Peristiwa walk out mantan pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab pada Maret lalu dinilai mencederai martabat dan proses peradilan.
Terdakwa Rizieq sempat beberapa kali bersikeras menolak persidangan secara daring, serta mengancam akan walk out saat persidangan pertama dengan agenda pembacaan surat dakwaan.
Tindakan tersebut termasuk contempt of court atau penghinaan terhadap peradilan dan diancam pidana.
Kasus ini bukan pertama kali. Kasus serupa sudah banyak terjadi di Indonesia dengan bentuk berbeda. Mulai dari perusakan gedung pengadilan, penganiayaan hakim, hingga pembunuhan terhadap hakim di ruang sidang.
Contempt of Court di Indonesia
Istilah contempt of court pertama kali muncul di Indonesia dalam Undang-Undang (UU) No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Dalam UU ini, penghinaan terhadap peradilan diartikan sebagai perbuatan, tingkah laku, sikap, dan ucapan yang dapat merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan lembaga peradilan.
Ada lima perbuatan yang termasuk dalam penghinaan terhadap peradilan: perilaku tidak pantas di peradilan (misbehaving in court), tidak menaati perintah pengadilan (disobeying court orders), menyerang integritas pengadilan (scandal rising the court), menghalangi jalannya proses peradilan (obstructing justice), dan penghinaan pengadilan dalam bentuk publikasi (sub-judice rule).
Kelima kategori dibuat berdasarkan atas hasil pengamatan Mahkamah Agung pada 2002.
Saat ini, contempt of court diatur dalam pelbagai peraturan. Misalnya, Pasal 207, 217, dan 224 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang penghinaan terhadap penguasa atau badan umum – termasuk pengadilan, perbuatan yang menimbulkan kegaduhan dalam sidang, dan pihak yang mangkir saat dipanggil ke persidangan.
Selanjutnya, Pasal 218 Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga mewajibkan semua orang menghormati pengadilan selama sidang.
Bila ada pelanggaran, hakim ketua sidang memberikan peringatan. Jika masih mengulangi, hakim dapat memerintahkan agar orang tersebut dikeluarkan dari ruang sidang bahkan dihukum secara pidana.
Pengaturan dalam RKUHP dan ancaman kebebasan berpendapat
Saat ini, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang merumuskan ulang penghinaan terhadap peradilan. Salah satunya, dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Bab VI tentang Tindak Pidana terhadap Proses Peradilan.
Namun, pada Pasal 281 RKUHP, ada dua poin yang mendapat sorotan karena bisa jadi pasal karet, yaitu poin (b) dan poin (c).
“Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II (Rp 10 juta), setiap orang yang pada saat sidang pengadilan berlangsung:
- tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
- bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas hakim dalam sidang pengadilan; atau
- tanpa izin pengadilan merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan proses persidangan.”
Poin (b) dan (c) di atas berpotensi mengancam kebebasan masyarakat untuk memberi pendapat ataupun kritik terhadap hakim dan proses peradilan bila tidak tepat dalam penerapan hukumnya.
Lebih lanjut, larangan untuk merekam atau mempublikasikan proses persidangan juga berpotensi mempersulit masyarakat memantau proses peradilan.
Padahal, ini penting. Terutama terkait kesempatan masyarakat melapor kepada Komisi Yudisial apabila terdapat hakim melanggar kode etik atau hukum acara.
Bila pasal dan ayat tersebut lolos, maka sulit bagi masyarakat untuk memperoleh bukti otentik berupa foto atau video.
Pasal ini juga berpotensi mengkriminalisasi pers dan jurnalis. Sebab, tidak ada batasan yang jelas sejauh mana dan siapa yang dimaksud dalam peraturan ini.
Bisa saja pemberitaan yang dianggap tidak memihak atau tidak menghormati hakim akan termasuk sebagai masuk penghinaan terhadap peradilan dan berujung pidana.
Catatan terhadap pengaturan
Pengaturan tentang penghinaan terhadap peradilan adalah langkah mitigasi yang baik untuk membuat proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya. Peraturan ini untuk mencegah mangkirnya para pihak yang dipanggil sebagai saksi atau ahli dan menghambat persidangan, serta mencegah intervensi penguasa yang bisa mengganggu independensi hakim dalam mengadili perkara.
Di negara lain, seperti Amerika Serikat (AS), tindakan penghinaan peradilan akan menjadi tindak pidana bila memenuhi empat unsur: (1) melakukan perbuatan yang buruk atau tidak pantas, (2) perbuatan dilakukan di pengadilan atau terhadap pengadilan, (3) perbuatan tersebut menyebabkan terhambat atau terhalangnya proses penegakan hukum, dan (4) perbuatan tersebut dilakukan dengan niat jahat.
Inggris menetapkan tindak pidana penghinaan terhadap peradilan sebagai perbuatan berisiko yang mempengaruhi penanganan suatu perkara, menghambat terjadinya proses peradilan yang adil, dan mempengaruhi hasil dari proses peradilan tersebut.
Catatan penting bagi Indonesia dalam merumuskan lebih lanjut soal penghinaan terhadap peradilan adalah bagaimana perbuatan tersebut berdampak pada proses peradilan itu sendiri — apakah menjadi terganggu atau terhambat karena perbuatan yang dilakukan — sebagaimana diatur di AS dan Inggris.
Perlindungan terhadap integritas hakim memang penting, tetapi yang terpenting adalah bagaimana perlindungan tersebut tidak merampas hak publik untuk ikut serta mengawasi peradilan.
Perlindungan terhadap integritas dan independensi peradilan bisa dilakukan dengan tetap menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas hakim dan lembaga peradilan di hadapan masyarakat.
Tulisan ini dimuat dalam media The Conversation : https://theconversation.com/explainer-bagaimana-penghinaaan-terhadap-peradilan-diatur-di-indonesia-157779