Search

Opini

Rapor merah reformasi hukum peradilan pidana Jokowi, PR untuk Prabowo

Penulis: Gladys (Peneliti IJRS) dan Dio Ashar Wicaksana (Dewan Pengurus IJRS / Akademisi STIH Adhyaksa)

Bulan Oktober ini tidak hanya akan menjadi momentum pergantian rezim pemerintahan Indonesia, tetapi juga refleksi atas dinamika politik yang terjadi menjelang berakhirnya masa pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang mencatatkan rapor merah reformasi hukum dan peradilan pidana.

Tentunya ada sejumlah gebrakan positif pemerintah dalam reformasi hukum. Misalnya saja pengesahan KUHP baru (Undang-Undang No. 1 Tahun 2023)–menggantikan KUHP lama warisan masa kolonial Belanda–yang menjadi tonggak penting bagi kemajuan aturan pidana di Indonesia. Pemerintahan Jokowi juga mengesahkan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang menjadi secercah harapan bagi para korban kekerasan seksual.

Mantan Gubernur Solo tersebut juga menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) No. 17 Tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat sebagai bentuk komitmen terhadap pemenuhan pemulihan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat tanpa meninggalkan penyelesaian jalur yudisial yang terus berproses.

Namun, tetap tidak bisa dipungkiri, masih jauh lebih banyak catatan kritis. Sebagai contoh, meskipun Keppres tersebut sudah terbit, tetap belum ada kasus pelanggaran HAM berat yang tuntas ditangani selama dua periode kepemimpinan Jokowi.

Tidak hanya itu, variabel penegakan hukum perkara pelanggaran HAM berat dalam Indeks Pembangunan Hukum Tahun 2022 menunjukkan skor 0,37–masuk dalam kategori buruk. Nilai rendahnya terutama terlihat pada aspek peradilan pidana dan pemenuhan hak dasar. Padahal penyelesaian HAM masa lalu selalu menjadi poin kampanye yang diangkat Jokowi pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 dan 2019.

Sebagai penerusnya berikutnya, Prabowo Subianto–yang juga punya catatan hitam soal pelanggaran HAM–akan menghadapi tantangan yang berat dalam aspek reformasi hukum.

Tulisan ini akan mengelaborasi berbagai kritik terhadap lemahnya upaya reformasi sistem peradilan pidana di masa Jokowi, yang dapat menjadi acuan bagi masyarakat sipil, akademisi dan praktisi reformasi peradilan dalam memantau kinerja pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo.

#SemuaBisaKena

Kasus fenomenal Nenek Minah yang diputus bersalah oleh Pengadilan karena “mencuri” tiga buah kakao dan kasus Baiq Nuril pada 2019–korban pelecehan oleh atasannya yang justru diputus bersalah karena pencemaran nama baik dalam UU ITE, memperlihatkan betapa rentannya kita sebagai warga negara untuk berinteraksi dengan sistem peradilan pidana.

Kita semua berpotensi berhadapan dengan hukum, baik sebagai korban, saksi, maupun pelaku/tersangka pada peradilan pidana.

Kasus-kasus tersebut membuktikan bagaimana regulasi hukum pidana di Indonesia masih belum cukup kuat mengakomodasi kebutuhan publik, cenderung membuat masyarakat miskin dan kelompok rentan mudah dikriminalisasi, dan masih membuka ruang bagi aparat penegak hukum melakukan tindakan sewenang-wenang.

Apabila sistem peradilan pidana tidak berjalan secara akuntabel dan adil, maka mereka yang masuk ke dalam sistem peradilan pidana akan berisiko mendapatkan perlakuan yang salah, terlanggar hak-hak dan kualitas hidupnya, atau bahkan, dalam kasus tertentu, justru akan mengalami kekerasan lanjutan oleh aparat penegak hukum.

Indeks Akses Keadilan Indonesia Tahun 2021 memperlihatkan 54,4% dari 2.341 masyarakat mengalami permasalahan hukum terkait kriminalitas–sebanyak 80% di antaranya merupakan korban dari permasalahan hukum. Temuan Indeks Akses Keadilan tersebut juga menemukan bahwa 73% dari masyarakat yang mengalami permasalahan hukum mengalami dampak seperti kerugian psikis, kerugian ekonomi/finansial, dan kerugian fisik.

Crime control yang sudah usang

Praktik yang selama ini dijalankan oleh aparat penegak hukum sarat akan pendekatan crime control yang mengutip literatur klasik, seringkali justru mengabaikan asas praduga tak bersalah dan hak-hak tersangka dalam proses peradilan, serta memberikan kewenangan yang sangat besar bagi polisi dalam melakukan investigasi.

Contoh yang paling mudah kita lihat adalah “penertiban” aksi massa oleh polisi yang seringkali tidak sesuai prosedur dan sarat dengan praktik kekerasan oleh polisi, seperti yang terjadi pada aksi Reformasi Dikorupsi pada 2019 dan Darurat Demokrasi 2024.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam laporannya tahun 2019 mencatat 88 kasus penangkapan sewenang-wenang dengan jumlah korban mencapai 1.144 orang. Ini termasuk persekusi, intimidasi, memasuki tempat tinggal tanpa izin, dan penyiksaan.

Kebijakan pidana ‘balas dendam’

Konsep crime control juga tercermin pada kebijakan penghukuman (punitif) yang selalu berorientasi pada memberikan efek jera kepada pelaku. Padahal, terlalu banyak kebijakan yang punitif hanya memperlihatkan tindakan negara yang lemah dan tidak mampu menciptakan ketertiban. Sebaliknya, peradilan pidana yang punitif justru menghasilkan peningkatan (3%) terhadap residivisme.

Salah satu contoh kebijakan punitif yang masih bertahan di masa pemerintahan Jokowi adalah kebijakan war on drugs, yang menganggap bahwa penjara memiliki tujuan utama untuk memberikan hukuman daripada rehabilitasi dan dianggap sebagai strategi yang efektif untuk melindungi keselamatan publik.

Akibatnya, hingga saat ini jumlah narapidana narkotika terus meningkat. Data Informasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan per 27 Agustus 2024 mencatat dari total 217.299 jumlah narapidana, penghuni untuk kasus tindak pidana narkotika mencapai 51,50%.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat kebijakan war on drugs hanya mengatur persoalan jenis tindak pidana dan jumlah narkotika untuk menjadi syarat hukuman, tanpa melihat faktor lainnya terkait penggolongan peran pelaku sebagai pengguna, pecandu, ataupun kurir narkotika yang mengedarkan dalam jumlah yang besar.

Sebenarnya, penghukuman akan lebih efektif jika disertai dengan usaha untuk integrasi sosial antara individu atau komunitas yang terdampak dari suatu kejahatan. Oleh karenanya, hukuman penjara bukanlah kebijakan yang tepat untuk menjadi pilihan pertama, dan integrasi sosial perlu didukung dengan aktor-aktor di luar sistem peradilan pidana, seperti komunitas dan layanan pendukung dari sektor sosial dan kesehatan masyarakat.

Kita juga perlu mengingat bahwa war on drugs menjadi kebijakan keras dan punitif yang dapat berujung pada hukuman mati. Imparsial mencatat selama periode pertama Pemerintahan Presiden Jokowi, tingkat penjatuhan hukuman mati dan eksekusinya dilakukan secara masif.

Pada tahun 2022, ICJR mencatat tren penambahan kasus yang dituntut dan/atau divonis hukuman mati masih didominasi oleh tindak pidana narkotika sebanyak 93%. Sementara itu, belum ada bukti empiris yang menunjukkan efektivitasnya terhadap pengendalian kejahatan narkotika.

Biaya mahal sistem pidana

Riset menunjukkan bahwa mengedepankan hukuman punitif melalui penjara membutuhkan biaya yang lebih tinggi daripada nonpemenjaraan. Dalam konteks Indonesia, negara harus mengadili pelaku melalui seluruh tahapannya, mulai dari penyidikan oleh Kepolisian, penuntutan oleh Kejaksaan, pendampingan hukum oleh Advokat, pengadilan oleh Mahkamah Agung, sampai dengan pemasyarakatan. Seluruh proses peradilan pidana tersebut memerlukan sumber daya yang memakan banyak biaya.

Dalam kerangka cost of crime and criminal justice, biaya yang dikeluarkan oleh negara mencakup biaya makan dan kebutuhan narapidana, transportasi dan logistik selama proses hukum, biaya untuk mencari bukti, dan biaya untuk menghadirkan ahli.

Pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan aspek biaya sebagai salah satu kerangka penting dalam pembentukan kebijakan peradilan pidana. Sumber daya semestinya dapat dialokasikan dengan lebih baik untuk intervensi yang menawarkan pengembalian investasi tertinggi, seperti program pencegahan dan perawatan yang mungkin lebih hemat biaya dalam jangka panjang daripada pemenjaraan.

Pekerjaan rumah untuk Prabowo

Ulasan di atas tentunya hanya segelintir isu yang mengemuka tentang sistem peradilan pidana kita. Masih banyak konteks lain yang sering luput dari pembahasan. Tanpa sistem peradilan yang akuntabel, kita semua akan memiliki risiko yang sama untuk ditangkap secara sewenang-wenang, dibatasi hak-hak hukumnya, dan berisiko mengalami perlakuan yang salah, baik sebagai korban, saksi, ataupun pelaku.

Tanpa sistem peradilan yang transparan, kita #SemuaBisaKena. Kelompok masyarakat miskin dan rentan akan semakin terhimpit, dan stabilitas negara akan terdampak. Apabila stabilitas negara tidak terjaga, maka dapat berisiko memengaruhi ekonomi dan iklim investasi, lalu mimpi besar membangun Indonesia yang kuat di mata dunia tidak akan terwujud.

Apalagi saat ini Indonesia sedang dalam proses untuk menjadi bagian anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang mewajibkan suatu negara untuk menunjukkan komitmen pada masyarakat demokratis berdasarkan prinsip rule of law dan perlindungan HAM.

Belajar dari kontroversi Pemilu 2024

Dari berbagai dinamika yang muncul pada Pemilu 2024 kemarin, kita juga bisa melihat bagaimana reformasi hukum dapat dengan mudahnya berbalik arah sesuai dengan kepentingan politik penguasa. Sehingga menjadi penting bagaimana Pemerintahan berikutnya mampu memastikan kebijakan hukum yang yang melibatkan partisipasi publik.

Mengutip pendapat Piquero (2019) dan Sherman (2013), pengetahuan yang kita miliki perlu dikombinasikan dengan keahlian para pakar, mitra pembangunan, pengalaman masyarakat sipil, serta aktor kunci lainnya baik di tingkat pusat dan daerah agar dapat menghasilkan berbagai kebijakan dan praktik berbasis bukti.

Oleh karena itu, memantau arah kebijakan Presiden dan parlemen periode berikutnya menjadi penting untuk memastikan upaya menguatkan sistem peradilan pidana di Indonesia tidak berhenti begitu saja.

Mari bersama-sama memantau reformasi hukum dan sistem peradilan di Indonesia. Mari bersama-sama #PantauPrabowo.

Tulisan ini dimuat dalam media The Conversation: https://theconversation.com/rapor-merah-reformasi-hukum-peradilan-pidana-jokowi-pr-untuk-prabowo-237488

Bagikan:

Opini Lainnya:

COVER_Undang-undang atau Peraturan
Disparitas pemidanaan: mengapa pelaku kekerasan seksual bisa mendapat hukuman berbeda-beda untuk kasus serupa?
COVER_Narkotika
Revisiting Indonesia’s New Criminal Code: A Missed Opportunity to End Legal Uncertainty in Drug Policy
COVER_Korupsi
Modus ‘mark up’ laporan kegiatan mahasiswa: bibit dan peluang korupsi di lingkungan kampus
COVER_KBGO
Sextortion: Bentuk kekerasan seksual online yang memakan banyak korban, tapi payung hukumnya masih lemah