Search

Ketahui hak Anda Jika Berhadapan dengan Aparat Penegak Hukum

Penulis: Siska Trisia dan Maria I. Tarigan

Pada April lalu, kita membaca berita penangkapan beberapa aktivis oleh aparat lewat prosedur yang dipertanyakan: Ravio Patra di Jakarta dan tiga mahasiswa di Malang, Jawa Timur.

Akhir tahun lalu, masalah prosedur penangkapan demonstran dalam aksi #ReformasiDikorupsi juga mengemuka.

Bagaimanakah seharusnya penangkapan dilakukan menurut Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)?

Mekanisme penangkapan

Penangkapan adalah tindakan pengekangan kebebasan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana untuk kepentingan pemeriksaan, baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksan di persidangan.

Pasal 17 KUHAP menegaskan bahwa penangkapan hanya dapat dilakukan kepada seseorang yang diduga keras telah melakukan suatu tindak pidana, dan dugaan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.

Mahkamah Konstitusi mendefinisikan bukti permulaan yang cukup sebagai minimal dua alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHP, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, atau keterangan terdakwa.

Tanpa adanya minimal dua alat bukti tersebut, petugas kepolisian tidak dapat melakukan penangkapan.

Lebih lanjut, sebuah peraturan Kepolisian Republik Indonesia menegaskan pula bahwa polisi hanya dapat menetapkan seseorang sebagai tersangka apabila telah terdapat setidaknya dua alat bukti dan didukung oleh barang bukti.

Alat bukti mencakup misalnya keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Sedangkan barang bukti adalah bukti-bukti lain di luar itu, misalnya motor hasil curian, narkotika yang disita, dan sebagainya.

Pada saat melakukan penangkapan, petugas kepolisian wajib memperlihatkan surat tugas dan surat perintah penangkapan kepada orang yang akan ditangkap.

Surat perintah tersebut harus mencantumkan identitas orang yang akan ditangkap secara jelas. Surat perintah penangkapan juga harus menyebutkan alasan penangkapan, dilengkapi dengan uraian singkat mengenai tindak pidana yang diduga dilakukan oleh orang yang akan ditangkap tersebut.

Setelah menangkap seseorang, polisi juga harus memberikan tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga orang yang ditangkap.

Jika seseorang tertangkap tangan melakukan suatu tindakan pidana, penangkapan bisa dilakukan tanpa surat perintah. Meski demikian, pihak yang yang melakukan penangkapan harus segera menyerahkan orang yang ditangkap serta bukti-bukti yang ada di tempat kejadian kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.

Penyidik dan penyidik pembantu dalam hal bisa polisi atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu, misalnya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Polisi Pamong Praja (Pol PP).

Hak-hak seseorang dalam penangkapan

Selain dalam kondisi tertangkap tangan, seseorang yang akan ditangkap berhak meminta petugas untuk menunjukkan surat tugas dan surat penangkapan. Ia berhak menolak ditangkap bila petugas tidak bisa menunjukkan dokumen-dokumen tersebut.

Apabila tindak pidana yang didakwakan diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 15 tahun/lebih, maka ia wajib mendapat penasihat hukum secara cuma-cuma.

Penasihat hukum disediakan sesuai dengan tingkat pemeriksaan sejak seseorang ditangkap. Jika tersangka diperiksa dalam tahap penyidikan, maka penasihat hukum disediakan oleh penyidik, misalnya oleh kepolisian. Jika tersangka diperiksa dalam tahap penuntutan, maka penasihat hukum disediakan oleh kejaksaan. Jika tersangka diperiksa dalam tahap persidangan, maka penasihat hukum disediakan oleh pengadilan.

Bantuan hukum secara cuma-cuma juga diberikan apabila seseorang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, dengan catatan bahwa orang tersebut adalah orang yang tidak mampu.

Apabila seseorang diancam dengan pidana di bawah 5 tahun, atau di atas 5 tahun namun dia bukan orang yang tidak mampu, KUHAP tidak mewajibkan orang tersebut untuk didampingi oleh penasihat hukum selama pemeriksaan oleh petugas kepolisian.

Walau tidak ada penasihat hukum, dalam kasus seperti ini hal tersebut tetap sah secara prosedural.

Namun, seseorang tetap berhak didampingi penasihat hukum selama pemeriksaan. Seseorang berhak menunjuk sendiri penasihat hukum yang akan mendampinginya dengan menggunakan biaya pribadi. Bila orang tersebut telah menunjuk penasihat hukum namun kemudian petugas melarang penasihat hukum untuk mendampingi maka itu menjadi pelanggaran prosedur.

Setelah penangkapan, penyidik akan melakukan pemeriksaan kepada orang yang ditangkap sebagai tersangka tersebut. Sepanjang masa pemeriksaan, tersangka berhak menghubungi dan menerima kunjungan — baik secara langsung maupun melalui penasihat hukumnya — dari sanak keluarga. Kunjungan ini diizinkan sepanjang dilakukan untuk kepentingan kekeluargaan atau kepentingan pekerjaan, serta tidak ada hubungannya dari perkara tersangka. Tersangka juga berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan.

Tersangka tidak memiliki kewajiban pembuktian, baik dalam tahap penyidikan maupun dalam tahap persidangan.

Jadi, tersangka berhak untuk tidak memberikan keterangan yang memberatkan dirinya: tidak menjawab atau menolak menjawab pertanyaan yang diajukan.

Hal ini dikenal pula sebagai rights to non-self-incrimination dalam hukum pidana.

Pada praktiknya, tersangka juga tidak disumpah pada saat memberikan keterangan, sehingga tersangka tidak wajib memberi keterangan yang sebenarnya serta dapat memberi keterangan yang menguntungkan dirinya.

Dengan kata lain, tersangka boleh bohong. Namun perlu diperhatikan bahwa keterangan tersangka memiliki kekuatan pembuktian yang paling lemah dan harus didukung oleh alat bukti lainnya.

Penangkapan hanya dapat dilakukan selama satu hari — tidak lebih.

Apabila jangka waktu satu hari sudah lewat, maka tersangka harus dibebaskan atau ditahan oleh penyidik.

Tersangka yang akan ditahan dapat mengajukan agar dilakukan penangguhan penahanan kepada pihak yang melakukan penahanan: kepolisian, kejaksaan, atau pengadilan.

Penangguhan penahanan dapat dilakukan dengan menggunakan jaminan uang atau jaminan orang.

Apa yang dapat dilakukan jika penangkapan dilakukan tidak sesuai aturan?

Lembaga praperadilan – misalnya Pengadilan Negeri – yang diatur didalam KUHAP bertujuan untuk menjamin seseorang yang sedang berhadapan dengan aparatur penegak hukum dalam kasus pidana tidak menerima perlakuan sewenang wenang dan melanggar HAM.

Praperadilan berwenang untuk menguji sah atau tidaknya penyidikan dan penuntutan perkara pidana; sah atau tidaknya penetapan tersangka seseorang; dan kemudian menetapkan rehabilitasi dan ganti kerugian akibat adanya prosedur yang cacat hukum.

Dalam kasus Ravio, sebagai pihak yang dirugikan, ia dapat mengajukan gugatan praperadilan terhadap penyidik dari kepolisian melalui pengadilan negeri yang berwenang.

Hakim pengadilan negeri memeriksa gugatan praperadilan selama tujuh hari sejak perkara didaftarkan. Dalam proses pemeriksaan, sesuai sifat gugatan, hakim akan melakukan pengujian secara formil saja, yaitu memeriksa apakah bukti surat perintah penangkapan sudah memuat informasi yang jelas dan sudah diberikan kepada orang yang ditangkap.

Menurut KUHAP, hakim yang memeriksa perkara praperadilan berwenang mendengar keterangan dari para pihak, baik tersangka maupun aparat terkait. Hakim juga bisa memerintahkan para pihak untuk menghadirkan bukti-bukti formil untuk menilai kecacatan prosedural yang diduga telah terjadi.

Dalam kasus Ravio, hakim praperadilan dapat memerintahkan penyidik yang bersangkutan untuk menunjukkan surat perintah penangkapan yang digunakan penyidik sebagai legitimasi untuk dapat menangkap.

Jika hakim berkesimpulan bahwa dalam penangkapan ada cacat prosedur, maka proses dan hasil dari penangkapan tersebut (Berita Acara Pemeriksaan/BAP) atas nama Ravio menjadi tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.

Sehingga, jika di kemudian hari penyidik yakin bahwa tindak pidana yang sebelumnya dilaporkan atas nama Ravio benar telah terjadi, maka untuk memeriksa Ravio, maka penyidik harus mengulangi tahapan penyidikan dari awal.

Jika hakim praperadilan menemukan bahwa penyidik yang bertugas lalai, mereka juga dapat dijatuhi sanksi berupa pembayaran ganti rugi (sejumlah uang) ataupun melakukan rehabilitasi (pemulihan kemampuan, harkat dan martabat) kepada Ravio.

Mekanisme alternatif praperadilan dalam rancangan KUHAP

KUHAP yang berlaku di Indonesia saat ini sudah berumur kurang lebih 39 tahun, maka aturan ini perlu diubah sesuai perkembangan dan kemajuan masyarakat.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat bahwa setiap tahun antara 2003 dan 2015, KUHAP diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) – total 75 perkara.

Hingga tahun 2017 terdapat 9 permohonan judicial review yang dikabulkan oleh MK termasuk didalamnya pasal-pasal KUHAP yang berkaitan dengan Praperadilan.

Dalam dokumen rancangan KUHAP yang baru versi Desember 2012, dibentuk lembaga baru yaitu Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) untuk menjalankan fungsi praperadilan yang lebih mendetil. Lembaga ini pada dasarnya merupakan lembaga yang terletak antara penyidik dan penuntut umum di satu pihak dan hakim di lain pihak. Lembaga ini diharapkan lebih mampu melindungi hak-hak orang yang sedang diperiksa dalam perkara pidana.

Dalam rancangan KUHAP itu, HPP diisi oleh hakim yang berwenang mengawasi upaya paksa baik berupa penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, penggeledahan rumah, pemeriksaan surat oleh penyidik.

HPP dirancang untuk memastikan aparat penegak hukum telah bertindak sesuai perundang-undangan dan kasus yang sedang diperiksa layak untuk disidangkan karena alat bukti (juga dua bukti permulaan yang cukup) yang ada telah diperoleh secara sah.

Namun, sampai kini belum ada kemajuan dalam pembahasan rancangan tersebut. Revisi KUHAP bahkan tidak masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional 2020 di Dewan Perwakilan Rakyat.

Tulisan ini dimuat dalam media The Conversation : https://theconversation.com/ketahui-hak-anda-jika-berhadapan-dengan-aparat-penegak-hukum-137293

Bagikan:

Opini Lainnya:

COVER_Peradilan
Rapor merah reformasi hukum peradilan pidana Jokowi, PR untuk Prabowo
COVER_Undang-undang atau Peraturan
Disparitas pemidanaan: mengapa pelaku kekerasan seksual bisa mendapat hukuman berbeda-beda untuk kasus serupa?
COVER_Narkotika
Revisiting Indonesia’s New Criminal Code: A Missed Opportunity to End Legal Uncertainty in Drug Policy
COVER_Korupsi
Modus ‘mark up’ laporan kegiatan mahasiswa: bibit dan peluang korupsi di lingkungan kampus