[Rilis Pers] Esa Hilang Dua Terbilang: Realitas Kekerasan Seksual dan Pentingnya Sinergi Antar Regulasi

Jumat, 27 Mei 2022, Indonesia Judicial Research Society (IJRS) mengadakan talkshow secara daring yang bertajuk “Esa Hilang Dua Terbilang: Menguji Kolaborasi Payung Hukum Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia”. Diskusi ini membahas terkait realitas kekerasan seksual serta kehadiran dua regulasi terbaru yang dapat dikatakan sebagai angin segar untuk penanganan kekerasan seksual di Indonesia yaitu Permendikbud-Ristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Naomi Rehulina Barus, selaku host dalam talkshow ini menyebutkan bahwa, “penting untuk kita bersama-sama mendorong agar dua payung hukum ini dapat saling menguatkan dan bersinergi hingga level implementasi untuk mengatasi hambatan yang ada dalam penanganan dan pemidanaan kekerasan seksual.”

Marsha Maharani, S.H. (peneliti IJRS) dalam paparannya menyampaikan bahwa penelitian IJRS dan INFID 2020 menunjukkan 57,3% masyarakat korban kekerasan seksual memilih untuk tidak melapor dengan alasan takut dan malu. “Hadirnya UU TPKS dan Permendikbud-Ristek PPKS kita harapkan memperkuat penanganan kasus kekerasan seksual yang mengutamakan hak-hak korban. UU TPKS menjadi manifestasi perlindungan dan pemulihan yang komprehensif bagi korban kekerasan seksual yang mana telah mengakomodir berbagai hak-hak korban seperti hak atas penanganan, hak atas perlindungan, hak atas pemulihan, dan hak pendampingan. Lalu, jika dalam UU TPKS diatur soal mekanisme Dana Bantuan Korban sebagai kompensasi Negara untuk memperkuat aspek pemulihan korban, dalam Permendikbud Ristek-PPKS juga turut dipastikan pemulihan korban melalui akses kepada pendampingan. Diharapkan implementasi UU TPKS dan Permendikbud-Ristek PPKS ini dapat mengakomodir pemenuhan kebutuhan pemulihan bagi korban kekerasan seksual.”, ditambahkan oleh Marsha.

“Dari apa yang saya alami, peran pendamping itu penting sekali. Walaupun kadang secara psikologis pun masih masih chaos, namun setidaknya kehadiran pendamping inilah yang menguatkan. Apalagi dalam kondisi di mana keadilan itu tidak berjalan ke arah korban kekerasan seksual, namun harus merekalah sendiri yang berakit-rakit mencapainya.”, ujar Aya Canina (Penyintas/Penulis)

Lebih lanjut, Joce Timoty Pardosi, S.H (Direktur Umum Hope Helps Network) menyampaikan realita penanganan kekerasan seksual bahwa, “Beberapa kali kampus melakukan pembungkaman terhadap media-media kampus yang menyuarakan kekerasan seksual yang dialami mahasiswanya karena dianggap mencederai nama baik kampus. Sehingga, dapat dikatakan lingkungan terdekat korban yaitu kampus, justru tidak mengafirmasi pengalaman korban. Akhirnya korban mencari keadilan lewat media sosial, karena akses korban untuk melapor tidak disediakan dan tidak ditangani dengan baik yang dapat membuat korban bisa menjadi korban kembali.”

Kalis Mardiasih (Aktivis/Penulis) juga menyebutkan bahwa, “Soal spill the tea ini sebetulnya tidak disarankan untuk dilakukan oleh korban karena risikonya justru akan semakin berat, korban semakin distigma, disalahkan, timbul trauma baru hingga risiko ancaman yang lebih besar. Tetapi apabila itu sudah terjadi, kita perspektif pertama harus tetap berpihak dan memberikan kekuatan kepada korban, karena korban yang seringkali adalah perempuan ini sudah mengalami kerentanan walaupun tidak mengalami kekerasan seksual. Jadi jika kemudian berbicara soal cancel culture, jangan sampai juga kita juga ikut berkontribusi kepada pelaku untuk semakin naik, kokoh dan terkenal namanya, sehingga semakin besar ketimpangan relasi kuasanya yang akan digunakan untuk menghalangi keadilan untuk korban.”

“Hal lain yang perlu diperhatikan baik dalam UU TPKS maupun Permendikbud-PPKS adalah soal consent, di mana konsep consent atau persetujuan itu adalah sesuatu yang melekat dalam setiap individu. Baik dia dalam perkawinan pun, persetujuan ini merupakan bentuk kemampuan masing-masing individu untuk bersedia ataupun tidak bersedia terlibat dalam aktivitas yang berkaitan dengan seksualitas”, jelas Maidina Rahmawati, S.H (Peneliti ICJR) mengenai konsep consent yang kerap menjadi perdebatan dalam UU TPKS. Ditambahkan lagi oleh Maidina, “Biasanya kekerasan seksual dianggap hanya terjadi kalo ada paksaan atau serangan fisik dan bahkan ada pertanyaan soal apakah korban melawan atau tidak. Padahal sangat mungkin apabila consent diberikan ketika kondisi korban tidak berdaya.”

Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo, S.H., M.Si. (Akademisi FHUI) menjelaskan bahwa, “kekerasan seksual itu merupakan bentuk kekerasan yang sangat khas karakteristiknya. Ini ada persoalan relasi kuasa. Ini berbeda dengan pandangan orang yang bahwa adanya peraturan ini melindungi seks bebas. Peraturan yang ada mampu melindungi korban dari struktur yang cenderung memanfaatkan kondisi korban yaitu tidak setara dengan pelaku.” Ditambahkan lebih lanjut oleh Ibu Inge bahwa, “Hal yang mungkin saat ini belum diatur lebih lanjut adalah terkait restriction order. Kalau misalnya ada kasus di mana proses sedang berjalan dan memenuhi syarat penyidikan, seharusnya terlapor ini sementara diberhentikan dulu. Sehingga korban tidak ada potensi untuk semakin diintimidasi oleh pelaku.”

Aya Canina menutup talkshow ini dengan menyampaikan bahwa, “Saya berharap UU TPKS dan Permendikbud Ristek ini menjadi perahu anti karam yang membawa mereka ke keadilan yang kita sama-sama impikan. Kedua peraturan ini juga harapannya bisa menguatkan saya, penyintas lainnya, dan para pendamping.”

Silakan unduh juga booklet “Data dan Fakta Kekerasan Seksual 2021” oleh IJRS untuk mengetahui lebih lanjut data & fakta kekerasan seksual terkini melalui tautan berikut https://bit.ly/Booklet-KS-2021-IJRS

Materi pembicara IJRS & HopeHelps dapat juga diakses di https://bit.ly/Materi-Talkshow-27Mei

Narahubung:

Indonesia Judicial Research Society (IJRS)

office@ijrs.or.id / www.ijrs.or.id
Marsha Maharani / marsha@ijrs.or.id
Naomi Rehulina Barus / naomi@ijrs.or.id