Dalam dunia administrasi, istilah “mark up” – yang secara kebahasaan bermakna “menaikkan” atau “menambahkan” – diartikan sebagai kegiatan penggelembungan suatu nilai atau anggaran. Kasus mark up ini marak ditemukan dalam aktivitas penyelenggaraan negara. Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), misalnya, ada 33 kasus yang dilakukan oleh pihak swasta, Aparatur Sipil Negara (ASN), dan kepala desa di Indonesia saat proses pengadaan barang dan jasa selama semester I tahun 2020. Nilai kerugiannya sebesar Rp 509 miliar (sekitar Rp 15,4 miliar per kasus).
Menariknya, modus ini ada tidak hanya di kalangan pemerintahan saja, melainkan juga berpotensi terjadi di lingkungan pendidikan. Laporan lain dari ICW menyebutkan bahwa dari 240 kasus korupsi sektor pendidikan dan pendidikan tinggi selama 2016-2021, sebanyak 14,2% merupakan mark up laporan finansial.
Tak hanya itu, praktik mark up ini juga bisa dilakukan oleh mahasiswa. Meski belum ada data atau statistik mengenai prevalensinya, sejumlah buku dan karya akademik telah menjelaskan bagaimana praktik mark up di kalangan mahasiswa sudah menjadi rahasia umum.
Hal ini, misalnya, sering terjadi dalam konteks acara dan organisasi kemahasiswaan. Proses pelaporan ajang-ajang tersebut sering menjadi tempat dan kesempatan mahasiswas melakukan tindak korupsi. Bagaimana wujudnya?
Modus mark up laporan pertanggungjawaban acara mahasiswa
Kami menyaksikan langsung modus mark up ini ketika dulu menjadi anggota himpunan mahasiswa di suatu universitas di Depok, Jawa Barat.
Biasanya, ketika para mahasiswa yang menjadi anggota organisasi semacam ini menyelenggarakan suatu program kerja, mereka awalnya harus melakukan permohonan melalui suatu proposal acara. Di dalamnya, terdapat rancangan anggaran – rincian apa saja dan total harga dari barang dan jasa yang diperlukan.
Ketika program kerja selesai, para mahasiswa perlu membuat laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepada bagian keuangan fakultas atau program studi mereka.
LPJ ini berfungsi sebagai dokumen tertulis yang merinci hasil pelaksanaan sekaligus bahan evaluasi kegiatan kemahasiswaan, serta menjadi bukti bahwa kegiatan tersebut sudah dilaksanakan. Pihak keuangan kampus kemudian dapat mengembalikan (reimburse) dana pribadi mahasiswa yang terpakai dalam kegiatan tersebut. Modus mark up biasanya terjadi ketika pengeluaran acara tersebut berbeda jauh dari rencana anggaran awal dalam proposal acara. Tentu ini bukanlah masalah selama bisa dibuktikan kebenarannya – beda lagi jika pembengkakan tersebut adalah akibat kenaikan pengeluaran yang fiktif.
Yang kerap terjadi, misalnya, adalah mahasiswa mencantumkan barang-barang atau jasa fiktif yang dibeli dengan nota belanja palsu. Bisa juga, mereka membeli barang sesuai realitas pengeluaran acara, tapi harganya dibuat lebih tinggi dengan mengubah angka dalam nota atau bukti transaksi palsu tersebut.
Para mahasiswa kemudian mengantongi selisihnya.
Studi yang memotret praktik ini di lapangan, termasuk motivasi mahasiswa melakukan kecurangan, masih minim. Namun, riset kualitatif mahasiswa dari Universias Kristen Satya Wacana (UKSW) terhadap suatu perguruan tinggi swasta (PTS) di Jawa Tengah pada 2021, menemukan bahwa tekanan dari organisasi atau rekan sejawat untuk mengadakan acara pembubaran panitia bisa menjadi salah satu faktor penyebab.
Dorongan untuk membuat ajang semacam itu sebagai bentuk “selebrasi” atau “reward” bisa memicu mahasiswa untuk memanipulasi bukti pembayaran demi mendapat uang sisa setelah acara selesai. Banyaknya panitia acara yang melakukan ini, ditambah arahan dari senior yang diwariskan secara turun temurun, kemudian seolah mewajarkan praktik mark up ini sebagai hal yang lazim (rasionalisasi).
Dalam studi tersebut, dan juga riset mahasiswa lainnya dari Universias Brawijaya pada 2018 terhadap suatu perguruan tinggi negeri (PTN) di Jawa Timur, peluang melakukan mark-up juga muncul karena pengecekan laporan keuangan dari pihak fakultas atau universitas pun sangat minim. Adanya faktor-faktor tersebut, yakni tekanan, rasionalisasi, dan peluang – atau yang disebut sosiolog dan kriminolog Donald Cressey serta profesor akuntansi W. Steve Albrecht sebagai “fraud triangle” – berpotensi besar melanggengkan praktik ini di antara mahasiswa di berbagai perguruan tinggi.
Mencegah kampus jadi ladang belajar korupsi
Agar organisasi kemahasiswaan tidak menjadi ladang bagi mahasiswa untuk belajar korupsi, perlu tindakan tegas dari perguruan tinggi. Dalam praktik korupsi mahasiswa di ranah global, yang umumnya berwujud penyuapan seleksi masuk universitas hingga pemalsuan data dan nilai ijazah, berbagai hal ini sering terjadi karena lemahnya kesadaran, aturan, dan kebijakan dari pemangku kepentingan mengenai pencegahan korupsi di perguruan tinggi.
Perguruan tinggi bisa membuat dan/atau memperbaiki regulasi yang sudah ada terkait pengawasan aliran keuangan yang lebih kuat – namun tidak menyulitkan sehingga malah membuat mahasiswa rentan memanipulasi – dari pihak kampus kepada organisasi kemahasiswaan maupun pelaporannya.
Ketika mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan melanggar ketentuan ini, perguruan tinggi perlu menegakkan sanksi secara tegas, untuk menumbuhkan budaya antikorupsi di lingkungan kampus.
Organisasi kemahasiswaan juga bisa melakukan perbaikan sistem di dalamnya. Misalnya, pelaporan laporan keuangan kepada kampus sebaiknya hanya dilakukan melalui satu pintu, yakni bendahara dan diawasi langsung ketua organisasi, untuk mencegah melebarnya peluang korupsi. Para pimpinan organisasi juga sebaiknya gencar melakukan sosialisasi kepada seluruh anggota terkait integritas pelaporan keuangan dan regulasi kampus yang ada.
Terakhir, perguruan tinggi juga bisa menerapkan kanal khusus untuk melaporkan dugaan korupsi (whistleblowing system) dalam lingkungan kampus ataupun organisasi kemahasiswaan.
*Tulisan ini dimuat dalam media The Conversation:
**Hernu Aulia Farhan, seorang associate di firma hukum yang berbasis di Jakarta, juga berkontribusi dalam penulisan artikel ini.