Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dan pemerintah pada Selasa, 12 April 2022, memberikan kabar baik bagi masyarakat Indonesia dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang.
Ketua DPR RI Puan Maharani pun mengatakan pengesahan RUU TPKS merupakan momen bersejarah, karena RUU tersebut sudah diperjuangkan sejak tahun 2016 dan mengalami banyak dinamika, termasuk penolakan-penolakan dari berbagai kelompok konservatif agama.
Banyak pakar hukum pidana mengatakan bahwa UU TPKS menjadi tonggak awal dalam memerangi persoalan kekerasan seksual di Indonesia karena memuat terobosan dalam pembaruan hukum.
Melansir dari dokumen UU TPKS, terdapat sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) UU tersebut, yakni pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik.
Namun, beberapa pengamat juga mengkritisi serta menyayangkan adanya ketentuan-ketentuan penting yang dihapus dari draft awal dan tidak dimasukan dalam UU yang disahkan tersebut.
Hal utama dalam UU TPKS: keberpihakan pada korban
Menurut Arsa Ilmi Budiarti, peneliti hukum pidana dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS), kehadiran UU TPKS patut diapresiasi, karena aturan tersebut memiliki perspektif keberpihakan pada korban, dengan menjamin secara konkret mekanisme pemulihan bagi korban kekerasan seksual.
Dalam pasal 30 ayat (1) UU TPKS disebutkan bahwa korban berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan. Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi atau jika kekayaan pelaku yang disita tidak mencukupi biaya restitusi, negara akan memberikan kompensasi sejumlah kurangnya restitusi tersebut kepada korban sesuai dengan putusan pengadilan (pasal 35 ayat (1)).
Kompensasi ini dapat dibayarkan melalui Dana Bantuan Korban yang dapat diperoleh dari filantropi, masyarakat, individu, tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan, sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat, serta anggaran negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 35 ayat (2) dan (3)).
UU TPKS juga menekankan peran Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dan Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat terkait kewajiban untuk menerima dan menindaklanjuti laporan kekerasan seksual ke kepolisian, serta menyediakan pendampingan bagi korban (Pasal 40).
Bahkan, kepolisian juga dapat memberikan perlindungan sementara bagi korban dengan membatasi gerak pelaku serta wajib meminta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) setelahnya (Pasal 43).
Jaminan kemudahan pelaporan tersebut diharapkan mampu membuka akses pengaduan yang lebih luas bagi korban.
Aspek penting lain yang perlu digarisbawahi, menurut Arsa, adalah didorongnya peran keluarga, masyarakat, hingga pemerintah pusat maupun daerah dalam pencegahan kekerasan seksual (Pasal 79-86). Salah satunya bentuknya adalah dengan mewajibkan pendidikan dan pelatihan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual bagi aparat penegak hukum.
Namun di sisi lain, walaupun dianggap sebagai suatu harapan baru dalam perjuangan melawan kekerasan seksual, UU TPKS juga belum sempurna. Hal ini karena para pembuat kebijakan memutuskan untuk tidak mengakomodir aturan terkait perkosaan dan pemaksaan aborsi di dalam UU tersebut.
Hilangnya pasal perkosaan dan pemaksaan aborsi
Dalam UU TPKS, perkosaan termasuk ke dalam tindak pidana kekerasan seksual dan disebut dalam Pasal 4 Ayat (2). Namun, ancaman hukuman bagi pelakunya tidak diatur dalam UU ini. Sedangkan pemaksaan aborsi sama sekali tidak diatur.
Menurut DPR RI, detail terkait perkosaan dan pemaksaan aborsi akan diatur dalam RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Menurut Johanna Poerba, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), dalam draft RUU TPKS yang lama, keberadaan pasal perkosaan, atau istilah yang dipakai saat itu adalah pemaksaan hubungan seksual, memperluas unsur tindakan dari apa yang kita pahami sebagai “persetubuhan” dalam pasal tindak pidana perkosaan yang ada di KUHP.
Unsur persetubuhan dalam pasal perkosaan, yakni Pasal 285 KUHP, hanya didefinisikan sebatas “masuknya penis ke dalam vagina”. Artinya, harus ada penetrasi yang dapat dibuktikan dengan bukti-bukti fisik untuk dapat memenuhi unsur persetubuhan sebagaimana didefinisikan di atas.
Johanna mengatakan bahwa selama ini, seringkali kasus yang tidak memenuhi unsur persetubuhan akhirnya ditangani menggunakan pasal pencabulan.
Sementara itu, dalam draft RUU TPKS yang lama, unsur perkosaan didefinisikan secara komprehensif, yaitu setiap perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual, dengan memasukkan alat kelaminnya, bagian tubuhnya, atau benda ke alat kelamin, anus, mulut, atau bagian tubuh orang lain.
Menurut Johanna, pemerintah memang menjanjikan akan memasukkan rumusan pasal perkosaan yang komprehensif dalam RKUHP, tetapi pembahasan RKUHP di DPR saat ini bahkan masih belum menemukan titik terang dan dapat berlarut-larut hingga waktu yang tidak dapat ditentukan. Ditambah lagi, belum tentu nantinya rumusan pasal perkosaan di RKUHP akan sesuai dengan yang diharapkan oleh publik.
Semakin lama RKUHP disahkan berarti semakin lama juga kita harus bertahan menggunakan pasal perkosaan yang lama ini.
Sementara itu, terkait pemaksaan aborsi awalnya tertera di Pasal 15 dalam draft RUU TPKS lama, dan mengatur jerat pidana bagi orang yang memaksa korban melakukan aborsi.
Menurut Johanna, tidak adanya ketentuan pasal pemaksaan aborsi di dalam UU TPKS dapat mempersulit korban dalam mengakses hukum acara yang diatur di dalam UU itu sendiri.
Namun demikian, Johanna mengatakan bahwa dengan disahkannya UU TPKS saja sudah merupakan langkah awal yang cukup baik, terlepas dengan adanya catatan krusial terkait dua pasal itu. Ke depannya, publik perlu mengawal perumusan kedua pasal ini di RKUHP.
Senada, Arsa mengatakan bahwa berbagai terobosan yang dihadirkan dalam UU TPKS ini perlu diikuti dengan perbaikan di pengaturan lain, seperti turunan peraturan institusional yang mengarah pada penguatan peran dan wewenang aparat penegak hukum dalam penanganan kekerasan seksual yang berperspektif korban.
Masing-masing institusi pelaksana hingga kelompok masyarakat sipil perlu mengawal implementasi UU TPKS ini, serta memastikan adanya kerangka pengawasan dan evaluasi kebijakan yang komprehensif.
Tulisan ini dimuat dalam media The Conversation : https://theconversation.com/pakar-menjawab-uu-tpks-sudah-sah-apa-yang-patut-dirayakan-dan-apa-yang-kurang-181330