Search

Rilis Pers

[Rilis Pers] Pasca RUU TPKS: Penguatan dalam Aturan Lain, Sumber Daya dan Kapasitas Institusi Pelaksana Juga Perlu Diperhatikan

Rabu, 6 April 2022, Pemerintah dan Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS DPR telah menyelesaikan pembahasan tingkat I RUU TPKS, 8 dari 9 fraksi partai di DPR RI menyetujui RUU TPKS, dengan demikian RUU TPKS menyisakan pembahasan tingkat II dalam sidang paripurna yang akan secara resmi melakukan pengesahan.

ICJR, IJRS dan Puskapa mengapresiasi jalannya pembahasan RUU TPKS selama satu setengah minggu ke belakang, mulai dari RDPU 24 Maret 2022 hingga pengesahan tingkat satu pada 6 April 2022. Pembahasan dilakukan secara cukup substansial, membuka peluang masyarakat sipil untuk terus memberi masukan secara “real time” dalam pembahasan, baik dari pemerintah maupun anggota DPR yang melakukan pembahasan. Pembahasan RUU dengan model keterbukaan seperti ini harus menjadi contoh bagi pembahasan RUU RUU lainnya.

Secara substansi RUU TPKS pun progresif, memberikan banyak penguatan pada aspek hukum acara, penguatan hak korban, hingga keteraturan pengaturan tindak pidana.

Atas progresifnya RUU TPKS tersebut, ICJR, IJRS dan Puskapa menyerukan, beberapa catatan pada substansi RUU TPKS yang juga terkait dengan penguatan UU lainnya, sumber daya dan kapasitas untuk mendukung implementasi RUU TPKS, pada apsek berikut:

Pertama, jaminan penguatan rumusan perkosaan dalam RKUHP. Memang RUU TPKS tidak memuat perkosaan sebagai tindak pidana baru dalam RUU ini, namun,  perkosaan dimuat sebagai jenis tindak pidana kekerasan seksual lain dalam RUU ini (Pasal 4 ayat (2)), sehingga dengan demikian korban perkosaan tetap menjadi subjek dari RUU ini. Penguatan perumusan RKUHP harus segera dilakukan, dengan jaminan rumusan RKUHP mengatasi permasalahan yang ada dalam rumusan perkosaan di KUHP, yaitu: harus diatur gender netral, unsur paksaan menjangkau relasi kuasa/ kekerasan psikis, tidak hanya penetrasi penis-vagina dan tidak hanya dapat terjadi di luar perkawinan. Dalam RKUHP pasal perkosaan juga harus ditegaskan sebagai bentuk kekerasan seksual (sesuai amanat Pasal 2 huruf j RUU TPKS untuk hukum acara dan penanganannya menjadi subjek RUU TPKS)

Kedua, jaminan penegasan dalam RKUHP bahwa pemaksaan aborsi sebagai kekerasan seksual. Pemerintah dan DPR juga tidak memasukkan pemaksaan aborsi sebagai kekerasan seksual, dan juga tidak mendaftarkan pemaksaan aborsi sebagai jenis kekerasan seksual dalam UU Lain (dalam Pasal 4 ayat (2)). Dengan pemerintah dan DPR mendalilkan bahwa pengaturan ini ada dalam KUHP (Pasal 347) dan ada juga pada RKUHP (Pasal 469 ayat (2)), maka dalam RKUHP nanti harus ditegaskan bahwa perbuatan ini sebagai sebagai bentuk kekerasan seksual (sesuai amanat Pasal 2 huruf j RUU TPKS untuk hukum acara dan penanganannya menjadi subjek RUU TPKS).

Ketiga, jaminan sinkronisasi pengaturan soal pelecehan seksual fisik dengan eksploitasi seksual dalam RKUHP. Seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya bahwa pengaturan eksploitasi seksual (Pasal 12 RUU TPKS) dengan 2 perbuatan pelecehan fisik, yaitu Pasal 6 huruf b: perbuatan seksual secara fisik menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum dan Pasal 6 huruf c menyalahgunakan kekuasaan memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain memuat tumpang tindih, dengan miripnya pengaturan perbuatan tersebut, namun ancaman pidananya berbeda. Hal ini memerlukan sinkronisasi, misalnya dalam RKUHP nantinya dapat memperbaiki rumusan Pasal 6 huruf b dan Pasal 6 buruf c RUU TPKS.

Keempat, jaminan sinkronisasi dengan Revisi UU ITE. Secara progresif Pemerintah dan DPR juga memasukkan Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik dalam Pasal 14 RUU TPKS, yang melarang perekaman, transmisi dan penguntitan orang lain/ konten pribadi orang lain tanpa persetujuan. Dengan demikian, rezim pengaturan tentang penyebaran konten pribadi harus didasarkan pada konsen/persetujuan, ketika tidak dilakukan dengan dasar konsen/persetujuan maka orang tersebut dinyatakan sebagai korban, bukan pelaku. Dengan demikian, Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang berorientasi pada konten bukan konsen harus dihapuskan dalam revisi UU ITE. Sedangkan untuk pelarangan penyebaran konten kesusilaan yang dikehendaki sudah dijangkau dengan UU Pornografi, sehinga tidak ada lagi kepentingan mempertahankan Pasal 27 ayat (1) UU ITE.

Kelima, jaminan RKUHAP harus atur hakim pemeriksa pendahuluan untuk menilai kelayakan alat bukti perkara pidana. RUU TPKS dalam Pasal 24 ayat (1) huruf c memperkenalkan aturan yang menyebutkan bahwa barang bukti juga dapat dijadikan alat bukti. Dalil yang disampaikan pemerintah atas masuknya rekomendasi adalah bahwa di banyak negara tidak memisahkan Alat Bukti (AB) dan Barang Bukti (BB). Namun, di negara tersebut terdapat fungsi hakim magistrat/ hakim pemeriksa pendahuluan yang menguji terlebih dahulu relevansi barang bukti tersebut untuk dapat digunakan dalam perkara/tidak. Sedangkan fungsi itu belum dimiliki dalam konsep KUHAP saat ini. Sehingga ini menjadi urgensi dasar untuk segeranya pemerintah dan DPR melakukan pembahasan Revisi KUHAP, dengan menjamin adanya fungsi hakim pemeriksa pendahuluan untuk menilai kelayakan alat bukti dalam perkara, sehingga kekuatan pembuktian dapat tetap terjamin. Sebagai ilustrasi, dengan pasal ini bukti saksi dengan barang bukti semisal pakaian pelapor saja bisa dapat dikatakan 2 Alat Bukti. tanpa pemeriksaan pendahuluan, hal membahayakan prinsip peradilan yang adil. Karena orang akan mudah dipersalahkan dengan bukti yang minim.

Keenam, jaminan RKUHAP memuat keterangan saksi difabel memperoleh kekuataan pembuktian yang sama dan mekanisme penilaian ahli untuk difabel intelektual. Dalam Pasal 25 ayat (4) RUU TPKS ditegaskan bahwa Keterangan Saksi dan/atau Korban Penyandang Disabilitas mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keterangan Saksi dan/atau Korban yang bukan Penyandang Disabilitas. Sedangkan rumusan KUHAP saat ini dalam Pasal 171 dan penjelasan memerintahkan kelompok disabilitas intelektual tidak disumpah dan tidak diterima kesaksiannnya sebagai alat bukti saksi yang utuh. Dengan adanya jaminan RUU TPKS ini, RKUHAP harus merespon dengan jaminan adanya rumusan bagaimana melakukan penilaian ahli untuk menentukan kekuatan pembuktian bagi saksi difabel, tidak lagi merumuskan dengan pasal yang menstigma dalam Pasal 171 KUHAP.

Ketujuh, jaminan implementasi pemberian layanan kepada semua korban secara inklusif, terlepas dari latar belakang sosial, ekonomi, agama, gender dan identitas sosial lainnya. Dalam Pasal 1 angka 4 RUU TPKS, disebutkan bahwa korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, kerugian ekonomi, dan/atau kerugian sosial yang diakibatkan Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Dalam RUU ini juga diperkenalkan Pelayanan terpadu berupa penyelenggaraan layanan yang terintegrasi, multiaspek, lintas fungsi dan sektor bagi Korban, Keluarga Korban, dan/atau Saksi Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Walaupun unit yang melayani korban di dalam RUU ini adalah UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak), namun karena korban tidak selalu perempuan dan anak, maka UPTD PPA harus dapat juga memperluas jangkauan penerima layanan bagi korban kekerasan seksual, baik untuk perempuan, anak, laki-laki, termasuk kelompok minoritas gender, atau kelompok lainnya tanpa diskriminasi. Harus dipastikan bahwa ketika nantinya UPTD PPA memberikan layanan kepada korban selain perempuan dan anak tidak akan “dianggap” melanggar proses. Implementasi layanan di dalam UPTD PPA juga tidak kemudian menghilangkan peran unit layanan lain yang sudah tersedia dan berkembang di tingkatan Pemerintahan Daerah sesuai dengan kewenangan yang mereka miliki.

Kedelapan, jaminan penguatan hak korban dalam RKUHAP. Secara sangat progresif RUU TPKS memberikan penguatan hak prosedural/penanganan, perlindungan dan pemulihan bagi korban, menjangkau bahasan restitusi dan kompensasi, hingga ada mekanisme Victim Trust Fund atau Dana Bantuan Korban dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3). RKUHAP ke depannya juga harus mengakomodasi hak-hak prosedural yang progresif untuk semua korban tindak pidana. Hak korban atas ganti kerugian juga harus dikuatkan, termasuk juga memperkenalkan Dana Bantuan Korban tersebut dalam RKUHAP untuk tindak pidana lain, misalnya semua bentuk kekerasan. Sedangkan, tindak pidana dengan kerugian ekonomi, didorong sistem ganti rugi yang efektif dalam RKUHAP.

Kami mengapresiasi pengesahan tingkat I RUU TPKS, dengan rumusan yang banyak memberikan penguatan pada korban dan hukum acara. Sehingga dengan adanya RUU TPKS, pekerjaan rumah bagi aturan lainnya, serta penguatan sumber daya dan kapasitas institusi, harus juga diperhatikan.

Jakarta, 7 April 2022
Hormat Kami

ICJR, IJRS dan Puskapa

Bagikan:

Rilis Pers Lainnya:

Rilis Pers
Disparitas Pemidanaan: Menyoroti Konsistensi Putusan Pengadilan dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Rilis Pers
Siaran Pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keterbukaan Pemerintah Indonesia