Anggaran Bantuan Hukum Belum Sesuai Kebutuhan Riil

Oleh Siska Trisia

Melalui APBN, Pemerintah mengalokasikan anggaran bantuan hukum untuk orang miskin setiap tahun. Dana sebesar Rp53.679.900.000 (tahun 2020) disalurkan melalui Organisasi Bantuan Hukum (OBH) terakreditasi untuk membantu warga miskin yang menghadapi masalah hukum. Penyaluran itu tersebar di seluruh Indonesia meskipun pembagiannya belum proporsional secara geografis. Persoalannya, dana yang disediakan negara dianggap belum sesuai dengan realitas. Dana penanganan perkara belum sesuai kebutuhan riil.

Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 63 Tahun 2016 telah mengatur tata cara pemberian bantuan hukum, termasuk kegiatan yang masuk kategori bantuan hukum dimaksud. Besaran biayanya diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-01.HN.03.03 Tahun 2017. Berdasarkan beleid yang diteken Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly ini, untuk kegiatan litigasi penanganan perkara pidana, total biaya yang dianggarkan sebesar 8 juta rupiah mulai dari penyidikan di kepolisian hingga tahap peninjauan kembali. Untuk kegiatan non-litigasi berupa penyuluhan hukum, biaya yang disediakan negara adalah Rp3.740.000.

Masih ada satuan kegiatan lain yang dibiaya negara. Untuk litigasi ada perkara perdata dan tata usaha negara; sedangkan nonlitigasi mencakup konsultasi hukum, investigasi perkara, mediasi, negosiasi, penelitian hukum, pemberdayaan masyarakat, pendampingan di luar pengadilan, dan drafting dokumen hukum.

Namun, Gina Sabrina menilai anggaran bantuan hukum yang disediakan negara itu belum sesuai kebutuhan riil di lapangan. Project Officer Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) ini mengatakan anggaran yang disediakan belum mencakup biaya operasional yang dikeluarkan OBH saat memberikan bantuan hukum. Contohnya, biaya penanganan perkara seperti biaya panjar, biaya perkara, biaya scan dokumen perkara, biaya visum et repertum dalam kasus kekerasan, atau biaya komunikasi OBH dengan pihak-pihak terkait perkara.

Jika dana yang tersedia tidak mencukupi, maka biaya-biaya operasional ditanggung oleh OBH. “Itu belum termasuk biaya riil yang menjadi tanggung jawab negara,” ujarnya dalam diskusi daring ‘Anggaran Bantuan Hukum, Tanggung Jawab Negara atau Beban Organisasi Bantuan Hukum’, Senin (2/11).

Selain itu, Gina menyoroti besarnya biaya yang harus dikeluarkan OBH ketika mendampingi warga miskin di daerah kepulauan. Biaya transportasi sangat besar, sehingga jika dikalkulasi, dana bantuan hukum yang disediakan negara jauh dari cukup. Masalah ini terjadi antara lain karena sejak awal belum dilakukan penelitian komprehensif berapa sebenarnya biaya riil yang dibutuhkan dalam pemberian bantuan hukum litigasi dan nonlitigasi. “Belum ada monev (monitoring dan evaluasi-red) apakah dana itu sudah sesuai kebutuhan riil OBH atau belum,” kata Gina.

Sehubungan dengan itu PBHI mengusulkan agar dilakukan survei dan penelitian per regional untuk menghitung kebutuhan riil pemberi dan penerima bantuan hukum. Gina mengatakan kebutuhan riil setiap OBH berbeda-beda, terutama karena alasan-alasan geografis dan kebutuhan operasional. “Komponen atau item dalam SK Menteri Hukum dan HAM itu perlu diperluas,” ujar Gina kepada hukumonline.

Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, dan Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK Indonesia, Khotimun Sutanti, menguatkan penjelasan Gina. Pengalaman LBH APIK mendampingi korban, misalnya, menunjukkan bahwa dana yang disediakan belum memadai, misalnya untuk pemulihan korban. “Biaya layanan untuk korban belum ter-cover,” ujarnya Khotimun Susanti.

Menurut Arif Maulana, penyesuaian biaya bantuan hukum dengan kebutuhan riil sangat penting. Riset yang dilakukan terhadap sejumlah OBH menunjukkan ada biaya-biaya rutin yang secara periodik dikeluarkan OBH namun tidak ter-cover oleh dana bantuan hukum APBN. “Ada sejumlah biaya rutin yang pasti dikeluarkan,” tegas Arif.

Biaya-biaya rutin itu misalnya biaya petugas kebersihan kantor, gaji pengemudi, arsiparis, dan gaji pengacara publik. Belum lagi kebutuhan riset pengacara dan paralegal OBH. Di era digital ini, bahan-bahan hukum dapat diakses lewat internet. “Mau tidak mau biayanya harus disediakan organisasi bantuan hukum,” kata Arif.

Direktur Bidang Akses Keadilan, Siska Trisia Indonesia Judicial Research Society (IJRS), menyoroti tiga kebijakan anggaran bantuan hukum. Pertama, menyesuaikan jenis dan dampak permasalahan yang dialami. Kedua, menyesuaikan besaran anggaran bantuan hukum dengan lokasi atau wilayah geografis. Ketiga, menambah porsi untuk bantuan hukum non-litigasi.

Konferensi Nasional Bantuan Hukum I (2019) juga menyinggung penganggaran bantuan hukum dan menyampaikan sejumlah rekomendasi. Misalnya rekomendasi merevisi SK Menteri Hukum dan HAM tentang besaran biaya litigasi dan nonlitigasi sehingga mengcover keseluruhan biaya yang diperlukan dalam pemberian bantuan hukum. Sebaiknya anggaran dihitung per kasus sehingga penerimaan jasa bantuan hukum dimungkinkan lebih dari satu kali bagi satu orang klien untuk kasus yang sama tetapi layanan yang berbeda sesuai dengan kebutuhan riil. “Jumlah ideal anggaran bantuan hukum untuk tiap daerah berbeda,” pungkas Gina.

Tulisan ini dimuat dalam HukumOnline.com : https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5fa4170d8bb0f/anggaran-bantuan-hukum-belum-sesuai-kebutuhan-riil