Search

Disparitas Pemidanaan: Menyoroti Konsistensi Putusan Pengadilan dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Dalam rangka masih memperingati Hari Perempuan Internasional, pada hari Kamis 28 Maret 2024, Indonesia Judicial Research Society (IJRS) bersama dengan The Conversation Indonesia didukung oleh Pemerintah Australia melalui Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2),  menggelar Diskusi Publik bertajuk “Disparitas pemidanaan: Menyoroti Konsistensi Putusan Pengadilan dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual.” Adapun Diskusi Publik yang digelar secara daring ini dilaksanakan sebagai wadah sosialisasi dan edukasi bagi masyarakat termasuk aparat penegak hukum terkait dengan disparitas pemidanaan putusan hakim dalam kasus kekerasan seksual.

Putusan pengadilan di Indonesia termasuk putusan tindak pidana kekerasan seksual masih menunjukkan adanya disparitas pemidanaan. Disparitas pemidanaan dimaknai sebagai perbedaan hukuman pada kasus-kasus dengan karakteristik yang serupa. Namun tidak semua disparitas pemidanaan adalah buruk, karena memang tidak ada perkara yang betul-betul sama. Disparitas pemidanaan akan menjadi permasalahan jika perbedaan hukuman tidak didasarkan dengan alasan yang jelas, termasuk dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang tidak relevan –misalkan faktor ras, etnis, agama, dan lain sebagainya– untuk dipertimbangkan dalam perkara tersebut. Hal inilah yang disebut dengan unwarranted disparity (disparitas pemidanaan yang tidak bertanggungjawab). Dalam penelitian yang dilakukan IJRS ini tidak membahas terkait apa saja faktor yang menyebabkan disparitas pemidanaan, melainkan untuk mengetahui seberapa besar angka disparitas pemidanaan dalam putusan kekerasan seksual, khususnya pada tindak pidana perkosaan dan pencabulan pada tahun 2019-2021 di pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Militer) di Indonesia.

Penelitian ini kemudian menemukan disparitas pemidanaan pada perkara tindak pidana perkosaan sebesar 88% sedangkan dalam pencabulan sebanyak 80%. Penelitian ini juga menemukan rata-rata tuntutan dan rata-rata vonis pidana penjara perkara perkosaan dan pencabulan di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Militer yang cukup berbeda jauh. Sebagai contoh, terhadap Pasal 294 ayat (2) KUHP tentang Pencabulan, rata-rata tuntutan di Pengadilan Militer adalah 8 (delapan) bulan dan rata-rata putusan 7 (tujuh) bulan. Sedangkan dalam Pengadilan Negeri rata-rata tuntutannya adalah 60 bulan penjara.

Di samping itu, penelitian ini juga menemukan adanya perbedaan paradigma dari hakim dalam memaknai penetrasi seksual/persetubuhan, dimana ada yang hanya memakai penetrasi seksual sebagai penetrasi alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan (KUHP), namun ada hakim yang memaknai penetrasi secara luas, yakni tidak harus antara alat kelamin dengan alat kelamin, melainkan anggota tubuh non kelamin ataupun barang/benda ke alat kelamin/anus. Selain itu terdapat beberapa putusan yang memidana terdakwa di bawah ancaman minimum (dalam hal ini adalah tindak pidana persetubuhan dan perbuatan cabul terhadap anak, menggunakan UU Perlindungan Anak). Hal ini didasari dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (SEMA 1/2017). Dimana melalui SEMA 1/2017 ini ketika pelakunya sudah dewasa dan korbannya adalah Anak (tidak terbatas pada kasus manapun), maka secara kasuistis Majelis Hakim dapat menjatuhkan pidana di bawah ancaman minimal pidana penjara. Tentunya hal tersebut diimbangi dengan pertimbangan adanya perdamaian ataupun pernikahan antara pelaku dan korban tanpa paksaan, serta adanya pertimbangan hukum dilihat dari aspek yuridis, filosofis, sosiologis, edukatif, preventif, korektif, represif, dan rasa keadilan.

Dr. Hj. Nirwana, S.H., M.Hum., selaku Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah, menanggapi bahwa disparitas pemidanaan memang tidak dapat dihindari. Berdasarkan kasus-kasus yang pernah ditanganinya, ada beberapa kasus yang mempunyai cara dan peristiwa yang serupa namun hukuman pemidanaan berbeda, hal ini dipengaruhi penemuan fakta dalam proses pembuktian melalui pemeriksaan saksi di persidangan. Salah satu penyebab disparitas pemidanaan di antara putusan pemidanaan perkosaan dan pencabulan di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Militer adalah karena faktor pemahaman yang berbeda antar hakim-hakim di kedua yurisdiksi pengadilan tersebut. Tentunya hal ini dilatarbelakangi melalui rendahnya jangkauan sosialisasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PERMA 3/2017) ke Pengadilan Militer, termasuk Pengadilan Negeri di luar kota-kota besar. Lebih lanjut, ia juga menyoroti bahwa dengan adanya UU TPKS sangat memudahkan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam pembuktian kasus tindak pidana kekerasan seksual. Namun yang menjadi hambatan adalah kurang sosialisasi undang-undang tersebut ke hakim-hakim di daerah di seluruh Indonesia. Selain kepada hakim, juga perlu diberikan kepada masyarakat agar masyarakat paham akan hak-haknya, termasuk hak atas restitusi dan hak-hak lainnya. Hal ini sejalan dengan temuan IJRS di penelitian ini, bahwa dalam perkara perkosaan dan pencabulan hanya ada satu putusan yang tuntutan dan putusannya membebankan restitusi kepada terdakwa.

Dalam prakteknya di lapangan, Siti Mazumah selaku Koordinator Nasional Forum Pengada Layanan bagi perempuan korban kekerasan menyatakan bahwa dalam penanganan korban, terdapat praktik dimana APH tidak menggunakan UU TPKS padahal UU TPKS telah dibuat secara komprehensif untuk menjamin hak-hak korban termasuk dengan pemulihannya. Selain itu faktor perdamaian dan pernikahan antara pelaku dan korban kekerasan seksual juga kerap ditemukan dalam pendampingan korban, dan hal tersebut menjadi alasan peringan hukuman karena dianggap pelaku mempunyai itikad baik. Pelaku kekerasan seksual juga banyak tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh pemuda, serta rata-rata pelakunya adalah orang terdekat. Untuk mengatasi disparitas dan memastikan pemenuhan hak-hak korban serta keadilan dalam penanganan kasus-kasus tersebut, beberapa langkah yang dapat diambil antara lain: memastikan bahwa semua pihak terkait, termasuk polisi, jaksa, hakim, dan masyarakat umum, memahami dengan jelas ketentuan dalam UU TPKS dan pentingnya penggunaan hukum yang tepat dalam penanganan kasus perempuan dan anak; lalu memastikan independensi pengadilan dari pengaruh eksternal, termasuk opini publik, tekanan politik, atau intervensi dari tokoh-tokoh masyarakat atau agama, sehingga putusan pengadilan dapat diambil berdasarkan bukti dan hukum yang berlaku; dan mendukung pilihan korban untuk mengikuti proses hukum atau proses non-hukum, sambil memastikan bahwa hak-hak mereka, termasuk hak atas pemulihan dan keadilan, dipenuhi dengan baik.

Menanggapi hal tersebut Masan Nurpian, S.H., sebagai Sub Koordinator Program Bantuan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), menekankan bahwa perlu untuk melihat kondisi lapangan secara substantif dan sosiologis dalam upaya untuk meminimalisir tindak pidana kekerasan seksual dan disparitas pemidanaan, sehingga hal ini merupakan langkah yang sangat relevan dalam menjaga keadilan dan perlindungan bagi korban serta memastikan penanganan kasus kekerasan seksual yang efektif. Selain itu, beberapa langkah yang dapat diambil adalah memberikan pemahaman kepada advokat dan paralegal yang tergabung dalam Organisasi Bantuan Hukum (OBH) implementasi UU TPKS. Tentunya agar antara polisi, jaksa, hakim, advokat, dan paralegal mempunyai pemahaman yang sama dalam penanganan kasus tindak pidana kekerasan seksual. Selain itu perlu adanya sosialisasi terkait Permenkumham No. 4 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Bantuan Hukum, khususnya tentang bagaimana advokat termasuk paralegal agar dapat menangani secara inklusif sesuai dengan kebutuhan penerima bantuan hukum.

Beberapa rekomendasi yang diperoleh dari Diskusi Publik ini dalam rangka mencegah disparitas pemidanaan adalah penyusunan pedoman pemidanaan per tindak pidana kekerasan seksual, meninjau/merevisi SEMA 1/2017 karena sudah tidak sejalan/relevan dengan prinsip-prinsip perlindungan korban yang diatur dalam UU TPKS, melakukan sosialisasi UU TPKS berikut dengan turunannya, serta melakukan optimalisasi penggunaan Dana Bantuan Korban (DBK) untuk kebutuhan korban dari kasus kekerasan seksual sangat penting. DBK dapat dimanfaatkan untuk memberikan dukungan dan pemulihan kepada korban, baik dalam hal pendidikan, pemberdayaan ekonomi, atau dukungan psikologis. Penting untuk memastikan bahwa korban merasa didukung dan termotivasi untuk menghadapi proses pemulihan, dan pemanfaatan DBK secara tepat dapat menjadi instrumen yang sangat efektif dalam pemulihan korban.

Narahubung:

  1. Matheus Nathanael (siagian.matheus@ijrs.or.id)

  2. Siti Ismaya (ismaya@ijrs.or.id)

Bagikan:

Rilis Pers Lainnya:

Rilis Pers
SHElebrate 2024: Meningkatkan Kesadaran dan Kolaborasi untuk Merayakan Hak-Hak Perempuan
Rilis Pers
Kesejahteraan Hakim di Era Transisi Pemerintahan: Gimik atau Sistemik?