Jakarta – Mahkamah Agung menegaskan komitmennya dalam pencegahan perkawinan anak dengan menerapkan prinsip-prinsip kepetingan terbaik bagi anak dalam mengadili permohonan dispensasi perkawinan. Sebagai salah satu institusi mitra pelaksanaan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (STRANAS PPA), Mahkamah Agung berkomitmen turut mencapai target mengurangi perkawinan anak dari 11,2% di 2018 menjadi 8,74% pada 2024 dan 6,9% pada 2030.”
Komitmen ini disampaikan dalam peluncuran Buku Saku Pedoman Mengadili Perkara Dispensasi Kawin oleh Ketua Mahkamah Agung pada hari ini (4/12). Buku Saku bagi para hakim di lingkungan peradilan umum dan agama ini merupakan kerjasama Kelompok Kerja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung Republik Indonesia bersama Indonesia Judicial Research Society (IJRS) didukung Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).
Dalam sambutannya, Ketua Mahkamah Agung RI, YM Dr. H. Muhammad Syarifuddin, SH, MH menyampaikan, “Di dalam PERMA No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Perkara Dispensasi Kawin, badan peradilan berperan sebagai pintu terakhir bagi pencegahan perkawinan anak dengan menerapkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan atas pendapat anak, non-diskriminasi, kesetaraan gender dan persamaan di depan hukum dalam penyelesaian perkara dispensasi kawin.” Mahkamah Agung mencatat peningkatan jumlah perkara dispensasi kawin yang diputus oleh Pengadilan dari 23.126 perkara (2019) menjadi 35.441 (2020). Ketua MA RI berharap hadirnya buku ini dapat meningkatkan kualitas penanganan perkara dan putusan dispensasi kawin demi kepentingan terbaik anak.
Hakim berkapasitas serta bertanggungjawab menjalankan prinsip kepentingan terbaik anak antara lain dengan mendengar pendapat anak, memperhatikan kondisi fisik dan psikis anak berdasarkan hasil pemeriksaan psikolog dan tenaga medis, mempertimbangkan usia anakserta kondisi kerentanan serta kualitas pendidikan anak.
Sejumlah narasumber dan penanggap yang hadir pada peluncuran Buku Saku termasuk Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Family Court of Australia, Unit Pelayanan Terpadu Daerah (UPTD) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Bone dan perwakilan organisasi masyarakat sipil. Melalui diskusi ini, langkah strategis untuk mengupayakan pencegahan perkawinan anak diharapkan dapat dipetakan dan berkembang menjadi rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia dan berbagai stakeholders. Para narasumber dan penanggap juga menggarisbawahi mengenai pentingnya kebijakan pencegahan perkawinan anak di tingkat daerah, rekomendasi dari profesional (psikolog, dokter, dll) dan pembebasan biaya perkara pada permohonan dispensasi kawin.
Selain Perma No. 5 Tahun 2019, Mahkamah Agung juga mengeluarkan Perma No. 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan untuk menjamin akses keadilan bagi anak sebagai pihak yang diajukan permohonan dispensasi kawin, khususnya anak perempuan yang menjadi target utama perkawinan anak. Kehadiran PERMA ini menjadi bagian dalam diskusi peluncuran Buku Saku sebagai bentuk dukungan Mahkamah Agung agar kepentingan terbaik bagi anak tetap dapat dipastikan dalam permohonan dispensasi kawin yang diajukan oleh anggota masyarakat yang tidak mampu membayar biaya perkara.
Dengan dihadiri seluruh Ketua Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Agama, Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama di seluruh Indonesia dan Mahkamah Syar’iyah Aceh, harapannya Buku Saku ini dapat meningkatkan pemahaman Hakim tentang kondisi perkawinan anak di Indonesia dan praktik serta dampak buruk perkawinan anak. Hakim juga perlu menjadikan Buku Saku ini sebagai acuan dalam menangani permohonan dispensasi kawin agar dapat memastikan langkah-langkah yang tepat untuk diambil dalam rangka mencegah dampak buruk bagi perkawinan anak.
Informasi lebih lanjut, hubungi:
Arsa Ilmi
Indonesia Judicial Research Society
HP/WA: 0821-4440-6361
Email: arsa@dev.ijrs.or.id