[Rilis Pers] Refleksi Masyarakat Sipil untuk Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Indonesia

Pada Jumat, 10 Desember 2021 IJRS dengan dukungan dari Pemerintah Australia bersama dengan Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) mengadakan diskusi publik bertajuk “Refleksi Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Indonesia”. Dengan menghadirkan narasumber dari Asosiasi LBH Apik Indonesia dan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PeKKA) dalam acara ini dibagikan berbagai cerita mengenai praktik pendampingan dan penanganan kekerasan seksual terhadap perempuan. Dihadirkan pula penanggap dari Kantor Staf Presiden RI dan Komnas Perempuan yang turut menyampaikan sejauh mana peran pemerintah dalam penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di Indonesia.

Kasus-kasus kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es, dengan angka riil kasus-kasus kekerasan seksual sesungguhnya bisa lebih tinggi dibanding yang tercatat saat ini. Serta tidak menutup kemungkinan akan adanya dark number dimana terjadi kasus namun tidak diadukan ke pihak berwajib. Arsa Ilmi, Peneliti dari IJRS yang juga menjadi pembicara dalam diskusi publik ini juga menjelaskan: “Maka, penting untuk melihat sedikit representasi data-data kasus kekerasan seksual, khususnya kasus-kasus yang dilaporkan dan diselesaikan melalui jalur pengadilan untuk mengetahui pola fenomena kekerasan seksual serta bagaimana penanganan terhadap korban terjadi dalam proses hukum.”

Dalam acara ini, dipaparkan juga mengenai hasil penelitian yang dilakukan oleh IJRS dengan metode analisis data sekunder atau indeksasi terhadap 735 putusan pengadilan di perkara kekerasan seksual dari tahun 2018-2020 dan berbagai literatur lainnya untuk melihat gambaran kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan serta diselesaikan melalui jalur pengadilan.

Dari temuan yang diperoleh, IJRS mengidentifikasi beberapa temuan, seperti (1) kekerasan seksual dilakukan oleh orang yang dikenal korban. Beberapa temuannya menunjukan bahwa 87,9% kekerasan seksual dialami oleh orang yang dikenal korban dan bahkan 59,9% kekerasan seksual terjadi di rumah korban sendiri. (2) Disebutkan juga pentingnya agenda pencegahan kekerasan seksual difokuskan pada lingkungan pendidikan dan rumah tangga, mengingat mayoritas korban yakni 72,1% masih dalam rentang usia anak (6-18 tahun) dan mayoritas pelaku dalam rentang usia remaja akhir (18-25 tahun). (3) Mayoritas perkara kekerasan seksual yang sudah masuk ke proses hukum merupakan perkara repetisi atau kekerasan seksual sudah terjadi lebih dari satu kali terhadap korban, hal ini mengacu pada data yang ditemukan, yaitu 76,9% merupakan perkara repetisi serta hanya 8,7% korban yang menjalani proses persidangan dengan pendamping. (4) Pentingnya orientasi pemidanaan bertujuan terhadap pemulihan korban. Hal tersebut, dapat dilihat pada hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa banyak dari korban kekerasan seksual mengalami dampak dari kekerasan seksual yang dialaminya, dengan 78% korban mengalami dampak psikis dan 42,8% korban mengalami dampak fisik. Namun sayangnya hanya 0,1% korban yang memperoleh restitusi, sehingga pemulihan korban harus menjadi orientasi pemidanaan.

Paparan dari Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH Apik Indonesia, Khotimun Sutanti juga mengonfirmasi temuan yang diberikan oleh IJRS bahwa kasus-kasus kekerasan seksual, khususnya terhadap anak oleh orang dekat kerap terjadi di rumah. Selama masa pandemi Covid-19 ini laporan kasus-kasus kekerasan seksual juga naik, dengan tingginya pelaporan di kantor-kantor LBH Apik di seluruh Indonesia. Selain itu, bahkan sebelum perempuan mengadukan kekerasan seksual yang dialaminya mereka kerap mengalami hambatan misalnya oleh perspektif aparat penegak hukum dan budaya masyarakat yang tidak adil gender sangat berpengaruh terhadap situasi perempuan korban, serta proses hukum yang tidak ramah korban dengan melanggengkan reviktimisasi dan stigma negatif terhadap korban juga menghambat proses pelaporan kasus-kasus kekerasan seksual.

Ada juga penambahan perspektif oleh Koordinator Program PeKKA oleh Nunik Hariani, bahwa dengan tingginya kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, PeKKA mengembangkan berbagai strategi pemberdayaan hukum. PeKKA telah menyelenggarakan penyadaran kritis masyarakat dan penghormatan terhadap hak asasi perempuan dan anak, penguatan kepemimpinan dan kapasitas PeKKA untuk menyuarakan perubahan kebijakan dan sistem sosial yang berkeadilan gender, penguatan jaringan kerjasama dan aliansi untuk menguatkan agenda pemberdayaan serta akses hukum dan keadilan dan advokasi kebijakan dan perubahan sosial untuk pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Hal ini kemudian ditanggapi oleh Nuraini Hilir, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden RI bahwa saat ini pemerintah sangat menaruh perhatian yang besar terhadap penanganan kasus-kasus kekerasan seksual dengan membentuk tim yang terkait dengan pembentukan RUU TPKS, yang terdiri atas beberapa kementerian dan lembaga antara lain ada KPPPA, Kemenkumham dan Kejaksaan dengan juga menerima aspirasi dari masyarakat.

Penemuan IJRS turut didukung oleh Veryanto Sitohang, Komisioner Komnas Perempuan, bahwa tren pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat korban seperti pacar, anggota keluarga inti seperti ayah kandung maupun ayah tiri hingga anggota keluarga non-inti seperti paman atau sepupu. Sejalan dengan data CATAHU 2021, dalam masa pandemi Covid-19 ini kasus kekerasan seksual juga tetap dapat ditemukan dalam pengaduan-pengaduan yang diterima setiap harinya hal ini sejalan juga dengan tingginya kasus-kasus kekerasan seksual yang diterima oleh LBH Apik sebagaimana dipaparkan dalam diskusi ini. Korban juga kerap mengalami hambatan dalam mencari keadilan, seperti dilarang melaporkan kasus yang menimpanya karena dianggap aib, kriminalisasi korban karena mereka angkat bicara hingga proses hukum yang tidak ramah korban.

Melalui diskusi ini didorong adanya penanganan dan pencegahan kekerasan seksual yang lebih berpihak, tepat sasaran dan bertujuan untuk pemulihan kepada korban yang dapat dicerminkan dalam kebijakan dan juga implementasinya. Oleh karenanya, acara diskusi kali ini, memberikan beberapa rekomendasi, seperti:

  1. Pentingnya pendefinisian kekerasan seksual, khususnya frasa “persetujuan” atau “consent” melalui penyusunan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan penyusunan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi penting. Hal ini mengacu dari hasil temuan, dimana kasus kekerasan seksual kerap melibatkan pelaku sebagai orang yang memiliki relasi personal/privat dengan korban, misalnya pacar, suami bahkan anggota keluarga seperti ayah kandung, ayah tiri dan paman.
  2. Pentingnya penguatan mekanisme perlindungan korban untuk dimasukan ke dalam kebijakan legislasi melalui pembahasan RUU TPKS dan Rancangan KUHAP (RKUHAP).
  3. Perlunya kurikulum dan materi pendidikan seksual sebagai upaya pencegahan kekerasan seksual agar disosialisasikan sejak usia dini dengan kurikulum yang sesuai dengan usia dan penalaran pelajar sesuai jenjang pendidikan masing-masing.
  4. Sebagai masukan juga, perlunya aparat penegak hukum untuk memastikan baik secara kebijakan, pengawasan maupun peningkatan kapasitas untuk memastikan agar proses penuntutan dan penegakan hukum untuk dapat mengidentifikasi dampak kerugian korban kekerasan seksual baik secara ekonomi, fisik dan psikis.
  5. Perihal pendampingan bagi korban kekerasan seksual dalam proses persidangan juga perlu dipastikan dan diupayakan sesuai amanat Perma 3/2017 dan Pedoman 1/2021.

Silahkan unduh ringkasan eksekutif penelitian IJRS ini di https://bit.ly/Indeksasi-IJRS-KS.

Contact Person:
Arsa Ilmi Budiarti / arsa@ijrs.or.id
Marsha Maharani / marsha@ijrs.or.id