Explainer: bagaimana proses penuntutan perkara pidana di Indonesia?

Oleh Siska Trisia 

Banyak pihak menilai ada kejanggalan dalam tuntutan satu tahun penjara bagi dua terdakwa penyiram air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan.

Jaksa penuntut umum menyatakan kedua terdakwa terbukti melakukan penganiayaan berat sebagaimana diatur Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun tuntutan yang diajukan jaksa dianggap sangat rendah dan tidak berpihak pada korban.

Kasus ini menimbulkan keresahan masyarakat soal penegakan hukum Indonesia mengingat tuntutan adalah salah satu hal yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman.

Bagaimanakah proses penuntutan perkara pidana di Indonesia? Bagaimana proses ini berjalan dalam kasus Novel Baswedan?

Menentukan tuntutan

Tuntutan – atau tepatnya dalam bahasa hukum: surat tuntutan – dapat dijelaskan sebagai kesimpulan jaksa atas pemeriksaan perkara yang dibuat berdasarkan proses pembuktian di persidangan.

Dalam menyusun tuntutan dengan baik, jaksa tidak akan lepas dari surat dakwaan yang sudah dibacakan pada hari pertama sidang. Surat dakwaan mengandung informasi mengenai identitas terdakwa, kronologis duduk perkara, dan pasal yang didakwakan.

Jaksa memiliki pedoman dalam menentukan besarnya tuntutan pemidanaan.

Sebelumnya, jaksa terikat dengan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) tentang pedoman penuntutan. SEJA tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan Pedoman No 3 Tahun 2019 tentang Penuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum.

Menurut pedoman penuntutan itu, jaksa dapat mempertimbangkan beberapa faktor dalam menentukan berat ringannya sanksi pidana yang akan dituntut.

Faktor-faktor ini antara lain kondisi terdakwa (seperti motif/tujuan berbuat, pendidikan, jabatan/profesi); perbuatan terdakwa (cara berbuat, peran terdakwa), akibat yang ditimbulkan atas perbuatan terdakwa (penderitaan/kerugian), dan faktor-faktor lain (seperti rasa keadilan).

Di kalangan ahli hukum ada perdebatan terkait faktor yang memberatkan dan meringankan ini, yaitu perdebatan terkait pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.

Menurut pemisahan ini, tindak pidana adalah perbuatan yang menyebabkan timbulnya sanksi pidana. Dengan demikian, hanya sifat-sifat dari perbuatan itu saja yang menentukan suatu tindak pidana.

Sedangkan pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana. Dua hal ini seharusnya dipisahkan.

Pencampuradukan antara perbuatan pidana dan sifat-sifat pelaku tindak pidana untuk menentukan faktor memberatkan dan meringankan menimbulkan ketidakpastian dalam penuntutan perkara pidana.

Ketidakpastian ini bertambah karena penentuan faktor memberatkan atau meringankan tidak sepenuhnya di tangan seorang jaksa.

Sebelum mengajukan tuntutan, jaksa harus mendapat persetujuan dari atasannya lewat mekanisme pelaporan Rencana Tuntutan (Rentut).

Sehingga atasan jaksa tersebutlah yang memegang kendali. Padahal yang mengetahui secara langsung bagaimana terdakwa menjalani pemeriksaan perkara adalah jaksa.

Tentu tidak adil jika orang yang tidak mengetahui secara langsung kondisi dan keadaan si terdakwa menentukan hal-hal yang menjadi peringan dan pemberat tuntutan pidana terhadapnya.

Dalam penuntutan, sering terjadi disparitas (perbedaan) tuntutan. Dalam dua sidang terhadap tindak pidana serupa, tuntutan yang diajukan bisa berbeda.

Ini bisa terjadi akibat jaksa merumuskan faktor memberatkan/meringankan secara berbeda atau keliru.

Contoh kasus yang serupa dengan penganiayaan terhadap Novel Baswedan adalah penyiraman air keras yang menimpa seorang pemuda di Palembang, Sumatra Selatan, pada 2019.

Akibat dari serangan itu, korban mengalami cacat permanen pada matanya. Jaksa kemudian menuntut hukuman 10 tahun penjara untuk pelaku; kasus serupa, tapi tuntutan jauh berbeda.

Tuntutan keliru

Dalam penganiayaan terhadap Novel Baswedan, jaksa menyatakan bahwa para terdakwa telah melakukan tindak pidana penganiayaan berat dengan ancaman hukuman maksimal 7 tahun penjara.

Mengacu pada pedoman yang ada, seharusnya jaksa menentukan tuntutan berdasarkan tindak pidana yang terjadi, yaitu bagaimana perbuatan dilakukan dan akibat apa yang telah ditimbulkan.

Hal-hal yang berkaitan dengan sifat-sifat terdakwa – bahwa mereka tidak berniat mengenai mata korban, mereka mengakui perbuatannya, dan bahwa mereka telah meminta maaf kepada korban – seharusnya tidak dijadikan pertimbangan utama dalam menentukan besaran tuntutan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa ada kekeliruan penuntutan yang menyebabkan perbedaan penuntutan.

Berdasarkan teori dan praktik penegakan hukum oleh jaksa di Indonesia, terjadinya disparitas penuntutan yang mencederai rasa keadilan bisa dan harus dicegah.

Ini bisa dilakukan lewat pembentukan pedoman penuntutan yang lebih spesifik (berdasarkan tiap jenis tindak pidana) dan merevisi Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk memaksimalkan peran jaksa sejak proses penyidikan di kepolisian.

Saat ini ada keresahan bahwa jaksa hanya dianggap sebagai pembawa berkas perkara dari kepolisian ke pengadilan.

Selain mendorong kepastian hukum, pelibatan jaksa dalam penyidikan akan memperkuat peran jaksa sebagai filter dan pengendali perkara (dominus litis) untuk menentukan tindak pidana mana saja yang penting diajukan ke pengadilan dan diberi sanksi.

Tulisan ini dimuat dalam media The Conversation : https://theconversation.com/explainer-bagaimana-proses-penuntutan-perkara-pidana-di-indonesia-140936