkan informasi darurat kebutuhan penanganan medis mendadak tidak dapat lagi diakses di Indonesia.

URGENSI KEBEBASAN MELIPUT MASYARAKAT SIPIL DI RUANG DIGITAL

Dokumentasi masyarakat sipil melalui media sosial sepanjang 28–31 Agustus 2025 kembali menyingkap pola tindakan represif aparat kepolisian yang berlangsung secara sistematis di berbagai titik aksi. Tindak kekerasan berlebihan dan tanpa alasan (excessive and unwarranted) yang mencerminkan pola brutalitas kepolisian terhadap masyarakat sipil di berbagai belahan dunia terjadi secara masif di banyak kota. Bentuk kekerasan tersebut meliputi penganiayaan brutal, penembakan peluru karet, penggunaan gas air mata kedaluwarsa, hingga kekerasan fatal ketika kendaraan taktis kepolisian menabrak sejumlah massa aksi dan melindas seorang pengemudi ojek online hingga tewas.

Dalam konteks inilah peran masyarakat sipil di ruang digital menjadi krusial sebagai bukti penting peliputan dan penyiaran informasi yang independen serta imparsial. Tanpa rekaman, foto, dan laporan real-time yang disebarkan melalui platform seperti X, Instagram, dan TikTok, brutalitas kepolisian berisiko tidak pernah terungkap secara objektif, atau bahkan dimanipulasi dan dihapus dari ruang publik. Ruang digital memungkinkan masyarakat sipil mengumpulkan bukti, menjaga narasi independen, serta menentang monopoli informasi oleh pemerintah maupun media arus utama yang kerap bias dalam memberitakan kekerasan aparat. Media sosial memungkinkan semua orang untuk menyebarkan temuan dan kondisi lapangan secara langsung, dan menyamakan kedudukan masyarakat umum dengan media arus utama yang seringkali terafiliasi dengan partai politik tertentu.[3]

Apalagi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan bahwa setidaknya ada 951 massa aksi yang ditangkap oleh polisi.[4] Sementara itu, Lokataru Foundation melaporkan bahwa pada unjuk rasa 28 Agustus 2025 saja, terdapat 600 orang yang ditahan di Polda Metro Jaya.[5] Praktik penangkapan dan penahanan secara acak, disertai dengan berbagai bentuk kekerasan oleh pihak kepolisian terhadap warga pada saat demonstrasi, menunjukkan bahwa tindakan brutalitas tersebut adalah bentuk pelanggaran HAM dan perbuatan melawan hukum yang harus segera dihentikan dan pelakunya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut di pengadilan. Oleh karena itu, aktivitas peliputan dan pendokumentasian oleh warga perlu dilindungi guna memastikan adanya bukti dari segala bentuk tindakan brutal yang terjadi. Sebaliknya, segala bentuk pembatasan terhadap aktivitas jurnalisme warga merupakan bentuk perbuatan yang merendahkan HAM dan menghalangi pengumpulan bukti untuk kepentingan peradilan (obstruction of justice), sehingga harus segera dihentikan, baik yang dilakukan oleh pemerintah ataupun penyedia platform.

SENSOR NEGARA VS HAK KONSTITUSIONAL

Brutalitas aparat dan pembatasan penyebarluasan informasi selama unjuk rasa jelas bersinggungan dengan isu hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi maupun hukum internasional. Hak atas informasi merupakan hak fundamental, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28F UUD 1945 dan Pasal 14 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang menjamin setiap orang berhak mencari, memperoleh, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan sarana apa pun. Dalam konteks aksi, dokumentasi warga dan siaran langsung melalui media sosial adalah implementasi langsung dari hak tersebut.

Namun, tindakan negara justru menunjukkan arah sebaliknya. Pemanggilan penyedia platform digital hingga pemblokiran fitur live TikTok merupakan bentuk intervensi yang membatasi publik mengakses informasi independen. Padahal, standar HAM universal menegaskan bahwa pembatasan hak informasi hanya sah bila memenuhi tiga syarat utama:

  1. Berdasarkan hukum yang jelas (prescribed by law)
    Hingga kini, tidak ada regulasi terbuka yang menjadi dasar pemblokiran fitur live TikTok yang jelas. Langkah ini dilakukan tanpa dasar hukum yang transparan dan akuntabel, serta berpotensi menjadi bentuk sensor yang sewenang-wenang.
  2. Memiliki tujuan yang sah (legitimate aim)
    Instrumen internasional seperti ICCPR, Prinsip Siracusa, dan Prinsip Johannesburg memang mengakui pembatasan hak informasi demi keamanan nasional atau ketertiban umum. Namun, alasan itu tidak dapat digunakan untuk menekan kritik atau menutupi kekerasan aparat. Dalam kasus ini, sensor justru diarahkan untuk meredam publikasi mengenai brutalitas polisi dan gelombang protes, yang jelas bertentangan dengan prinsip HAM dan demokrasi.
  3. Diperlukan dan proporsional (necessity & proportionality)
    Jika pemerintah mengklaim alasan keamanan, pemblokiran menyeluruh terhadap fitur live streaming tidak bisa dianggap langkah proporsional. Tidak ada bukti bahwa opsi lebih ringan, seperti moderasi konten berbahaya, telah ditempuh. Akibatnya, publik kehilangan akses dokumentasi independen, sementara risiko penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat semakin besar.

BAHAYA SENSOR YANG DILEGITIMASI PEMERINTAH

Dalam situasi menguatnya sensor yang dilegitimasi oleh negara (state-sanctioned censorship), maka kebebasan pers, baik dari segi muatan yang disiarkan maupun keamanan bagi jurnalis dalam meliput menghadapi tantangan serius. Pembatasan akses, pemblokiran konten, hingga kriminalisasi jurnalis merupakan bentuk represi yang secara langsung mengancam fungsi utama pers. Pada 2024 sendiri, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat bahwa 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media sepanjang 1 Januari-31 Desember 2024.[6] Praktik represif aparat juga terdokumentasi dalam berbagai unjuk rasa; pada gelombang aksi #ReformasiDikorupsi yang memprotes Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, misalnya, polisi berulang kali mengintimidasi dan memaksa jurnalis untuk menghapus rekaman liputan yang merekam penganiayaan terhadap masyarakat sipil.[7]

Apalagi, pada Maret 2025 intimidasi terhadap media independen kembali terjadi, kali ini menimpa jurnalis Tempo. Pengiriman bangkai kepala babi yang diikuti dengan bangkai tikus tanpa kepala tersebut bertepatan dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang beberapa minggu sebelumnya secara terbuka mengecam media yang menerima pendanaan dari luar negeri dan menuduh mereka berupaya “memecah belah” bangsa.[8]

Peran pers menjadi sangat penting di tengah eskalasi sensor dan pembatasan akses media sosial di tengah aksi massa yang kerap diredam oleh brutalitas kepolisian: mendokumentasikan kekerasan aparat agar fakta tidak terhapus oleh monopoli narasi resmi, mendorong transparansi dan akuntabilitas untuk menjaga demokrasi yang sehat, serta menyediakan ruang bagi masyarakat sipil untuk mencatat dan menggugat penyalahgunaan kekuasaan negara.

Peran masyarakat sipil yang melaporkan secara mandiri bersama media alternatif juga penting untuk didukung dalam menjaga kontra-narasi yang imparsial. Jika pembatasan dan penyensoran terus dibiarkan, terutama dengan dalih “moderasi konten provokatif” untuk menghapus unggahan di media sosial di tengah gelombang unjuk rasa di berbagai kota maka masyarakat akan kehilangan mekanisme kontrol sosial terhadap aparat maupun pemerintah.

Dengan demikian, IJRS mengecam tindakan sensor terhadap peliputan unjuk rasa baik di ruang fisik maupun digital dan mendesak pihak terkait untuk:

  1. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), TikTok, dan Meta Indonesia untuk segera mengembalikan seluruh fitur platform media sosial yang dibatasi serta menghentikan praktik penyensoran terhadap konten terkait unjuk rasa.
  2. Komdigi dan KPI harus menjamin ruang bagi peliputan independen dan kontra-narasi yang imparsial, bukan justru menyensor atau memandangnya sebagai serangan. Sebagai regulator, keduanya berkewajiban melindungi fungsi media dalam memberikan akses atas informasi, serta mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan
  3. Aparat Negara, tak terkecuali TNI/POLRI dan instansi lainnya untuk menghentikan penangkapan dan penahanan tanpa dasar hukum yang jelas terhadap pengunjuk rasa, serta membebaskan semua pengunjuk rasa yang saat ini ditahan.
  4. Aparat Negara, tak terkecuali TNI/POLRI dan instansi lainnya untuk menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis dan massa aksi yang mendokumentasikan unjuk rasa.

 

[1] Detik.com. “Media TV Nasional Dilarang Meliput Demo DPR, Menkomdigi: Tidak Benar.” Terakhir diakses 31 Agustus 2025. https://www.detik.com/sumbagsel/berita/d-8087240/media-tv-nasional-dilarang-meliput-demo-dpr-menkomdigi-tidak-benar.

[2] Liputan6.com. “Ini Alasan TikTok Matikan Fitur Live Sementara di Indonesia.” Terakhir diubah 31 Agustus 2025. Terakhir diakses 31 Agustus 2025. https://www.liputan6.com/tekno/read/6146667/ini-alasan-tiktok-matikan-fitur-live-sementara-di-indonesia.

[3] Kompas.com. “AJI Temukan Enam Masalah di Media Jelang Pemilu 2024”. Terakhir diakses 31 Agustus 2025.  https://www.kompas.id/artikel/enam-masalah-media-jelang-pemilu-2024

[4] Kompas.com. “Komnas HAM: 951 Orang Ditahan Polisi Terkait Aksi Demo 25 dan 28 Agustus.” Terakhir diubah 29 Agustus 2025. Terakhir diakses 31 Agustus 2025. https://nasional.kompas.com/read/2025/08/29/14392601/komnas-ham-951-orang-ditahan-polisi-terkait-aksi-demo-25-dan-28-agustus.

[5] Tempo.co. “Lokataru: Polisi Tangkap 600 Demonstran.” Terakhir diakses 31 Agustus 2025. https://www.tempo.co/hukum/lokataru-polisi-tangkap-600-demonstran-2064174.

[6] AJI Indonesia. Catatan Tahunan AJI Indonesia 2024: Keluar dari Mulut Harimau, Masuk ke Mulut Buaya. Terakhir diakses 31 Agustus 2025. https://www.aji.or.id/data/catatan-tahunan-aji-indonesia-2024.

[7] DetikNews. “AJI Kecam Aksi Oknum Polisi Hapus Rekaman Wartawan Peliput Demo di Palu.” Terakhir diakses 31 Agustus 2025. https://news.detik.com/berita/d-4722028/aji-kecam-aksi-oknum-polisi-hapus-rekaman-wartawan-peliput-demo-di-palu.

[8] International Federation of Journalists (IFJ), “Indonesia: Probe Demanded after Severed Animal Parts Sent to Tempo Magazine,” IFJ Media Centre, diakses 31 Agustus 2025, https://www.ifj.org/media‑centre/news/detail/category/press‑releases/article/indonesia-probe-demanded-after-severed-animal-parts-sent-to-tempo-magazine.

Bagikan:

Rilis Pers Lainnya:

Rilis Pers
Silfester Matutina: Dari Putusan Pidana Tanpa Pidana Menuju Komisaris Badan Usaha Milik Negara
Rilis Pers
Peluncuran Buku Terjemahan KUHAP Belanda: Studi Komparasi untuk Perbaikan KUHAP di Indonesia