Pada Jumat, 7 Maret 2025, Menteri Agama Nasaruddin Umar mengumumkan bahwa Kementerian Agama berencana membentuk program kursus calon pasangan suami istri selama satu semester guna mencegah perceraian. Dalam konferensi pers Program Prioritas Kementerian Agama, Nasaruddin juga menyiratkan bahwa masyarakat Indonesia “gampang” memutuskan untuk menikah, sehingga perkawinan mereka juga “gampang” berakhir.[1] Pernyataan ini cenderung mengabaikan faktor-faktor penyebab perceraian, khususnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kondisi sosial-ekonomi yang sering terjadi dalam fenomena perkawinan anak.
Interpretasi Ulang Konsep Ketahanan Keluarga
Arah kebijakan kursus calon pasangan suami istri ini erat kaitannya dengan konsep ketahanan keluarga, namun fokus yang hanya menitikberatkan pada pencegahan perceraian berisiko mengabaikan realitas bahwa perceraian adalah jalan keluar terbaik bagi korban KDRT.
IJRS melalui kajian Pemantauan dan Evaluasi terkait Kebijakan Penanganan Perempuan dan Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam Proses Peradilan, mengungkap bahwa dalam perceraian bernuansa KDRT maka selain kekerasan ekonomi (15,4%), dua jenis kekerasan yang paling sering ditemui dalam putusan perceraian adalah kekerasan fisik (18,4%), dan kekerasan psikis (14,4%).[2]
Banyak kasus KDRT yang dilaporkan di media massa berujung pada kematian, khususnya dalam situasi di mana istri tidak dapat berpisah dari suami mereka yang merupakan pelaku kekerasan. Kementerian Agama seharusnya menjadikan kasus-kasus ini sebagai refleksi, bahwa perempuan korban KDRT harus memiliki akses untuk mengakhiri perkawinan demi keselamatan mereka. Namun, stigma perceraian yang masih kuat di masyarakat sering kali menghalangi perempuan korban KDRT untuk menggugat cerai, sehingga mereka tetap terjebak dalam hubungan yang penuh kekerasan.
Penelitian menunjukkan bahwa meskipun mengalami KDRT, banyak perempuan memilih untuk bertahan dalam perkawinan mereka daripada memilih untuk menggugat cerai.[3] Selain stigma sosial terkait stigma negatif status janda, masyarakat juga memiliki persepsi bahwa proses perceraian mahal dan berbelit, membuat perempuan enggan menempuh jalur hukum. Dengan demikian, kombinasi stigma sosial dan sistem hukum yang tidak berperspektif korban kerap menyulitkan perempuan untuk melepaskan diri dari perkawinan yang penuh kekerasan.
Alih-alih memperkuat stigma perceraian dengan kebijakan yang mencegah perceraian demi ketahanan keluarga, Kementerian Agama seharusnya mengedepankan ketahanan keluarga yang berorientasi pada kesejahteraan perempuan dan anak, bukan sekadar menekan angka perceraian. Ketahanan keluarga tidak boleh hanya diartikan sebagai “bertahan dalam perkawinan,” tetapi juga harus memastikan seluruh anggota keluarga, khususnya kelompok rentan seperti perempuan dan anak bebas dari kekerasan dalam rumah tangga.
Perkawinan Anak melalui Mekanisme Dispensasi Kawin
Kementerian Agama juga harus menyadari realitas perkawinan anak yang terjadi melalui mekanisme dispensasi kawin, di mana anak perempuan cenderung menikah dengan laki-laki yang lebih tua. Banyak pernikahan ini terjadi karena alasan ekonomi, di mana keluarga yang tidak mampu membiayai anak perempuan mereka memilih menikahkannya dengan laki-laki yang lebih mapan secara finansial.
Situasi ini menciptakan kerentanan tersendiri bagi anak perempuan, baik dalam aspek relasi kuasa maupun risiko kekerasan dalam rumah tangga karena bergantung secara finansial dengan suami mereka. IJRS menemukan 39,5% atau mayoritas anak perempuan yang mengajukan dispensasi kawin memiliki calon suami dewasa berusia antara 20–25 tahun, sementara 11,8% lainnya memiliki calon suami yang jauh lebih tua, yaitu berusia antara 26–35 tahun.[4]
Oleh karena itu, Kementerian Agama harus menghadapi realitas ini dengan membekali pasangan yang menikah melalui mekanisme dispensasi kawin agar dapat membangun perkawinan yang sehat dan bebas dari kekerasan. Khususnya, anak perempuan harus diberikan akses dan pemahaman tentang hak-hak mereka, termasuk hak untuk mengakses bantuan hukum serta untuk mengajukan perceraian ketika mengalami kekerasan.
Kursus Perkawinan Harus Mengakomodasi Realitas KDRT dan Perkawinan Anak
Secara prinsip, kursus perkawinan yang diusung oleh Kementerian Agama bukanlah kebijakan yang buruk. Namun, kursus ini akan lebih bermanfaat ketika Kementerian Agama memastikan bahwa materi yang diajarkan mencakup edukasi tentang KDRT serta modul kursus spesifik bagi pasangan yang menikah melalui dispensasi kawin.
Kursus perkawinan bukan sekedar mekanisme untuk menekan angka perceraian, tetapi harus mencakup edukasi yang komprehensif, termasuk pengenalan tanda-tanda KDRT, pemahaman hak-hak pasangan dalam perkawinan, serta hak atas perlindungan hukum dan perceraian bagi korban kekerasan. Selain itu, pendampingan khusus harus diberikan bagi pasangan yang menikah melalui mekanisme dispensasi kawin untuk membangun hubungan yang bebas dari kekerasan. Dengan demikian, kursus ini bukan sekadar untuk mencegah perceraian, tetapi juga melindungi perempuan dan anak dari berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Indonesia Judicial Research Society menuntut agar Kementerian Agama mengambil langkah-langkah berikut:
- Kementerian Agama harus memperhatikan realitas sosial masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang mengalami KDRT dan mereka yang menikah pada usia anak melalui mekanisme dispensasi kawin.
- Kementerian Agama harus memastikan bahwa materi dalam kursus perkawinan tidak hanya berfokus pada pencegahan perceraian, tetapi juga mencakup edukasi tentang KDRT serta modul kursus spesifik bagi pasangan yang menikah melalui dispensasi kawin.
[1] “Menag Mau Bikin Kursus Calon Pengantin 1 Semester Buat Cegah Angka Perceraian,” Kumparan, 8 Maret 2024, diakses 8 Maret 2025, https://kumparan.com/kumparannews/menag-mau-bikin-kursus-calon-pengantin-1-semester-buat-cegah-angka-perceraian-24d3Mk4qb2x/3.
[2] IJRS dan Yayasan PEKKA, Pemantauan dan Evaluasi Terkait Kebijakan Penanganan Perempuan dan Anak Berhadapan dengan Hukum Proses Peradilan (Jakarta: Indonesia Judicial Research Society, 2025), 60.
[3] Rika Saraswati, “Riset: Perempuan Korban KDRT Enggan Bercerai karena Ingin Hindari Sanksi Sosial,” The Conversation, 13 Maret 2020, diakses 8 Maret 2025, https://theconversation.com/riset-perempuan-korban-kdrt-enggan-bercerai-karena-ingin-hindari-sanksi-sosial-132768.
[4] IJRS dan Yayasan PEKKA, Pemantauan dan Evaluasi Terkait Kebijakan Penanganan Perempuan dan Anak Berhadapan dengan Hukum, 167.