Search

Silfester Matutina: Dari Putusan Pidana Tanpa Pidana Menuju Komisaris Badan Usaha Milik Negara

Pada Putusan No. 287 K/Pid/2019, Silfester Matutina dipidana penjara 1 tahun 6 bulan karena melanggar Pasal 311 ayat (1) KUHP tentang tindak pidana fitnah. Namun, setelah 6 tahun sejak putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, putusan pengadilan tersebut tidak kunjung dieksekusi. Silfester Matutina masih bebas melenggang, bahkan baru saja diangkat menjadi komisaris salah satu BUMN.

BAGAIMANA MEKANISME EKSEKUSI SISTEM PERADILAN PIDANA SEHARUSNYA BERJALAN?

Urusan eksekusi putusan pidana adalah kewenangan sekaligus tanggung jawab instansi Kejaksaan (Pasal 270 KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) huruf b UU Kejaksaan RI). Selain Kejaksaan, Pengadilan juga sebenarnya memiliki peran untuk memastikan eksekusi putusan perampasan kemerdekaan berjalan dengan baik, salah satunya melalui Hawasmat (Hakim Pengawas dan Pengamat), yang ditunjuk pengadilan untuk mengawasi dan mengamati pelaksanaan putusan pengadilan (Pasal 277-283 KUHAP).

LAYAKNYA PERADILAN SEMU

Ketiadaan proses eksekusi terhadap perkara Silfester Matutina, menunjukkan bagaimana sistem peradilan pidana tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sungguh ironi ketika negara sendiri pun ternyata tidak patuh pada putusan pengadilan yang dikeluarkan oleh “dirinya sendiri”. Pada akhirnya, proses peradilan yang berjalan justru tampak seperti peradilan semu semata, karena tidak memiliki konsekuensi hukum apapun.

PUTUSAN PENGADILAN DAN KEPERCAYAAN PUBLIK

Joseph Raz menegaskan bahwa sistem hukum itu berjalan ketika publik percaya bahwa hukum itu mengikat pada diri mereka. Untuk menjaga kepercayaan ini, perlu adanya sistem yang memaksa publik untuk tetap berpikir demikian. Di sinilah peran pengadilan melalui kewenangan/otoritas yang dimilikinya untuk menjatuhkan sanksi setiap terjadinya pelanggaran hukum. Tanpa adanya pelaksanaan perintah pengadilan tadi, peran pengadilan dalam sistem peradilan pidana tidak lagi memiliki arti. Kepercayaan publik terhadap hukum pun terancam tergerus.

Selain itu, praktik seperti ini justru menghilangkan makna dari keberadaan aturan (hukum) itu sendiri. Tanpa adanya sanksi atas pelanggaran hukum maka dengan sendirinya dikotomi antara suatu larangan dan kebolehan pun menjadi kabur. Hal ini karena tidak ada lagi perbedaan antara melakukan sesuatu yang dilarang dengan yang diperbolehkan, karena pada akhirnya tidak ada konsekuensi apapun yang akan diterima pihak-pihak yang melanggar hukum.

PERLUNYA INVESTIGASI MENDALAM DAN ANCAMAN SANKSI ETIK

Tidak segera dieksekusinya putusan pengadilan dalam kasus ini tentu meninggalkan tanda tanya besar. Kejaksaan selaku eksekutor putusan pidana harus menjelaskan mengapa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tak kunjung dieksekusi. Selain itu, Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan beserta jajarannya dan Komisi Kejaksaan juga perlu turut melakukan investigasi mendalam untuk menelisik kemungkinan adanya pelanggaran etik perihal tidak dilaksanakannya putusan ini oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Jika memang ditemukan adanya pelanggaran etik di kemudian hari, pihak yang bersangkutan mesti dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Hal ini menjadi penting sebagai bentuk profesionalisme dan sikap transparan Kejaksaan kepada publik.

BISA JADI BUKAN SATU-SATUNYA KASUS

Pada tahun 2023, Kejaksaan berhasil melakukan eksekusi sebanyak 116 ribu perkara dari total 130 ribu perkara yang telah berkekuatan hukum tetap. Meskipun secara persentase capaian tersebut termasuk tinggi, Kejaksaan RI harus dapat memastikan bahwa setiap penundaan eksekusi putusan pengadilan telah memiliki alasan yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga mencegah potensi kasus serupa tidak terulang kembali.

Oleh karena itu, IJRS dan LeIP menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Meminta Kejaksaan untuk memberikan penjelasan kepada publik perihal alasan tidak dilaksanakannya Putusan No. 287 K/Pid/2019;
  2. Meminta Kejaksaan untuk segera melaksanakan Putusan No. 287 K/Pid/2019 sesuai dengan amar putusan yang diperintahkan;
  3. Meminta untuk dilaksanakannya pemeriksaan mengenai kemungkinan adanya pelanggaran etik atas tidak dilaksanakannya Putusan No. 287 K/Pid/2019;
  4. Meminta Mahkamah Agung untuk melakukan evaluasi atas peran dari Hawasmat dalam pengawasan pelaksanaan putusan;
  5. Meminta pada Kejaksaan untuk melaksanakan segala putusan pengadilan yang belum dilaksanakan.

 

Narahubung:

IJRS (+62) 821 2500 8141

LeIP (+62) 852 9136 0001

Bagikan:

Rilis Pers Lainnya:

Rilis Pers
Peluncuran Buku Terjemahan KUHAP Belanda: Studi Komparasi untuk Perbaikan KUHAP di Indonesia
Rilis Pers
Suap Penanganan Perkara - Quo Vadis Reformasi Peradilan? - Pernyataan Sikap Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kemitraan Pemerintahan Terbuka Indonesia (IJRS, TI-I, ICW, PWYP)