Pada Kamis, 20 Februari 2025 yang lalu, Presiden Prabowo Subianto memanggil para Hakim Agung ke istana negara. Di dalam pertemuan tersebut, Yusril Ihza Mahendra (Menteri Koodinator Hukum, HAM, dan Imigrasi) menjelaskan bahwa Prabowo meminta agar para hakim dapat mem-‘back up’ atau menunjang Presiden dengan melakukan penegakan hukum secara benar.[1] Adapun permintaan presiden ini dilatarbelakangi kepentingan pemerintah untuk merebut kekayaan alam milik negara.[2]
Mungkin, banyak orang berpikir bahwa pola komunikasi antara Presiden dengan para Hakim Agung tersebut terkesan wajar. Tetapi, terlepas dari apa latar belakang pertemuan tersebut, perlu dicermati bahwa permintaan Presiden tersebut ia ucapkan kepada para Hakim Agung, yang dalam menjalankan fungsi mengadili dan memutus harus senantiasa dibebaskan dari campur tangan maupun intervensi dalam bentuk apapun. Diperparah lagi, Otto Hasibuan (Wakil Menteri Koodinator Hukum, HAM, dan Imigrasi) menjelaskan bahwa kedatangan para Hakim Agung pada pertemuan tersebut memang adalah untuk mendengarkan arahan dari Pak Presiden.[3] Frasa “mendengarkan arahan” ini memiliki konotasi yang sangat kuat, bahwa telah terjadi pola komunikasi yang bersifat sub-ordinatif (hubungan atasan-bawahan) antara Presiden sebagai kepala pemerintahan (cabang kekuasaan eksekutif) dengan para Hakim (cabang kekuasaan yudisial). Dengan kata lain, Presiden telah menempatkan dirinya pada kedudukan yang lebih tinggi dari lembaga peradilan. Hal ini dengan jelas telah mencederai prinsip dasar ketatanegaraan tentang kedudukan yang berimbang antara cabang kekuasaan sebagaimana termaktub dalam konstitusi, bahwa hakim itu bukan bawahan Presiden.
Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman yang Independen
IJRS mengidentifikasi apa yang dilakukan Presiden Prabowo beserta jajarannya telah menyebabkan pemisahan yang tegas antara Hakim sebagai pengemban kekuasaan kehakiman dengan lembaga kepresidenan menjadi kabur. Presiden Prabowo, sebagai kepala negara dari negara yang mengaku sebagai negara hukum, semestinya menjaga kedudukan cabang kekuasaan kehakiman agar selalu merdeka/independen, terpisah secara tegas dari cabang kekuasaan lain, dan memiliki kedudukan yang setara, bukan lebih rendah dari cabang kekuasaan yang lain. Perlu diingat bahwa sewaktu-waktu pemerintah juga dapat menjadi pihak yang berperkara di pengadilan, dan tidak jarang juga pemerintah bersengketa dengan unsur non-pemerintah (masyarakat sipil), sehingga independensi kekuasaan yudisial adalah prasyarat mutlak bagi tegaknya hukum dan keadilan di negara hukum.
Adapun dalam hal Presiden sebagai kepala pemerintahan merasa perlu adanya perhatian khusus pada sektor penegakkan hukum untuk memastikan supaya pelaksanaan proyek/program kerja pemerintah berjalan sah sesuai hukum yang berlaku, alih-alih memberikan “perintah” pada para Hakim, Presiden lebih pas, dan memang berwenang, untuk memerintahkan Kepolisian dan Kejaksaan agar senantiasa melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional sesuai dengan koridor etik dan hukum yang berlaku. Hal ini juga tidak terlepas dari tanggung jawab seorang Presiden atas penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan sebagai bagian dari kabinet pemerintahan. Berhubungan dengan hal ini, Presiden, misalnya, dapat memberikan arahan kepada Kepolisian dan Kejaksaan agar membentuk (kebijakan) strategi dan prioritas sektor penegakan hukum tertentu yang sejalan dengan visi dan misi pemerintah. Dengan demikian, Presiden tetap mendorong kebijakan penegakan hukum sesuai sektor prioritasnya, tanpa perlu mencampuri, apalagi melakukan “kooptasi” pada urusan cabang kekuasaan kehakiman (yudisial), yang memang seharusnya senantiasa mandiri, merdeka, dan tidak pernah boleh diintervensi dalam bentuk apapun dan oleh siapapun.
Oleh karena itu, terhadap peristiwa ini, Indonesia Judicial Research Society menuntut agar:
- Presiden beserta jajarannya berhenti untuk melakukan intervensi/kooptasi pada cabang kekuasaan kehakiman (yudisial) dalam cara dan bentuk apapun; dan
- Presiden sebagai kepala pemerintahan/eksekutif menghormati kedudukan Hakim dengan menempatkan dirinya dalam posisi yang setara dengan cabang kekuasaan yudisial.
[1] “Prabowo Minta Hakim MA Bantu Upayanya Rebut Kekayaan Alam Milik Negara”, Tempo.co (2o Februari 2025), https://www.tempo.co/politik/prabowo-minta-hakim-ma-bantu-upayanya-rebut-kekayaan-alam-milik-negara-1209953. Diakses 22 Februari 2025.
[2] “Prabowo Kumpulkan Hakim MA dan Beri Arahan, Pakar: Itu Intervensi”, Tempo.co (21 Februari 2025), Prabowo Kumpulkan Hakim MA dan Beri Arahan, Pakar: Itu Intervensi | tempo.co, diakses 22 Februari 2025.
[3] “Prabowo Minta Hakim MA Bantu Upayanya Rebut Kekayaan Alam Milik Negara”, Tempo.co (2o Februari 2025), https://www.tempo.co/politik/prabowo-minta-hakim-ma-bantu-upayanya-rebut-kekayaan-alam-milik-negara-1209953. Diakses 22 Februari 2025.
Narahubung Peneliti IJRS
Salisa (salisa.azzahro@ijrs.or.id)
Aditya (aditya@ijrs.or.id )
IJRS
+62 821-2500-8141 (WA only) | office@ijrs.or.id
Instagram: @ijrs_official