[Media RIlis] ICJR IJRS dan LeIP Sayangkan Pernyataan Menko Polhukam tentang Restorative Justice pada Kasus Perkosaan

Pada saat menjadi pembicara dalam acara Rapim Polri, Selasa (16/2/2021), Menteri Koordinator Bidang Polhukam mencontohkan penerpaan Restorative Justice dalam kasus perkosaan. Menurut menteri tersebut pendekatan restorative justice tidak bicara bahwa si pemerkosa harus ditangkap dan dibawa ke pengadilan untuk menjalani proses hukum. Restorative justice, menurutnya membangun harmoni agar antara keluarga korban dan pemerkosa serta masyarakat tidak gaduh.

ICJR, IJRS dan LeIP menyayangkan pernyataan ini. Ini adalah contoh kekeliruan memahami lahirnya Restorative Justice (RJ) dan arti penting menerapkan nilai-nilai. Sebagai catatan mendasar yang harus diketahui, nilai RJ hadir sejalan dengan gerakan penguatan hak korban, tititk sentralnya adalah menyelaraskan pemulihan korban dengan mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa yang memupuk pertanggungjawaban pelaku, untuk mencapai harmoni agar proses penyelesaian sengketa tersebut bersifat memulihan atau restoratif. RJ bukan soal membungkam hak korban untuk mendapatkan harmoni semu di masyarakat.

Pada kasus perkosaan RJ dapat saja diterapkan, tetapi tetap yang menjadi titik sentral yang harus diperjuangkan adalah mendengarkan dan memberi ruang bagi korban untuk menyampaikan kerugiannya, membuat pelaku menyadari perbuatannya dan memahami dampak dari perbuatan yang dilakukannya, untuk kemudian menyelaraskan pertanggungjawaban pelaku untuk bisa berdampak positif bagi pemulihan korban. Pernyataan Menko Polhukam yang menilai RJ pada kasus perkosaan tidak untuk menangkap dan mengadili pelaku tidak tepat, meminta pelaku dan korban dinikahkan dengan alasan menjaga harmoni dan nama baik keluarga justru adalah contoh buruk praktik selama ini yang bertentangan dan tidak sejalan dengan nilai dan prinsip RJ.

Pernyataan ini juga tidak berpihak pada upaya-upaya untuk memberikan penguatan pengaturan hak korban perkosaan ataupun kekerasan seksual. Padahal data survey Lentera Sintas Indonesia pada 2016 lalu terhadap 25.213 responden korban kekerasan seksual, ditemukan 93% korban perkosaan tidak melaporkan kasusnya, salah satu alasan mendasar adanya ketakutan dengan narasi menyalahkan korban. Survey terbaru IJRS dan Infid pada 2020 juga menujukkan bahwa 57,4% responden yang pernah mengalami kekerasan seksual menyatakan aparat penegak hukum tidak responsif terhadap kasus kekerasan seksual. Dengan adanya pernyataan ini, aktor high level yang seharusnya memberikan jaminan hak korban, justru semakin tidak berpihak pada korban.

ICJR, IJRS dan LeIP meminta Menko Polhukam untuk segera meluruskan dan mengklarifikasi pernyataan tersebut, serta memberikan jaminan bahwa penerapan RJ harus dipahami oleh seluruh jajaran pemerintah dan aparat penegak hukum untuk meletakkan kepentingan dan pemulihan korban sebagai fokus utama.

Jakarta, 18 Februari 2021
ICJR, IJRS dan LeIP

CP:
Liza Farihah (Direktur Eksekutif LeIP)
Dio Ashar (Direktur Eksekutif IJRS)
Maidina Rahmawati (Peneliti ICJR)