Hambatan Orang Dengan HIV/AIDS Saat Mengalami Masalah Legal: Pentingnya Peran Pendamping Hukum dan Non-Hukum

Oleh Bestha Inatsan Ashila (Peneliti IJRS) dan  Gladys Nadya Arianto (Asisten Peneliti IJRS)

Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) cenderung mengalami stigma dan diskriminasi yang lebih tinggi dibanding orang dengan infeksi atau kondisi kesehatan lain. Ada anggapan HIV/AIDS terjadi akibat hal-hal yang melanggar norma seperti melakukan hubungan seksual berisiko, menjadi pekerja seks, homoseksual, dan menggunakan narkotik. Menurut Indeks Stigma Orang yang Hidup dengan HIV tahun 2018, di antara bentuk stigma yang sering terjadi adalah keengganan bersentuhan dengan ODHA, menjadikan ODHA sebagai bahan gosip, dan penolakan layanan kesehatan.

Stigma itu ikut menimbulkan berbagai hambatan seperti mengalami penolakan dalam mengakses perawatan kesehatan, pekerjaan, dan pendidikan bagi anak-anak dengan HIV. Dalam berhadapan dengan hukum, ODHA masih mengalami hambatan berupa kesulitan mendapat pendampingan, stigma dan diskriminasi dari aparat, dan kesulitan mendapat hak layanan kesehatan. Di sini, pendamping berperan penting bagi ODHA.

Berbagai masalah hukum

Sebagaimana orang lain, ODHA dapat mengalami berbagai peristiwa hukum. Namun status HIV/AIDS bisa menjadi faktor keterlibatan mereka dalam proses peradilan, baik sebagai saksi, korban, terdakwa, atau para pihak dalam berbagai perkara. Dalam kasus perdata, status HIV seseorang, misalnya, beberapa kali menjadi penyebab perceraian.

Dalam kasus pidana, ODHA yang masuk kelompok pengguna narkotik berpotensi tinggi untuk terlibat dalam proses hukum. Dalam salah satu kasus, akibat pemilikan heroin, seorang buruh dituntut 5 tahun penjara. Namun, dalam persidangan ditemukan bahwa terdakwa positif HIV. Hakim lalu menjatuhkan vonis agar terdakwa dikeluarkan dari tahanan dan diserahkan ke pusat rehabilitasi.

Ada kasus pencemaran nama baik yang sampai ke pengadilan setelah status HIV seorang perempuan pekerja seks disebar dan menjadi berita pada suatu surat kabar. Korban menanggung beban moral dan rasa malu akibat pemberitaan itu. Status HIV seseorang adalah informasi personal dan merupakan sebuat privasi; membocorkan status HIV seseorang merupakan pelanggaran atas hak privasi.

Pada ranah militer, kerap terjadi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) berstatus HIV melakukan desersi atau meninggalkan dinas tanpa izin akibat dijauhi rekan kerja dan alasan malu. Dalam salah satu kasus, hakim militer menjatuhkan vonis selama 3 bulan penjara pada seorang anggota TNI dengan HIV/AIDS karena desersi.

Hambatan dalam kasus hukum

Hambatan pertama bagi ODHA adalah sulitnya mendapatkan pendampingan. ODHA membutuhkan adanya pendukung atau pendamping yang dapat membantu mereka menghadapi persoalan kesehatan, sosial serta hukum. Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) pada 2020 menemukan bahwa pemberian bantuan hukum oleh beberapa organisasi bantuan hukum masih diskriminatif terhadap ODHA.

Ada kasus misalnya seorang perempuan ODHA yang mendapatkan kekerasan dan diusir oleh suaminya ditolak oleh sebuah lembaga layanan dengan alasan belum ada orang yang kompeten untuk menangani ODHA. Hambatan kedua adalah stigma dan diskriminasi oleh aparat penegak hukum. Menurut catatan LBH Masyarakat, aparat penegak hukum cukup banyak melanggar hak asasi manusia terhadap ODHA dalam bentuk diskriminasi, membeberkan status HIV/AIDS tahanan atau narapidana, dan membatasi akses ODHA terhadap perlindungan hukum.

Dalam salah satu temuan MaPPI FHUI, ada seorang ODHA dikeluarkan secara paksa dari tahanan oleh aparat kemudian barang-barangnya dibakar hingga proses hukumnya tidak ditindaklanjuti. Hambatan ketiga adalah sulitnya ODHA mendapatkan hak atas layanan kesehatan khususnya mendapatkan obat antiretroviral (ARV) dan obat-obatan lain baik di rutan dan lembaga pemasyarakatan (lapas).

Masih ada lapas yang hanya menyediakan anggaran untuk obat-obatan ringan seperti obat batuk dan pilek. Akibatnya ODHA tidak bisa menjalani terapi pengobatan ketika menjalani proses hukum. Masih ada juga praktik ODHA harus membayar petugas untuk mendapatkan ARV serta agar aparat tidak membuka status ODHA yang bersangkutan kepada penghuni lapas lain. Tingginya penolakan terhadap ODHA pada akhirnya akan menyebabkan ODHA menyembunyikan statusnya dan menghambat program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

Jaminan hak

Sebagaimana warga negara lain, ODHA juga memiliki hak untuk mendapatkan peradilan yang adil dan pemenuhan hak dan perlindungan. Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor. 34/169 tentang Ketentuan Berperilaku bagi Penegak Hukum menyebutkan bahwa penegak hukum harus menghormati dan melindungi martabat manusia serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Lebih lanjut, hak ODHA untuk mendapatkan akses layanan kesehatan telah diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 8 tahun 2009. Peraturan ini menyebutkan bahwa tersangka harus ditempatkan pada fasilitas yang manusiawi dan memenuhi persyaratan kesehatan. Aturan tersebut juga menjamin akses pemeriksaan kesehatan di luar tahanan kepolisian apabila tidak ada fasilitas yang memadai.

Untuk ODHA yang berada di lapas, Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1999 tentang pelaksanaan hak warga binaan mengatur bahwa setiap lapas wajib memiliki poliklinik dan fasilitas setidaknya satu orang dokter dan satu orang tenaga kesehatan lainnya. Sejak tahun 2005 sebenarnya telah ada program penanggulangan HIV/AIDS di lapas, namun sumber dayanya masih terbatas. Situasi ini diperumit karena penghuni lapas adalah kelompok yang memiliki risiko terhadap penularan HIV/AIDS karena adanya perilaku berisiko seperti penggunaan jarum suntik secara bergantian, perilaku seks tidak aman, dan layanan kesehatan yang kurang memadai.

Selain aturan-aturan itu, secara umum pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai produk kebijakan terkait ODHA misalnya seperti Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS dan Permenkes No. 74 Tahun 2014  tentang Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV.

Pentingnya pendamping

Pengacara, paralegal, dan pendamping lainnya memiliki peran besar dalam mendampingi ODHA yang berhadapan dengan hukum. Pendamping dapat berkomunikasi dan memberikan penjelasan kepada aparat penegak hukum mengenai kondisi dan kebutuhan ODHA khususnya terhadap akses obat dan perawatan kesehatan.

Pendamping juga dapat memastikan fasilitas kesehatan dapat diakses baik berupa obat, konselor, terapi atau tes kesehatan di mana pendamping dapat berkoordinasi dengan penyedia layanan kesehatan. Selain itu, pendamping dapat mencegah perlakuan yang merendahkan dan mendiskriminasi ODHA serta memberikan pemberdayaan dan penguatan sehingga ODHA menjadi lebih percaya diri untuk memperjuangkan haknya.

Salah satu praktik baik yang dilakukan oleh pendamping di Surakarta, Jawa Tengah, untuk untuk memastikan terpenuhinya hak ODHA untuk mengakses obat-obatan selama menjalani proses hukum adalah membina hubungan baik dengan aparat penegak hukum dan memberikan penjelasan mengenai pentingnya ODHA mendapatkan akses perawatan dan obat-obatan. Pendamping dapat memastikan pemenuhan hak-hak hukum ODHA dan memastikan pelaksanaan hak asasi manusia secara efektif di hadapan proses peradilan. Sehingga keberadaan pendamping hukum juga merupakan cara menaikkan kualitas hidup seorang ODHA.

Selain itu, pemberian informasi penting bukan hanya kepada aparat penegak hukum tapi juga pendamping hukum dan non-hukum agar dapat memiliki perspektif dan dapat menangani ODHA dan membantu dalam pemenuhan haknya selama proses peradilan. Kesalahpahaman atau ketidaktahuan terkait HIV/AIDS seringkali adalah penyebab munculnya stigma dan diskriminasi.

Tulisan dimuat dalam media The Conversation : https://theconversation.com/hambatan-orang-dengan-hiv-aids-saat-mengalami-masalah-legal-pentingnya-peran-pendamping-hukum-dan-non-hukum-172865